Minggu, 01 Mei 2016

PERJALANAN SPIRITUAL SUNAN GUNUNG JATI

Tersebutlah Rara santang adik dari walang sungsang Anak maharaja sri baduga prabu silihwangi dari istrinya yg ke 2 nyi subang larang.
Rara santang yg menikah dengan Raja Mesir Ia melahirkan bayi kembar
laki-laki: anak pertama diberi nama
Syarif Hidayat, sedangkan anak kedua
syarif (Ng)aripin. Ketika mereka sudah
berumur 14 tahun, mereka rajin
mempelajari ilmu agama. Lebih-lebih
Syarif Hidayat, segala macam kitab
agama ia baca hingga akhirnya pada suatu hari di Gedung Agung dia menemukan sebuah kitab yang ditulis dengan tinta emas,sebuah kitab yang bernama “Kitab Usul Kalam”. Kitab ini memperinci hakekat Nabi Muhammad dan menjelaskan mengenai Allah Yang Maha suci.
Pupuh keduabelas
Sinom, 21 bait. Setelah membaca kitab rahasia yang menjelaskan bahwa lamun sira arep luwi, gegurua ing Mukhamad ( jika ingin menjdi manusia istimewa bergurulah kepada Muhammad ), Syarif Hidayat merasa setengah tidak percaya terhadap amanat yang tertera dalam
buku itu. Namun, dalam setiap tidurnya,ia selalu bermimpi melihat cahaya yang mengeluarkan suara: e Syarif Hidayat iki, rungunen satutur isun, lamon sira arep mulya, nimbangi keramat Nabi,ulatana sira guguru Mukhamad ( Hai Syarif Hidayat dengarkanlah petunjukku,jika engkau ingin menjadi manusia mulia sehingga dapat mengimbangi
keramat nabi, carilah dan bergurulah
kepada Muhammad ). Dalam hatinya, ia merasa pedih mengenang nasibnya yang tidak berayah sehingga tidak ada yang dapat menuntun mengkaji ilmu.
Meskipun demikian, hatinya teguh
hendak menuruti petunjuk kitab dan
panggilan mimpi. Ia memohon diri
kepada ibunya dan sudah tak dapat
dicegah lagi kemauannya. Ia tidak
tertarik pada kedudukan sebagai raja.
Syarif Hidayat mulai mengembara
mencari Nabi Muhammad. Ia berziarah ke patilasan Nabi Musa dan Nabi Ibrahim di Mekah, tetapi belum juga memperoleh petunjuk. Lalu, ia shalat hajat dua rakaat, memuji Tuhan,membaca shalawat nabi, dan
mengucapkan taubat. Setelah itu, ia
melanjutkan perjalanan ke gunung
Jambini. Di sana, ia bertemu dengan
Naga Pratala yang menderita sakit
bengkak. Sang Naga minta diobati, dan Syarif Hidayat hanya menjawab : yen lamon isun pinanggi, pasti waras puli kadi du ing kuna ( jika aku benar-benar dapat bertemu dengan Nabi Muhammad pastilah engkau sembuh ). Seketika Naga Pratala menjadi sembuh.Kemudian, ia memberikan sebuah cincin pusaka bernama Marembut yang berkhasiat dapat melihat segala isi bumi
dan langit. Oleh Naga Pratala, Syarif
Hidayat dianjurkan agar pergi ke pulau Majeti (Mardada) menemui pertapa di sana.
Pulau Mardada dihuni oleh binatang
buas dan berbisa yang sedang menjaga sebuah keranda biduri. Di sebuah cabang kay yang tinggi, Syarif Hidayat melihat ada seorang pemuda bernama Syekh Nataullah sedang bertapa.
Pemuda itu menjelaskan bahwa tidak
ada harapan untuk menemui orang yang sudah tiada, lebih baik berusaha
mendapatkan cincin Mulikat yang
berada di tangan Nabi Sulaiman. Ia
menjelaskan bahwa barang siapa
memiliki cincin Mulikat, ia akan
menguasai seisi langit dan bumi, serta dihormati oleh umat manusia. Syarif Hidayat kemudian mengajak Syekh Nataullah bersama-sama mengambil cincin tersebut.
Pupuh ketigabelas
Kinanti, 30 bait. Ketika Syarif Hidayat
berada di makam Nabi Sulaeman,
jenazah Nabi Sulaeman seolah-olah
hidup dan memberikan cincin Mulikat
kepadanya. Syekh Nataullah mencoba
merebut cincin tersebut, tetapi tidak
berhasil. Tiba-tiba meledaklah petir dari mulut Nabi Sulaeman sehingga yang sedang mengadu tenaga memperebutkan cincin tersebut terlempar. Syekh Nataullah melesat jatuh di pulau jawa,sedangkan Syarif Hidayat jatuh di Pulau Serandil.
Cerita dalam pupuh ini diselingi oleh
kisah Rarasantang yang merindukan
Syarif Hidayat. Sudah sepuluh tahun
Rarasantang ditinggal putranya. Ia
selalu berdoa agar anaknya mendapat
lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tiba-tiba, ia mendengar suara, ujarnya :
wondening anakira iku, waruju kang dadi aji, Banisrail kratonira, nama Sultan Dul Sapingi, mung kang dadi lara brangta,amung putranipun Syarip, lamon eman maring siwi, balik angungsiyang Jawa,
lamon arep ya pinanggi ( Anakmu yang muda itu akan menjadi raja, keratonnya di Baniisrail, bergelar Abdul Sapingi.
Jika engkau benar-benar merindukan
anakmu Syarip Hidayat, sebaiknya
kembalilah engkau ke Pulau Jawa.)
Akhirnya, Rarasantang kembali ke Pulau Jawa menantikan anaknya di Gunung Jati menuruti pesan Syekh Datuk Kahfi.
Cerita kembali ke Syarif Hidayat yang
jatuh di Gunung Surandil. Di sana, ia
melihat sebuah kendi berisi air sorga
yang sangat harum baunya. Kendi itu
mempersilahkan Syarif Hidayat
meminumnya. Karena ia hanya
menghabiskan setengahnya, kendi itu
meramalkan bahwa kesultanan yang
kelak akan didirikan olehnya tidak akan langgeng. Meskipun kemudian air kendi itu dihabiskan, namun yang langgeng hanyalah negaranya, bukan raja-rajanya. Setelah berkata demikian, kendi itu pun lenyap.
Syarif Hidayat kemudian bertemu
dengan Syekh Kamarullah. Atas
anjurannya, Syekh Kamarullah pergi ke Jawa dan menetap di gunung Muriya dengan gelar Syekh Ampeldenta. Dengan
demikan, sudah empat orang syekh dari Mekah yang tiba di tanah Jawa.
Pupuh keempatbelas
Sinom, 28 bait. Suatu ketika, Nabi
Aliyas ( Ilyas ) menyamar sebagai
seorang wanita pembawa roti. Ia
menawarkan kepada Syarif Hidayat
bahwa rotinya adalah roti sorga, dan
barang siapa yang memakan roti itu, ia akan mengerti berbagai macam bahasa Arab, Kures, Asi, Pancingan, Inggris,cina,Turki.
Nabi Aliyas juga memberi petunjuk bahwa jika hendak mencari
Muhammad ikutilah seseorang yang
menunggang kuda di angkasa, dialah
Nabi Khidir yang dapat memberi
petunjuk. Wanita pemberi petunjuk itu
hilang seketika dan tiba-tiba di angkasa tampak seorang penunggang kuda.
Syarif Hidayat melesat ke angkasa lalu membonceng di ekor kuda. Nabi Khidir—penunggang kuda—menyentakkan kudanya hingga Syarif Hidayat terpelanting dan jatuh di negeri Ajrak di hadapan Abdul Sapari.
Abdul Sapari memberinya dua butir
buah kalam muksan; sebuah dimakan
habis oleh Syarif Hidayat dan terasa
manis sekali, sementara sebuah lagi
disimpan untuk lain waktu. Abdul Sapari menyatakan bahwa tindakan itu menjadi pertanda bahwa kelak akan timbul tantangan-tantangan di saat Syarif Hidayat menjadi sulltan. Tidak demikian halnya jika dua buah itu dihabiskan sekaligus. Akhirnya, buah Kalam Muksan yang sebuah lagi segera dimakan, namun rasanya sangat pahit dan sangat menyakitkan seperti sakitnya orang menghadapi sakratul maut.
Ia pingsan seketika. Abdul Sapari
segera memanggil patih Sadasatir untuk memasukkan Syarif Hidayat ke
bubungan mesjid. Dari situ, Syarif
Hidayat mikraj ke langit. Dalam
perjalanan mikraj, pertama kali ia
sampai di pintu dunia dan melihat
orang-orang yang mati sabil serta
mukmin yang alim dan kuat beribadat.
Di langit kedua, ia bertemu dengan roh-roh wanita yang setia dan patuh pada suami. Di langit ketiga, ia bertemu dengan Nabi Isa yang menghadiahkan nama Syarif Amanatunggal. Di langit
keempat, ia bertemu dengan ribuan
malaikat yang dipimpin oleh Jibril,
Mikail, Israfil, dan Izrail. Para
pemimpin malaikat juga memberinya
nama, antara lain, Malaikat Jibril
memberi nama Syekh Jabar, Mikail
memberi nama Syekh Surya, Israfil
memberi nama Syekh Sekar, dan Izrail
memberinya nama Syekh Garda
Pangisepsari. Di langit kelima, ia
bertemu dengan ribuan nabi, antara lain,
Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Musa.
Mereka juga menghadiahi nama baru
bagi Syarif Hidayat. Nabi Adam
memberi nama Syekh Kamil, Nabi
Ibrahim memberi nama Saripulla, dan
Nabi Musa memberi nama Syekh Marut.
Selanjutnya, Syarif Hidayat melihat
neraka, dinding jalal, dan meniti sirotol
mustakim. Akhirnya, ia tiba di langit
ketujuh dan melihat cahaya terang
benderang.
Pupuh kelimabelas
Kinanti, 26 bait. Di langit ketujuh Syarif Hidayat “bertemu” dengan Nabi
Muhammad yang sedang tafakur. Nabi Muhammad menjelaskan bahwa ia sudah meninggal.
Karena itu, ia tidak boleh mengajar umat manusia. Apalagi
karena di dunia sudah ada wakilnya,
yakni para fakir, haji, kitab Al qur’an,
puji-pujian, dan segala macam ilmu
telah lengkap di dunia. Akan tetapi,
Syarif Hidayat berkeras tak mau berguru pada aksara. Ia ingin mendengar penjelasan langsung dari Nabi Muhammad, terutama tentang makna asasi kalimat syahadat dan
perbedaannya dengan zikir satari. Nabi Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan Syarif Hidayat dan menganugerahkan jubah akbar. Syarif Hidayat diperintahkan agar pergi ke tanah Jawa, dan berguru kepada Syekh Nurjati di Gunung Jati, serta tetap memelihara dan menjaga syareat.
Syarif Hidayat lalu turun dari langit
ketujuh ke puncak Mesjid Sungsang di
Ajrak dan kembali ke Gunung Jati. Di
sana, ia bertemu dengan bundanya yang sudah menjadi pertapa wanita bernama Babu Dampul, sedangkan Syekh Nurjati telah pindah ke gua Dalam.
Pupuh keenambelas
Sinom, 27 bait. Syekh Nurjati berusaha menghindari pertemuan dengan Syarif Hidayat. Ketika tamunya datang, ia meninggalkan sepucuk surat dan meminta agar Syarif Hidayat menyusul ke Gunung Gundul. Ia segera menyusul ke Gunung Gundul, tetapi Syekh Nurjati
pergi ke Gunung Jati. Akhirnya, atas
petunjuk cincin Marembut, ia
mencegatnya di tengah jalan. Keduanya mendiskusikan ilmu agama. Syekh Nurjati memberi nama syarif Hidayat dengan nama Pangeran Carbon, dan kelak jika sudah menjadi sultan bergelar Sultan Jatipurba.
Selesai mengutarakan pesan-pesannya,
Syekh Nurjati lenyap dan tidak pernah
muncul lagi sebagai Syekh Nurjati
melainkan sudah bernama Pangeran
Panjunan atau Syekh Siti Jenar, dan
bergelar Sunan Sasmita. Dengan
perantaraan cincin Marembut, Syarif
Hidayat melihat ke mana sebenarnya
kepergian Syekh Nurjati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar