بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
NAMA DAN NASABNYA
(يحيى بن شرف بن مُرِّي بن حسن بن حسين بن محمد بن جمعة بن حِزَام، النووي)
Nama beliau adalah Yahya bin Syarof bin Murriy bin Hasan bin Husain bin
Muhammad bin Jum’ah bin Hizaam An-Nawawi. Disebutkan dalam sejumlah
kitab, bahwa sebagian kakek beliau mengatakan bahwa garis keturunan
mereka sampai kepada salah seorang sahabat, yaitu Hasyim bin Hizaam
radhiallahu ‘anhu. Namun beliau membantah sendiri hal tersebut, ia
berkata “ini adalah suatu kekeliruan”. Jadi tidak benar bahwa nasab
beliau sampai kepada Hasyim bin Hizaam radhiallahu ‘anhu.
Nama kunyah (baca : kun yah) atau nama panggilan beliau adalah Abu
Zakariya (ayahnya Zakariya). Namun demikian Zakariya bukanlah nama
anaknya, karena beliau termasuk dalam salah satu ulama yang tidak
menikah sampai akhir hidupnya. Sedangkan Imam An-Nawawi sendiri
berpendapat bahwa adalah sunnah memiliki nama kunyah. Dan namakunyah
tidak mesti diambil dari nama anak, bisa juga menggunakan nama hewan dan
lainnya seperti Abu Hurairah (pemilik kucing) dan lain sebagainya.
Kemudian beliau memiliki nama laqob (gelar) yang diberikan oleh kaum
muslimin padanya yaitu Muhyiddin yang artinya “orang yang menghidupkan
agama”. Namun beliau sendiri membenci gelar ini, sampai-sampai ia
berkata “Aku tidak ridho orang menggelariku Muhyiddin“. Ini menunjukkan
ketidaksenangannya dengan gelar ini sekaligus menunjukkan ketawadhuannya
karena ia menyadari bahwa di dalamnya terdapat tazkiyah (penyucian)
atas dirinya, sedangkan beliau tidak suka akan hal itu. Meskipun
demikian, laqob tersebut tetap melekat dan selalu menyertai nama beliau
di dalam kitab-kitabnya dikarenakan keikhlasan beliau dalam berdakwah
dan hampir seluruh kaum muslim menerima dan mengakui keilmuwan dan
dakwah beliau.
Adapun kebanyakan kaum muslimin lebih mengenal beliau dengan nama Imam
An-Nawawi. Nama An-Nawawi sendiri adalah nisbat (penyandaran) kepada
tanah kelahirannya yaitu di Nawa, suatu perkampungan di daerah Hauran,
yang berada di Damaskus, Siriya.
KELAHIRAN DAN KEMATIANNYA
Beliau lahir pada awal atau pertengahan bulan Muharram tahun 631 H (1233
M) dan meninggal pada malam Rabu, 24 Rajab tahun 676 H (21 Desember
1277 M) pada usianya yang ke-45 tahun.
PERTUMBUHANNYA DI NAWA
Beliau terlahir di tengah-tengah keluarga yang shalih. Ayahnya bernama
Syaraf, ia adalah seorang syaikh yang zuhud dan wara’. Sejak kecil ia
telah membiasakan Imam An-Nawawi untuk menuntut ilmu.
Dikisahkan ketika berumur 7 tahun, beliau terjaga dimalam hari pada
malam ke 27 Ramadhan yang merupakan salah-satu malam yang diperkirankan
turunnya Lailatul Qadar. Pada malam itu ia melihat seberkas cahaya yang
menerangi rumahnya, ia pun terkaget karena pada saat itu Imam An-Nawawi
masih kanak-kanak dan belum mengerti apa kejadian yang menimpanya, maka
ia pun segera membangunkan orangtuanya dan menceritakan tersebut. Sang
ayah memahami bahwa ini adalah tanda dari Allah subhanahuwa ta’ala
terhadap anaknya. Mereka pun berdoa agar Allah memberkahi anaknya. Maka
sejak kejadian inilah sang ayah memberikan perhatian yang khusus kepada
Imam An-Nawawi.
Pada usianya yang ke 10, sang ayah memasukkan Imam Nawawi ke madrasah
untuk menghafal Al-Qur’an dan mempelajari ilmu fiqih kepada beberapa
ulama di sana. Dan ia sangat antusias untuk menghafal Al-Qur’an.
Dikisahkan pada suatu hari ketika Imam An-Nawawi berusia 10 tahun,
beliau diajak bermain oleh teman-temannya, tetapi ia menolak dan lebih
memilih untuk membaca Al-Qur’an. Namun mereka tetap saja memaksanya
untuk bermain hingga akhirnya ia pun berlari sambil menangis. Kejadian
itu dilihat oleh syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi yang kebetulan
lewat, kemudian ia mendatangi kedua orang tuanya dan memberikan nasihat
agar mengkhususkan Imam An-Nawawi untuk menuntut ilmu. Orang tuanya
menerima usulan tersebut, dan sejak kejadian itu pula perhatian sang
ayah dan gurunya pun semakin besar terhadap Imam An-Nawawi.
PERJALANANNYA DALAM MENUNTUT ILMU
Pada usianya yang ke-19 tahun, sang ayah melihat lingkungan di Nawa
sudah tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan ilmu anaknya. Maka ia
memutuskan untuk membawanya ke madrasah ar-Rawahiyyah di pojok timur
Masjid Al-Jami’ al-Umawiy di Damaskus. Ketika itu Damaskus merupakan
salah satu daerah yang menjadi pusat kajian ilmu.
Beliau sangat tekun dalam menuntut ilmu. Selama 2 tahun di sana ia
senantiasa belajar siang dan malam, sampai-sampai ia tidak tidur kecuali
karena ketiduran ketika belajar. Dan waktu-waktunya ia habiskan untuk
mendalami ilmu dan menghafal berbagai kitab.
Imam Nawawi menceritakan tentang dirinya sendiri, ia berkata “Ketika
usiaku telah mencapai 19 tahun, ayahku membawaku pindah ke Damaskus pada
saat beliau (ayahnya) berusia 49 tahun. Di sana aku belajar di Madrasah
Rawahiyyah. Selama kurang lebih 2 tahun di sana, aku jarang tidur
nyenyak; penyebabnya, tidak lain adalah karena aku sangat ingin
mendalami semua pelajaran yang diberikan di Madrasah tersebut. Aku pun
berhasil menghafal At-Tanbih (red: at-Tanbiih fii
Furuu’isy-Syaafi’iyyah, karya Abu Ishaq asy-Syirazi) kurang lebih selama
4,5 bulan.
Selanjutnya, aku berhasil menghafal 114 Ibadat (sekitar seperempat) dari
kitab Al-Muhadzdzab (red: Al-Muhadzdzab fil Furuu’) di sisa bulan
berikutnya dalam tahun tersebut. Aku juga banyak memberikan komentar dan
masukan kepada syaikh kami, Ishaq Al-Maghribi. Aku juga sangat intens
dalam bermulazamah dengannya. Beliaupun lalu merasa tertarik kepadaku
ketika melihatku begitu menyibukkan diri dalam semua aktifitasku dan
tidak pernah nongkrong dengan kebanyakan orang. Beliaupun sangat senang
kepadaku dan akhirnya beliau mengangkatku menjadi assisten dalam
halaqahnya, mengingat jama’ahnya yang begitu banyak.”
Imam An-Nawawi memiliki wawasan ilmu dan tsaqafah yang luas. Ini dapat dilihat dari kesungguhannya dalam menimba ilmu.
Berkata salah seorang muridnya, yakni ‘Ala-uddin Ibnill ‘Aththar, bahwa
beliau setiap hari mempelajari dua belas pelajaran baik syarahnya maupun
tashhihnya pada para syaikh beliau. Dua pelajaran pengantar,
satu pelajaran muhadzdzab(sopan santun),
satu pelajaran gabungan dari dua kitab shahih (Bukhari dan Muslim),
satu pelajaran tentang shahih Muslim,
satu pelajaran kitabAl-Lam’u oleh Ibnu Jinni dalam pelajaran nahwu,
satu pelajaran dalamlshlahul Manthiq oleh Ibnu As-Sikiit dalam pelajaran bahasa,
satu pelajaran sharaf,
satu pelajaran Ushul Fiqh, dan kadang kitab Al-Lam ‘uoleh Abi Ishaq dan kadang Al-Muntakhab oleh Fakhrur Raazi; dan
satu pelajaran tentang Asma’u Rijal,
satu pelajaran Ushuluddin, dan adalah beliau menulis semua hal yang
bersangkutan dengan semua pelajaran ini, baik mengenai penjelasan
kemusykilannya maupun penjelasan istilah serta detail bahasanya.
Imam An-Nawawi sangat tekun dan telaten dalam mudzakarah dan belajar
siang dan malam, selama sekitar dua puluh tahun hingga mencapai
puncaknya. Beliau rajin sekali dan menghafal banyak hal sehingga
mengungguli teman-temannya yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memberikan berkah kepadanya dalam pemanfaatan waktu. Sehingga ia
berhasil menjadikan apa yang telah disimpulkannya sebagai sebuah karya
dan menjadikan karyanya sebagai hasil maksimal dari apa yang telah
disimpulkannya.
Ia Imam An-Nawawi menuliskan dalam sebuah kitabnya: “Dan aku menulis
segala yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit
maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telahmemberikan
barakah dalam waktuku.”
PENGABDIANNYA DALAM MENYEBARKAN ILMU
Ketika usia beliau menginjak 30 tahun beliau mulai aktif menulis. Beliau
menuangkan pikiran-pikirannya dalam berbagai buku dan karya ilmiah
lainnya yang sangat mengagumkan. Beliau menulis dengan bahasa yang
mudah, argumentasi yang kuat, pemikiran yang jelas, dan objektif dalam
memaparkan berbagai pendapat para ahli fiqih. Hingga sampai saat ini,
karya-karya yang ditulisnya mendapatkan perhatian yang besar dari setiap
muslim dan diterima oleh setiap kalangan di seluruh negeri islam.
Buku-buku yang beliau tulis sangatlah banyak, insya Allah akan kami
sebutkan beberapa karya beliau diakhir tulisan ini insya Allah.
Kemudian pada tahun 665 H, beliau diberi tugas untuk menjadi guru di
Darul Hadits Al-Asyrafiyyah dan mengelola bidang pendidikan. Saat itu,
usianya baru menginjak 34 tahun. Dan mengajar di sana hingga wafat.
Gaji yang diberikan Madrasah Darul Hadits Al-Asyrafiyyah sangat besar,
ia tidak pernah mengambilnya, tetapi mengumpulkannya pada kepala
madrasah. Dan apabila telah sampai setahun, uang tersebut digunakan
untuk membeli aset dan mewakafkannya untuk Darul Hadits tempat beliau
mengajar atau digunakan untuk membeli kitab dan mewakafkannya untuk
perpustakaan madrasah.
GURU-GURUNYA
Seumur hidupnya beliau menuntut ilmu dari banyak guru, diantaranya :
Di bidang fiqih dan ushulnya
Ishaq bin Ahmad bin ’Utsman al-Maghribi Al-Maqdisi, wafat pada 650 H
Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad al-Maqdisi, wafat pada tahun 654 H,
Sallar bin aI-Hasan al-Irbali al-Halabi ad-Dimasyqi, wafat pada tahun 670 H
Umar bin Bandar bin Umar at-Taflisi asy-Syafi’i, wafat pada tahun 672 H
Abdurrahman bin Ibrahim bin Dhiya’ al-Fazari yang lebih dikenal dengan al-Farkah, wafat pada tahun 690 H.
Di bidang ilmu hadits
Abdurrahman bin Salim bin Yahya al-Anbari, yang wafat pada tahun 661 H,
Abdul ’Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin al-Anshari, yang wafat pada tahun 662 H,
Khalid bin Yusuf an-Nablusi, yang wafat pada tahun 663 H,
Ibrahim bin ’Isa al-Muradi, yang wafat pada tahun 668 H,
Isma’il bin Abi Ishaq at-Tanukhi, yang wafat pada tahun 672 H,
Abdurrahman bin Abi Umar al-Maqdisi, yang wafat pada tahun 682 H.
Di bidang ilmu nahwu dan bahasa
Syaikh Ahmad bin Salim al-Mishri, wafat pada tahun 664 H,
al-’Izz al-Maliki, salah seorang ulama bahasa dari madzhab imam malik.
MURID-MURIDNYA
Adapun murid-murid beliau yang melalui didikannya bermunculan para ulama
besar, di antaranya adalah Sulaiman bin Hilal al-Ja’fari, Ahmad Ibnu
Farah al-Isybili, Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah,
’Ala-uddin ’Ali Ibnu Ibrahim yang lebih dikenal dengan Ibnul ’Aththar,
ia selalu menemaninya sampai ia dikenal dengan sebutan Mukhtashar
an-Nawawi (an-Nawawi junior), Syamsuddin bin an–Naqib, dan Syamsuddin
bin Ja’wan dan masih banyak yang lainnya.
AKHLAK DAN SIFATNYA
Para penulis biografi sepakat bahwa Imam an-Nawawi adalah seorang
pemimpin dalam bidang zuhud, panutan dalam hal wara’, orang yang selalu
memberikan pandagan yang bijak di bidang hukum, orang yang
bersungguh-sunguh dalam menyuruh kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran serta beliau senantiasa memberi nasihat kepada penguasa.
Beliapun termasuk orang yang senantiasa beribadah di siang dan malamnya.
Berikut adalah beberapa sifat dan akhlak beliau yang mulia :
1. Zuhud
Imam An-Nawawi tidak terlenana dengan kenikmatan dunia, sikap ini dapat
terlihat dari sikap beliau yang menolak untuk diberi gaji, karena bagi
beliau puncak kenikmatan adalah melalui ilmu yang dipelajarinya.
Beliau menulis dalam Muqadimah Syarh Al-Muhadzdzab -dan ini adalah pesan
emas bagi para penuntut ilmu-, “Ketahuilah, apa-apa yang kami sebutkan
terkait dengan keutamaan menimba ilmu, sesungguhnya itu semua hanya
diperuntukkan bagi orang yang mempelajarinya karena menginginkan wajah
Allah ta’ala (ikhlas), bukan karena motivasi duniawi. Barangsiapa yang
belajar karena dorongan dunia seperti; harta, kepemimpinan, jabatan,
kedudukan, popularitas, atau supaya orang-orang cenderung kepadanya,
atau untuk mengalahkan lawan debat dan tujuan semacamnya maka hal itu
adalah tercela.”
Selain itu yang menarik perhatian adalah bahwa beliau pindah dari sebuah
perkampungan sederhana menuju kota Damaskus yang penuh dengan
kesenangan dan kenikmatan, sedangkan ketika itu usia beliau masih sangat
muda dan dalam kondisi fisik yang masih kuat. Meskipun demikian, beliau
tidak pernah berpaling untuk memperhatikan semua kesenangan dan syahwat
tersebut. Beliau justru membenamkan diri dalam kesungguhan dan
kehidupan yang sederhana.
2. Wara’.
Dalam kehidupannya banyak yang menggambarkan kewaraannya. Dan di
antaranya adalah beliau tidak mau memakan sayuran yang berasal dari
damaskus. Ketika ditanya tentang hal itu, beliau menjawab “Karena di
sana banyak tanah wakaf dan kepemilikan yang dikelola oleh orang yang
seharusnya dilarang melakukan pengelolaan.” Sedangkan untuk kasus itu,
tanah tersebut tidak boleh dikelola kecuali untuk maslahat umum, dan
kerja sama yang ada haruslah dalam bentuk kontrak kerja sama dengan
sistem masaqat. Dan dalam hal ini banyak ulama berbeda pendapat. Dan
karena sifat wara’nya, beliau tidak mau memakan sayuran tersebut.
3. Seorang Alim Penasihat
Dalam diri Imam Nawawi tercermin sifat-sifat alim, suka memberi nasihat,
seorang yang berjihad di jalan Allah dengan lisannya, menegakkan
kewajiban beramar ma’ruf nahi mungkar. Seorang yang mukhlish dalam
memberi nasihat, tidak mempunyai tendensi apapun, seorang yang
pemberani, tidak takut celaan di jalan Allah terhadap orang yang
mencelanya. Seorang yang mempunyai bayan dan hujjah untuk memperkuat
dakwaannya.
Beliau dijadikan rujukan oleh manusia bila mereka menghadapi perkara
yang sulit dan pelik, serta minta fatwa kepadanya. Dan beliau
menanggapinya serta berusaha memecahkan permasalahannya, seperti ketika
berkenaan dengan hukum penyitaan atas dua taman di Syam; ketika Damaskus
kedatangan penguasa dari Mesir, dari Raja Bibiris, setelah mereka dapat
mengusir pasukan Tartar, maka wakil (pejabat) baitul maal menyangka
bahwa kebanyakan dari taman-taman yang berada di Syam tersebut adalah
milik negara. Maka sang raja memerintahkan untuk memagarinya, yakni
menyitanya.
Maka orang-orang melaporkan hal itu kepada Imam An-Nawawi di Daarul
Hadits. Kemudian beliau menulis surat kepada sang penguasa yang
dinyatakan di dalamnya sebagai berikut:
“Kaum muslimin merasa dirugikan atas adanya penyitaan hak milik mereka,
oleh karena itu mereka menuntut supaya hak milik mereka dikembalikan.
Dan penyitaan ini tidak dihalalkan oleh seorang ulama’ pun dari kalangan
kaum muslimin. Karena barangsiapa yang di tangannya sesuatu maka dialah
pemiliknya, tidak boleh seorang pun merampasnya dan tidak dibenarkan
menjadikannya sebagai status miliknya.”
Maka marahlah sang penguasa tersebut terhadap nasihat yang ditujukan
kepadanya itu, lalu ia memerintahkan supaya gaji syaikh itu dihentikan
dan dicopot dari jabatannya. Akan tetapi orang-orang menyatakan bahwa
syaikh itu tidak mendapat gaji dan tidak pula mempunyai jabatan.
Akhirnya ketika penguasa itu memandang bahwa tidak bermanfaat lagi
surat-menyurat, maka ia pergi sendiri untuk menemui Imam An-Nawawi dan
hendak mengumpatnya habis-habisan dan ia ingin mengamuknya. Akan tetapi
Allah memalingkan hati penguasa itu dari berbuat yang demikian itu dan
melindungi Imam An-Nawawi dari hal semacam itu. Bahkan sang penguasa itu
kemudian mencabut penyitaan dan manusia pun dilepaskan Allah dari
kejahatannya.
PUJIAN-PUJIAN PARA ULAMA TERHADAPNYA
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentangnya,
“Beliau adalah syaikhul madzhab (maksudnya guru besar dalam madzhab
Syafi’i) dan ahli fikih besar di masanya.” Al-Hafizh Adz-Dzahabi
rahimahullah mengatakan tentangnya, “Beliau adalah ahli fatwa umat ini,
syaikhul islam, seorang Hafizh (penghafal hadits) yang cemerlang, salah
seorang imam besar dan pemimpin para wali.”
Adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan tentangnya,
“Beliau adalah profil manusia yang berpola hidup sangat sederhana dan
anti kemewahan. Beliau adalah sosok manusia yang bertaqwa, qana’ah,
wara, memiliki muraqabatullah baik di saat sepi maupun ramai. Beliau
tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpakaian indah, makan-minum
lezat, dan tampil mentereng. Makanan beliau adalah roti dengan lauk
seadanya. Pakaian beliau adalah pakaian yang seadanya, dan hamparan
beliau hanyalah kulit yang disamak.”
Abul Abbas bin Faraj rahimahullah mengatakan tentangnya,
“Syaikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih 3 tingkatan yang mana 1
tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan
merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan
luas).Tingkatan kedua adalah zuhud (yang sangat). Tingkatan ketiga
adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi munkar.”
Ibnul Aththar rahimahullah mengatakan tentangnya,
“Guru kami An Nawawi disamping selalu bermujahadah, wara’, muraqabah,
dan mensucikan jiwanya, beliau adalah seorang yang hafidz terhadap
hadits, bidang – bidangnya, rijalnya, dan ma’rifat shahih dan dha’ifnya,
beliau juga seorang imam dalam madzhab fiqh.”
Ibnul Aththar rahimahulah juga berkata,
“Guru kami An Nawawi menceritakan kepadaku bahwa beliau tidak pernah
sama sekali menyia – nyiakan waktu , tidak di waktu malam atau di waktu
siang bahkan sampai di jalan beliau terus dalam menelaah dan manghafal.”
Quthbuddin Al Yuniny rahimahullah mengatakan tentangnya,
“Beliau adalah teladan zamannya dalam ilmu, wara’, ibadah, dan zuhud.”
Syamsuddin bin Fakhruddin Al Hanbaly rahimahullah mengatakan tentangnya,
“Beliau adalah seorang imam yang menonjol, hafidz yang mutqin, sangat
wara’ dan zuhud.”
Rasyid bin Mu’aliim rahimahullah mengatakan tentangnya,
“Syaikh Muhyiddin An Nawawi sangat jarang masuk kamar kecil, sangat
sedikit makan dan minumya, sangat takut mendapat penyakit yang
menghalangi kesibukannya, sangat menghindari buah – buahan dan mentimun
karena takut membasahkan jasadnya dan membawa tidur, beliau sehari
semalam makan sekali dan minum seteguk air di waktu sahur.”
WAFATNYA
Pada tahun 676 H. beliau kembali ke kampung halaman-nya di Nawa.
Sebelumnya mengembalikan berbagai kitab yang dipinjamnya dari sebuah
badan waqaf, dan menziarahi makam para guru beliau juga bersilaturrahim
dengan para sahabat beliau yang masih hidup. Di hari keberangkatan
beliau, para jama’ah yang beliau bina melepas kepergian beliau di
pinggiran kota Damaskus, mereka lalu bertanya: “Kapan kita bisa
bermuwajahah lagi (wahai syaikh)?” Beliau menjawab: “Sesudah 200 tahun.”
Akhirnya mereka paham bahwa yang beliau maksud adalah sesudah hari
kiamat.
Beliau berziarah ke makam orang tuanya, Baitul Maqdis, dan makam
AI-Khalil (Ibrahim) ‘Alaihissalam. Setelah itu barulah beliau meneruskan
perjalanannya ke Nawa. Di sanalah (Nawa) beliau lalu jatuh sakit dan
akhirnya wafat pada malam Rabu tanggal 24 Rajab (tahun 676 H.). Ketika
kabar wafatnya beliau tersiar sampai ke Damaskus, seolah seantero
Damaskus dan sekitarnya menangisi kepergian beliau. Kaum muslimin
benar-benar merasa kehilangan sosok Imam An-Nawawi. Penguasa di saat
itu, ’Izzuddin Muhammad bin Sha’igh bersama para jajarannya datang ke
makam Imam Nawawi di Nawa untuk menshalatkannya. Beliau ditangisi oleh
tidak kurang dari 20.000 orang atau 600 keluarga lebih. Semoga Allah
selalu mencurahkan rahmat yang luas kepada beliau dan membangkitkan
beliau kelak bersama mereka yang telah dikaruniai nikmat yang besar
yakni dari kalangan para Nabi, Shiddiqin, Syuhada, dan Shalihin.
KITAB-KITAB YANG BELIAU TULIS
Berikut adalah beberapa kitab yang beliau tulis :
Dalam Bidang Fiqh
1. Al-Majmu’
Kitab ini merupakan penjelasan (syarah) dari kitab Al-Muhadzdzab karya
Abu Ishaq As-Syirozi. Banyak ulama mengakui dan memuji kitab ini, namun
sayangnya kitab ini belum sempat beliau selesaikan, hanya sampai pada
penjelasan kitab riba pada jilid ke 9. Namun kitab ini kemudian
diteruskan oleh As-Subki sebanyak 3 jilid dan kemudian dilengkapi oleh
Sayyid Muhammad Najib Al-Muthi’i
2. Raudhatuth Thalibin
Kitab ini tergolong kitab-kitab besar yang terdiri dari 12 Jilid. Di
dalamnya, beliau membahas hukum-hukum As-Syarhul Kabir (karya Imam Rafi’
asy-Syafi’i) berikut penjelasan cabang-cabangnya secara detail dan
mengumpulkan sekaligus mengoreksi berbagai cabang permasalahan yang
semula berserakan di sana sini: Sehingga kitab ini menjadi rujukan dalam
taljih, panduan dalam tash-hih, referensi para cerdik pandai dalam
mengeluarkan fatwa, dan acuan para tokoh dalam membahas berbagai
persoalan kontemporer.
3. Al-Minhaj
Kitab ini adalah mukhtashar (ringkasan) dari kitab Muharrar, karya Imam
Rafi’ Asy-Syafi’i. Kitab ini sangat mashyur (terkenal) dan dijadikan
sebagai sandaran dalam mempelajari madzhab Syafi’i.
4. Al-Fatawa
Kitab ini merupakan kumpulan berbagai persoalan yang tidak disusun
berdasarkan tema per tema. Kitab ini lalu disusun secara tematis oleh
murid beliau Syaikh ‘Alauddin Al-’Aththar dengan tambahan beberapa hal
penting yang didengarnya langsung dari beliau.
Dalam Bidang Hadits
1. Syarah Shahih Bukhari
Kitab tidak sempat beliau selesaikan dan baru beliau tulis sebanyak 1 jilid.
2. Al-Minhaj Syarah Sahih Muslim
Kitab ini adalah kitab syarah Shahih Muslim yang paling besar dan
terkenal. Kitab ini terdiri dari 9 jilid dan termasuk karya terakhir
beliau.
3. Syaarah Sunnan Abu Dawud
Kitab ini juga tidak selesai.
4. Arba’in An-Nawawi
Kitab ini adalah kitab hadits yang banyak dirokemendasikan oleh ulama,
karena di dalamnya termuat berbagai hadits seputar dasar-dasar agama
islam yang sangat penting untuk dipelajari, seperti tentang iman, islam,
ihsan dan lain sebagainya.
5. Riyadhush Shalihih.
Ini adalah salah satu kitab beliau yang paling terkenal di kalangan kaum
muslimin, hampir di setiap masjid-masjid di negeri kaum muslimin kita
akan dapati kitab ini.
6. At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir
Dalam Bidang Biografi dan Bahasa Arab
1. Tahdzibul Asma’ wal Lughat
Di dalamnya beliau menulis sejumlah biografi singkat dari ulama-ulama
baik laki-laki maupun wanita yang disebutkan di dalam kitab Mukhtasor
al-Muzzani, Al-Muhadzdzab, At-Tanbih, Al-Wasith dan Al-Wajiz. Selain itu
juga menjelaskan tentang bahasa Arab. Kitab ini mendapat pujian daro
beberapa ulama.
2. Thabiqat Asy-Syafi’iyyah
Kitab ini menjelaskan tentang biografi ulama-ulama syafi’i.
3. Manaqib Asy-Syafi’i
Kitab ini menjelaskan mengenai kedudukan dan keutaman Imam Asy-Syafi’i rahimahullah serta hal-hal lain yang berkaitan dengannya.
Dalam Bidang Akhlak
1. At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an
Kitab ini membahasa mengenai adab-adab bagi penghafal Al-Qur’an.
2. Bustanul Arifin
3. Al-Adzkar
Dan masih banyak kitab beliau yang lain yang tidakbisa kami tulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar