As-Syaikh Nawawi Ashodiq
Mbah Windusari (Syaikh Nawawi Ashodiq) adalah seorang Ulama dan penyebar
Agama Islam asli dari jepara. Beliau Putra ke tiga dari Syaikh Umar
Sa’id (Sunan Muria) dr salahsatu Istri Sunan Muria, dan beliau mempunyai
dua orang saudara dari satu Ibu yaitu Raden Pabelan dan Kyai Ageng
Djalaludin.
Pada awalnya Mbah Windu Sari ini disebut Kyai Tunggul namun berganti
nama menjadi Syaikh Nawawi Ashodiq karena pernah mondok atau berguru
agama pada Sunan Kudus (Sayyid Dja’far Shodiq) dan oleh Sayyid Dja’far
Shodiq nama Tunggul diganti menjadi Nawawi Ashodiq.
Dikisahkan Syaikh Nawawi pada saat berjuang di wilayah wadaslintang
menyukai gadis cantik yaitu Putri Gemenggeng yang sekarang menjadi Desa
Kali Gowong. Dia datang ke Gemenggeng dan berniat penuh optimis untuk
mempersunting putri tersebut, namun Sang Putri ini tidak bersedia
menikah dengan Kyai Tunggul, mengetahui cintanya ditolak kemudian Beliau
pergi ke sebuah gunung dan membuka Dusun yang kemudian di namai Dusun
Windusari, dari itu lah Beliau disebut oleh warga sekitar dengan sebutan
Mbah Windusari.
Karena masih merasa sakit hati akibat cintanya ditolak Beliau bersumpah
di puncak gunung Windusari “Bahwa orang windusari tidak akan pernah
berjodoh dengan orang Gemenggeng atau Kaligowong” akhirnya Mbah
Windusari sampai meninggal tidak menikah, dan sumpahnya tersebut
terbukti sampai sekarang warga Windusari tidak ada yang menikah dengan
orang Kaligowong, setelah dibukanya dusun tersebut Beliau berniat
membuka sebuah pondok pesantren, namun ntah karena apa hal tidak jadi
terlaksana.
Pada saat tinggal didusun Windusari, Beliau mempunyai suatu hobi yaitu
bermain kitiran (baling-baling), dan membuatnya dari kayu walang dengan
ukuran yang sangat besar setelah jadi, mbah mengangkat kitiran tersebut
ke puncak gunung untuk dimainkan, pada saat kitiran berputar suaranya
terdengar sangat jelas seperti suara pesawat terbang, namun sampai
sekarang bekas kitiran tersebut belum bisa diketemukan, dan pada saat
Beliau mengangkat kitiran tersebut ke pucak gunung, sabit (kudhi) nya
terlempar ke gunung merayang yang dipercaya gunung tersebut adalah
patahan dari gunung Windusari, kemudian iket dikepala Beliau pun ikut
terlempar ke Wonosobo dan ditempat terjatuhnya iket simbah ini oleh
masyarakat sekitar dibuat makam namun anehnya jika ada orang berziarah
atau nyekar di makam tersebut bila turun hujan orang tersebut tidak
kehujanan masih tetap dalam keadaan kering, padahal makam tersebut tidak
diberi rumah atau atap, itu menandakan bahwa iket simbah yang selalu
melindungi simbah dari panas maupun hujan.
Setelah iket dan sabit (kudhi) terlempar simbah merasa tidak punya
apa-apa kemudian turun dari puncak menyuruh anak cucunya untuk meluaskan
desa, kemudian mbah ambles bumi di puncak gunung windusari tersebut
oleh masyarakat sekitar kepergian mbah bukan karena meninggal dunia
tetapi mngamblaskan diri kedalam bumi dan menandai makamnya dengan dua
batu berbentuk segitiga yang ditancapkan di tanah, dan di depan makamnya
tersebut ada pohon pandan bercabang tiga yang konon dipercaya pohon
tersebut dulu keluar air yang digunakan untuk wudlu oleh mbah windusari
dan pohon tersebut tidak bisa dipotong sembarangan.
Menurut juru kunci makam bahwa alam sekitar makam adalah rumah simbah
yang sangat megah dan terdapat sebuah sumur dengan timba dan gayung emas
yang dipercaya sebagai sumur untuk mandi mbah windu pada masa hidupnya,
sumur tersebut bernama sumur sinangka dan sumur tersebut oleh Mbah
Windu digunakan sebagai irigasi sawah melalui talang emas, pada waktu
itu sawah yang diairi oleh simbah yaitu sawah yang berada di desa
sumbersari dan desa kaligowong di masa itu dan dipercayai bila ada orang
yang bisa mandi disumur Mbah Windusari orang tersebut akan kebal dari
benda-benda tajam, selain itu disebelah utara makam juga terdapat
rumput-rumput yang sangat hijau dan tinggi yang dipercaya sebagai pakan
sapi-sapi simbah Windusari karena dulu mbah Windusari mempunyai sapi
yang sangat besar dalam jumlah yang sangat banyak, berwarna hitam dan
putih. Si juru kunci tersebut mengetahui semua itu, diberi tahu oleh
mbah Windusari melalui mimpi atau seolah-olah mendatangi ke rumah juru
kunci, dan bila dlihat secara kasat mata sekitar makam hanya kebun pinus
biasa dan ada aliran sungai kecil.
Di gunung windusari ini terdapat gambar sapi berwarna putih diatas batu
hitam yang disebut dengan sapi gemarang dan setiap malam jum’at kliwon
dan selasa kliwon sapi tersebut akan berbunyi dan jika ada sapi warga
yang menjawab bunyi sapi gemarang, sapi tersebut akan gila. Tapi
sekarang gambar sapi gemarang itu sudah tidak bunyi lagi karena terkena
petir, tapi dipercayai bahwa sapi itu masih hidup hanya kaget terkena
petir, ini menjadi bukti bahwa dulu mbah windusari memang memelihara
sapi dan konon sebelah utara makam itu adalah rumput-rumput yang hijau
tinggi yang mungkin sebagai pakan sapi-sapinya.
Selain itu bukti lainnya adalah sumur suci atau sumur keramat diatas
batu yang berada sekitar 700 m dari makam mbah Windusari yang dipercayai
bocoran dari sumur sinangka milik mbah windusari, sumur keramat
tersebut airnya dianggap suci, sangat jernih dan dapat langsung diminum.
Sampai sekarang makam mbah Windusari ( Syaikh Nawawi Ashodiq) banyak
didatangi oleh peziarah untuk mendo’akannya, namun anehnya jika pada
malam hari datang kesana untuk mendo’akan dengan baca surat yasin
meskipun tidak ada penerangan semua akan terasa terang dan bisa membaca
surat yasin tersebut, terkadang mbah windusari ini juga menampakkan
dirinya pada peziarah yang datang. Namun ada juga yang datang ke makam
untuk melakukan ritual-ritual secara kejawen, itu pun kalo permintaannya
di kabulkan akan didatangi sosok ghaib biasanya berwujud binatang buas.
Nilai yang terkandung dalam folklor tersebut adalah nilai sosial karena
folklor itu sebagai alat untuk menyatukan orang-orang dari berbagai
kalangan yang datang untuk ikut menghormati atau mendo’akan misalnya
pada saat khaulnya mbah Windusari, dan dalam folklor tersebut juga
mengajarkan tentang ajaran sosial misalnya saat sumur sinangka digunakan
oleh mbah windusari untuk mengairi sawah-sawah di desa sekitarnya.
Folklor ini juga mengandung nilai religi karena banyak orang datang
untuk mendo’akan dan setiap khaulnya diadakan pengajian dan do’a-do’a
bersama.
Fungsinya yaitu sebagai alat pemersatu antara kebudayaan atau tradisi
orang jawa yang biasanya datang ke makam untuk napak tilas atau mundhi
meminta sesuatu hal bagi dirinya dengan orang islam yang datang untuk
berziarah mendo’akan mbah Windusari (Syaikh Nawawi Ashodiq).
Mbah Windusari ini aslinya adalah seorang Ulama dan pejuang Islam yang
membuka dusun di pegunungan dan diberi nama dusun Windusari yang berada
di desa Erorejo kecamatan Wadaslintang kabupaten Wonosobo, sehingga
masyarakat sekitar menyebutnya mbah Windusari dan sekarang menjadikan
makamnya tersebut sebagai punden.
As-Syaikh Rohmatulloh
As-Syaikh Rohmatulloh pendiri Desa Panerusan kec Wadaslintang adalah
seorang tokoh Ulama yang unggul dlm Ilmu serta kegigihannya dalam
berjuang .dan oleh masyarakat sekitar disebut dengan Mbah Penerusan.
Beliau bernama Syaikh Rohmatulloh bin Muhammad bin Nur Rohmat (Sunan Sendang Duwur). Beliau murid Sunan Drajad.
Dan pada masa Demak Beliau di Perintahkan oleh Sultan Trenggono untuk
menyebarkan pengetahuan Agama Islam bersama Raden Burhanuddin (Mbah
Lerik) ke wilayah Panjer. Dan diperintahkan untuk Berguru pada Syaikh
Muhammad 'Ishom Alhasany di Somalangu.dan meminta petunjuk pada Syaikh
untuk wilayah perjuangan.
Setelah menimba ilmu di Pesantren Somalangu Beliau Berdua dititahkan
untuk melakukan perjalanan ke arah utara, sambil menyebarkan pengetahuan
Agama serta mencari tempat untuk bermukim. Hingga suatu ketika
sampailah di sebuah hutan yang lebat serta di pegunungan. Rombongan pun
berhenti untuk istirahat dan dalam beberapa hari rombongan menetap di
hutan tersebut.
Pada suatu malam Syaikh Rohmatulloh mendapatkan firasat agar menetap di
tempat tersebut untuk berdakwah dan membuka perkampungan.
Keesokan harinya hal tersebut disampaikan pada semua Rombongan termasuk
Raden Burhanuddin. Dan setelah ada kesepakatan perhitungan hari maka
dimulai lah pembabatan hutan untuk dijadikan lahan pemukiman dan lahan
pertanian. Lambat laun tempat baru tersebut semakin maju. Kepemimpinan
Syaikh Rohmatulloh dan Raden Burhanuddin di akui oleh masyarakat sebagai
pemimpin masyarakat dan pembimbing rohani.
Pada suatu ketika datanglah seorang yang sangat berwibawa dan di
segani.. kedua tokoh pun menyambut tamu yang datang dengan sangat
gembira
Beliau yang datang tiada lain adalah Kanjeng Sunan Kalijogo. Kakek dari Raden Burhanuddin.
Setelah mengucapkan salam dan penyambutan Kanjeng Sunan pun segera paring Pangendikan...
Duh thole wayah ingsun sak kloron. Midangetno djarwaningsun kanti widjang satolo-tolo.
Kedua tokoh pun menjawab "sendiko dawuh"
Jeneng Siro Rohmatulloh, wus dadi kersaning Gusti yen to Jeneng Siro
dipesthi mapan ono ing papah kene, kanggo ngluhurake Asmane Gusti ugo
Kanjeng Nabi sarto ngayahi jejibahaning Agomo Suci.
Lan Sliramu Burhanuddin, Jeneng Siro kudu nerusake laku golek papan
panggonan kang ing papan kono ono watu kang gumantung , kanggo mukim ing
dino sepuhmu. Lan ingsun paring paweling marang Siro yen keprungu
kekabaran Angger Pemanahan sumedyo babad alas Mentaok. Jeneng Siro
Burhanuddin kudu siogo cancut taliwondo ambiyantu marang Keluargo Selo
kang bakal Babad Alas.
Kedua tokoh pun menyanggupi atas semua perintah Kanjeng Sunan Kalijogo.
Kanjeng Sunan pun meneruskan pengendikan
Lan kanti sineksen bumi langit sak isine lan ugo kanti Ridho Dalem ALLOH
ginandeng ono ing papan kene iku dudu panggonan pungkasaning jejibahan.
Mulo papan kene ingsun paringi aran Penerusan. Pinongko dadi tondoning
jejibahaning manungso iku durung ono rampunge lan kudu tansah
diterusake.
Lan Sliramu Rohmatulloh kudu biso tansah ngrembakaake kahanan warising
ngelmu soko poro winasis kanggo anjejegake Agomo Suci ono ing papan kene
nganti tumekaning patimu.
Lan Siro Burhanuddin age2 oncat soko Penerusan anggoleki watu kang gumantung.
Koyo mung iku kang ingsun wedjangake marang jeneng siro sak kloron.
Raden Rohmatulloh dan Raden Burhanuddin pun menyanggupi. Dan setelah
uluk salam Kanjeng Sunan pun hilang dari pandangan mata para hadhirin di
waktu itu.
Keesokan harinya Raden Burhanuddin beserta rombongan berpamitan pada Raden Rohmatulloh untuk mengemban tugas dari Kanjeng Sunan.
Demikian lah riwayat asal mula nama desa Penerusan yang penuh dengan makna dan filsafat kehidupan.
Semoga para sesepuh pinisepuh senantiasa di ampunkan segala dosa dan
kesalahan serta di terima segala amal ibadah dan kebaikan oleh ALLOH SWT
Dan kita sebagai manusia zaman sekarang semoga bisa mengambil
suritauladan pada Beliau2 para sesepuh untuk berjuang di zaman modern
seperti sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar