Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ
قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ
عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى
الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ «
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى
وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا
الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ »
Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua
berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin
Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia
berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam
ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di
sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku
untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan
melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku
pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau
akan kematian”
(HR. Muslim no.108, 2/671)
Keutamaan Ziarah kubur :
Haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang yang mati dalam keadaan
kafir (Nailul Authar [219], Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi [3/402]).
Sebagaimana juga firman Allah Ta’ala:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan
ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabat (nya)” (QS. At Taubah: 113)
Berziarah kubur ke makam orang kafir hukumnya boleh (Syarh Shahih Muslim
Lin Nawawi, 3/402). Berziarah kubur ke makam orang kafir ini sekedar
untuk perenungan diri, mengingat mati dan mengingat akhirat. Bukan untuk
mendoakan atau memintakan ampunan bagi shahibul qubur. (Ahkam Al
Janaaiz Lil Albani, 187)
Jika berziarah kepada orang kafir yang sudah mati hukumnya boleh, maka
berkunjung menemui orang kafir (yang masih hidup) hukumnya juga boleh
(Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402).
Hadits ini adalah dalil tegas bahwa ibunda Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam mati dalam keadaan kafir dan kekal di neraka (Syarh Musnad Abi
Hanifah, 334)
Tujuan berziarah kubur adalah untuk menasehati diri dan mengingatkan
diri sendiri akan kematian (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402)
An Nawawi, Al ‘Abdari, Al Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa
ziarah kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan
Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup.
Sedangkan bagi wanita diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat
hukumnya boleh selama terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan
hukumnya haram mengingat hadits ,
لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور
“Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur” (HR. At Tirmidzi no.1056, komentar At Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”)
Dan sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325).
Yang rajih insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita
karena tujuan berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan
mengingat akhirat, sedangkan ini dibutuhkan oleh laki-laki maupun
perempuan (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 180).
Ziarah kubur mengingatkan kita akan akhirat. Sebagaimana riwayat lain dari hadits ini:
زوروا القبور ؛ فإنها تذكركم الآخرة
“Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569)
Ziarah kubur dapat melembutkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang
ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat
melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian
akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak
(qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim no.1393, dishahihkan Al
Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)
Ziarah kubur dapat membuat hati tidak terpaut kepada dunia dan zuhud
terhadap gemerlap dunia. Dalam riwayat lain hadits ini disebutkan:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا وتذكر الآخرة
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang
ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat membuat
kalian zuhud terhadap dunia dan mengingatkan kalian akan akhirat” (HR.
Al Haakim no.1387, didhaifkan Al Albani dalam Dha’if Al Jaami’, 4279)
Al Munawi berkata: “Tidak ada obat yang paling bermanfaat bagi hati yang
kelam selain berziarah kubur. Dengan berziarah kubur, lalu mengingat
kematian, akan menghalangi seseorang dari maksiat, melembutkan hatinya
yang kelam, mengusir kesenangan terhadap dunia, membuat musibah yang
kita alami terasa ringan. Ziarah kubur itu sangat dahsyat pengaruhnya
untuk mencegah hitamnya hati dan mengubur sebab-sebab datangnya dosa.
Tidak ada amalan yang sedahsyat ini pengaruhnya” (Faidhul Qaadir, 88/4)
Disyariatkannya ziarah kubur ini dapat mendatangkan manfaat bagi yang
berziarah maupun bagi shahibul quburyang diziarahi (Ahkam Al Janaiz Lil
Albani, 188). Bagi yang berziarah sudah kami sebutkan di atas. Adapun
bagi shahibul qubur yang diziarahi (jika muslim), manfaatnya berupa
disebutkan salam untuknya, serta doa dan permohonan ampunan baginya dari
peziarah. Sebagaimana hadits:
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين
والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم
للاحقون
“Aisyah bertanya: Apa yang harus aku ucapkan bagi mereka (shahibul
qubur) wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ucapkanlah: Assalamu ‘alaa
ahlid diyaar, minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul
mustaqdimiina wal musta’khiriina, wa inna insyaa Allaahu bikum
lalaahiquun (Salam untuk kalian wahai kaum muslimin dan mu’minin
penghuni kubur. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului
(mati), dan juga orang-orang yang diakhirkan (belum mati). Sungguh,
Insya Allah kami pun akan menyusul kalian” (HR. Muslim no.974)
Ziarah kubur yang syar’i dan sesuai sunnah adalah ziarah kubur yang
diniatkan sebagaimana hadits di atas, yaitu menasehati diri dan
mengingatkan diri sendiri akan kematian. Adapun yang banyak dilakukan
orang, berziarah-kubur dalam rangka mencari barokah, berdoa kepada
shahibul qubur adalah ziarah kubur yang tidak dituntunkan oleh
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Selain itu Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam juga melarang qaulul hujr ketika berziarah
kubur sebagaimana hadits yang sudah disebutkan. Dalam riwayat lain
disebutkan:
ولا تقولوا ما يسخط الرب
“Dan janganlah mengatakan perkataan yang membuat Allah murka” (HR. Ahmad 3/38,63,66, Al Haakim, 374-375)
Termasuk dalam perbuatan ini yaitu berdoa dan memohon kepada shahibul
qubur, ber-istighatsah kepadanya, memujinya sebagai orang yang pasti
suci, memastikan bahwa ia mendapat rahmat, memastikan bahwa ia masuk
surga, (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 178-179)
Tidak benar persangkaan sebagian orang bahwa ahlussunnah atau salafiyyin
melarang ummat untuk berziarah kubur. Bahkan ahlussunnah mengakui
disyariatkannya ziarah kubur berdasarkan banyak dalil-dalil shahih dan
menetapkan keutamaannya. Yang terlarang adalah ziarah kubur yang tidak
sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang
menjerumuskan kepada perkara bid’ah dan terkadang mencapai tingkat
syirik.
Sejarah Wali Pitu
Jika di Jawa diketahui ada istilah Walisongo (Tis’atul Awliya’, sembilan wali), maka di Bali ada istilah Walipitu (Sab’atul Awliya’, tujuh wali). Hanya saja, istilah Walisongo Jawa sudah dikenal ratusan tahun yang lalu, sedangkan Walipitu Bali dikenal dan dipopulerkan beberapa tahun yang lalu, era tahun 1990-an. Selain itu, ada sedikit perbedaan pemahaman tentang kata “wali” dalam istilah Walisongo dan kata “wali” dalam istilah Walipitu.
Kata “wali” sesungguhnya merupakan kependekan dari kata “waliyulloh”
(Walinya Gusti Alloh), yang secara umum dapat diartikan sebagai orang
sholeh kekasih Alloh yang memiliki kedekatan hubungan dengan-Nya dan
memiliki karomah tertentu.
Pemahaman dan pengertian Walipitu nampaknya mengacu pada pengertian di
atas. Dengan demikian, yang dimaksud dengan istilah Walipitu Bali adalah
tujuh orang sholeh kekasih Alloh di Bali yang memiliki kedekatan
dengan-Nya dan memiliki karomah tertentu, baik semasa hidupnya maupun
setelah wafatnya.
Tentu saja konotasinya berbeda dengan pengertian “Walisongo” di Jawa ,
dimana kesembilan Waliyulloh ini tidak dipahami sekedar sebagai orang
sholeh yang sangat dekat dan dicintai Alloh serta memiliki karomah
tertentu, akan tetapi juga dikaitkan dengan peranan mereka sebagai
penyebar Islam terpenting pada awal-awal pertumbuhan Islam di Jawa,
dengan dibuktikan oleh sejarah perjalanan hidup dan perjuangan mereka
yang sudah jelas dan diakui kebenarannya oleh para ahli sejarah dan
masyarakat umum.
Jika istilah “Walisongo” dipahami sekedar sebagai orang sholeh yang
sangat dekat dengan Allah dan memiliki karomah, tentu saja jumlah
Waliyulloh di pulau Jawa tidak terbatas sembilan orang, tetapi bisa jadi
ratusan, bahkan ribuan orang.
Sedangkan pengertian “Walipitu” nampaknya tidak dikaitkan dengan peranan
mereka sebagai muballigh atau penyebar Islam terpenting di Pulau Bali.
Kalaupun “dipaksakan” untuk dicarikan keterkaitannya, beberapa orang
diantara mereka masih belum ditemukan sejarah hidup dan perjuangannya
secara jelas lagi diakui oleh ahli sejarah. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika sebagian kalangan melontarkan “gugatan” atau protes
terutama terhadap keanggotaan Walipitu ini, karena beberapa anggotanya
dipandang tidak ada keterkaitannya dengan proses penyebaran Islam di
pulau Bali, sementara beberapa “tokoh” yang dipandang cukup berjasa
dalam penyebaran Islam justru tidak diakomodasi, sebut saja : Kiyai
Abdul Jalil, Raden Modin, Syarif Tua Abdullah bin Yahya bin Yusuf bin
Abu Bakar bin Habib Husain Al-Gadri,
Lepas dari pro dan kontra seperti di atas, penemuan “Walipitu di Bali”
yang saat ini sudah kadung (terlanjur) populer ini merupakan langkah
positif yang perlu mendapatkan apresiasi dan dukungan dari berbagai
pihak, mengingat dampak positifnya yang begitu besar terutama bagi
kemajuan dan perkembangan industri pariwisata di pulau Bali, atau
minimal membangun suatu citra bahwa di tengah kehidupan masyarakat Bali
yang mayoritas Hindu ternyata ada Waliyulloh-dan komunitas muslim yang
dapat hidup berdampingan dengan umat Hindu secara damai dan penuh
toleransi.
Berbeda dengan Walisongo yang sudah dikenal sejak beberapa abad yang
lalu, maka istilah Walipitu di Bali baru dikenal dan populer sejak
beberapa tahun yang lalu. Tepatnya sejak tahun 1992 M/ Muharram 1412 H
oleh KH Toyib Zaen Arifin bersama timnya dari Jama’ah Akhlaqul Hasanah -
Jam’iyyah Manaqiban Al-Jamali Kota Denpasar yang dibinanya, telah
mengadakan penelitian dan penelusuran untuk mewujudkan adanya tujuh
orang auliya’ (Sab’atul Auliya’) di pulau Bali.
Gagasan, penelusuran dan penemuannya berawal dari isyarat sirri (berupa
ilham atau hatif) sebagai hasil dari Riyadhoh yang dilakukan oleh KH
Toyib Zaen Arifin pada bebarapa malam (sehabisshalatul lail) bulan
Muharram 1412 H/1992 di rumahnya (Sidoarjo). Diantara hatif yang
didengarnya berbunyi : “Wus kaporo nyoto ing telata Bali iku kawengku
dining pitu piro-piro wali. Cubo wujudno” (Di daerah Bali nyata dihuni
oleh tujuh orang Wali. Coba wujudkan). Dan begitu seterusnya hatif di
malam-malam selanjutnya.
Persoalannya, siapa yang termasuk hitungan Walipitu Bali? Dari berbagai
sumber yang penulis dapatkan, ada beberapa versi tentang siapa yang
termasuk hitungan Walipitu tersebut. Sebagai berikut :
Versi 1 :
1. Habib Ali Bafaqih
2. Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkuningrat
3. Habib Umar bin Maulana Yusuf Al-Maghrobi
4. Habib Ali Bin Abu Bakar bin Al-Hamid
5. Syech Abdul Qodir Muhammad / Wali Cina
6. G.A. Dewi Siti Khotijah
7. Habib Ali bin Zainal Abidin Al-Idrus,
Versi 2,
1. Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkuningrat
2. G.A. Dewi Siti Khotijah
3. Habib Umar bin Maulana Yusuf Al-Maghrobi
4. Habib Ali bin Zainal Abidin Al-Idrus
5. Syekh Maulana Yusuf Al-Baghdi Al-Maghrabi
6. Habib Ali Bin Abu Bakar bin Al-Hamid
7. Syech Abdul Qodir Muhammad / The Kwan Lie
Versi 3,
1. Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkuningrat
2. G.A. Dewi Siti Khotijah /
3. Pangeran Sosrodiningrat
4. Habib Umar bin Maulana Yusuf Al-Maghrobi
5. Habib Ali Bin Abu Bakar bin Al-Hamid
6. Syekh Maulana Yusuf Al-Baghdi Al-Maghrabi dan Habib Ali bin Zainal Abidin Al-Idrus
7. Syech Abdul Qodir Muhammad / The Kwan Lie
Versi 4,
1. Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkuningrat
2. G.A. Dewi Siti Khotijah
3. Pangeran Sosrodiningrat
4. Habib Umar bin Maulana Yusuf Al-Maghrobi
5. Habib Ali Bin Abu Bakar bin Al-Hamid
6. Syekh Maulana Yusuf Al-Baghdi Al-Maghrabi
7. Habib Ali bin Zainal Abidin Al-Idrus
Versi 5.
1. Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkuningrat
2. Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Abu Bakar Al-Hamid,.
3. Habib Ali bin Zainal Abidin Al-Idrus
4. Syekh Maulana Yusuf Al-Baghdi Al-Maghribi.
5.Habib Umar bin Maulana Yusuf Al-Maghribi
6. The Kwan Lie, Syekh Abdul Qodir Muhammad,.
7. Habib Ali bin Umar bin Abu Bakar Bafaqih,.
Dari beberapa versi tersebut, urutan penyebutan nama para wali yang
termasuk hitungan Walipitu beserta nama makam keramatnya yang akan
penulis uraikan berikut ini adalah menurut penuturan dan pendapat KH
Toyib Zaen Arifin, dengan alasan bahwa beliau merupakan orang yang
pertama kali menggagas dan menciptakan istilah “Walipitu” di pulau Bali,
didalam bukunya yang berjudul “Sejarah Wujudnya Makam Sab’atul
Auliya’, Wali Pitu di Bali”. Adapun nama-nama ketujuh nama auliya’ ini
sebagaimana yang tercantum pada versi 5 di atas.
Yang pasti adalah Kyai Thoyib telah mendapatkan isyarat hawatif dari
seseorang atas ijin ALLOH dan berikut diantaranya riwayat wali pitu
Pulau Dewata
Diantara wali pitu tersebut adalah :
1. Keramat Pantai Seseh (Pangeran Mas Sepuh)
Pangeran Mas Sepuh merupakan gelar. Nama sebenarnya adalah Raden
Amangkuningrat, yang terkenal dengan nama Keramat Pantai Seseh. Ia
merupakan Putra Raja Mengwi I yang beragama Hindu dan ibunya berasal
dari Blambangan (Jatim) yang beragama Islam. Sewaktu kecil, beliau sudah
berpisah dengan ayahandanya dan diasuh oleh ibundanya di Blambangan.
Setelah dewasa, Pangeran Mas Sepuh menanyakan kepada ibunya tentang
ayahandanya itu. Setelah Pangeran Mas Sepuh mengetahui jati dirinya, ia
memohon izin pada ibunya untuk mencari ayah kandungnya, dengan niat akan
mengabdikan diri. Semula, sang ibu keberatan, namun akhirnya diizinkan
juga Pangeran Mas Sepuh untuk berangkat ke Bali dengan diiringi oleh
beberapa punggawa kerajaan sebagai pengawal dan dibekali sebilah keris
pusaka yang berasal dari Kerajaan Mengwi.
Setelah bertemu dengan ayahnya, terjadilah kesalahpahaman karena baru
sekali ini mereka berdua bertemu. Akhirnya, Pangeran Mas Sepuh beranjak
pulang ke Blambangan untuk memberi tahu ibunya tentang peristiwa yang
telah terjadi. Dalam perjalanan pulang, sesampainya di Pantai Seseh,
Pangeran Mas Sepuh diserang oleh sekelompok orang bersenjata tak dikenal
sehingga pertempuran tak dapat dihindari. Melihat korban berjatuhan
yang tidak sedikit dari kedua belah pihak, keris pusaka milik Pangeran
Mas Sepuh dicabut dan diacungkan ke atas dan seketika itu ujung keris
mengeluarkan sinar dan terjadilah keajaiban, kelompok bersenjata yang
menyerang tersebut mendadak lumpuh, bersimpuh diam seribu bahasa.
Setelah mengetahui hal tersebut, Pangeran Mas Sepuh berkata, “Hai, Ki
Sanak! mengapa kalian menyerang kami dan apa kesalahan kami?” Mereka
diam tak menjawab. Akhirnya diketahui bahwa penyerang itu masih memiliki
hubungan kekeluargaan, dilihat dari pakaian dan juga dari pandangan
batiniah Pangeran Mas Sepuh. Akhirnya, keris pusaka dimasukkan kembali
ke dalam karangkanya dan kelompok penyerang tersebut dapat bergerak
kemudian memberi hormat kepada Pangeran Mas Sepuh. Tidak lama setelah
kejadian tersebut, Pangeran Mas Sepuh meninggal dunia dan dimakamkan di
tempat itu juga. Sampai sekarang, makamnya terpelihara dengan baik dan
selalu diziarahi oleh umat Islam dari berbagai wilayah di Nusantara.
Proses ditemukannya Makam Keramat Pantai Seseh dimulai sejak Jamaah
Manaqib yang ada di Bali mendapat petunjuk, yaitu pada bulan Muharam
1413 H atau 1992 M yang kemudian ditemukan juga makam keramat yang lain.
Makam ini terletak di Pantai Seseh, Desa Munggu Mengwi, Kabupaten Badung
(berdampingan dengan Candi Pura Agung di Tanah Lot). Jarak antara
Pantai Seseh dan Jalan Raya Tabanan—Denpasar ± 15 km. Selain
dikeramatkan oleh kaum muslimin, makamnya juga dihormati oleh umat
Hindu. Juru kuncinya bahkan seorang pendeta Hindu.
2. Keramat Pamecutan
Makam Dewi Khodijah terkenal dengan Keramat Pemecutan. Makam ini
terletak di Jalan Batukaru arah ke Perumnas Monang Maning Denpasar.
Dewi Khodijah ini adalah nama setelah beliau berikrar masuk agama Islam.
Nama aslinya adalah Ratu Ayu Anak Agung Rai. Beliau adalah adik Raja
Pemecutan Cokorda III yang bergelar Bathara Sakti yang memerintah
sekitar tahun 1653 M.
Pada waktu Raja Pamecutan tengah berperang, salah seorang prajurit dapat
menahan seorang pengelana di Desa Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten
Badung, Bali. Orang yang ditahan tersebut diduga menjadi telik sandi
atau mata-mata musuh. Ia lalu dihadapkan kepada Raja Pamecutan untuk
diusut. Akhirnya diketahui bahwa dia adalah seorang senopati dari
Mataram yang sedang berlayar menuju Ampenan, Lombok, namun perahu yang
ditumpanginya diserang badai dahsyat yang membuat senopati Mataram
tersebut terdampar di pantai selatan Desa Tuban. Beliau bernama Pangeran
Mas Raden Ngabei Sosrodiningrat, sedangkan para pengiring atau
punggawanya sebanyak 11 orang tiada kabar beritanya.
Setelah diketahui bahwa tawanan tersebut adalah seorang senopati dari
Mataram, Raja Pamecutan meminta kesediaannya untuk memimpin prajurit
yang sedang berperang. Raja Pamecutan menjanjikan, apabila perang telah
usai dan kemenangan diraihnya, Pangeran Sosrodiningrat akan dinikahkan
dengan adik Raja Pamecutan.
Akhirnya Pangeran Sosrodiningrat bersedia membantu untuk memperkuat
pasukan yang ada di medan perang tanpa memikirkan janji raja. Dia malah
berpikir apakah mungkin dapat menikah dengan seorang putri yang beragama
Hindu, sedangkan dirinya beragama Islam. Setelah perang tersebut
dimenangkan oleh pasukan Kerajaan Pamecutan, Pangeran Sosrodiningrat
menikah dengan Ratu Ayu Anak Agung Rai (Dewi Khodijah). Setelah
dipersunting oleh Mas Raden Ngabei Sosrodiningrat, Ratu Ayu Anak Agung
Rai memeluk Islam dan bersungguh-sungguh menekuni dan melaksanakan
ajarannya.
Setelah beberapa tahun, musibah datang menimpanya. Pada suatu malam yang
gelap, sewaktu Dewi Khodijah mengerjakan shalat malam di kamar yang
pintunya terbuka, secara tidak sengaja ia terlihat oleh punggawa raja
yang sedang berjaga dan terdengar suara takbir “Allahu Akbar”. Yang
didengar oleh punggawa bukanlah kalimat “Allahu Akbar”, melainkan
“makeber” yang dalam bahasa Bali berarti “terbang”. Sang punggawa
memperhatikan semua gerakan shalat yang dilakukan oleh Dewi Khodijah
yang dinilai olehnya sebagai pekerjaan leak (orang jadi-jadian yang
berbuat jahat). Sang punggawa langsung melaporkan kepada raja tentang
keberadaan leak di kamar keputren.
Raja akhirnya memerintahkan beberapa punggawa untuk mendatanginya. Saat
melihat Dewi Khodijah sedang sujud, tanpa memikirkan risiko, para
punggawa menyerbu dengan senjata terhunus dan menghujamkannya ke
punggung Dewi Khodijah. Darah segar tersembur ke atas dari punggung Dewi
Khodijah yang terkena ujung tombak. Bersamaan dengan itu, terjadilah
keanehan yang luar biasa, darah segar Dewi Khodijah yang keluar dari
punggungnya mengeluarkan cahaya terang kebiru-biruan dan dapat menembus
dinding atap atas hingga keluar memenuhi udara dan memancarkan sinar
yang menerangi istana Pamecutan. Seluruh kota Denpasar bahkan menjadi
terang-benderang seperti siang hari. Semua penduduk terutama keluarga
istana sangat terkejut, termasuk Raja Pamecutan. Bersamaan dengan itu,
para punggawa melaporkan bahwa yang dibunuh bukan leak, melainkan orang
biasa dan mengeluarkan darah. Saat itu, terdengar jeritan dengan ucapan
“Allahu Akbar” hingga tiga kali.
Jenazah Dewi Khodijah yang tertelungkup dengan tombak terhujam di
punggungnya sulit diangkat dan dibujurkan. Tubuhnya bermandikan darah
yang sudah membeku. Keluarga kerajaan yang ingin menolong mengangkatnya
tidak dapat berbuat apa-apa. Jenazahnya tetap sujud tidak berubah.
Baginda mencari bantuan kepada umat Islam yang ada di sana agar mau
merawat jenazah adiknya menurut cara Islam. Umat Islam lalu segera
membantu merawat jenazah, mulai dari memandikan, mengafani, menshalati,
sampai memakamkannya dan semuanya berjalan lancar. Meski demikian, satu
hal yang tak dapat diatasi yaitu batang tombak yang menghujam di
punggungnya tidak dapat dicabut. Akhirnya, atas keputusan semua pihak,
jenazah dimakamkan bersama tombak yang masih berada di punggungnya.
Anehnya, batang tombak yang terbuat dari kayu itu bersemi dan hidup
sampai sekarang. Hal tersebut dapat dibuktikan apabila Anda berkunjung
ke makam Dewi Khodijah.
3. Habib Ali bin Umar bin Abu Bakar Bafaqih.
Makam Habib Ali bin Umar bin Abu Bakar Bafaqih ini terletak di Jl. Semangka Loloan Barat Kec. Negara, Kab. Jembrana, Bali.
Meninggal pada tanggal 27 Februari 1998 M di Loloan Barat Jembrana dalam
usia 100 tahun lebih. Chabib Ali Bafaqih pendiri pondok Syamsul Huda
semasa hidupnya dalam menjalankan syiar Islam telah menunjukkan menjadi
hamba Allah pilihan, banyak yang menyaksikan waktu beliau mengisi di
suatu majelis, tetapi ada orang yang melihat beliau mengisi di majelis
di tempat lain di hari yang sama.
4. Keramat di Bukit Bedugul (Habib Umar bin Yusuf al-Maghribi)
Makam ini terletak di bukit Bedugul, Kabupaten Tabanan, Bali. Makam ini
hanya berwujud empat batu nisan untuk dua makam, yaitu makam Habib Umar
dan pengikutnya yang luasnya 4×4 M.
Makam ini sebenarnya sudah lama ada, namun menurut keterangan dari
beberapa tokoh masyarakat setempat baru saja ditemukan sekitar 40—50
tahun berselang oleh seorang yang mencari kayu bakar di bukit Bedugul
tersebut.
5. Keramat Kusumba, Klungkung (Habib Ali bin Abu Bakar al-Hamid)
Makam ini terletak di tepi pantai Desa Kusamba, Kecamatan Dawah,
Kabupaten Klungkung, Bali. Makam ini sangat dikeramatkan oleh penduduk
setempat, baik umat Islam maupun Hindu.
Makam keramat ini terletak tidak jauh dari selat yang menghubungkan
Klungkung dengan Pulau Nusa Penida. Desa Kusamba berada di jalan raya
antara Klungkung dan Karangasem (Amlapura), dekat dengan Goalawah.
Sebuah Patung dengan memakai Surban dan menaiki Kuda terlihat Gagah di
depan Makam seorang Ulama yang turut berjasa mensyiarkan Cahaya Islam di
Pulau Dewata.sebuah Makam dari seorang Ulama Besar yang terletak di
desa Kusamba,kecamatan Dawah,Kabupaten Klungkung,Bali.
Makam ini adalah makam dari seseorang Ulama yang Bernama Alhabib Ali bin
Abubakar Alhamid. Konon,dahulu Beliau adalah Guru sekaligus penerjemah
Bahsa Melayu bagi Raja Klungkung.Beliau dahulu adalah orang yang begitu
dipercaya oleh Baginda Raja Klungkung.terbukti,Baginda Raja
menghadiahkan Tanah perdikan bagi Beliau/tanah bebas pajak,di daerah
Kusamba,yang hingga saat ini,menjadi tempat komunitas Muslim terbesar di
klungkung.
Rupanya,kedekatan Beliau dan Baginda Raja Klungkung ini,memantik Api
kecemburuan yg begitu besar dari Patih Klungkung. Rupanya,Patih ini
tidak ingin,kedekatan Baginda Raja dengan Habib ini menggoyahkan
posisinya.untuk itu,Sang patih berencana akan melenyapkan Nyawa Sang
Habib ini,Patih segera Mengumpulkan orang dan mengupah pembunuh bayaran
untuk membunuh penasihat Raja ini.satu saat,Sang Habib sedang keluar
dari kompleks istana menuju kediaman Beliau. Ini saat yang
tepat....fikir sang patih.
Segera patih menyuruh Anak Buahnya untuk membuntuti Sang Habib ini dan
menjalankan Rencana yg telah disusunnya untuk menghabisi nyawa Beliau di
tengah jalan.Benar saja,saat di tengah jalan,Habib yg sedang pulang
sambil menaiki Kuda pemberian Baginda Raja segera dicegat oleh Begundal
suruhan sang patih itu.terjadi pertarungan yg tidak seimbang antara
Beliau dengan para Begundal itu.
Beliau meninggal setelah dikeroyok oleh para Begundal suruhan Patih
tersebut!! Jasad Beliau ditemukan oleh penduduk sekitar dan akhirnya
dimakamkan di Kusamba ini.
Pada malam hari setelah pembunuhan tersebut, terjadilah peristiwa yang
sangat menggemparkan. Bagian atas makam Habib Ali al-Hamid mengeluarkan
api yang berkobar-kobar membumbung ke angkasa. Semburan api tersebut
bergulung-gulung bagaikan bola api dan terbang untuk mengejar sang
pembunuh. Di mana mereka bersembunyi, kobaran api terus mengejarnya
sampai dapat membakar mereka satu persatu. Tak seorang pun dari pembunuh
itu yang tersisa.
Silsilah dari Habib Ali adalah: Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Abu
Bakar bin Salim bin Hamid bin Aqil bin Muthohar bin Umar bin Abdullah
bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman as-Saqaf bin Ali bin Alwi
bin Khalaq Qasam bin Muhammad Shahibil Mirbath bin Ali bin Muhammad
Faqih al-Muqadam bin Abdullah bin Ahmad bin Isa al-Bashari bin Muhammad
al-Muhajir bin Muhammad Naqib bin Ali al-Aridlhi bin Ja’far Shadiq bin
M. Bakir bin Ali Zaenal Abidin bin Husain bin Ali r.a. suami Fatimah
az-Zahra’ binti Rasulullah SAW.
Hingga sekarang,makam Beliau tidak pernah sepi dari para peziarah yang
ingin mengunjungi makam dari seorang Penyebar Agama Islam yg begitu
berjasa mensyiarkan Islam di Bali ini.para peziarah dari berbagai latar
belakang dan Agama ini tampak begitu Rukun dan
Harmonis.hemmm......Menarik....di makam ini,saya serasa belajar Arti
toleransi dan menghargai Sesama dengan sebenar-benarnya! Beliau seakan
mengajarkan....Islam bukanlah identitas tersendiri yg terpisah dari yang
lain,Berislam artinya Haruslah mau Berbagi dan mampu menjadikan yang
lain sebagai saudara!! Wallahu A'lam bisshowab....
6. Keramat Kembar Karangasem (Maulana Yusuf al-Baghdi al-Maghribi dan Ali bin Zaenal Abidin al-Idrus)
Makam Keramat Kembar Karangasem terletak di Desa Bungaya Kangin,
Kecamatan Bebandem, Kabupaten. Karangasem(Amlapura), Bali. Makam keramat
tersebut berada tidak jauh dari Jalan Raya Subangan arah ke utara,
jalan tembus menuju ke Singaraja dari Desa Temukus. Dari Singaraja
berjarak ± 6—7 km.
Di dalam satu cungkup makam kembar tersebut terdapat makam tua/kuno
berjajar dengan makam Ali bin Zainal Abidin al-Idrus. Menurut
masyarakat, makam kuno inilah yang dikeramatkan sejak zaman dahulu.
Makam ini diperkirakan berusia 350—400 tahun. Adapun mengenai nama,
sejarah, dan dari mana asalnya, tidak satu pun yang tahu, bahkan juru
kuncinya pun tidak tahu. Sebagian kalangan menyebutkna bahwa makam ini
adalah makam dari Syekh Maulana Yusuf al-Baghdi al-Maghribi.
Pada tahun 1963 M, Gunung Agung meletus dan mengeluarkan lahar panas,
menyemburkan batu besar dan kecil serta abu yang menjulang tinggi di
angkasa, menyebar ke seluruh Pulau Bali, bahkan sampai ke wilayah Jawa
Timur. Cuaca menjadi gelap gulita, siang hari berubah menjadi gelap
pekat, lampu mobil yang terang yang biasa digunakan untuk jarak jauh
tidak dapat menembus kepekatan hujan abu tersebut. Ini menunjukkan
betapa hebat dan dahsyatnya letusan dan semburan yang dimuntahkan oleh
Gunung Agung.
Sebagian desa porak poranda, banyak rumah roboh, pohon-pohon besar
banyak yang tumbang, hujan pasir dan batu kerikil telah menggenangi
pulau Bali. Uniknya, Makam Syekh Maulana Yusuf al-Baghdi yang di atasnya
tertumpuk susunan batu merah yang ditata begitu saja tidak diperkuat
dengan semen pasir dan kapur, tidak berubah sedikit pun, bahkan tidak
sebutir pasir pun yang mampu menyentuhnya.
Adapun Habib Ali Zainal Abidin al-Idrus (wafat pada 9 Ramadhan 1493 H/19
Juni 1982) dikenal sebagai ulama besar yang arif bijaksana. Semasa
hidupnya, banyak santri yang mengaji kepadanya. Mereka tidak hanya
berasal dari beberapa daerah di Bali, tetapi juga dari Lombok dan
sekitarnya. Semasa hidupnya, ia menjadi juru kunci makam kuno itu dan
setelah wafat, beliau dimakamkan di samping makan kuno tersebut.
7. Keramat Karang Rupit (Syekh Abdul Qadir Muhammad)
Makam Keramat Karang Rupit terletak di Desa Temukus (Labuan Aji),
Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Singaraja, Bali. Makam tersebut
berada di tepi Jalan Raya Seririt. Jarak dari Singaraja ± 15 km.
Makam keramat ini adalah makam dari Syekh Abdul Qadir Muhammad yang
memiliki nama asli The Kwan Lie atau The Kwan Pao-Lie. Penduduk setempat
menyebutnya sebagai Keramat Karang Rupit.
Semasa remaja, beliau adalah murid Sunan Gunung Jati, Cirebon, Jawa
Barat. Para peziarah, baik muslim maupun Hindu, biasanya banyak
berkunjung pada hari Rabu terakhir (Rabu Wekasan) bulan Shafar. Uniknya,
masing-masing menggelar upacara menurut keyakinan masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar