Kota Semarang menyimpan kisah banyak sejarah tokoh perjuangan Kerajaan
Islam Nusantara. Salah satunya adalah Habib Hasan bin Toha bin Muhammad
bin Thoha bin Yahya yang dikenal oleh masyarakat dengan nama Mbah Kramat
Jati. Habib Luthfi bin Yahya menyebutkan bahwa beliau mendapat gelar
Singo Barong karena sebagai Pimpinan Perang Hamengku Buwono II.
Habib Hasan bin Thoha bin Yahya lahir di kota Inat (Hadramaut), dari
pasangan Habib Thoha bin Yahya dengan Syarifah Aisyah binti Abdullah
Al-Idrus. Beliau mendapat pendidikan langsung dari kedua orangtuanya
sampai hafal Alquran sebelum usia tujuh tahun. Sebelum menginjak dewasa,
dia telah banyak hafal kitab-kitab.
Di samping belajar ilmu syariat, Habib Hasan juga belajar tasawuf kepada
para ulama. Di antara guru beliau adalah Habib Umar bin Smith dan
Quthbil Ghouts Al Habib Alwi bin Abdullah Bafaqih. Denga ilmu yang
tinggi, dakwah Habib Hasan diterima khalayak umum maupun khusus.
Fatwa-fatwanya banyak didengar oleh pembesar kerajaan waktu itu.
Pada waktu muda, setelah mendapat izin dari gurunya untuk berdakwah dan
mengajar, Habib Hasan ke Afrika di Tonja, Maroko dan sekitarnya,
kemudian ke daerah Habsyah, Somalia terus ke India dan Penang Malaysia
untuk menemui ayahnya.
Setelah tinggal beberapa waktu di Penang, dia mendapat izin dari ayahnya
untuk ke Indonesia meneruskan dakwahnya. Habib Hasan pertama kali masuk
ke Palembang kemudian ke Banten. Pada saat tinggal di Banten, dia
diangkat oleh Sultan Rofiudin, atau Sultan Banten yang terakhir waktu
itu menjadi Mufti Besar.
Di Banten tidak hanya mengajar dan berdakwah, dia juga bersama-sama
dengan pejuang Banten dan Cirebon mengusir penjajah Belanda. Walaupun
Sultan Rofi’udin telah ditangkap dan dibuang ke Surabaya oleh Belanda,
tetapi Habib Hasan yang telah menyatukan kekuatan pasukan Banten dan
Cirebon tetap gigih mengadakan perlawanan.
Setelah itu, Habib Hasan meneruskan dakwahnya lagi ke Pekalongan, Jawa
Tengah. Di Pekalongan dia mendirikan pesantren dan masjid di desa
Keputran dan tinggal di Desa Ngledok. Pondok Pesantren itu terletak di
pinggir sungai.
Sebelumnya, arah sungai mengalir dari arah selatan Kuripan mengalir ke
tengah kota menikung sebelum tutupan kereta api. Namun, dengan
keistimewan yang dimiliki Habib Hasan, aliran sungai itu dipindah ke
barat yang keberadaannya seperti sampai sekarang.
Pengaruh Habib Hasan mulai dari Banten sampai Semarang sangat besar.
Tidak mengherankan bila Belanda selalu mengincar dan mengawasinya. Pada
tahun 1206 H/1785 M, terjadilah sebuah pertempuran sengit di Pekalongan.
Dengan kegigihan dan semangat yang dimiliki Habib Hasan dengan santri
dan pasukannya, Belanda kewalahan.
Akhirnya Habib Hasan bersama pasukan dan santrinya mengungsi ke
Kaliwungu, Kendal, tinggal di suatu daerah yang sekarang dikenal dengan
Desa Kramat. Atas perjuangan, kearifan, serta keluasan ilmu Habib Hasan,
Sultan Hamengkubuwono ke II kagum dan menjadikannya menantu. Daerah
yang ditempati juga mendapat perlindungan sultan.
Keturunan beliau antara lain:
Sayyid Thoha, Ciledug
Sayyid Muhammad
Mbah Surgi Jatikusumo Batang
Sayyid Ali, Mufti Besar di Yaman
Sayyid Yahya
Sayyid Hamid
Sayyid Alwi
Sayyid Umar
Dewi Aisyah (Raden Mas Ayu)
Raden Ayu Fatimah
Sayyid Muhammad
Mbah Surgi Jatikusumo Batang
Sayyid Ali, Mufti Besar di Yaman
Sayyid Yahya
Sayyid Hamid
Sayyid Alwi
Sayyid Umar
Dewi Aisyah (Raden Mas Ayu)
Raden Ayu Fatimah
Cucu beliau antara lain:
Pangeran Panotogomo Sayyid Muhammad bin Ali bin Hasan, yang menjadi Sultan Alimuddin Kutai Kartanegara
Diantara cucu Beliau yang di Pekalongan adalah Beliau Maulana Habib Luthfi bin Yahya; Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Umar bin Thoha bin Hasan bin Thoha bin Yahya.
Diantara cucu Beliau yang di Pekalongan adalah Beliau Maulana Habib Luthfi bin Yahya; Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Umar bin Thoha bin Hasan bin Thoha bin Yahya.
Hubungan Habib Hasan bin Thoha & Kraton Yogyakarta
Perjuangan, kearifan, serta keluasan ilmu yang dimiliki Habib Hasan
terdengar oleh Sultan Hamengkubuwono ke II, membuatnya menjadi kagum
kepada Habib Hasan. Karena kekaguman tersebut akhirnya Habib Hasan
diangkat menjadi menantu Sultan Hamengkubuwono ke II dan daerah yang
ditempati mendapat perlindungan Kraton Yogyakarta.
Istri Habib Hasan bernama Gusti Kanjeng Ratu Bendoro atau sering disebut
Kanjeng Ratu Kedaton dari Garwo Patmi Hamengkubuwoo II yang bernama
Bendoro Mas Ayu Rantam Sari. Beliau adalah menantu ke-3 setelah menantu
ke-2 Raden Ronggo Prawirodirjo III, adalah Ayah dari Sentot
Prawirodirjo.
Dengan demikian jika ditinjau dari hubungan kekerabatan, Raden
Tumenggung Sumodiningrat atau Habib Hasan adalah paman dari Pangeran
Diponegoro dan Sentot Prawirodirjo. Beliau adalah ipar dari Sultan
Hamengkubuwono III (ayah Pangeran Diponegoro).
Beberapa tugas Habib Hasan yang berkaitan dengan keselamatan Sultan Hamengkubuwono II beserta kejayaan Kraton Yogyakarta adalah;
1- Pembebasan Hamengkubuwono II sekaligus pengawalan dari masa pembuangan ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
2- Sebagai utusan khusus Hamengkubuwono II bertemu dengan perwakilan dari Pakubuwono V tentang rencana perlawanan terhadap Inggris pada tahun 1810 di daerah Wedi-Klaten.
3- Sebagai Panglima Besar dalam mempertahankan Plengkung Gading atau pintu utama Kraton Yogyakarta dari sisi selatan, dari serangan Inggris.
4- Pengamanan pantai utara dari serangan kerajaan Inggris dan penjajah dengan mengerahkan pasukan-pasukan beliau yang selalu disebut Bajak Laut oleh penjajah. Padahal pasukan tersebut dikomandoi Tumenggung Sumodiningrat dengan nama kesatuan Singobarong.
5- Penemu strategi perang Capit Urang bersama Sri Sultan Hamengkubuwono II diterapkan di laut maupun darat.
6- Pembangunan masjid-masjid disetiap daerah dimana Beliau ditugaskan, antara lain Masjid Peninggalan Dalem Ngadinegaran, Masjid Bagelen-Purworejo, Masjid Wedi-Klaten, Masjid di Wonosari, Masjid di Kaliwungu-Semarang bersama Kyai Asy’ari.
Selain sebagai ahli strategi perang, beliau terkenal sebagai Syaikhul Akbar di tanah Jawa.
Selama mengabdi dan berjuang di wilayah Mataram, beliau beberapa kali
pindah tempat tinggal, dari Purworejo, Wedi-Klaten, Magelang, dan
tinggal di wilayah Kaliwungu, tinggal di suatu daerah yang sekarang di
kenal dengan desa Kramat.
Habib Hasan tinggal bersama sahabatnya bernama Kyai Asy’ari seorang
ulama besar yang menjadi cikal bakal pendiri pesantren di wilayah
Kaliwungu (Kendal ), guna bahu-membahu mensyiarkan Islam. Masa tua
hingga wafatnya, Habib Hasan tinggal di Semarang tepatnya di daerah
Perdikan atau Jomblang yang merupakan pemberian dari Sultan HB II.
Masa Tinggal di Semarang
Setelah mendapat tugas dari Hamengkubuwono II untuk menyelesaikan
kekacauan di wilayah Semarang, dimana Adipati Semarang pada waktu itu
kewalahan menghadapinya. Habib Hasan mendirikan benteng pertahanan di
daerah Jomblang.
Perjuangan beliau tidak pernah berhenti sampai akhir hayatnya. Hasil
pertanian dari tanah yang dimilikinya, tidak pernah digunakan untuk
kepentingan pribadi, tetapi selalu dibagikan kepada masyarakat yang
membutuhkan, sehingga beliau sangat dicintai oleh anak-anak, kawulo
cilik, menengah sampai atas. Bahkan para prajuritnya sangat tunduk dan
patuh pada beliau. Meskipun begitu, penjajah selalu memfitnah untuk
menghancurkan citra beliau, namun tidak pernah berhasil. Bahkan rakyat
semakin mencintai beliau.
Thariqah yang dipegang oleh Habib Hasan adalah Thariqah Saadatul
‘Alawiyyin (‘Alawiyyah), Sathariyyah, Qadiriyah, dan Sadziliyah
Naqsyabandiyah. Itulah yang diterapkan untuk mendidik keluarga dan anak
muridnya, seperti membaca aurad Wirdul Latif, dan istighfar menjelang
Maghrib. Setelah berjamaah maghrib dilanjutkan salat sunah rawatib,
tadarus Al-Qur’an, membaca Ratib dari Ratibul Hadad, Ratibul Athas,
Ratibul Idrus dan wirid Sadatil bin Yahya serta Ratibnya, dilanjutkan
shalat Isya’ berjamaah, selanjutnya membaca aurad dan makan bersama.
Di antara kebiasaan beliau yang tidak pernah ditinggalkan adalah
berziarah kepada para auliya’ atau orang-orang shaleh, baik yang masih
hidup maupun yang sudah wafat. (ziyaratul ‘ulama wal auliya ahyaan wa
amwatan). Rumah beliau terbuka 24 jam dan dijadikan tumpuan umat untuk
memecahkan segala permasalahan yang mereka hadapi.
Semasa beliau berdakwah dalam rangka meningkatkan umat dalam ketaqwan dan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya,
Pertama; sangat menekankan pentingnya cinta kepada baginda Nabi Muhammad
SAW beserta keluarganya yang dijadikan pintu kecintaan kepada Allah
SWT.
Kedua; kecintaan kepada kedua orang tua dan guru, yang menjadi sebab
untuk mengerti cara taqarrub, taqwa dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ketiga; sangat menekankan rasa cinta tanah air. Habib Hasan adalah
seorang yang lemah lembut dan berakhlak mulia tetapi sangat keras dalam
berpegang teguh kepada Syari’atillah (syariat Allah) dan Sunnah Rasul.
Beliau tidak pernah mendahulukan kepentingan pribadinya.
Banyak amalan sirri (rahasia) yang dilakukan oleh beliau setiap
malamnya. Sehabis qiyamullail, Habib Hasan berkeliling membagikan beras,
jagung dan juga uang ke rumah-rumah fuqara’ wal masakin (faqir miskin),
anak-anak yatim dan janda-janda tua. Beliau sangat menghargai generasi
muda dan menghormati orang yang lebih dituakan.
Pada waktu hidup, beliau dikenal sebagai seorang yang ahli menghentikan
segala perpecahan dan fitnah antar golongan dan suku. Sehingga cara adu
domba yang dilakukan pihak penjajah tidak mampu menembusnya. Di samping
sebagai ulama’ besar, beliau juga menguasai beberapa bahasa dengan fasih
dan benar.
Habib Hasan wafat di Semarang dan dimakamkan di depan pengimaman Masjid
Al Hidayah Taman Duku Lamper Kidul Semarang. Hingga saat ini, banyak
orang yang yang datang berziarah di makamnya.
Lokasi
Letak Makamnya berada di belakang Java Mall Semarang, masuk lewat
pertigaan pasar kambing atau jalan Tentara Pelajarke arah timur
pelan-pelan di kiri jalan, ada plang bertuliskan “Ke Makam Waliyullah
Assayyid Al Habib Hasan bin Thoha bin Yahya (Mbah Singo
Barong)". Tepatnya di Jalan Duku Kelurahan Lamper Kidul Kota Semarang,
tepat di belakang Mihrab Masjid Al Hidayah.
Dulunya daerah makam itu berupa tanah pemakaman umum yang berubah
menjadi area perumahan. Dan berdasar data bahwa tanah di area makam
merupakan tanah perdikan (bebas pajak) hadiah Raja Kraton Yogyakarta
pada bala tentara yang dipimpin Mbah Singo Barong.
Maka di zona area pemakaman dulunya dipakai kamp para tentara dan
menjadi perumahan para tentara. Dimana Java Mall sekarang itu dulunya
adalah markas tentara (Kodim) dan tempat mengatur strategi perang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar