Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ
قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ
عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى
الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ «
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى
وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا
الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ »
Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua
berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin
Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia
berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam
ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di
sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku
untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan
melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku
pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau
akan kematian”
(HR. Muslim no.108, 2/671)
Keutamaan Ziarah kubur :
Haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang yang mati dalam keadaan
kafir (Nailul Authar [219], Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi [3/402]).
Sebagaimana juga firman Allah Ta’ala:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan
ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabat (nya)” (QS. At Taubah: 113)
Berziarah kubur ke makam orang kafir hukumnya boleh (Syarh Shahih Muslim
Lin Nawawi, 3/402). Berziarah kubur ke makam orang kafir ini sekedar
untuk perenungan diri, mengingat mati dan mengingat akhirat. Bukan untuk
mendoakan atau memintakan ampunan bagi shahibul qubur. (Ahkam Al
Janaaiz Lil Albani, 187)
Jika berziarah kepada orang kafir yang sudah mati hukumnya boleh, maka
berkunjung menemui orang kafir (yang masih hidup) hukumnya juga boleh
(Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402).
Hadits ini adalah dalil tegas bahwa ibunda Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam mati dalam keadaan kafir dan kekal di neraka (Syarh Musnad Abi
Hanifah, 334)
Tujuan berziarah kubur adalah untuk menasehati diri dan mengingatkan
diri sendiri akan kematian (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402)
An Nawawi, Al ‘Abdari, Al Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa
ziarah kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan
Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup.
Sedangkan bagi wanita diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat
hukumnya boleh selama terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan
hukumnya haram mengingat hadits ,
لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور
“Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur” (HR. At Tirmidzi no.1056, komentar At Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”)
Dan sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325).
Yang rajih insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita
karena tujuan berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan
mengingat akhirat, sedangkan ini dibutuhkan oleh laki-laki maupun
perempuan (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 180).
Ziarah kubur mengingatkan kita akan akhirat. Sebagaimana riwayat lain dari hadits ini:
زوروا القبور ؛ فإنها تذكركم الآخرة
“Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569)
Ziarah kubur dapat melembutkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang
ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat
melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian
akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak
(qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim no.1393, dishahihkan Al
Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)
Ziarah kubur dapat membuat hati tidak terpaut kepada dunia dan zuhud
terhadap gemerlap dunia. Dalam riwayat lain hadits ini disebutkan:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا وتذكر الآخرة
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang
ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat membuat
kalian zuhud terhadap dunia dan mengingatkan kalian akan akhirat” (HR.
Al Haakim no.1387, didhaifkan Al Albani dalam Dha’if Al Jaami’, 4279)
Al Munawi berkata: “Tidak ada obat yang paling bermanfaat bagi hati yang
kelam selain berziarah kubur. Dengan berziarah kubur, lalu mengingat
kematian, akan menghalangi seseorang dari maksiat, melembutkan hatinya
yang kelam, mengusir kesenangan terhadap dunia, membuat musibah yang
kita alami terasa ringan. Ziarah kubur itu sangat dahsyat pengaruhnya
untuk mencegah hitamnya hati dan mengubur sebab-sebab datangnya dosa.
Tidak ada amalan yang sedahsyat ini pengaruhnya” (Faidhul Qaadir, 88/4)
Disyariatkannya ziarah kubur ini dapat mendatangkan manfaat bagi yang
berziarah maupun bagi shahibul quburyang diziarahi (Ahkam Al Janaiz Lil
Albani, 188). Bagi yang berziarah sudah kami sebutkan di atas. Adapun
bagi shahibul qubur yang diziarahi (jika muslim), manfaatnya berupa
disebutkan salam untuknya, serta doa dan permohonan ampunan baginya dari
peziarah. Sebagaimana hadits:
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين
والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم
للاحقون
“Aisyah bertanya: Apa yang harus aku ucapkan bagi mereka (shahibul
qubur) wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ucapkanlah: Assalamu ‘alaa
ahlid diyaar, minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul
mustaqdimiina wal musta’khiriina, wa inna insyaa Allaahu bikum
lalaahiquun (Salam untuk kalian wahai kaum muslimin dan mu’minin
penghuni kubur. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului
(mati), dan juga orang-orang yang diakhirkan (belum mati). Sungguh,
Insya Allah kami pun akan menyusul kalian” (HR. Muslim no.974)
Ziarah kubur yang syar’i dan sesuai sunnah adalah ziarah kubur yang
diniatkan sebagaimana hadits di atas, yaitu menasehati diri dan
mengingatkan diri sendiri akan kematian. Adapun yang banyak dilakukan
orang, berziarah-kubur dalam rangka mencari barokah, berdoa kepada
shahibul qubur adalah ziarah kubur yang tidak dituntunkan oleh
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Selain itu Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam juga melarang qaulul hujr ketika berziarah
kubur sebagaimana hadits yang sudah disebutkan. Dalam riwayat lain
disebutkan:
ولا تقولوا ما يسخط الرب
“
Dan janganlah mengatakan perkataan yang membuat Allah murka” (HR. Ahmad 3/38,63,66, Al Haakim, 374-375)
Termasuk dalam perbuatan ini yaitu berdoa dan memohon kepada shahibul
qubur, ber-istighatsah kepadanya, memujinya sebagai orang yang pasti
suci, memastikan bahwa ia mendapat rahmat, memastikan bahwa ia masuk
surga, (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 178-179)
Tidak benar persangkaan sebagian orang bahwa ahlussunnah atau salafiyyin
melarang ummat untuk berziarah kubur. Bahkan ahlussunnah mengakui
disyariatkannya ziarah kubur berdasarkan banyak dalil-dalil shahih dan
menetapkan keutamaannya. Yang terlarang adalah ziarah kubur yang tidak
sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang
menjerumuskan kepada perkara bid’ah dan terkadang mencapai tingkat
syirik.
Manaqib Syaikh Abdul Muhyi
As Syaikh Abdul Muhyi adalah Ulama tarekat Syattariah, penyebar agama Islam di Jawa Barat bagian selatan. Karena dipandang sebagai wali, makamnya di Pamijahan di keramatkan orang.
Abdul Muhyi datang dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Sembah Lebe Warta
Kusumah, (Abdul Jalil) adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran).
Ibundanya Dewi Tangaziyah yang masih keturunan Sunan Giri. Abdul Muhyi
di lahirkan di Mataram dan dibesarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur.
Pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya dari ayahnya sendiri dan
kemudian dari para ulama yang berada di Ampel.
Dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Kuala, Aceh, untuk melanjutkan
pendidikannya dan berguru pada Syeikh Adur Rauf Singkel, seorang ulama
sufi dan guru tarekat Syattariah. Syeikh Abdur Rauf Singkel adalah ulama
Aceh yang berupaya mendamaikan ajaran martabat alam tujuh -yang dikenal
di Aceh sebagai paham wahdatul wujud atau wujudiyyah (panteisme dalam
Islam)-dengan paham sunah. Meskipun begituSyeikh Abdur Rauf Singkel
tetap menolak pahamwujudiyyah yang menganggap adanya penyatuan antara
Tuhan dan hamba. Ajaran inilah yang kemudian dibawa Syeikh Abdul Muhyi
ke Jawa.
Masa studinya di Aceh dihabiskannya dalam tempo enam tahun Setelah itu
bersama teman-teman seperguruannya, ia dibawa oleh gurunya ke Baghdad
untuk memperdalam ilmu dan berziaroh ke Makam Syaikh Abdul Qodir
Jailani. dan kemudian ke Mekah untuk lebih memperdalam ilmu pengetahuan
agama dan menunaikan ibadah haji. Sewaktu di makkah beliau mimpi bertemu
Rosululloh SAW yang memerintah kan agar pulang ke tanah jawa dan
mencari goa tempat sidang walisongo dan juga tempat yang pernah untuk
uzlah Syaikh Abdul Qodir Jailani.
Setelah menunaikan ibadah haji, Syeikh Haji Abdul Muhyi kembali ke tanah
jawa dan menikah, hari demi hari dilalui dengan baik. Hingga suatu
ketika beliau ingat pesan Rosululloh dlm mimpi agar mencari sebuah Goa.
Dan beliau meninggalkan Ampel untuk ke Mataram menghadap Raja serta
orang tuanya yang menjadi pejabat di Mataram. Setelah menyampaikan
maksud dan di terima serta diijinkan Syaikh Abdul Muhyi segera mulai
melakukan pengembaraan ke arah barat bersama isteri dan dan di temani
beberapa prajurit yang di perintah kan untuk Mengawal.
Suatu ketika Rombongan itu tiba di Lebaksiu.. Syaikh berkenan untuk
Riyadhoh mencari petunjuk dimana Goa yang di cari... setelah mendapat
kan petunjuk syaikh pun melanjutkan perjalanan ke arah barat dan Mereka
kemudian tiba di Darma, termasuk daerah Kuningan, Jawa Barat. Atas
permintaan masyarakat muslim setempat, ia menetap di sana selama tujuh
tahun untuk mendidik masyarakat dengan ajaran Islam.
Sementara di Mataram Kedua Orang tua Syaikh gelisah dan meminta ijin
pada Sultan untuk menyusul Sang Anak. Dan akhirnya mereka bertemu di
daerah Darma. Dan ikut menetap di tempat tersebut. Dikarenakan harus
meneruskan perjalanan.. syaikh berkenan meninggalkan beberapa prajurit
yang telah menguasai ilmu agama untuk menetap di Darma guna berdakwah di
wilayah tersebut.
Setelah itu ia kembali mengembara dan sampai ke daerah Pameungpeuk,
Garut, Jawa Barat. Ia mentap di Pameungpeuk slama 1 tahun untuk
menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk yang ketika itu masih
menganut agama nenek moyang.
Setelah itu rombongan bergegas untuk melanjutkan perjalanan dan pada
suatu ketika Ayahanda Syaikh (Abdul Jalil) jatuh Sakit dan rombongan
terhenti dan membuat pemukiman sementara... banyak warga yang
berdatangan untuk belajar.. hingga suatu hari ayahnya meninggal dunia
dan dimakamkan tempat tersebut dan di beri nama kampung Dukuh, di tepi
Kali Cikangan. Dan di atur untuk ada yang tinggal di tempat tersebut
untuk menjaga makam serta mengajarkan agama. Beberapa hari setelah
pemakaman ayahnya, ia melanjutkan pengembaraannya hingga ke daerah
Batuwangi.
Ia bermukim beberapa waktu di sana atas permintaan masyarakat. Setelah
itu ia ke Lebaksiuh, tidak jauh dari Batuwangi. Lagi-lagi atas
permintaan masyarakat ia bermukim di sana selama 4 tahun pada masa empat
tahun itu ia berjasa mengislamkan penduduk yang sebelumnya menganut
agama Hindu. Menurut cerita rakyat, keberhasilannya dalam melakukan
dakwah Islam terutama karena kekeramatannya yang mampu mengalahkan
aliran hitam. Di sini Syeikh Haji Abdul Muhyi mendirikan masjid tempat
ia memberikan pengajian untuk mendidik para kader yang dapat membantunya
menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bagian selatan Jawa Barat.
Setelah empat tahun menetap di Lebaksiuh, tidak lama dari itu Syaikh
bisa menemukan goa yang di kisahkan lewat mimpi dan setelah itu lebih
memilih bermukim di dalam gua untuk mengajar dan bersuluk. Goa tersebut
yaang sekarang dikenal sebagai Gua Safar Wadi di Pamijahan, Tasikmalaya,
Jawa Barat.
Goa yang sekarang di kenal dengan nama Goa Pamijahan adalah warisan dari
Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup lebih dari 200 tahun sebelum
Syeikh Abdul Muhyi. Gua ini terletak diantara kaki Gunung Mujarod. Sejak
goa ditemukan Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga beserta
santri-santrinya bermukim disana. Disamping mendidik santrinya dengan
ilmu agama, beliau juga menempuh jalan tharekat.
Menurut pendapat yang masyhur sampainya Syeikh Abdul Muhyi ke derajat
kewalian melalui thoriqoh mu’tabaroh Satariyah, yang silsilah keguruan/
kemursyidannya sampai kepada Rasulullah Saw.
Berikut silsilahnya:
Rasululah Saw, Ali Bin Abi Tholib, Sayyidina Hasan, Sayyidina Zainal
Abidin, Imam Muhammad Bakir, Imam Ja’far Shodiq, Sultan Arifin, Yazidiz
Sulthon, Syeikh Muhammad Maghribi, Syeikh Arabi Yazidil Asyiq, Sayyid
Muhammmad Arif, Syeikh Abdulah Satari, Syeikh Hidayatullah Syarmad,
Syeikh Haji Hudori, Sayyid Muhammmad Ghoizi, Sayyid Wajhudin, Sayyid
Sifatullah, Sayyidina Abdi Muwhib Abdulah Ahmad, Syeikh Ahmad Bin
Muhammmad (Ahmad Qosos), Syeikh Abdul Rouf, Syeikh Haji Abdul Muhyi.
Sekian lama mendidik santrinya di dalam goa, maka tibalah saatnya untuk
menyebarkan agama Islam di perkampungan penduduk. Di dalam perjalanan,
sampailah di salah satu perkampungan yang terletak di kaki gunung,
bernama kampung Bojong. Selama bermukim di Bojong dianugerahi beberapa
putra dari istrinya, Ayu Bakta. Diantara putra beliau adalah Dalem
Bojong, Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih Ibrahim.
Menurut salah satu riwayat lisan, kehadirannya di Gua Safar Wadi itu
adalah atas undangan bupati Sukapura yang meminta bantuannya untuk
menumpas aji-aji hitam Batara Karang di Pamijahan. Di sana terdapat
sebuah gua tempat pertapaan orang-orang yang menuntut aji-aji hitam itu.
Syeikh Haji Abdul Muhyi memenangkan pertarungan melawan orang-orang
tersebut hingga ia dapat menguasai gua itu. Ia menjadikan gua itu
sebagai tempat pemukiman bagi keluarga dan pengikutnya, di samping
tempat ia memberikan pengajian agama dan mendidik kader-kader dakhwah
Islam. Gua tersebut sangat sesuai baginya dan para pengikutnya untuk
melakukan semadi menurut ajaran tarekat Syattariah. Sekarang gua
tersebut banyak diziarahi orang sebagai tempat mendapatkan “berkah”.
Syeikh Haji Abdul Muhyi juga bertindak sebagai guru agama Islam bagi
keluarga bupati Sukapura, bupati Wiradadaha IV, R. Subamanggala.
Setelah sekian lama bermukim dan mendidik para santrinya di dalam gua,
ia dan para pengikutnya berangkat menyebarkan agama Islam di kampung
Bojong (sekitar 6 km dari gua, sekarang lebih dikenal sebagai kampung
Bengkok) sambil sesekali kembali ke Gua Safar Wadi. Sekitar 2 km dari
Bojong ia mendirikan perkampungan baru yang disebut kampung Safar Wadi. Di kampung itu ia mendirikan masjid (sekarang menjadi kompleks Masjid Agung Pamijahan) sebagai tempat beribadah dan pusat pendidikan Islam. Di samping masjid ia mendirikan rumah tinggalnya. Sementara itu, para pengikutnya aktif menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat bagian selatan. Melalui para pengikutnya, namanya terkenal ke berbagai penjuru jawa Barat.
Bojong ia mendirikan perkampungan baru yang disebut kampung Safar Wadi. Di kampung itu ia mendirikan masjid (sekarang menjadi kompleks Masjid Agung Pamijahan) sebagai tempat beribadah dan pusat pendidikan Islam. Di samping masjid ia mendirikan rumah tinggalnya. Sementara itu, para pengikutnya aktif menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat bagian selatan. Melalui para pengikutnya, namanya terkenal ke berbagai penjuru jawa Barat.
Syeikh Maulana Mansur berulang kali datang ke Pamijahan untuk berdialog
dengan Syeikh Haji Abdul Muhyi. Syeikh Maulana Mansur adalah putra
Sultan Abdul Fattah Tirta yasa dari kesultanan Banten. Sultan Tirtayasa
sendiri adalah keturunan Maulana Hasanuddin, sultan pertama kesultanan
Banten yang juga putra dariSyarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati,
salah seorang Wali Songo.
Berita tentang ketinggian ilmunya sampai ke Mataram kemudian Sultan
mengutus beberapa putra putri Untuk belajar pada Syaikh Di Pamijahan
Ketika itu bahkan menjanjikan akan memberi piagam yang memerdekakan
daerah Pamijahan dan menjadikannya daerah “perdikan”, daerah yang
dibebaskan dari pembayaran pajak. Berdasarkan keputusan sultan Mataram
itulah, oleh pemerintah kolonial Belanda, melalui keputusan residen
Priangan, Pamijahan sejak tahun 1899 dijadikan daerah “pasidikah”,
daerah yang dikuasai secara turun temurun dan bebas memungut zakat,
pajak, dan pungutan lain untuk keperluan daerah itu sendiri.
Makam Syeikh Haji Abdul Muhyi yang terdapat di Pamijahan diurus dan
dikuasai oleh keturunannya. Makamnya itu ramai diziarai orang sampai
sekarang karena dikeramatkan. Sampai saat ini desa Pamijahan dipimpin
oleh seorang khalifah, jabatan yang diwariskan secara turun-temurun,
yang juga merangkap sebagai juru kunci makam dan mendapat penghasilan
sedekah dari para peziarah.
Karya tulis Syeikh Haji Abdul Muhyi yang asli tidak ditemukan lagi. Akan
tetapi ajarannya disalin oleh murid-muridnya, di antaranya oleh putra
sulungnya sendiri, Syeikh Haji Muhyiddin yang menjadi tokoh tarekat
Syattariah sepeninggal ayahnya. Syeikh Haji Muhyiddin menikah dengan
seorang putri Cirebon dan lama menetap di Cirebon. Ajaran Syeikh Haji
Abdul Muhyi versi Syeikh Haji Muhyiddin ini ditulis dengan huruf pegon
(Arab Jawi) dengan menggunakan bahasa Jawa (baru) pesisir. Naskah versi
Syeikh Haji Muhyiddin itu berjudul Martabat Kang Pitutu (Martabat Alam
Tujuh) dan sekarang terdapat di museum Belanda,
Ajaran “martabat alam tujuh” ini berawal dari ajaran tasawuf wahdatul
wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Tidak begitu
jelas kapan ajaran ini pertama kali masuk ke Indonesia. Yang jelas,
sebelum Syeikh Haji Abdul Muhyi, beberapa ulama sufi Indonesia sudah ada
yang menulis ajaran ini, seperti Hamzah Fansuri,Syamsuddin as-Sumatrani
dan Abdur Rauf Singkel, dengan variasi masing-masing. Oleh karena itu
sangat lemah untuk mengatakan bahwa karya Syeikh Haji Abdul Muhyi yang
berjudul Martabat Kang Pitutu ini sebagai karya orsinilnya, tetapi besar
kemungkinan berupa saduran dari karya yang sudah terdapat sebelumnya
dengan penafsiran tertentu darinya.
Menurut ajaran “martabat alam tujuh”, seperti yang tertuang dalam
Martabat kang Pitutu, wujud yang hakiki mempunyai tujuh martabat, yaitu
(1)Ahadiyyah, hakikat sejati Allah Swt., (2) Wahdah, hakikat Muhammad
Saw., (3) Wahidiyyah, hakikat Adam As., (4) alam arwah, hakikat nyawa,
(5) alam misal, hakikat segala bentuk, (6) alam ajsam, hakikat tubuh,
dan (7) alam insan, hakikat manusia. Kesemuanya bermuara pada yang satu,
yaitu Ahadiyyah, Allah Swt. Dalam menjelaskan ketujuh martabat ini
Syeikh Haji Abdul Muhyi pertama-tama menggarisbawahi perbedaan antara
Tuhan dan hamba, agar -sesuai dengan ajaran Syeikh Abdur Rauf
Singkel-orang tidak terjebak pada identiknya alam dengan Tuhan. Ia
mengatakan bahwa wujud Tuhan itu qadim (azali dan abadi), sementara
keadaan hamba adalah muhdas (baru). Dari tujuh martabat itu, yang qadim
itu meliputi martabatAhadiyyah, Wahdah, dan Wahidiyyah, semuanya
merupakan martabat-martabat “keesaan” Allah Swt. yang tersembunyi dari
pengetahuan manusia. Inilah yang disebut sebagai wujudullah. Empat
martabat lainnya termasuk dalam apa yang disebut muhdas, yaitu
martabat-martabat yang serba mungkin, yang baru terwujud setelah Allah
Swt. memfirmankan “kun” (jadilah).
Selanjutnya melalui martabat tujuh itu Syeikh Haji Abdul Muhyi
menjelaskan konsep insan kamil(manusia sempurna). Konsep ini merupakan
tujuan pencapaian aktivitas sufi yang hanya bisa diraih dengan
penyempurnaan martabat manusia agar sedekat-dekatnya “mirip” dengan
Allah Swt.
Melalui usaha Syeikh Haji Muhyiddin, ajaran martabat tujuh yang
dikembangkan Syeikh Abdul Muhyi tersebar luas di Jawa pada abad ke-18.**
Kesaktian Syaikh Abdul Muhyi
Pada suatu hari Syeikh Abdul Muhyi dan Maulana Mansyur berada di Makkah
dan hendak pulang ke Jawa. Mereka berdua berunding, barangsiapa yang
sampai dulu di Jawa hendaklah menunggu di tempat yang telah disepakati.
Syeikh Maulana Mansyur berjalan diatas bumi dan Syeikh Abdul Muhyi
berjalan di bawah bumi. Masing- masing menggunakan kesaktiannya.
Ketika Syeikh Abdul Muhyi berjalan di bawah laut tiba-tiba beliau
kedinginan lalu berhenti. Sewaktu hendak menyalakan api untuk merokok
tiba-tiba sekelilingnya menjadi gelap dikelilingi kabut dan kabut itu
semakin tebal. Maka beliau teringat bahwa merokok itu perbuatan makruh
dan dirinya merasa berdosa.
Akhirnya beliau segera bertaubat minta Ampunan dari Allah, seketika itu
kabut hilang dan perjalananpun dilanjutkan. Dan mulai saat itu Syeikh
Abdul Muhyi meninggalkan rokok, bahkan bisa dikatakan mengharamkan rokok
untuk dirinya sedang untuk keluarga dan pengikutnya dilarang merokok
bila berdekatan dengannya. Karena itu sampai saat ini di daerah
Pamijahan dilarang merokok kecuali di tempat yang telah ditentukan.
Pada suatu hari beliau jatuh sakit. Ketika malaikat maut datang
menjemput Syeikh Abdul Muhyi berpesan kepada istri dan putra- putrinya,
"Wahai anak dan istri ku yang tersayang, hendaklah kamu sekalian
bertaqwa kepada Allah, berbaktiiah kepada orang tua yang telah
melahirkan dan membesarkanmu, hormati dan mulyakanlah tamumu, bicaralah
dengan benar, senangkanlah orang /ain, sekalipun kamu tidak dapat
menyenangkan orang janganlah berbuat yang menyusahkannya, kasihanilah
orang kecil, hormatilah orang yang besar dan hargailah sesamamu.
Hiduplah di dunia ini seakan mau melintasi jurang yang penuh dengan
duri."
Pada hari senin tanggai 8 Jumadil Awai tahun 1151 H/ 1730 M ba'dal
sholat shubuh, belau pergi untuk selamanya menghadap Allah swt. dalam
usia 80 tahun. Jenazah ulama besar ini dimakamkam di Pamijahan. Hingga
saat ini banyak orang berduyun-duyun berziarah ke makamnya sambil
membacakan do'a sebagai wujud kecintaan terhadap Syeikh Abdul Muhyi,
seorang waliyullah yang telah berjuang menyebarkan agama Islam di tanah
air dan Jawa Barat pada khususnya
Sebagian karomah Syaikh Abdul Muhyi
Suatu hari ada orang yang dikejar-kejar sekawanan lebah, lari meminta
pertolongan Syekh Haji Abdul Muhyi. Kemudian Syekh Haji Abdul Muhyi
berseru kepada kelompok lebah itu, “Kenapa kalian lebah bersikap begitu
kepada manusia. Apakah kalian tak mengerti di dalam tubuh manusia lahir
dan batin ada lathoif laa ilaha illa Alloh !” Lebah-lebah itu langsung
mati. Lalu tubuh orang itu seperti keluar asap. Ia selamat tanpa bekas
luka apapun.
2. Ada seseorang membawa istrinya yang buta setelah melahirkan. Kemudian
dia menemui Syekh Haji Abdul Muhyi untuk minta kesembuhan. Oleh Syekh
Haji Abdul Muhyi mereka diajak dzikir, membaca kalimat tahlil (laa ilaha
illa Alloh ) sebanyak 165 kali di masjid. Tak berapa lama wanita yang
buta itu pun sembuh.
3. Di waktu yang lain seseorang membawa anak yang terkena stroke,
tubuhnya mati separuh untuk menemui Syekh Haji Abdul Muhyi. Kemudian
diajak oleh Syekh Haji Abdul Muhyi berzikir kalimat tahlil sebanyak 165
kali. Alhirnya setelah itu anak yang stroke tadi sembuh total.
4. Adalagi orang yang tidak bisa tidur selama 11 hari dan minta tolong
kepada Syekh Haji Abdul Muhyi. Orang itu juga diajak berzikir sebanyak
165 kali dan lagi-lagi orang tadi akhirnya bisa tidur.
5. Syekh Haji Abdul Muhyi juga menolong orang lewat karamahnya untuk memperbanyak hasil panen dan ternak kerbau.
6. Syekh Haji Abdul Muhyi juga dikenal kesaktiannya. Beliau mengalahkan
dua tukang sihir sakti, dan kemudian dua penyihir itu menjadi
murid-muridnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar