Nama Sunan Bejagung adalah Sayyid Abdullah Asy’ari bin Sayyid Jamaluddin
Kubro.Menurut keterangan dari Syekh Abu Al-Fadl (Mbah Ndol), beliau
adalah adik Sayyid Maulana Ibrahim Asmoroqondi (ayah Sunan Ampel atau
kakek Sunan Bonang).Sayyid Abdullah Asy’ari bermukim di Bejagung Tuban,
setelah wafat di makamkan di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding (2 Km
kearah selatan kota Tuban) yang sekarang disebut Sunan Bejagung.
Silsilah Sunan Bejagung dengan urutan Nabi Muhammad adalah sebagai berikut:
Nabi Muhammad SAW,
Siti Fatimah Az-Zahro’ (istri Sayyidina Ali bin Abi Thalib),
Sayyid Husain,
Sayyid Ali Zainul Abidin,
Sayyid Muhammad Al-Baqir,
Sayyid Ja’far Shodiq,
Sayyid Ali A1 ‘yroidii,
Sayyid An-Naqib Ar- Rumi,
Sayyid Isa An-Naqib Al-Bashori,
Sayyid Achmad Muhajir Al-Faqih Al-Muqoddam,
Sayyid Ubaidillah,
Sayyid Alawi,
Sayyid Muhammad,
Sayyid ‘Alawi,
Sayyid Ali Kholi’ Qosam,
Sayyid Muhammad Shodiq Murrobath,
Sayyid Abdul Malik,
Sayyid Abdullah Khan,
Sayyid Ahmad Syah,
Sayyid Jamaluddin Al-Husaini/ Sayyid Jamalludin Kubra/ Sayyid Jumaddil Kubro,
Sayyid Abdullah Asy’ari (Sunan Bejagung, Tuban).
Sayyid Abdullah Asy’ari bermukim di Desa Bejagung, Sunan Bejagung Lor
Tuban, setelah wafat di makamkan di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding
(2 Km kearah selatan kota Tuban) yang sekarang disebut Sunan Bejagung.
Kalau Anda berkunjung ke Tuban, jangan lupa berziarah ke makam Sunan
Bejagung. Memang, situs ini tak sepopuler makam Sunan Bonang. Tapi,
jangan salah, selain mulai ramai dikunjungi, situs ini juga dikeramatkan
orang. Mengapa?
Makam Sunan Bejagung atau Syech Abdullah Asy’ari terletak di Desa
Bejagung, Kecamatan Semanding. Sebuah tanah perdikan wilayah Kabupaten
Tuban yang kering dan berbatu. Dari pusat kota yang digelari Bumi
Ronggolawe itu hanya berjarak sekitar satu kilometer arah selatan, atau
berada dalam satu jalur dengan objek wisata pemandian Bektiharjo.
Situs wisata religi ini dikeramatkan orang lantaran semasa hidupnya
Sunan Bejagung dikenal sebagai penyulut pelita dan muadzin di Masjidil
Haram. Konon, hanya Sunan Bejagung yang mampu melaksanakan tugas itu.
Dan, yang menakjubkan, ketika waktu manjing (masuk) shalat isya’ tiba,
Sunan Bejagung sudah kembali berada di tengah ratusan santrinya menjadi
imam shalat.
Legenda tersebut hingga kini masih hidup dan dipahami sebagai salah satu
kelebihan ulama kelahiran Hadrah Maut atau sekarang disebut Yaman itu.
Akses jalan menuju dua kompleks pemakaman yang disebut Bejagung Lor
(utara) dan Bejagung Kidul (selatan) kini sudah beraspal hotmix.
Di kawasan ini juga terdapat kompleks pemakaman Citro Sunan yang
letaknya hanya dibatasi jalan raya jurusan Tuban-Bojonegoro. Sebuah
jalur alternatif pada jurusun yang sama ketika jalur Tuban-Surabaya atau
jalur bawah mengalami kemacetan.
Menurut KH Dr Abdul Matin SH, penyusun Babad Sunan Bejagung, pada
awalnya tidak ada istilah Bejagung Lor dan Kidul. “Karena memang Sunan
Bejagung hanya ada satu yakni Syech Maulana Abdullah Asy’ari,” jelas
Kiai Matin yang juga pengasuh Ponpes Sunan Bejagung. Diruntut secara
garis dzurriyah, Kiai Matin termasuk keturunan ke-12 sunan yang semasa
hidupnya dikenal santun dan lemah lembut itu.
Pangeran Kusumo Hadiningrat
Sebutan dua nama berbeda itu, papar Kiai Matin, berawal dari kedatangan
Pangeran Kusumo Hadiningrat atau Pangeran Sudimoro ke perdikan Bejagung
atas perintah Syech Jumadil Kubro untuk memperdalam ilmu ketauhidan
kepada Syeh Asy’ari. Karena wara’i-nya, lantas putra keempat Prabu
Brawijaya atau Prabu Hayam Wuruk ini dijadikan menantu oleh Sunan
Bejagung untuk menikahi salah seorang putrinya, Nyai Faiqoh.
Dalam perjalanannya, putra mahkota Majapahit yang meninggalkan gemerlap
cahaya istana dan memilih menjadi santri Sunan Bejagung akibat konflik
perebutan kekuasaan antara dua bersaudara Pangeran Wirabumi dan Putri
Kusuma Wardani, kemudian berganti nama menjadi Hasyim Alamuddin atau
yang kemudian lebih dikenal dengan gelar santrinya Pangeran Penghulu.
“Perdikan Bejagung Kidul inilah yang dulu menjadi pusat penyebaran agama
Islam dengan segala aktifitas pesantrennya yang dilakukan oleh Syech
Asy’ari,” jelas Kiai Matin yang dikenal balaghah membedah berbagai kitab
kuning dan pernah menakhodai NU Tuban sebagai Rais Tanfidziyah selama
dua periode beruntun itu.
Dijelaskan Kiai Matin, karena memiliki kemampuan yang dianggap sudah
setara dengan Sunan Bejagung, akhirnya seluruh tugas dakwah di Kasunan
Bejagung diserahkan kepada Pangeran Penghulu. Itu adalah sebuah
penghargaan tertinggi yang diberikan Sunan Bejagung kepada putra
mantunya.
Setelah semua tugas dakwah diserahkan kepada menantunya, kemudian Sunan
Bejagung memilih uzlah (pindah) ke perdikan Bejagung Lor sampai akhir
hayatnya. “Secara tradisi setiap peziarah yang akan melakukan rialat di
makam Sunan Bejagung harus dimulai dari makam Bejagung Kidul terlebih
dulu. Meski secara personal status maqam kewaliannya lebih tinggi dari
Bejagung Lor,” kata Kiai Matin.
Apa yang dilakukan Sunan Bejagung ini mengikuti jejak dan ibarat
Rasulullah s.a.w. ketika memiliki menantu Sayyidina Ali. Sabda
Rasulullah: ana madinatul ilmu wa Aliyyu babuha. Faman arodal Madinah
faya’tiha min babiha (saya ibarat kotanya ilmu, sedangkan Ali adalah
pintunya. Maka barangsiapa akan menuju kota henaklah melalui pintu
kota).
Sunan Bejagung yang terlahir dengan nama Maulana Abdullah Asy'ari adalah
salah satu putra dari Sayyid Jamaluddin Al Kusaini Al Kubro atau Syech
Jamaludin Kubro yang kemudian kesohor dengan panggilan Syech Jumadil
Kubro. Keturunan yang melahirkan generasi Wali Songo bersama kakak
kandungnya Syech Maulana Ibrahim Asmoro Qodhi yang kelak lebih populer
disebut Syaikh Maghribi atau Sunan Gresik.
Keduanya memilih Tuban sebagai rumah terakhir setelah mengemban misi
dakwah menyebarkan Islam di Kadipaten (sekarang kabupaten) Tuban dari
ayahandanya Syech Jumadil Kubro pasca meredupnya kejayaan kerajaan
Pasai.
Dan di bumi Tuban itu pula jasad keduanya disemayamkan, sehingga bumi kabupaten ini kondang dengan sebutan Bumi Wali.
Maulana Ibrahim Asmoro Qodhi (Sunan Gesik) dimakamkan di Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, lima kilometer arah timur kotaTuban.
Sedangkan Syech Asy’ari disemayamkan di tlatah Bejagung, tempat semasa
hidupnya melakukan dakwah dengan senjata kelembutan dan kebersahajaan.
Dibalik Karomah Sunan Bejagung
Penyebaran Agama Islam di kabupaten Tuban tidak terlepas dari peran
seorang ulama besar bernama Syekh Abdullah As’ari (Sunan Bejagung Lor).
Syekh Abdullah As’ari mengemban misi dakwah, menyebarkan agama Islam ke
tanah Jawa dari ayahandanya yang bernama Syekh Maulana Ibrahim Asmara
bin Sayyid Jamaludin Al Khusaini Al Kubra atau tersohor dengan sebutan
Syekh Jumadil Kubra.
Pasca meredupnya kerajaan Pasai pada abad ke-14 Masehi, empat orang
ulama besar melakukan siar agama Islam ke tanah Jawa. Salah satunya
adalah Syekh Abdullah As’ari. Beliau memilih Tuban sebagai tempat
singgah dan menyebarkan Agama Islam sampai beliau wafat. Kemudian beliau
di makamkan di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban.
Satu kilometer ke arah selatan dari pusat kota Tuban.
Semasa dakwah yang dilakukan Sunan Bejagung di Tuban, ada beberapa
situs-situs bersejarah, peningalan Sunan Bejagung Lor. Sampai saat ini
masih terjaga dengan baik. Salah satu peninggalan Sunan Bejagung Lor
adalah masjid yang berada di komplek makam bagian depan. Bagian tempat
imam masjid dan ruang tengah masjid merupakan konstruksi asli sejak
Masjid Agung Sunan Bejagung Lor didirikan pada tahun 1314 Masehi. Masjid
ini juga merupakan tempat yang dikeramatkan orang, lantaran biasanya
masjid ini digunakan untuk melakukan sumpah pocong.
Meskipun kebiasaan tersebut dilarang oleh juru kunci, tetapi anggapan
masyarakat yang melandasi kepercayaan tersebut tidak dapat dihilangkan.
Ritual sumpah pocong yang dilakukan di masjid ini, rata-rata dilakukan
oleh masyarakat dan peziarah karena menerima suatu tuduhan dan fitnah.
Untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan dan fitnah tersebut maka
dilakukan sumpah pocong. Setelah ritual sumpah pocong itu, akan
terlihat mana yang salah, dan mana yang benar antara kedua belah pihak.
Sesuai dengan sumpah yang diajukan berdasarkan fitnah dan tuduhan
tersebut.
Selain itu, ada situs berupa dua Cungkup Penadzaran yang mengapit jalan
setapak menuju makam Sunan Bejagung Lor. Biasanya cungkup ini digunakan
warga sekitar atau peziarah untuk mewujudkan nadzarnya. Berupa
penyembelihan kambing atau lembu di tempat tersebut. Sebagai media
sedekah kepada sesama umat manusia. Jika melakukan penadzaran di cungkup
tersebut, maka para penadzar cukup menyediakan bumbu dapur lengkap,
beras untuk dijadikan tumpeng, dan hewan yang disembelih. Seluruh proses
dan persiapan penadzaran dilakukan Oleh Mrebot(pembantu juru kunci)
mulai dari menyembelih, memasak, sampai mengundang warga sekitar untuk
kenduren di tempat tersebut.
Proses penadzaran dilakukan ditempat itu, karena dikhawatirkan kalau
prosesnya dilakukan di tempat lain, darah dan tulang hewan yang
disembelih berserakan dimana-mana. Prosesi penyembelihan dan memasak
hewan nadzar dilakukan di Cungkup itu, maka para Mrebot telah siap untuk
mengelola dan mengumpulkan segala sisa-sisa upacara penadzaran,
dijadikan satu kemudian dikubur di sekitar kompleks pemakaman Sunan
Bejagung Lor.
Karena upacara ritual penadzaran yang dilakukan di Cungkup Penadzaran
ini kerap dilakukan, ditambah lagi karena Sunan Bejagung Lor gemar
bersedekah, maka di zaman dulu ketika Sunan Bejagung Lor masih menjadi
Modin di kawasan perdikan Bejagung, warga dilarang untuk menjual nasi.
Sebagai wujud penghormatan kepada para penadzar yang melakukan
penadzaran di tempat tersebut. Wujud rasa hormat masyarakat, terhadap
petuah Sunan Bejagung Lor dan para penadzar, diwujudkan oleh masyarakat
dengan tidak menjual nasi di sekitar Padepokan Sunan Bejagung Lor.
Sampai sekarang, kepercayaan masyarakat Bejagung dan sekitarnya masih
ada. Dan petuah itu melekat pada pemikiran masyarakat tersebut. Hal itu
terbukti bahwa sampai saat ini tidak ditemukan kedai warung nasi di
sekitar makam Sunan Bejagung. Baik di makam Sunan Bejagung Lor*. Maupun
di Makam Sunan Bejagung Kidul*. Yang ada hanyalah warga yang menjual
lontong tahu. Pemikiran masyarakat, baik yang melakukan penadzaran
untuk mewujudkan hajatnya, ataupun masyarakat yang tidak berani
berjualan nasi, masih terjaga sampai sekarang. Mitos yang beredar di
masyarakat, bahwa kalau menjual nasi, pada malam harinya warung tersebut
akan didatangi harimau putih.
Ada yang unik di area kompleks makam Sunan Bejagung Lor. Yaitu bangunan
gapura yang kecil, rendah, dan sempit. Bangunan gapura-gapura tersebut
tak lazim dengan bangunan gapura pada umummya. Biasanya bangunan gapura
di tempat manapun terkenal dengan sebuah benteng pintu masuk yang megah,
tinggi, kokoh, dan besar. Di padepokan Sunan Bejagung Lor (sekarang
menjadi kompleks pemakaman Sunan Bejagung Lor) tidak seperti itu.
Bangunan gapura yang kecil, rendah, dan sempit mengisyaratkan kepada
seluruh santrinya untuk senantiasa menunduk. Dalam artian untuk selalu
menjaga kesopanan berperilaku, kesantunan dalam berbahasa, tawaduk, dan
mawas diri. Apa yangdipasemonkan oleh Sunan Bejagung Lor dapat
dibuktikan dengan gelagat seseorang dengan menunduk. Orang ketika
menunduk, pasti saat berbicara, berperilaku lebih sopan dan santun,
dibandingkan dengan orang yang berbicara membusungkan dada dan mengadah
ke atas. Itulah salah satu ajaran Sunan Bejagung Lor Yang terkenal
dengan kelembutan dan kebersahajaan.
Di sebelah Selatan makam Sunan Bejagung Lor juga terdapat sebuah situs
yang dikeramatkan. Tidak kalah penting dan estetis dengan situs-situs
lainnya. Situs yang berada di sebelah selatan makam Sunan Bejagung Lor
tersebut berupa sumur Wali yang usianya ribuan tahun. Kedalamannya
mencapai 40 meter. Sumur tersebut dibuat Sunan Bejagung Lor, karena
melihat tanah perdikan yang diamanahkan oleh Adipati Tuban kepada Sunan
Bejagung Lor, tanahnya kering kerontang, terjadi kekeringan, dan warga
kesulitan pengadaan air. Maka muncul inisiatif sang wali untuk membuat
sebuah sumur di tanah tandus. Dengan memohon ridho Allah SWT. Akhirnya
sang wali mendapatkan petunjuk untuk membuat sumur di sebelah selatan
padepokannya. Pembuat sumur tersebut tidak lain adalah santrinya sendiri
yang bernama Mbah Pamor. Beliau merupakan salah satu santri Sunan
Bejagung Lor yang paling setia kepada sang wali Allah Sunan Bejagung
Lor. Selain kesetiaanya, beliau juga taat beribadah kepada Allah SWT.
Dengan izin Allah, sumur yang dibuat oleh Sunan Bejagung Lor tidak
pernah kering walaupun terjadi kekeringan di musim kemarau panjang.
Selain tidak pernah kekeringan dan digunakan untuk kebutuhan
sahari-hari oleh warga sekitar, air sumur tersebut juga dapat
dimanfaatkan untuk berbagai macam kegunaan seperti menyembuhkan penyakit
gatal-gatal, penyakit dalam yang tak terdeteksi oleh medis, pengasihan,
dan keselamatan. Selain itu juga sebagai sarana untuk mewujudkan nadzar
orang tua kepada anak. Apabila orang itu bernadzar, anak sembuh dari
sakit, maka kewajiban orang tua adalah memandikan anak tersebut di sumur
wali, guna memenuhi nadzarnya tersebut.
Untuk penyembuhan penyakit dalam, air sumur tersebut tidak usah dimasak
atau dicampur dengan air lain. Air tersebut dapat dikonsumsi secara
langsung, tetapi sebelum meminum air tersebut disunahkan membaca kalimat
syahadat dan salawat nabi sebanyak tiga kali. Jika air diminum di
tempat tersebut, maka ada juru bantu (Mrebot) yang menjelaskan prosedur
yang harus dilakukan para peziarah dalam mengunjungi sumur Wali
tersebut.
Ada beberapa prosedur yang harus dilakukan oleh para peziarah ketika
berkunjung ke sumur wali tersebut. Pertama, harus membeli bunga terlebih
dulu. Bunga yang dibeli, kemudian diserahkan kepada panitia
penyelenggara pengambilan air sumur yang ditugaskan oleh juru kunci
makam. Kedua, memberikan infaq seikhlasnya, bersamaan dengan pengambilan
air tersebut. Ketiga,air yang telah diambil, dicampur dengan bunga,
sebelum air tersebut dimanfaatkan oleh para peziarah. Pencampuran
dilakukan oleh panitia (Mrebot). Kalau untuk perantara menyembuhkan
penyakit dalam, air tersebut diminum dan diusapkan pada bagian yang
sakit. Sambil membaca kalimat Syahadat dan Salawat Nabi tiga kali.
Pengambilan air yang dilakukan oleh paraMrebot tergolong cukup unik.
Karena pengambilannya menggunakan pemintal gulungan tali, penumpu, dan
poros. Diputar seperti halnya pemintal benang yang digunakan pengrajin
batik Gedog, yang ada di kecamatan Kerek. Pengambilan dilakukan oleh
para Mrebot dan tidak bisa diwakilkan oleh siapapun. Hal itu terbukti,
bahwa orang yang menjadi Mrebot rata-rata sudah berusia lanjut.
Mengunjungi sumur wali tersebut juga menentukan dan memilih hari yang
dianggap paling baik. Menurut kepercayaan pengunjung dan masyarakat
sekitar, hari Kamis Pon Malam Jumat Wage merupakan hari yang paling
istimewa untuk mengunjungi sumur Wali tersebut. Pemilihan hari Jumat
Wage dilandasi dari sebuah peristiwa di masa lalu. Ketika sang sunan
menjadi Modin. Kebiasaan-kebiasaan sang sunan mengadakan
pertemuan-pertemuan penting dengan para pejabat kerajaan atau ketika
sedang mengadakan pengajian di Padepokan pada malam Jumat Wage, secara
rutin. Dengan dasar kebiasaan ini, para peziarah sampai sekarang
mempercayai bahwa hari Kamis Pon malam Jumat Wage merupakan hari
istimewa untuk mengunjungi Padepokan atau Kasunanan Bejagung (sekarang
menjadi kompleks pemakaman Sunan Bejagung Lor).
Hal itu juga melandasi pemikiran para masyarakat setempat dan para
peziarah untuk berziarah ke makam Sunan Bejagung Lor. Biasanya hari
Kamis Pon malam Jumat Wage, para peziarah berjubel di makam Sunan
Bejagung Lor. Bahkan ada yang menginap di makam tersebut sambil berdoa
kepada Allah SWT. Dan melalui karomah Sunan Bejagung Lor atau Kidul,
berharap hajat yang dimiliki para peziarah dapat terkabul, dijauhkan
dari mara bahaya. Kepercayaan yang menganggap hari Kamis Pon malam Jumat
Wage adalah hari paling istimewa, masih ada dan melandasi pemikiran
masyarakat dalam mengunjungi makam Sunan Bejagung Lor dan makam Sunan
Bejagung Kidul.
Penyulut Pelita dan Muadzin Masjidil Haram
Beberapa karomah yang lain yang dimiliki oleh Sunan Bejagung Lor,
dikeramatkan orang, lantaran semasa hidupnya Syekh Abdullah As’ari
(Sunan Bejagung Lor) dikenal sebagai penyulut pelita (lampu) dan muadzin
di Masjidil Haram. Setiap sore menjelang Adzan Magrib, Sunan Bejagung
Lor pergi ke Masjidil Haram, Makkah. Konon, hanya Sunan Bejagung Lor
lah yang mampu melaksanakan tugas itu. Dan, yang menajubkan lagi,
manakala memasuki waktu salat Isya, Sunan bejagung sudah kembali berada
di tengah ratusan santrinya dan menjadi imam salat Isya di masjid Agung
Sunan Bejagung.
Sebagai seorang wali, sekaligus juga sebagai penyulut pelita di Masjidil
Haram, Sunan Bejagung Lor juga pernah digoda oleh Jin. Ketika Sunan
Bejagung Lor hendak melakukan perjalanan haji menuju Masjidil Haram,
beliau ditipu oleh Jin yang menjelma menjadi santrinya. Jin yang
berwujud santrinya tersebut sanggup mengantarkan dan menggendong Sunan
Bejagung Lor dari Bejagung sampai Masjidil Haram. Sunan Bejagung Lor
menyetujui penawaran santrinya yang berwujud Jin tersebut. Sesampai di
samudra, Sunan Bejagung Lor dijatuhkan ke dalam samudra. Kemudian beliau
ditolong oleh ikan Meladang. Ikan tersebut kemudian membawa Sunan
Bejagung Lor sampai ke pesisir pantai Jeddah, Hadrah Maut (Saudi
Arabia).
Dari peristiwa dijatuhkannya Sunan Bejagung Lor ke samudra oleh
santrinya yang berwujud Jin, terdapat pantangan bagi masyarakat bejagung
dan sekitarnya. Terutama keturunan lansung dari Sunan bejagung Lor.
Setelah sampai di Saudi Arabia, Sunan Bejagung Lor berpesan kepada anak
cucu, masyarakat Bejagung dan sekitarnya, tidak boleh memakan ikan
Meladang (ikan yang berbentuk pipih, kulitnya halus seperti kulit
manusia). Karena ikan tersebut telah menyelamatkan Sunan Bejagung Lor
ketika dijatuhkan santrinya yang berwujud Jin ke samudra. Dan ikan
tersebut telah membawa Sunan Bejagung Lor ke tepi Pantai Hadrah Maut.
Barang siapa yang melanggar pantangan tersebut, maka orang yang memakan
ikan Meladang dengan sengaja, akan menderita penyakit buras (sejenis
penyakit gatal-gatal dan timbul bisul di seluruh tubuh). Penyakit buras
tersebut tidak ada obatnya secara medis. Jika menginginkan kesembuhan,
harus mandi air sumur Wali yang berada di sebelah selatan komplek makam
Sunan Bejagung Lor. Sampai sekarang, baik keturunan, masyarakat
Bejagung, dan sekitarnya tidak ada yang berani melanggar pantangan
tersebut.
Siti Garit dan Watu Gajah
Pangeran Sudimoro, putra mahkota kerajaan Majapahit yang tidak ingin
menjadi putra mahkota kerajaan, meninggalkan kerajaan Majapahit dan
berguru mencari ilmu. Ia pergi ke Tuban mencari Guru Ilmu Syariat ,
Tarekat, Hakikat, dan Marifat. Sesuai dengan petunjuk Syekh Jumadil
Kubra, beliau disuruh menemui Syekh Abdullah As’ari (Sunan Bejaung Lor).
Setelah sampai di Tuban, beliau bertemu dengan Sunan Bejagung Lor.
Kemudian Pangeran Sudimoro mengaji kepada beliau. Sampai menjadi orang
Alim.
Ketika pangeran Sudimoro masih mengaji di Kasunanan Bejagung, Prabu
Hayam wuruk berusaha mencarinya. Setelah mengetahui bahwa putranya
mengaji di Padepokan Sunan Bejagung Tuban, maka Prabu Brawijaya IV
memerintahkan Patihnya bernama Gajah Mada dan bala tentaranya untuk
mengajak Putra Mahkota (Pangeran Sudimoro) pulang ke Majapahit.
Berita tersebut didengar oleh Pangeran Sudimoro. Beliau menghadap kepada
Sunan Bejagung Lor. Meminta perlindungan dan bantuan Sunan Bejagung
untuk menolak keinginan Sang Prabu Hayam Wuruk. Sebab Pangeran Sudimoro
ingin tetap menekuni ilmu Agama Islam. Kehendak Pangeran Sudimoro
tersebut dikabulkan oleh Sunan Bejagung Lor.
Selanjutnya Sunan Bejagung menggaris tanah sekitar Padepokan Kasunanan
Bejagung. Berbentuk segi empat mengitari kasunanan Bejagung. Agar
tentara Majapahit tidak bisa masuk Kasunanan Bejagung. Ketika mahapatih
Gajah Mada yang tersohor dengan ilmu BaratKetiga dan bala tentara
Majapahit hendak menjemput pangeran Sudimoro di kasunanan Bejagung.
Ternyata tentara Majapahit tidak bisa masuk ke kasunanan Bejagung.
begitu juga dengan mahapatih Gajah mada yang terkenal dengan ilmunya
Barat Ketiga (ilmu kecepatan angin kemarau). Garisan tanah yang dibuat
oleh Sunan Bejagung Lor tersebut dikenal dengan nama Siti Garet.
Masyarakat sekitar memandang bahwa Siti Garet merupakan fenomena gaib.
Tidak semua orang yang dapat melihatnya. Selain itu, Siti Garet
merupakan tempat untuk bersembunyi para pejuang ketika dikejar-kejar
tentara Belanda. Kalau pejuang masuk kasunanan tersebut, para tentara
Belanda tidak bisa ikut masuk. Karena pandangannya terhalang oleh kabut.
Selain itu, adanya Siti Garet juga mempengaruhi pandangan para pejabat
negara dan kerajaan. Apabila pejabat negara telah lancang masuk ke
Kasunanan Bejagung – memiliki niat yang tidak baik, maka pejabat negara
tersebut dalam waktu dekat akan lengser dari jabatannya. Sampai sekarang
pandangan tersebut masih ada dalam pandangan sebagian masyarakat dan
para pejabat negara di Indonesia. Semua itu dilandasi dengan adanya
pasukan dan pejabat kerajaan Majapahit yang tidak dapat masuk Kasunanan
ketika akan menjemput Pangeran Kusumo / Pangeran Sudimoro/pangeran
Pengulu.
Pasukan-pasukan Majapahit dan bala tentara gajah akhirnya terhenti di
sebelah selatan Kasunanan. Salah seorang santri melapor kepada Sunan
bahwa di sebelah selatan Kasunanan Bejagung banyak pasukan Gajah dari
Majapahit. Sunan mengatakan, tidak gajah tetapi batu. Seketika itu
semua gajah menjadi batu. Sampai sekarang, tempat berhentinya pasukan
gajah tersebut dikenal dengan sebutan Watu Gajah(Batu Gajah). Letaknya
di sebelah Barat Laut kantor Kecamatan Semanding.
Pangeran Sudimoro yang terkenal rajin mengaji dan alim, kemudian
diberikan gelar Pangeran Pengulu/Syekh Hasyim Alamuddin (sekarang
dikenal dengan sebutan Sunan Bejagung Kidul) oleh sunan Bejagung Lor.
Akhirnya, diambil menantu oleh Sunan Bejagung Lor dan ditetapkan menjadi
penerus di Kasunanan Bejagung. Semenatara Sunan Bejagung Lor Uzlah
(berpindah tempat) di sebelah utara Kasunanan.
Ikan Dodok dari Daun Waru
Setelah seluruh pasukan gajah dari Majapahit menjadi batu, para pasukan
Majapahit kembali dan Lapor kepada Prabu Hayamwuruk.Bahwa semua pasukan
Gajah kerajaan Majapahit menjadi batu di Tuban. Kemudian Sang Prabu
memerintahkan kepada Patih Gajah Mada(terkenal dengan ilmu Barat
Ketigo). Untuk menguji sampai sejauh mana ilmu Sunan Bejagung Lor.
Maha Patih Gajah Mada berangkat tanpa bala tentara menuju pesisir utara
Kadipaten Tuban, ia menyamar dan menggunakan nama Barat Ketiga(suatu
nama ilmu tinggi yang dimilikinya). Ia mengaduk air laut Tuban sampai
keruh. Dan berpura-pura mencari ikan Dodok. Setelah diketahui oleh Sunan
Bejagung Lor, Barat ketiga ditanya Sunan Bejagung Lor, jawabannya bahwa
Barat Ketiga sedang mencari ikan dodok, karena adiknya hamil dan ngidam
ingin makan ikan Dodok.
Akhirnya Sunan Bejagung mengambil lontar dan membuat timba. Barat Ketiga
diperintahkan untuk mengambil daun waru. Setelah timba/tempayan lontar
tersebut diisi dengan air dan daun waru dimasukkan kedalam timba.
Seketika itu daun waru menjadi ikan Dodok. Kejadian ini diingat oleh
Masyarakat Bejagung. Bahwa sampai sekarang apabila mengadakan kenduri
atau sedang bersih desa selalu menggunakan lauk ikan Dodok.
Maja Agung
Barat Ketiga ingin menguji lagi Kesaktian Sunan Bejagung Lor. Ia pergi
ke perdikan Bejagung. Setelah berada di ladang Sunan Bejagung, ia
menggoyang pohon Kelapa. Sunan Bejagung bertanya, “untuk apa
menggoyangkan pohon Kelapa?” Barat Ketigo menjawab bahwa ia haus. Sunan
Bejagung berkata, “Kalau digoyang keras yang muda ikut jatuh dan tidak
bisa dimanfaatkan buahnya.” Akhirnya Sunan Bejagung Lor mengambil buah
kelapa dengan cara merebahkan pohon kelapa dengan cangkul. Barat Ketigo
dengan mudah mengambil buah kelapa yang sudah tua, tanpa merusak kelapa
yang masih muda. Kemudian pohon kelapa dikembalikan tegak berdiri
seperti semula.
Dia kagum atas kesaktian Sunan Bejagung Lor. Tetapi ia masih belum
puas, setelah ia meminum air kelapa, ia pura-pura masih haus. Ingin
minum air yang banyak. Setelah kepura-puraannya itu disampaikan kepada
Sunan Bejagung Lor, kemudian Kanjeng Sunan berkata,“Kalau demikian,
tunggu di sini, saya ambilkan air.” Tidak lama kemudia Sunan Bejagung
Lor mengambil air, dimasukkan ke dalam buah Maja kecil (disebut Mojo
berduri). Melihat ulah Sunan Bejagung Lor yang aneh tersebut, Barat
Ketigo tertawa karena air sedikit dimasukkan ke dalam buah Maja yang
dibelah menjadi dua bagian. Ia menganggap mana mungkin air dalam buah
Maja dapat menghilangkan rasa haus. Ternyata setelah air itu diminum,
air yang ada di dalam Maja tersebut masih utuh dan tidak habis-habis.
Sehingga buah Maja tersebut disebut Mojo Agung. Kemudian dari peristiwa
tutur mulut ke mulut berubah menjadi Beja Agung, kemudian menjadi
Bejagung. Dijadikan nama desa Bejagung. Selain itu juga dipakai sebagai
sebutan nama lain syekh Abdullah As’ari.
Akhirnya Barat Ketigo merasa kalah sakti dan menyatakan menjadi Santri
Kanjeng Sunan Bejagung Lor. Sampai meninggal dunia ia tetap menjadi
Santri Kanjeng Sunan Bejagung Lor. Setelah ia wafat dimakamkan di
perbatasan Desa Bejagung-Prunggahan Kulon, sampai sekarang terkenal
dengan sebutan Makam Panjang.
Makam Panjang
Makam atau petilasan di Kabupaten Tuban berjumlah ratusan, salah satunya
yang luput dari khalayak adalah yang dipercaya sebagai Barat
Ketigo/Patih Gajah Mada, Patih semasa Kerajaan Majapahit, terletak di
Desa Bejagung Kecamatan Semanding, Tuban.
Dalam perjalananya sejarah Kabupaten Tuban merupakan daerah lintasan,
maupun tempat singgah para penyebar keyakinan maupun punggawa kerajaan
pada masanya, namun tak sedikit yang wafat di tlatah Tuban dengan
meninggalkan bukti fisik berupa makam atau petilasan yang sampai saat
ini masih diziarahi oleh sebagian masyarakat. Salah satunya adalah yang
dipercaya sebagai makamnya Barat Ketigo Atau Patih Gajah Mada.
Menurut versi masyarakat sekitar yang dipercaya turun temurun sampai
sekarang. Saat sosialnews.com mengunjungi makam tersebut, kondisinya
nampak terawat dengan baik dan bersih. Menurut Mbah Siram (80 th), warga
setempat mengatakan, ”Makam tersebut memang sengaja tidak ada bangunan
penutup atau lebih dikenal dengan cungkup, karena memang tidak mau
dibangun seperti itu, jadi makam tersebut terbuka seperti makam lain di
sekitarnya.”
Makam yang terletak di bawah pohon randu alas besar, diameter dua
rengkuhan tangan orang dewasa tersebut, persis berada di paling pinggir
barat komplek makam umum Islam Desa Bejagung Kidul. Pada malam-malam
tertentu terutama malam Jum’at Pahing, beberapa orang mengunjunginya
untuk berdo’a. Makam yang terletak kurang lebih berjarak 3 km dari pusat
kota dan 500 m, arah barat laut makam Sunan Bejagung Kidul, mudah
dijangkau dari pusat Kota Tuban.
Konon cerita yang berkembang di masyarakat saat Patih Gajah Mada diutus
Raja Mojopahit untuk mencari Ikan Bader Bang Sisik Kencono (ikan bader
warna merah bersisikkan emas) untuk kepentingan sang Raja, alkisah
sampailah di pantai Tuban dan sempat bertemu dengan Sunan Bejagung
Kidul, dalam pertemuan tersebut sempat mengadu kesaktian namun sang
Patih Gajah Mada merasa kalah sakti, sehingga beliau merasa
terheran-heran, karena beliau yang merasa orang paling sakti di
Nusantara dikalahkan oleh sosok sederhana. Hal itu disadari saat Patih
Gajah Mada meminta minum, Sunan Bejagung Kidul mengambil buah kepoh
(mangga) yang kering lalu diisi air dan diberikan kepada Patih Gajah
Mada, lantas diminumnya. Air tak habis-habis, meskipun rasa haus Patih
sudah hilang, semestinya habis sekali teguk karena tempatnya kecil.
Dalam satu sumpahnya beliau Patih Gajah Mada suatu saat akan kembali ke
wilayah Tuban, dan diceritakan meninggal lalu dimakamkan di wilayah
sekitaran makam Sunan Bejagung Kidul, makam panjang 3 m tersebutlah yang
dipercaya Makam Barat Ketigo Atau Patih Gajah Mada.
Keberadaan makam tersebut kebenaran hakikinya tergantung masing-masing
individu masyarakat, bahwa Barat Ketigo atau Gajah Mada adalah Patih
dari Kerajaan Mojopahit menganut agama Hindu Budha, tapi makam yang ada
tersebut selayaknya makam Islam yang membujur utara-selatan. Namun
demikian dapat menjadi salah satu kunjungan ziarah, dalam melihat jejak
para pendahulu dan mendokumentasikan dalam rangkaian sejarah Nusantara
di wilayah Tuban, karena ketokohannya dalam menpersatukan Nusantara yang
terkenal dengan Sumpah Palapa-nya .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar