Tulisan ini barangkali akan menjadi rintisan penggalian sejarah penyebar
Islam di Banyumas, yang selama ini sangat dibutuhkan dalam mengelola
berbagai informasi kekayaan sejarah lokal khususnya di wilayah Banyumas
dan keterterkaitan dengan wilayah luar banyumas.
Dengan dikelolanya cagar budaya yang berkaitan dengan peristiwa masa
lalu sejarah tempat dan para pelaku sejarah yang menghiasi peradaban,
tentu akan sangat berguna bagi generasi yang akan datang dalam menerima
berbagai warisan informasi. Perjalanan para pembawa agama khususnya di
Banyumas, juga akan menjadi catatan sejarah yang berharga, bahwa
agama-agama yang ada di wilayah Banyumas diperkenalkan dan di dakwahkan
melalui waktu yang panjang dan kesabaran yang luar biasa dari para
pelaku sejarah.
Jombor merupakan nama Grumbul di Desa Cipete Kecamatan Cilongok di
Kabupaten Banyumas. Nama Desa ini selalu dikaitkan dengan keberadaan
Syaikh Abdus Shomad yang merupakan ulama abad ke-16 dalam melakukan
penyebaran Islam di Banyumas pada umumnya dan peranannya dalam
meng-Islamkan masyarakat wilayah Cipete dan sekitarnya pada khususnya.
Terdapat beberapa versi tentang asal usul nama “JOMBOR” sebagai grumbul
di mana Syaik Abdus Shomad berdakwah dan mengajarkan agama Islam
khususnya di wilayah Cipete dan di Kabupaten Banyumas pada umumnya.
Adapun versi-versi ini berdasar dari informasi baik keturunan / trah
maupun masyarakat setempat antara lain :
1.
Lokasi yang sekarang didirikan Masjid Baitus Shomad di RT. 02 RW. 03
Desa Cipete, adalah merupakan tilas yang konon pernah tumbuh sebuah
pohon yang sangat lebat, rimbun dan besar. Tidak jauh dari pohon
tersebut terdapat sungai yang mengalir dengan kejernihan air yang masih
bersifat alami.
Kehadirannya di wilayah ini disambut warga dengan sikap positif. Sebelum
mendirikan Padepokan ia harus menginap dan istirahat di rumah warga.
Meski penduduk setempat juga menyediakan tempat tinggal untuk beliau,
namun ada hal yang dianggap masih kurang dimana dalam setiap rumah dan
tidak ada tempat yang tersedia untuk beribadah menjalankan ibadah
shalat, karena pada saat itu warga masih memiliki beragam kepercayaan.
Usaha lahir terus dilakukan oleh beliau melalui sillaturrahim (ngendong
bahasa Jawa) dari rumah ke rumah ibarat sebagai orang pendatang, berbaur
dengan warga dalam kerukunan bermasyarakat. Sedangkan usaha batin
beliau melakukan mujahadah, berkhalwat atau menyepi mendekatkan diri
terhadap Allah SWT, memohon pertolongan dan diberi kemudahan dalam
melakukan dakwah dan penyebaran agama Islam terhadap warga setempat.
Mujahadah ini tentu membutuhkan ketenangan bathin, sehingga beliau
memanfaatkan pohon besar yang rimbun sebagai tempat untuk menyepi, tanpa
ada yang mengganggu ketenangannya. Konon di atas pohon sebagaimana yang
disebutkan di atas, terdapat cabang yang datar yang memudahkan beliau
duduk bersila melakukan dzikir. Cabang – cabang pohon yang masih rendah
memudahkan beliau naik turun tanpa harus menggunakan tangga untuk naik
ke atas.
Jalan antara pohon terdapat lokasi mata air berupa sumur yang dibuat
beliau, yang setiap saat digunakan untuk berwudlu. Kegiatan naik turun
pohon menuju ke lokasi air ini menyebabkan jalan setapak ini menjadi
becek atau dalam bahasa Banyumas disebut Jember. Orang kemudian
menyebutnya Jombor, sehingga terjadilah Jombor sebagai nama grumbul.
2.
Hampir di setiap wilayah, sebelum Islam diperkenalkan kepada masyarakat
khususnya di Banyumas dan umumnya di luar wilayah, kebudayaan, adat
istiadat serta kepercayaan masyarakat beragam dan bermacam-macam. Budaya
membuat sesaji, (nyajeni bahasa Jawa) di tempat-tempat keramat,
mengkultuskan batu besar, pohon, berjudi, main, minum serta perbuatan
tercela lainnya masih sangat subur. Sebagai seorang musafir Syaikh Abdus
Shomad tentu tidak serta merta melarang, membenci, atau pun mencemooh
bagi pelakunya mengingat Sebagai seorang pendakwah Syaikh Abdus Shomad
harus tetap istiqomah menunjukkan akhlak yang mulia terhadap mereka,
mengingat mereka belum mengerti.
Jombor pada versi terbentuknya asal mula tempat adalah merupakan
sebagian isi dari dakwah beliau, yang berupa ajakan yang di dalamnya
terkandung keselamatan bagi manusia bagi yang menuruti
nasehat-nasehatnya.
Beberapa orang menafsirkan bahwa asal-usul nama Jomboryang selalu
dikaitkan dengan Nama Syaikh Abdus Shomad adalah merupakan isi misi
dakwah beliau yang mengandung larangan. Misalnya kata Jo dalam kalimat
Jawa “Ojo” (Jangan atau tidak boleh dalam bahasa Indonesia), diartikan
sebagai larangan dan dikaitkan dengan sebuah ajakan.
JO
Ojo / Jo
M
Musyrik / munafik/ .............................dst
BOR
jo Boros
Jo musyrik, Jo Munafik, Jo Mungkar, Jo Maca Qur’an Lan nyenggol nek ra
suci, Jo main, Jo medok Jo mabuk-mabukan, madat, Jo metani alane wong
liyo, Jo mateni / mepet dalan pangane wong liyo, Jo meneih sesaji kanggo
syetan, Jo merek-merek barang haram, Jo muwur , Jo mangan riba, Jo
maling dunyo wong liyo, Jo mikir kumed sodaqoh, Jo mbelani perkoro
salah, Jo Mbalelo, Jo mriksani barang kang haram, Jo mburu maksiyat, Jo
mekso kekarepan ala, Jo mikir ninggal shalat wajib, Jo mikir ninggal
puoso wajib, Jo mulang barang kang ala, Jo mituruti bisikan syetan, Jo
moni padudon karo tetonggo, Jo mentelantarkan cah yatim, Jo masang
sesrangkah dalan tetonggo, Jo mungkir, Jo mutus tali paseduluran, Jo
mati ra nggowo iman, Jo melak-melik dunyo wong liyo, Jo mempeng golet
dunyo nanging lali gusti Allah, Jo mbetitil, merem ngamal kanggo
akherat, Jo mbanggel karo nasehate kyai, Jo mblenjani janji, Jo moni
nyupatani karo sepada-pada, Jo minteri sepada-pada, Jo mbebani
tanggungjawab marang wong kang ora mampu, Jo mbeler nggolet pangupa jiwo
(kasab/pahal), Jo mangas ketipu nikmate dunyo, Jo mbeber alaning
manungsa, Jo mlanggar toto aturaning masyarakat, Jo milih urip
sesrawung, Jo Mubadzir. Dan dakwah-dakwah yang lain, karena hal tersebut
hanya sekedar pendapat.
BOR dalam kalimat jomBORdiartikan sebagai ajakan oJo Boros. Pemborosan
waktu yang berkaitan dengan umur manusia, jika dikonsentrasikan hanya
untuk kepentingan dunia tanpa dibarengi dengan ibadah adalah kerugian
yang besar. Bila manusia telah diperbudak harta maka hubungan dengan
Tuhan menjadi jauh. Kehidupan manusia di dunia hanyalah sebentar karena
umur manusia juga telah ditentukan Tuhan. Penghaburan harta untuk
kesenangan duniawi menyebabkan seorang terjebak dalam israf. Apabila
manusia telah jatuh pada kebangkrutan atau pailit maka ia lebih dekat
kepada kefakiran dan kefakiran mendekatkan pada kekufuran.
Batas wilayah Jombor dari arah barat ditandai dengan sungai Kuyuk dan
bagian timur dibatasi dengan sungai lembarang, bagian selatan berbatasan
dengan grumbul Pejaten dan di bagian utara berbatasan dengan Desa
Cirangkok.
Lokasi yang dulu digunakan untuk mujahadah sekarang didirikan Masjid dan
Pondok Pesantren. Bangunan Masjid dan Pesantren yang dibangun oleh
Syaikh Abdus Shomad, berupa panggung dengan bahan dasar kayu dan bambu,
tepat di sebelah utara
NAMA CIPETE
Cipete merupakan nama Desa dimana Syaikh Abdus Shomad tinggal memiliki
sejarah nama yang menarik. Ada dua versi untuk mengetahui asal-usul nama
desa ini, antara lain :
1.
Wilayah Cipete pernah menjadi perebutan antara Kawedanan Karanglewas
dengan (Pasir Luhur) dengan Kawedanan Ajibarang. Tarik menarik antara
siapa yang berhak menguasai. Dengan berbagai kesepakatan dan perundingan
diantara dua Kawedanan tersebut diambil kesepakatan bahwa wilayah yang
sempit “Cupet” menjadi wilayah tersendiri, bukan bagian dari wilayah
Kawedanan Ajibarang maupun Karanglewas (Pasir Luhur). Tokoh pendiri Desa
saat itu hanya memberikan jawaban tentang tidak adanya keterpihakan dan
ketidakkesiapannya untuk tunduk kepada kedua Kawedanan, dengan
mengatakan, “ Panggonan KayaKiye Cupete Kok Degawe Rageg” ( Wilayah yang
segini sempitnya kenapa menjadi keributan). Berawal dari kata Cupete
berubahlah ungkapan menjadi Cipete.
2.
Bahwa kata Cipete berasal dari kata dalam bahasa Sunda. Hal ini
beralasan mengingat Syaikh Abdus Shomad berasal dari Cirebon dan Sunda
Kelapa, menantu-menantu beliau juga berasal dari Cirebon Sunda, sehingga
terpengaruh budaya dan tradisi Sunda. Berdasarkan penelitian bahwa
terdapatnya Kali Mengaji dan Kali Logawa, (di wilayah Ketapang
Karanglewas) menjadi batas wilayah barat banyak dipengaruhi budaya Sunda
atau Kerajaan Galuh Pakuwan atau Padjajaran. Bukti-bukti itu dapat di
lihat dari nama-nama desa yang berawalan ci, seperti Cilongok, Cikawung,
Cipete, Citamo, Ciberung dan lainnya.
Tercatat di dalam catatan silsilah Jombor sebagai berikut :
Dari Ayahnya :
1. Prabu Munding Sari
2. Ratu Galuh
3. Siung Winara
4. Prabu Lingga Wastu
5. Prabu Lingga Hayang
6. Prabu Lingga Wastu
7. Prabu Lingga Larang
8. Prabu Munding Kawati
9. Prabu Silihwangi
10. Banyak Cathra
11. Banyak Roma
12. Banyak Wiratha
13. Banyak Kesumba
14. Pangeran Senopati Mangkubumi
15. Panembahan kertalangu
16. Nyai Ageng Kembangan
17. Kyai Singawedhana
18. Asy-Syaikh Abdush Shomad Jombor
Dari Ibunya :
1. Rasulullah Muhammad Saw
2. Fatimah Az-Zahrah
3. Sayidina Husain
4. ‘Ali Zainal Abidin
5. Muhammad Al-Baqir
6. Ja’far As-Shadiq
7. ‘Ali Al’ridhi
8. Muhammad
9. Isya Albasyari
10. Ahmad Al Muhazir
11. ‘Ubaidilah
12. ‘Uluwi
13. ‘Abdul Malik
14. ‘Abdullah
15. Imam Ahmad Syah
16. Jamaludin Akbar
17. Najmudin
18. ‘Abdullah
19. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati Cirebon)
20. Maulana Hasanudin
21. Pangeran Sakethi
22. Panembahan Kertalangu
23. Nyai Ageng Kembangan
24. Kyai Singawedhana
25. Asy-Syaikh Abdush Shomad Jombor
Ada nama yang sama dikarenakan Kanjeng Senopati Mangkubumi berbesanan dengan Pangeran Saketi.
Syaikh Abdus Shomad lahir di Jawa Barat. Tanggal dan tahun kelahiran
belum ditemukan. Beliau diperkirakan lahir pada abad ke-16 M. Data yang
mendukung terdapat pada bekas prasasti kayu dengan huruf Jawa yang
tertulis “Gebyog Iki Dibangun Ing Tahun 1817 Masehi. Gebyog adalah
Cungkup makam Syaikh Abdus Shomad. Sedangkan bangunan makam tersebut
dibangun oleh Mbah Kyai Muhammad Noer Zaman, yang dalam catatan silsilah
keluarga Jombor merupakan keturunan ketujuh dari Syaikh Abdus Shomad.
Petunjuk lain yaitu antara Syaikh Abdus Shomad dengan Adipati Joko
Kaiman terdapat hubungan besan. Hasanudin putra Syaikh Abdus Shomad
dinikahkan dengan putri dari Adipati Joko Kaiman. Hubungan ini
mengindikasikan adanya rentang masa kehidupan mereka dalam kurun waktu
yang sama.
Beberapa tahun kenudian bangunan makam yang semula terbuat dari ijuk
diganti dengan seng atas prakarsa Syaikh Abdul Malik (Kedung Paruk
Purwokerto), seorang ulama Kharismatik dan Guru Besar Thariqah
An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Asy-Syadziliyah Indonesia, putra dari
Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja, keturunan ke-empat Pangeran Diponegoro,
bangswan dari Kesultanan Yogyakarta. Syaikh Abdul Malik Dari pihak ayah
yaitu Syaikh Muhammad Ilyas keturunan Kasultanan Yogyakarta, sedang
dari pihak ibu keturunan Syaikh Abdus Shomad keturunan Padjajaran.
Setelah dari Makkah Syaikh Muhammad Ilyas dinikahkan dengan adik dari
Syaikh Abdullah Kepatihan Tegal akan tetapi tidak dikaruniai keturunan,
kemudian dinikahkan kembali dengan cucu Syaikh Andus Shomad yaitu Nyai
Zainab, dan dikaruniai empat orang anak. Anak pertama laki-laki yang
diberi nama Muhammad Asy’ad yang kemudian dikenal
MASA PENDIDIKAN
Masa muda Syaikh Abdus Shomad dihabiskan di Pondok Pesantren di Gunung
Jati Cirebon Jawa Barat. Peluang karir untuk menjadi pejabat di
lingkungan keraton seperti halnya suadara-saudaranya, tidak menarik
perhatian bagi Syaikh Abdus Shomad muda.
Orangtuanya menyebutnya dengan filsafat tabuh beduk. Syaikh Abdus Shomad
tidak tertarik menerima tongkat estafet pemimpin namun lebih tertuju
kepada cita-citanmya menjadi seorang santri yang kelak mampu memberi
manfaat kepada ummat dalam penyebar agama Islam dengan memilih tongkat
tabuh / pemukul beduk yang adanya di longkungan pesantren / masjid.
Kehidupan keraton yang penuh dengan berbagai kesenangan dan berada di
dalamnya adalah tingkat strata kehidupan yang tinggi, tentu tidak sama
dengan kehidupan komunitas di Pondok Pesantren. Kehidupan serta
kebutuhan diri memperpanjang kehidupan di Pondok dengan seluruh suka dan
duka tidak merubah pendirian untuk terus “ngalap berkah ilmu sang kyai”
hingga pada akhirnya sang kyai menganggap sebagai santri terbaik dengan
menguasai ilmu-ilmu agama sebagai bekal pengembaraan melakukan dakwah
Islam.
PERJALANAN DAN PERJUANGAN DAKWAH ISLAM
Setelah Syaikh Abdus Shomad dinyatakan lulus dengan prestasi terbaik,
beliau pamit pulang dan oleh gurunya diberi petunjuk untuk berjalan ke
timur ke arah selatan, setelah sebelumnya ia menetap beberapa tahun di
Sunda Kelapa dan Cirebon, untuk melakukan dakwah di sana.
Kebiasaan Syaikh Abdus Shomad untuk bermujahadah seperti yang dilakukan
di pesantren terus dilakukan, hingga satu waktu ketika beliau sedang
menyepi bermujahadah di bawah pohon kelapa dalam suasana malam yang
gelap serta rimbunnya tumbuhan disekitar hutan, telah merubah
konsentrasi beliau ketika seekor ular besar mendekat. Dalam menghadapi
ancaman tentu Syaikh Abdus Shomad tidak menyandarkan pada takdirnya
sendiri. Bagaimana pun ia harus berusaha menghindar dari berbagai
kemungkinan ancaman yang dihadapi dengan naik ke atas pohon kelapa agar
konsentrasi mujahadah terus dapat dilakukan. Hingga menjelang pagi ular
bukan malah pergi tetapi malah melilit pohon kelapa dimana beliau berada
di atas.
Perjalanan selanjutnya menuju Pantai Selatan, yaitu Cilacap, menuju
Kampung laut Kelapa Kerep. Kelapa Kerep konon adalah kelapa yang
dirapatkan yang digunakan sebagai rakit.
SINGGAH DI JINGKANG-SAWANGAN
Sebelum Syaikh Abdus Shomad sampai di Jingkang Sawangan yang saat ini
masuk wilayah Ajibarang, telah terjadi penyebaran Islam yang dilakukan
oleh Mbah Munhasir, yang diyakini merupakan pendatang dari
Sriwijaya-Palembang dan menetap di wilayah ini.
Mbah Munhasir dengan demikian adalah tokoh yang berperan dalam membuka
hutan menjadi wilayah desa dibantu beberapa orang lokal, hingga kemudian
Mbah Munhasir mendapat jodoh putri Redja Wikrama tokoh lokal yang telah
memberikan fasilitas selama melakukan dakwah.
Pembukaan hutan menjadi areal desa telah menarik perhatian penduduk di
luar wilayah Jingkang-sawangan sekitar berdatangan menuju kepada
kehidupan baru di tempat ini.
Keadaan tersebut berlangsung dalam waktu yang lama, sehingga Mbah
Munhasir merasa perlu untuk mendirikan Padepokan di wilayah
Jingkang-Kalisari sebagai tempat berbagi ilmu-ilmu agama Islam dan
ilmu-ilmu kanuragan. Setelah Mbah Munhasir wafat kepemimpinan padepokan
diserahkan kepada putranya Mbah Sahidin. Setelah dua tokoh tersebut
wafat tidak ada generasi berikutnya yang menyiarkan Islam di Ajibarang,
sampai hadirnya Syaikh Abdus Shomad.
Syaikh Abdus Shomad sendiri sebenarnya hanya berniat singgah karena
statusnya adalah sebagai musafir. Namun ketika keberadaan di tempat ini
banyak diminta penduduk lokal akhirnya beliau bertahan beberapa tahun
melanjutkan dakwah dari para pendahulu tokoh agama di wilayah ini.
Bersama dua pengikutnya yang merupakan santri Syaikh Abdus Shomad, yakni
Mbah Bagus santri dan Mbah Bujang Santri, terus menerus melakukan
dakwah sambil terus membuka lokasi hutan menjadi areal perkampungan.
Ketika perjalanan masih terus berlanjut kedua santrinya wafat dan
dimakamkan di Sawangan-Jingkang.
SINGGAH DI PEJATEN
Pejaten sekarang adalah grumbul di wilayah Desa Cipete Kecamatan
Cilongok Banyumas. Grumbul Pejaten merupakan alas hutan jati, sebelum
dibuka menjadi areal tempat tinggal.
Setibanya di Pejaten beliau melakukan laku ritual mujahadah di atas batu
cadas Sungai Tenggulun. Bersamaan dengan itu, Nyai Sakheti putri
tunggal Mbah Kroya atau Mbah Sukma Sejati, seorang tokoh yang tinggal di
Bantuanten (2 km dari wilayah Pejaten) tengah mengalami sakit keras dan
belum mendapatkan obat yang mampu menyembuhkan penyakit yang diderita
putrinya.
Satu hari Mbah Kroya mendengar suara seperti gemuruh ombak, mirip suara
kawanan lebah. Untuk memastikan bahwa sumber suara bukan ombak atau
suara lebah namun berasal dari suara manusia, maka Mbah Kroya mengutus
para pembantunya untuk mencari. Para pembantunya merasa tertegun setelah
menemukan sumber suara itu adalah lafadz dzikir yang dilakukan oleh
Syaikh Abdus Shomad yang duduk melakukan mujahadah di atas batu cadas
sungai Tenggulun.
Percakapan para pembantunya di hadapan Syaikh Abdus Shomad telah
mengundang naluri kemanusiaan Syaikh Abdus Shomad untuk bersilaturrahmi
bertemu dengan Mbah Kroya dengan membawa air menggunakan daun talas dari
sungai Tenggulun.
Pertemuan antara Mbah Kroya dengan Syaikh Abdus Shomad menumbuhkan rasa
bangga diantara keduanya, karena mereka sama-sama bersasal dari wilayah
Jawa Barat. Sampai beberapa hari kemudian Nyai Sakheti binti binti Mbah
Kroya / Mbah Sukma Sejati dinikahkan dengan beliau Mbah Abdus Shomad.
Bantuanten berasal dari kata Bantuan atau Pertolongan dan Banten.
Menilik dari sejarah terbentuknya desa Bantuanten tidak terlepas dari
sosok Mbah Kroya sendiri. Mbah Kroya beserta beberapa pengikutnya pernah
turut memberikan bantuan dalam sebuah peperangan yang melibatkan
Kesultanan Banten. “Mbantu Banten”. Julukan Mbah Kroya atau Mbah Sukma
Sejati tidak lain karena Kroya merupakan grumbul tempat dimana beliau
dimakamkan di pinggiran Sungai Tenggulun. Sedangkan adik laki-lakinya
yang bernama Mbah Jati Kusuma dimakamkan di Kedung Makam Desa
Bantuanten.
BERMUKIM DI JOMBOR
Setelah tinggal beberapa lama di Tempat Mbah Kroya bersama istri, maka
Syaikh Abdus Shomad melanjutkan perjalanan ke wilayah Desa Cipete
tepatnya di grumbul Jombor.
Perjalanan dari Bantuanten ke wilayah Cipete, harus melalui jalan
setapak penghubung antara grumbul Pejaten, Jombor Selatan dan Jombor
Kauman. Dengan menyusuri jalan yang jarang dilalui, Syaikh Abdus Shomad
sesekali harus memastikan bahwa jalan yang sedang dilalui bukan jalan
yang dilalui hewan-hewan buas.
Dalam perjalanan tersebut secara tidak sengaja beliau melihat anak
harimau yang jatuh ke jurang sempit dan tidak mampu melompat ke atas
karena tubuhnya terbelit akar. Terlihat sudah berhari-hari anak harimau
itu tidak mampu melompat dan induknya tidak mampu menolongnya. Melihat
ketidakberdayaan anak harimau tersebut Syaikh Abdus Shomad segera
menurunkan barang bawaan sementara sang istri menunggu sambil berharap
penuh kecemasan, karena berada di tengah hutan yang gelap oleh rimbunnya
pohon-pohon besar.
Anak harimau yang terus bergerak agaknya cukup menyulitkan beliau untuk
mengangkat ke atas. Pada saat tubuhnya hampir sampai di ujung jurang,
anak harimau terus meronta hingga menimbulkan suara yang mengundang
perhatian induk semangnya. Istrinya yang melihat kehadiran induknya yang
bertubuh besar datang dan langsung hendak menerkam Syaikh Abdus Shomad.
Namun beberapa saat harimau yang besar itu dapat ditaklukkan.
Di Jombor inilah menjadi tempat mukim Syaikh Abdus Shomad hingga akhir
hayatnya. Konon Syaikh Abdus Shomad sempat menikah lagi dengan Nyai
Saketi binti Mbah Abdul Salam, kakak seperguruan yang pernah bersama
nyantri di Pesantren Cirebon.
Syaikh Abdus Shomad pada saat masih bersama di Pesantren pernah membuat
perjanjian pada saat akan meninggalkan Pesantren, bahwa bila pada saat
nanti Mbah Abdul Salam memiliki anak perempuan, maka akan dinikahkan
dengan Syaikh Abdus Shomad. Barangkali perjanjian itu hanya obrolan
biasa sebagai seorang santri. Waktu telah berlalu dan Syaikh Abdus
Shomad hampir sudah melupakan perjanjian yang tidak resmi tersebut.
Namun perjanjian tersebut barangkali terdengar oleh Allah, sehinga
merupakan do’a bagi Syaikh Abdus Salam. Rupanya perjanjian tersebut
terus dipegang oleh Mbah Abdul salam, sehingga beliau mencari Syaikh
Abdus Shomad untuk menepati perjanjiannya menuju Jombor bersama
puterinya Nyai Sakheti ( nama sakheti adalah gelar bagi wanita bangsawan
yang memiliki strata sosial tinggi). Setelah Mbah Abdul salam berada di
Jombor, oleh Syaikh Abdus Shomad diminta untuk tetap tinggal di Jombor.
Penggalian informasi tentang istri dan keturunan yang di tinggal di
Cirebon, sebelum mukim di Jombor juga belum tergali, dan lacak informasi
keterangan tentang pernikahan Syaikh Abdus Shomad dengan Nyai Sakethi
binti Mbah Abdus Salam, terutama pada anak keturunan dan sejarah Mbah
Abdus Salam. Apakah silsilah keturunan syaikh Abdus Shomad hingga
sekarang adalah pernikahan dengan Nyai Saketi binti Mbah Kroya / Mbah
Sukma Sejati ataukah keturunan pernikahannya dengan Nyai Saketi binti
Abdus Salam, namun besar kemungkinan adalah pernikahan dengan Nyai
Sakheti binti Mbah Kroya / Mbah Sukma Sejati, yang telah menerunkan
ulama-ulama besar di Banyumas dan sekitarnya.
Mbah Abdus Salam sendiri disamping sebagai seorang ulama beliau juga
seorang yang ahli dalam urusan tata pemerintahan . Dan seorang yang
pandai berpidato atau ketib. Gagasan tentang tata aturan pemerintahan
saat itu menjadi Inspirasi para pengelola wilayah baik Kesultanan maupun
tingkat pemerintahan kawedanan.
Peran agama dan pemerintahan dijalani oleh Mbah Abdus Salam di wilayah
Gununglurah saat itu. Kehebatannya dalam mendidik calon-calon pemipin,
telah menerbitkan nama harum Gununglurah-Cilongok sebagai basis kampung
para pemimpin, sehingga dinamakan Gunung Lurah.
Selama tinggal di Gununglurah ini, Mbah Abdus Abdul Salam banyak
menerima tamu yang sengaja tukar kawruh tentang ilmu-ilmu pemerintahan.
Beliau wafat dimakamkan di pekuburan umum Desa Gununglurah. Makamnya
tidak pernah sepi dari para peziarah, terutama mereka yang memiliki
hajat ingin mencalonkan diri mengabdi kepada negara atau pun Kepala Desa
Setelah Abdus Shomad merasa bahwa Jombor adalah pilihan terakhir untuk
mengemban amanat sang guru dalam menyebarkan Islam di wilayah Kabupaten
Banyumas, maka dengan bantuan warga sekitar diberi tanah sesuai dengan
kebutuhan untuk mendirikan bangunan berupa Padepokan sebagai rumah
berbagi ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu yang lain yang diperlukan
masyarakat saat itu.
Sebelum Syaikh Abdus Shomad menetap di Jombor dan mendirikan Padepokan
telah ada seseorang yang dianggap tokoh / Kamitua / Sesepuh yang cukup
disegani, meski dia sendiri bukan seorang kyai dan hanya seorang kamitua
yang ahli dalam ilmu-ilmu kejawen. Agaknya sang kamitua ini merasa
tersaingi dengan kehadiran beliau Syaikh Abdus Shomad. Dengan berbagai
keilmuan “Kejawen” kamitua ini terus menanam permusuhan meski sebenarnya
Syaikh Abdus Shomad tidak pernah berfikir untuk mengalahkan, namun
karena kesombongan sang kamitua ini akhirnya kalah pamor.
Latar belakang keilmuan Kejawen yang diperoleh Kamitua / Sesepuh
tersebut juga tidak jelas, bahkan berseberangan dengan ilmu-ilmu yang
diajarkan Syaikh Abdus Shomad. Apakah keilmuan yang diajarkan diperoleh
melalui guru atau pun dipelajari dari nenek moyangnya. Dalam bidang ilmu
agama Islam yang dimiliki agaknya masih dangkal, karena tidak mampu
mengangkat dirinya dalam status julukan kyai saat itu. Namun dari segi
pamor agaknya luar biasa. Rumahnya tidak pernah sepi dari kehadiran
warga sekitar untuk memohon petunjuk atau pepadang.
Kehebatan dalam menguasai ilmu klenik / Kejawen ini cukup untuk menarik
perhatian sampai di luar Jombor. Pamor yang dimiliki kamitua ini juga
menyebabkan kedudukan keluarga dan dirinya semakin kuat bertahan puluhan
tahun di grumbul Jombor.
Dengan mukimnya Syaikh Abdus Shomad, Sang Kamitua menganggap bahwa
kehadiran Syaikh Abdus Shomad di Jombor dianggap sebagai tandingan pamor
bagi dirinya. Melalui propaganda yang dihembuskan kepada warga dan
orang-orang yang datang di kediamannya, Kamitua ini terus memperkuat
keadaan dirinya. Dengan berbagai alasan Syaikh Abdus Shomad dianggap
telah merubah adat tradisi dan tatanan yang telah berlaku dari generasi
ke generasi, dan itu merupakan sebuah ancaman yang bersifat pribadi di
mata masyarakat. Namun demikian dakwah tetap dilakukan dengan kesabaran
hingga masyarakat setempat benar-benar meninggalkan tradisi-tradisi
musyrik serta mengembangkan tradisi yang disentuh dengan ruh Islami,
sebagai upaya media dakwah saat itu.
SYAIKH ABDUS SHOMAD DAN PENGELOLAAN PADEPOKAN
Ketika Syaikh Abdus Shomad menetap di Jombor usianya memang mendekati
usia-usia 60 tahun. Usia tersebut tergolong usia senja menuju usia masa
tua.
Kegiatan dakwah dilakukan di lingkungan Padepokan, karena secara fisik
Syaikh Abdus Shomad tidak lagi sekuat dan memiliki energi yang penuh
untuk melakukan keliling di wilayah Jombor dan sekitarnya.
Namun demikian Syaikh Abdus Shomad mendapat perhatian masyarakat di
lingkungan di luar Desa Cipete sangat luar biasa, karena berita dari
mulut ke mulut tentang kehadiran seorang ulama pembawa agama Islam
semakin banyak yang singgah dan menetap di Kabupaten Banyumas saat itu.
Para penuntut ilmu pun datang silih berganti hingga Syaikh Abdus Shomad
wafat.
PENERUS PERJUANGAN
Dari sumber silsilah keluarga Jombor, disebutkan bahwa Syaikh Abdus
Shomad memiliki tiga orang keturunan, dua laki-laki dan satu perempuan,
masing-masing bernama, Nyai ‘Ali, Nadzmudidin dan Hasanudin (Mbah
Lambak).
Nyai ‘Ali nikah dengan Kyai Zainal Ali dari Cirebon. Keturunan dari Nyai
‘Ali dengan Kyai Zaenal inilah yang kemudian meneruskan perjuangan
Islam di Jombor dan turun temurun menjadi perawat (kuncen) makam Syaikh
Abdus Shomad, sampai sekarang.
Anak keturunan Nyai ‘Ali dengan Kyai Zaenal Ali tersebar di beberapa
wilayah, seperti di Ajibarang, Pasiraman, Cikawung, Kali Benda, Citomo,
Kroya, Sumpiuh, Sokaraja, Sawangan-Purwokerto, Wangon, Purbalingga,
Bajarnegara, Blitar (Jawa Timur) sampai ke Lampung (Sumatera). Sedangkan
Hasanudin atau yang dikenal dengan Julukan Mbah Lambak tinggal menetap
di Banyumas dan dimakamkan di Dawuhan Banyumas.
Mbah Ketib Arum (Ketib Arum adalah putera dari Kyai Ali Muhammad dan
Kyai Ali Muhammad adalah putera dari Kyai Muhammad dan Kyai Muhammad
adalah putera tunggal dari Nyai ‘Ali sedang Nyai ‘Ali adalah puteri dari
Syaikh Abdus Shomad). Dikenal sebagai tokoh ulama sekaligus orang yang
pandai dalam berpidato (ketib). Pernah menjadi penghulu, sebuah lembaga
pemerintahan bentukan Kolonial Belanda serta giat menekuni olah
kanoragan.
Setelah semua keturunan Mbah Ketib Arum ini wafat, Padepokan dipindahkan
ke Jombor Tengah atau kauman, karena pertimbangan keluarga / kerabat
sebagian menetap di tempat ini, dan awal Syaikh Abdus Shomad pertama
kali sering melakukan mujahadah juga di tempat ini. Selanjutnya
Padepokan di asuh oleh Mbah Kyai Muhammad Sulaiman, yang merupakan
menantu sebelumnya. Mbah Kyai Sulaiman ini adalah keturunan dari Adipati
Mruyung Ajibarang.
Berikut adalah generasi penerus yang mengembangkan Pondok Pesantren di Jombor :
1.
Mbah Kyai Zainal ‘Ali
2.
Mbah Kyai Achmad Muhammad
3.
Mbah Kyai ‘Usman ‘Ali
4.
Mbah Kyai ‘Ali Muhammad
5.
Mbah Kyai Ketib Arum
6.
Mbah Kyai Zainal ‘Ali
7.
Mbah Kyai Munadha
8.
Mbah Kyai Marhani
9.
Mbah Kyai Muhammad Ikhsan
10.
Mbah Kyai Muhammad Sulaiman
11.
Mbah Kyai Muhammad Noer Zaman
12.
Kyai Abdurrahman
Sekitar tahun 1960 an keberadaan Pondok Pesantren, mengalami masa-masa
fakum. Pengelolaan peninggalan Syaikh Abdus Shomad berkisar pada
perawatan makam Syaikh Abdus Shomad, pengelolaan masjid, pengembangan
lembaga pendidikan seperti Madin, Majlis Taklim, dan Madrasah
Ibtidaiyah. Dari kepemimpinan Kyai Abdurrahman menurun pada generasi
berikutnya seperti :
1.
Kyai Muhiddin - Menantu
2.
Kyai Mas’ud (puetra pertama Kyai Abdurrahman)
3.
Kyai Humam Mas’udi (putera Kyai Mas’ud)
4.
Kyai Abdullah Sajad (keturunan kesembilan Syaikh Abdus Shomad)
Koordinator pengurus makam, yang merupakan putera dari Kyai Muhammad
Hasan Tayyib (kuncen terdahulu) dengan puteri ketiga dari Kyai Muhammad
Noer Zaman yaitu Nyai Kusrinah.
Setelah waktu berlalu lama akhirnya Pondok Pesantren kembali dibangun di
wilayah Jombor oleh Kyai Muhdi bin Kyai Muhidin. Kyai Muhdi adalah
keturunan kesepuluh dari Syaikh Abdus Shomad Jombor. Sementara di Jombor
Kauman menjadi pusat pengelolaan lembaga pendidikan seperti, Madin,
Madrasah, Majlis taklim.
KAROMAH SYAIKH ABDUS SHOMAD
1.
Menimba Emas
Dikisahkan setiap kali beliau berhadast, beliau turun untuk mengambil
air wudlu. Ketika Syaikh Abdus Shomad menggunakan periuk atau kendi
sebagai timba untuk mengambil air, kemudian secara perlahan diangkat ke
atas terdapat keanehan, sebab periuk atau kendi yang sedang diangkat ke
atas terasa berat dan harus mengeluarkan tenaga yang lebih. Alangkah
terkejutnya ketika periuk yang telah menyentuh bibir sumur, terlihat
bukan hanya berisi air tetapi sebagian dari badan periuk berisi
bongkahan emas yang lebih besar dari periuk yang digunakan untuk timba.
Sadar bahwa beliau sedang diuji oleh Allah, SWT segera ia beristighfar
dan berdo’a, mengadu bahwa bukan harta duniawi yang beliau pinta, namun
pertolongan, kekuatan, kesabaran serta ridlo Allah SWT dalam
memperjuangkan Agama Islam, di tempat yang baru, budaya masyarakat yang
bermacam-macam serta kepercayaan yang beragam, hingga kemudian beliau
melemparkan kembali emas tersebut ke dalam sumur.
2.
Membungkam Gong
Konon tradisi kesenian seperti wayang, kuda lumping dan kesenian yang
mempergunakan gong, kenong atau benda lain sebagai alat musiknya, tidak
akan berfungsi atau berbunyi apabila di bunyikan di wilayah Jombor.
Dalam sejarahnya sampai hari ini, belum pernah di jombor ada pagelaran
wayang, ronggeng, tayub ataupun kuda lumping.
Keadaan ini mengisyaratkan sejarah tersendiri bagi warga setempat. Bagi
kebanyakan orang hal tersebut mungkin sudah mafhum, bahwa itu merupakan
Karomah yang dimiliki Syaikh Abdus Shomad, mengingat jasad beliau
dimakamkan di tanah ini. Karomah tersebut pada dasarnya tidak bisa
dinalar sebab itu kekuasaan Allah. Namun bagi kebanyakan orang tentu hal
ini menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji akar peristiwa yang
melatar belakangi.
3.
MEMBUAT “KEDER” SERDADU BELANDA
Karomah ini tidak saja terjadi ketika Syaikh Abdus Shomad masih hidup,
bahkan setelah beliu wafat pun masih dapat dirasakan di lingkungan
sekitar Jombor. Diantara karomah yang terjadi setelah beliau meninggal
antara lain membuat bingung atau Keder. Keder yang sering terjadi pada
kita terkadang seputar arah dan tempat serta menjadi linglung meskipun
kita sebenarnya sadar
Pada masa penjajahan Belanda, para serdadu Belanda bukan hanya berusaha
merebut dan menguasai pusat-pusat kota di sekitar Banyumas, namun
seluruh pelosok di wilayah Banyumas ini tidak lepas dari kegiatan
operasi, untuk memburu para tentara Indonesia yang bersembunyi di
wilayah pedesaan.
Para serdadu Belanda ini konon mengalami hal aneh dan tidak mampu
membuat keputusan operasi penyergapan atau pun penyerangan terhadap
markas tentara Republik, ketika akan masuk ke Desa Cipete.
Semua jalan yang menuju Desa Cipete, dianggap sebagai jalan buntu, yang
tidak memungkinkan untuk dilalui mobil-mobil perang serta terhamparnya
jurang dan bukit yang tidak memungkinkan serdadu yang berjalan kaki
untuk turun dan mendaki. Dengan keaneha-keanehan tersebut para serdadu
Belanda kemudian mengalihkan dan berbalik mencari jalan yang lain.
Meski telah menemukan jalan lain menuju Desa Cipete, namun para Serdadu
Belanda ini mengalami keanehan lain yang sama pada peristiwa kejadian
pertama. Akhirnya para tentara Belanda ini hanya bisa berhenti di
perbatasan desa, bingung karena jalan yang dilalui terlihat seperti
jalan yang pertama kali dilalui.
Hal itu berlaku bagi seluruh Serdadu Belanda, meskipun kompi / pasukan
yang berbeda-beda pasti akan mengalami hal yang sama, baik mereka yang
datang dari arah barat (Ajibarang) maupun mereka yang datang dari arah
timur (Purwokerto).
PENINGGALAN-PENINGGALAN SYAIKH ABDUS SHOMAD
1.
Masjid Baitus Shomad Jombor, yang merupakan petilasan beliau melakukan kegiatan mujahadah.
2.
Pohon Kayu Nagasari yang berada di lokasi makam Syaikh Abdus Shomad,
yang telah berusia ratusan tahun yang di tanam di kompleks makam dan
digunakan sebagai tanda di tempat tersebut dimakamkan pula keturunan
Syaikh Abdus Shomad. Hal yang sama juga ditemukan pada komplek makam
Mbah Lambak (Mbah Hasanudin) di sebelah selatan makam Joko Kaiman.
3.
Sebuah Bedug yang terbuat dari kayu sidagurih. Terdapat tiga bedug yang
dibuat, satu bedug di bawa ke ke Demak, satu di bawa ke Purwokerto dan
satu ada di Jombor.
-------------+++----------------+----------------------------------------------------------------------
Demikian sejarah singkat perjalanan Syaikh Abdus Shomad Jombor, ulama
yang memiliki karomah yang tinggi yang telah berperan dalam menyebarkan
Agama Islam di Banyumas.
Penampilannya yang bersahaja, akhlaknya tinggi, kedalaman ilmu dalam
bidang Tasawuf / Tarekat, Aqidah, Fiqih / mu’amalah, telah menempatkan
beliau sebagai ulama yang disegani pada zamannya. Sedangkan karya-karya
beliau yang bersifat tertulis dan sebagainya juga belum tergali.
Karomah dan do’a-do’anya telah memberi pencerahan bagi penduduk setempat
baik ketika masih hidup maupun setelah beliau wafat. Maqamnya yang
berada di Jombor tidak pernah sepi dari para pengunjung yang sengaja
datang untuk berziarah, mendo’akan dan berdo’a di dekat maqam seorang
wali yang memiliki karomah.
Mudah-mudahan tulisan rintisan ini akan menjadi berkembang menuju pada
penggalian Koreksi dan informasi yang lebih lengkap dan sangat berguna
bagi Masyarakat Banyumas dan sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar