Sabtu, 22 Februari 2020

Sejarah Imam Ad-Darimi Rh


Beliau adalah Al-Hafizh al-Imam Abdullah bin Abdul Rahman bin Fadhl bin Bahram bin Abdillah ad-Darimi as-Samarqandi.‎
Kuniyah beliau; Abu Muhammad
Nasab beliau:
At Tamimi; adalah nisbah yang ditujukan kepada satu qabilah Tamim.
Ad Darimi; adalah nisbah kepada Darim bin Malik dari kalangan at Tamimi. Dengan nisbah ini beliau terkenal.
As Samarqandi; yaitu nisbah kepada negri tempat tinggal beliau
Tanggal lahir:
Ia di lahirkan pada taun 181 H, sebagaimana yang di terangkan oleh imam Ad Darimi sendiri, beliau menuturkan; ‘aku dilahirkan pada tahun meninggalnya Abdullah bin al Mubarak, yaitu tahun seratus delapan puluh satu.
Ada juga yang berpendapat bahwa beliau lahir pada tahun seratus delapan puluh dua hijriah.
Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Allah menganugerahkan kepada iama Ad Darimi kecerdasan, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadits. Beliau berjumpa dengan para masyayikh dan mendengar ilmu dari mereka. Akan tetapi sampai sekarang kami tidak mendapatkan secara pasti sejarah beliau dalam memulai menuntut ilmu.‎
Beliau adalah sosok yang tawadldlu’ dalam hal pengambilan ilmu, mendengar hadits dari kibarul ulama dan shigharul ulama, sampai-sampai dia mendengar dari sekelompok ahli hadits dari kalangan teman sejawatnya, akan tetapi dia jua seorang yang sangat selektif dan berhati-hati, karena dia selalu mendengar hadits dari orang-orang yang terpercaya dan tsiqah, dan dia tidak meriwayatkan hadits dari setiap orang.
Rihlah beliau
Rihlah dalam rangka menuntut ilmu merupakan bagian yang sangat mencolok dan sifat yang paling menonjol dari tabiat para ahlul hadits, karena terpencarnya para pengusung sunnah dan atsar di berbagai belahan negri islam yang sangat luas. Maka Imam ad Darimi pun tidak ketinggalan dengan meniti jalan pakar disiplin ilmu ini.
Pendidikannya
Sebagai seorang yang bertekad menjadi penyebar hadits dan sunnah, maka syarat-syarat sebagai seorang rawi sejati menjadi satu kemestian untuk dimiliki.
Diantaranya ia mesti terlebih dahulu belajar dan berguru. dalam rangka menuntut ilmu merupakan bagian yang sangat mencolok dan sifat yang paling menonjol dari tabiat para ahlul hadits, karena terpencarnya para pengusung sunnah dan atsar di berbagai belahan negri islam yang sangat luas. Maka Imam ad-Darimi pun tidak ketinggalan dengan merantau dibeberapa Negara yang terkenal, ‎diantara negara yang pernah beliau singgahi untuk menuntut ilmu adalah:
· Khurasan
· Iraq
· Badgdad
· Kuffah
· Wasith
· Bashroh
· Syam, Damaskus dan Shur.
· Jazirah
· Hijaz, Makkah dan madinah
Guru-guru beliau
Guru-guru imam Ad Darimi yang telah beliau riwayatkan haditsnya adalah;
Yazid bin Harun
Ya’la bin ‘Ubaid
Ja’far bin ‘Aun
Basyr bin ‘Umar az Zahrani
‘Ubaidullah bin Abdul Hamid al Hanafi
Hasyim bin al Qasim
‘Utsman bin ‘Umar bin Faris
Sa’id bin ‘Amir adl Dluba’i
Abu ‘Ashim
‘Ubaidullah bin Musa
Abu al Mughirah al Khaulani
Abu al Mushir al Ghassani
Muhammad bin Yusuf al Firyabi
Abu Nu’aim
Khalifah bin Khayyath
Ahmad bin Hmabal
Yahya bin Ma’in
Ali bin Al Madini
Dan yang lainnya
Murid-murid beliau
Sebagaimana kebiasaan ahlul hadits, ketika mereka mengetahui bahwa seorang alim mengetahui banyak hadits, maka mereka berbondong-bondong mendatangi alim tersebut, guna menimba ilmu yang ada pada diri si ‘alim. Begitu juga dengan Imam Ad Darimi, ketika para penuntut ilmu mengetahui kapabaliti dalam bidang hadits yang dimiliki imam, maka berbondong-bondong penuntut ilmu mendatanginya, diantara mereka itu adalah;
Imam Muslim bin Hajaj
Imam Abu Daud
Imam Abu ‘Isa At Tirmidzi
‘Abd bin Humaid
Raja` bin Murji
Al Hasan bin Ash Shabbah al Bazzar
Muhammad bin Basysyar (Bundar)
Muhammad bin Yahya
Baqi bin Makhlad
Abu Zur’ah
Abu Hatim
Shalih bin Muhammad Jazzarah
Ja’far al Firyabi
Muhammad bin An Nadlr al Jarudi
Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Karya-karyanya
Sebagai ulama’ hadits yang terkenal, seperti para ulama hadits lainnya, Imam ad-Darimi juga memiliki karya-karya dalam bidang ilmu hadits yang jumlahnya cukup banyak. Diantaranya adalah:
· Sunan ad-Darimi
· Tsulutsiyat (kitab hadits)
· Al Jami'
· Tafsir
Komentar Ulama’ tentang Imam ad-Darimi
Imam ad-Darimi adalah ulama hadits yang sangat terkenal dibidang hadits, maka banyak dari kalangan ulama yang memberikan sanjungan kepada Imam ad-Darimi, diantaranya adalah:
· Imam Ahmad bin Hanbal memuji beliau dan menggelarinya dengan gelar “imam” dan berpesan agar menjadikannya rujukan (seraya ucapannya diulang-ulang).
· Muhamad bin Basyar (bundar) berkata : “penghapal kaliber dunia ada empat: Abu Zur’ah ar-Razi, Muslim an-Nasaiburi, Abdullah bin Abdul Rahman di Samarqandi dan Muhamad bin Ismail di Bukhari”
· Abu Bakar al-Khilib al-Baghdadi melukiskan hal ini dalam buku beliau tarikh baghdad, dan kemudian di nukil oleh adz-Dzahabi, ia berkata: “ia salah seorang pengembara sejati dalam mencari hadits atau memiliki kekuatan hapalan, dalm mengumpulkan hadits secara propesional (itqan)”
· Abu Harits ar-Razi berkata: “…dan Abdullah bin Abdurrahman paling kuat (atsbat) di antara mereka (Bukhari, Muhamad bin Yahya dan Muhamad bin Aslam).
Adz-Dzahabi menjulukinya dengan tawafal (mengelilingi banyak negeri) menjadi seorang imam, tentu saja sebuah gelar yang besar/agung. Kebesaran ini menjadi lengkap, karena ternyata beliau memang seorang imam seperti dalam makna yang sesungguhnya, luar dalam.
Muhamad bin Ibrahiem bin Manshur as-Saerozi: “Abdullah adalah puncak kecerdasan dan konsistensi beragama, di antara orang yang menjadi teladan/perumpamaan dalam kesantunan, keilmuan, hafalan, ibadah dan juhud….”. Bahkan imam Ahmad pernah menyebutkan bahwa suatu ketika ditawarkan kepada beliau materi (dunia) tetapi beliau tidak menerimanya.‎
Masih banyak sanjungan atau pujian yang diberikan para ulama kepada beliau. Sebagai seorang imam besar (profesor/guru besarpada zaman sekarang) ilmu yang dikuasainya tidak terbatas kepada satu macam saja. Pantas saja jika para ulama menempatkan beliau sebagai seorang ahli tafsir yang sempurna mumpuni dan seorang ahli fiqh yang alim.]Sudah barang tentu, penghargaan ulama seperti ini kepada beliau bukanlah datang dengan tiba-tiba –bim salabim–. Hal ini merupakan buah atau hasil dari sebuah proses panjang dalam hidup rabbani.
Wafatnya beliau
Beliau meninggal dunia pada hari Kamis bertepatan dengan hari tarwiyyah, 8 Dzulhidjah, setelah ashar tahun 255 H, dalam usia 75 tahun. Dan dikuburkan keesokan harinya, Jumat (hari Arafah)
SUNAN AD DARIMI
Sunan Ad-Darimi adalah sebuah kitab klasik yang merupakan kitab induk. Kitab ini juga dikenal dengan kitab Musnad Ad Darimi.
Sebenarnya penyebutan dengan nama Musnad Ad Darimi kurang tepat. Sebab, kitab musnad adalah kitab hadits yang diurutkan sesuai dengan urutan nama shahabat. Sedangkan kitab sunan adalah kitab yang disusun sesuai dengan urutan bab-bab fikih, mulai dari bab iman, bersuci, shalat, zakat dan seterusnya. Padahal, kitab Ad Darimi disusun berdasarkan urutan bab-bab fikih. Sehingga, kitab Ad-Darimi ini lebih tepat diberi nama Sunan Ad-Darimi.
Al Imam As Suyuthi rahimahullahmengatakan, “Musnad Ad Darimi bukanlah musnad dan kitab ini tersusun berurutan mengacu sesuai dengan bab-babnya.”
Sebagian orang ada yang menyebutkan bahwa kitab Sunan Ad Darimi adalah kitab shahih. Pernyataan ini tidaklah benar. Di dalam kitab ini yang ternyata ada hadits yang terputus sanadnya, dan hadits dhaif. Bahkan Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa pada kitab sunan Ad Darimi ada hadits yang palsu, walaupun mayoritasnya hadits shahih. Sehingga tidaklah tepat kalau kitab ini disebut dengan kitab shahih.
Perlu kita ketahui, para ulama menyatakan bahwa kitab induk hadits yang tertinggi ada enam. Mereka menyebutnya dengan Kutubus Sittah, kitab induk yang enam. Kitab tersebut adalah Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasa`i, dan Sunan Ibnu Majah.
Sebagian ulama mengatakan, “Sepantasnya Sunan Ad Darimi menjadi kitab yang keenam menggeser kedudukan kitab Sunan Ibnu Majah.” Mereka beralasan bahwa kitab Sunan Ad Darimi para perawi yang lemah lebih sedikit daripada perawi lemah yang ada pada kitab Sunan Ibnu Majah. Juga sangat jarang didapati di dalam Sunan Ad Darimi haditsmunkar (hadits seorang yang lemah menyelisihi orang yang kuat hafalannya) dan hadits syadz (hadits dari seorang perawi yang kuat hafalannya, namun menyelisihi seorang yang lebih kuat hafalannya). Walaupun di dalam Sunan Ad Darimi didapati haditsmauquf1 dan mursal2, akan tetapi Sunan Ad Darimi tetap lebih utama.
Fadhl bin Thahir rahimahullah merupakan yang pertama kali memosisikan Sunan Ad Darimi pada posisi keenam. Kemudian pernyataan beliau ini diikuti banyak orang. Al Hafizh Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa tidak hanya satu orang yang menjadikan Muwatha’ karya Imam Malik atau Sunan Ad Darimi pada posisi keenam.
Dan Al ‘Ala-i mengatakan tentang kedudukan Sunan Ad Darimi, “Sebagian ulama mengatakan kitab Ad Darimi lebih tepat dan lebih pantas untuk dijadikan kitab yang keenam untuk kitab-kitab (induk) dikarenakan para perawinya lebih sedikit yang lemah. Keberadaan hadits-hadits syadzdan munkar jarang padanya, sanad-sanadnya tinggi dan tsulatsiyat-nya (rantai periwayatan dengan jumlah perawi tiga orang sampai kepada Nabi, red.) lebih banyak dari pada tsulatsiyat-nya Al Bukhari.”
Adapun kandungan kitab Sunan Ad Darimi, seperti kitab-kitab sunan yang lain, terdiri dari beberapa kitab dan pada setiap kitab ada beberapa bab. Kitab yang dimaksud di sini adalah kumpulan bab-bab dalam satu pembahasan. Sunan AdDarimi terbagi menjadi 23 kitab.
Seperti pula pada kitab-kitab lainnya, kitab ini didahului dengan mukadimah dari pengarang. Jilid pertama kitab ini berisi mukadimah penulis dan kitab bersuci dengan bab-babnya yang banyak.
Kemudian pada jilid yang kedua, berisi dengan 9 kitab yaitu kitab ash shalat, kitab az zakat, kitabus shiyam (puasa), kitabul manasik (haji), kitabul adhahi (sembelihan), kitabus shaid (buruan), kitabul ath’imah (makanan), kitabul asyribah (minuman), kitabur ru’ya (mimpi).
Pada jilid yang ketiga mencakup 10 kitab yaitu kitabun nikah, kitabuth thalaq, kitabul hudud, kitabun nudzur wal aiman (nadzar dan sumpah), kitabud diyat (diyat pembunuhan), kitabul jihad, kitabus siyar (sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), kitabul buyu’ (jual beli), kitabul isti’dzan (izin), kitabur riqaq (perbudakan).
Adapun jilid keempat terdiri dari 3 kitab, kitabul faraidh (warisan), kitabul washaya (wasiat), dan ditutup dengan kitabul Qur’an.
Kedudukan Sunan ad-Darimi:
Sejarah yang saya ketahui, Sunan ad-Darimi, mendapatkan perhatian lebih dari para peneliti (bahitsin), terutamanya setelah muncul al-Mujtamul Mufahrats Li Alfazdil Hadits, dimana Sunan ad-Darimi menjadi salah satu rujukan Mu’jam tersebut, sehingga jika kemudian disebut Kutub at-Tis’ah, maka masuklah Sunan ad-Darimi di dalamnya.
Adapun dalam tulisan-tulisan ulama terdahulu, tentang pembahasan-pembahasan atau istilah-istilah tertentu yang berkaitan dengan kitab-kitab hadits, maka jarang di masukkan, contoh: ketika membahas tentang syarat-syarat kitab-kitab hadits tertentu, seperti Abu Bakar Muhamad Musa al-Hazimi (w. 584 H) dalam kitabnyasyurutul……….khamsah, atau Abu Fadhl bin Thahir al-Maqdisi (w. 507 H), (dalam kitabnya syurutul….sittah lebih lanjut, apakah tesis/desertasi atau kajian/tulisan non akademis? Saya belum melihatnya), hanya melihat 5/6 kitab dan tidak termasuk di dalamnya Sunan ad-Darimi.Wallahu a’lam.
Sampai sejauh ini kajian atau penelitian yang mendalam –selain dari tahqiq, tq’liq, syarh dan yang sejenisnya—belum saya jumpai, sampaipun dalam tesis-tesis atau disertasi-desirtasi. Di berbagai universitas di negeri Arab, ada satu judul buku “Imam ad-Darimi Atsaruhu Fil Hadits” dalam catatan kaki sebuah buku, namun tidak rinci. Karenannya saya pribadi tidak bisa menulis lebih dari sekedar memperkenalkan secara sangat kasat tentang buku ini.‎
Sistematika Penulisan Sunan dan Kandungannya
Sunan ad-Dârimî adalah salah satu dari sekian banyak buku-buku Hadis yang sangat berharga dalam dunia Islam. Berkata Mughkathâya: Sesungguhnya Sekolompok Ulama mengatakan musnad ad-Dârimí adalah Shâhîh”. 
Ibnu Shalâh menjadikan Sunan ad-Dârimî sebagai salah satu kitab musnad. Kalau yang dimaksud musnad adalah bahwa Hadis-hadis dalam buku itu semua bersandar kepada Nabi Saw. tidak jadi masalah, akan tetapi kalau dimaksudkan bahwa buku Sunan disusun menurut abjad nama Sahabat tidak menurtu bab-bab fiqih tentu itu tidak tepat karena buku Sunan disusun sesuai dengan bab-bab fiqih. 
Penilaian ini terjadi mungkin karena Hadis-hadis di dalam kitab Sunan semuanya ada sandarannya (musnadatun), namun kalau seperti ini penilaiannya tidak jadi masalah. Karena Shahîh Bukhâri juga dinamakan musnad jâmi’, karena hadis-hadisnya ada sandarannya bukan karena disusun menurut metode kitab-kitab musnad.
Adapun status Hadis di dalam Sunan ad-Dârimî adalah bermacam-macam, yaitu:
1. Hadis Shahîh yang disepakati oleh Imam Bukhari Muslim
2. Hadis Shahîh yang disepakati oleh salah satu keduanya
3. Hadis Shahîh di atas syarat keduanya
4. Hadis Shahîh di atas syarat salah satu keduanya
5. Hadis Hasan
6. Hadis Sadz-dzah
7. Hadis Mungkar, akan tetapi itu hanya sedikit
8. Hadis Mursal dan Mauquf, akan tetapi ada thuruq lain yang menguatkannya . 
Berkata Syekh ‘Abdul Haq ad-Dahlâwî: berkata sebahagian para ulama bahwa kitab ad-Dârimî lebih pantas dan cocok untuk dimasukkan dalam katagori kutubussittah menggantikan posisi Sunan Ibnu Mâjah, dengan alasan:
1. Karena rijâlul hadisnya lebih kuat
2. Keberadaan Hadis Sadz-dzah dan Munkar hanya sedikit
3. Sanadnya termasuk sanad yang âliyah
4. Rijâlul hadisnya tiga orang lebih banyak dalam kitab Sunan ad-Dârimî dari pada dalam Shâhih Bukhâri .
Metode Imam ad-Dârimî dalam Menyusun Materi Hadis‎
Sunan ad-Dârimî terdiri dari dua jilid, 23 kitâb dan di dalamnya terdapat 3503 Hadis. Diawali dengan Muqaddimah yang isinya tentang sejarah Nabi Muhammad Saw., ittibâ’ sunnah, ilmu dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya. 
Adapun kitâb- kitâb yang ada di dalam Sunan Ad-Dârimî adalah:
1. Kitâb at-Thahârah
2. Kitâb as-Shalât
3. Kitâb az-Zakât
4. Kitab as-Shoum
5. Kitâb al-Manâsik
6. Kitâb al-Adhahâ
7. Kitâb as-Shoid
8. Kitâb ath‘Imah
9. Kitâb asy-Ribah
10. Kitâb ar-Ru’yâ
11. Kitâb an-Nikâh
12. Kitâb At-Thalâq
13. Kitâb al-Hudûd
14. Kitâb an-Nuzur wal Aimân
15. Kitâb ad-Diyât
16. Kitâb al-Jihâd
17. Kitâb as-Sair
18. Kitâb al-Buyû
19. Kitâb Isti’zân
20. Kitâb ar-Raqâiq
21. Kitâb al-Farâid
22. Kitâb al-Washâyâ
23. Kitâb Fadhâ’il Qur’ân
Contoh Hadis dalam Sunan ad-Dârimî
جزء 2 صفحة 78 باب 48 رقم الحديث 1876
باب كيف العمل فى القدوم من منى إلى عرفة ؟
أخبرنا عبيد الله بن موسى عن سفيان عن يحي بن سعيد عن عبد الله بن أبي سلمة الماجشون عن إبن عمر قال: خرجنا مع رسول الله من مني فمنا من يكبر ومنا من يلبي. رواه مسلم فى كتاب الحج, باب 46, رقم 1284. H
.
Kitab Syarah Imam ad-Darimi
Penulis belum menemukan buku yang mensyarah Sunan ad-Dârimî ini secara luas dan mendalam. Seperti kitâb Shâhir Bukhâri yang disyarah oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni atau Shâhîh Muslim yang disyarah oleh Imam Nawawî. Yang penulis ketahui adalah hanya sekedar tahqîq dengan menjelaskan kata-kata yang asing atau gharî yang dilakukan oleh Dr. Fawwâz Ahmad Zamli dan Dr. Khâlid as-Sab’i al-‘Alamî yang dicetak oleh Dâr ar-Rayyân Litturâts Cairo Mesir pada tahun 1407 H/ 1978 M. 

Sejarah Sunan Bejagung Tuban


Nama Sunan Bejagung adalah Sayyid Abdullah Asy’ari bin Sayyid Jamaluddin Kubro.Menurut keterangan dari Syekh Abu Al-Fadl (Mbah Ndol), beliau adalah adik Sayyid Maulana Ibrahim Asmoroqondi (ayah Sunan Ampel atau kakek Sunan Bonang).Sayyid Abdullah Asy’ari bermukim di Bejagung Tuban, setelah wafat di makamkan di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding (2 Km kearah selatan kota Tuban) yang sekarang disebut Sunan Bejagung.
Silsilah Sunan Bejagung dengan urutan Nabi Muhammad adalah sebagai berikut:
Nabi Muhammad SAW,
Siti Fatimah Az-Zahro’ (istri Sayyidina Ali bin Abi Thalib),
Sayyid Husain,
Sayyid Ali Zainul Abidin,
Sayyid Muhammad Al-Baqir,
Sayyid Ja’far Shodiq,
Sayyid Ali A1 ‘yroidii,
Sayyid An-Naqib Ar- Rumi,
Sayyid Isa An-Naqib Al-Bashori,
Sayyid Achmad Muhajir Al-Faqih Al-Muqoddam,
Sayyid Ubaidillah,
Sayyid Alawi,
Sayyid Muhammad,
Sayyid ‘Alawi,
Sayyid Ali Kholi’ Qosam,
Sayyid Muhammad Shodiq Murrobath,
Sayyid Abdul Malik,
Sayyid Abdullah Khan,
Sayyid Ahmad Syah,
Sayyid Jamaluddin Al-Husaini/ Sayyid Jamalludin Kubra/ Sayyid Jumaddil Kubro,
Sayyid Abdullah Asy’ari (Sunan Bejagung, Tuban).
 
Sayyid Abdullah Asy’ari bermukim di Desa Bejagung, Sunan Bejagung Lor Tuban, setelah wafat di makamkan di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding (2 Km kearah selatan kota Tuban) yang sekarang disebut Sunan Bejagung.
Kalau Anda berkunjung ke Tuban, jangan lupa berziarah ke makam Sunan Bejagung. Memang, situs ini tak sepopuler makam Sunan Bonang. Tapi, jangan salah, selain mulai ramai dikunjungi, situs ini juga dikeramatkan orang. Mengapa?
Makam Sunan Bejagung atau Syech Abdullah Asy’ari terletak di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding. Sebuah tanah perdikan wilayah Kabupaten Tuban yang kering dan berbatu. Dari pusat kota yang digelari Bumi Ronggolawe itu hanya berjarak sekitar satu kilometer arah selatan, atau berada dalam satu jalur dengan objek wisata pemandian Bektiharjo.
Situs wisata religi ini dikeramatkan orang lantaran semasa hidupnya Sunan Bejagung dikenal sebagai penyulut pelita dan muadzin di Masjidil Haram. Konon, hanya Sunan Bejagung yang mampu melaksanakan tugas itu. Dan, yang menakjubkan, ketika waktu manjing (masuk) shalat isya’ tiba, Sunan Bejagung sudah kembali berada di tengah ratusan santrinya menjadi imam shalat.
Legenda tersebut hingga kini masih hidup dan dipahami sebagai salah satu kelebihan ulama kelahiran Hadrah Maut atau sekarang disebut Yaman itu.
Akses jalan menuju dua kompleks pemakaman yang disebut Bejagung Lor (utara) dan Bejagung Kidul (selatan) kini sudah beraspal hotmix.
Di kawasan ini juga terdapat kompleks pemakaman Citro Sunan yang letaknya hanya dibatasi jalan raya jurusan Tuban-Bojonegoro. Sebuah jalur alternatif pada jurusun yang sama ketika jalur Tuban-Surabaya atau jalur bawah mengalami kemacetan.
Menurut KH Dr Abdul Matin SH, penyusun Babad Sunan Bejagung, pada awalnya tidak ada istilah Bejagung Lor dan Kidul. “Karena memang Sunan Bejagung hanya ada satu yakni Syech Maulana Abdullah Asy’ari,” jelas Kiai Matin yang juga pengasuh Ponpes Sunan Bejagung. Diruntut secara garis dzurriyah, Kiai Matin termasuk keturunan ke-12 sunan yang semasa hidupnya dikenal santun dan lemah lembut itu.
Pangeran Kusumo Hadiningrat ‎
Sebutan dua nama berbeda itu, papar Kiai Matin, berawal dari kedatangan Pangeran Kusumo Hadiningrat atau Pangeran Sudimoro ke perdikan Bejagung atas perintah Syech Jumadil Kubro untuk memperdalam ilmu ketauhidan kepada Syeh Asy’ari. Karena wara’i-nya, lantas putra keempat Prabu Brawijaya atau Prabu Hayam Wuruk ini dijadikan menantu oleh Sunan Bejagung untuk menikahi salah seorang putrinya, Nyai Faiqoh.
Dalam perjalanannya, putra mahkota Majapahit yang meninggalkan gemerlap cahaya istana dan memilih menjadi santri Sunan Bejagung akibat konflik perebutan kekuasaan antara dua bersaudara Pangeran Wirabumi dan Putri Kusuma Wardani, kemudian berganti nama menjadi Hasyim Alamuddin atau yang kemudian lebih dikenal dengan gelar santrinya Pangeran Penghulu.
“Perdikan Bejagung Kidul inilah yang dulu menjadi pusat penyebaran agama Islam dengan segala aktifitas pesantrennya yang dilakukan oleh Syech Asy’ari,” jelas Kiai Matin yang dikenal balaghah membedah berbagai kitab kuning dan pernah menakhodai NU Tuban sebagai Rais Tanfidziyah selama dua periode beruntun itu.
Dijelaskan Kiai Matin, karena memiliki kemampuan yang dianggap sudah setara dengan Sunan Bejagung, akhirnya seluruh tugas dakwah di Kasunan Bejagung diserahkan kepada Pangeran Penghulu. Itu adalah sebuah penghargaan tertinggi yang diberikan Sunan Bejagung kepada putra mantunya.‎
Setelah semua tugas dakwah diserahkan kepada menantunya, kemudian Sunan Bejagung memilih uzlah (pindah) ke perdikan Bejagung Lor sampai akhir hayatnya. “Secara tradisi setiap peziarah yang akan melakukan rialat di makam Sunan Bejagung harus dimulai dari makam Bejagung Kidul terlebih dulu. Meski secara personal status maqam kewaliannya lebih tinggi dari Bejagung Lor,” kata Kiai Matin.‎
Apa yang dilakukan Sunan Bejagung ini mengikuti jejak dan ibarat Rasulullah s.a.w. ketika memiliki menantu Sayyidina Ali. Sabda Rasulullah: ana madinatul ilmu wa Aliyyu babuha. Faman arodal Madinah faya’tiha min babiha (saya ibarat kotanya ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Maka barangsiapa akan menuju kota henaklah melalui pintu kota).
Sunan Bejagung yang terlahir dengan nama Maulana Abdullah Asy'ari adalah salah satu putra dari  Sayyid Jamaluddin Al Kusaini Al Kubro atau Syech Jamaludin Kubro yang kemudian kesohor dengan panggilan Syech Jumadil Kubro. Keturunan yang melahirkan generasi Wali Songo bersama kakak kandungnya Syech Maulana Ibrahim Asmoro Qodhi yang kelak lebih populer disebut Syaikh Maghribi atau Sunan Gresik.
Keduanya memilih Tuban sebagai rumah terakhir setelah mengemban misi dakwah menyebarkan Islam di Kadipaten (sekarang kabupaten) Tuban dari ayahandanya Syech Jumadil Kubro pasca meredupnya kejayaan kerajaan Pasai.
Dan di bumi Tuban itu pula jasad keduanya disemayamkan, sehingga bumi kabupaten ini kondang dengan sebutan Bumi Wali.
Maulana Ibrahim Asmoro Qodhi (Sunan Gesik) dimakamkan di Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, lima kilometer arah timur kotaTuban.
Sedangkan Syech Asy’ari disemayamkan di tlatah Bejagung, tempat semasa hidupnya melakukan dakwah dengan senjata kelembutan dan kebersahajaan. 
Dibalik Karomah Sunan Bejagung‎
Penyebaran Agama Islam di kabupaten Tuban tidak terlepas dari peran seorang ulama besar bernama Syekh Abdullah As’ari (Sunan Bejagung Lor). Syekh Abdullah As’ari mengemban misi dakwah, menyebarkan agama Islam ke tanah Jawa dari ayahandanya yang bernama Syekh Maulana Ibrahim Asmara bin Sayyid Jamaludin Al Khusaini Al Kubra atau tersohor dengan sebutan Syekh Jumadil Kubra.
Pasca meredupnya kerajaan Pasai pada abad ke-14 Masehi, empat orang ulama besar melakukan siar agama Islam ke tanah Jawa. Salah satunya adalah Syekh Abdullah As’ari. Beliau memilih Tuban sebagai tempat singgah dan menyebarkan Agama Islam sampai beliau wafat. Kemudian beliau di makamkan di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban. Satu kilometer ke arah selatan dari pusat kota Tuban.
Semasa dakwah yang dilakukan Sunan Bejagung di Tuban, ada beberapa situs-situs bersejarah, peningalan Sunan Bejagung Lor. Sampai saat ini masih terjaga dengan baik. Salah satu peninggalan Sunan Bejagung Lor adalah masjid yang berada di komplek makam bagian depan. Bagian tempat imam masjid dan ruang tengah masjid merupakan konstruksi asli sejak Masjid Agung Sunan Bejagung Lor didirikan pada tahun 1314 Masehi. Masjid ini juga merupakan tempat yang dikeramatkan orang, lantaran biasanya masjid ini digunakan untuk melakukan sumpah pocong.
Meskipun kebiasaan tersebut dilarang oleh juru kunci, tetapi anggapan masyarakat yang melandasi kepercayaan tersebut tidak dapat dihilangkan. Ritual sumpah pocong yang dilakukan di masjid ini, rata-rata dilakukan oleh masyarakat dan peziarah karena menerima suatu tuduhan dan fitnah. Untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan dan fitnah tersebut maka dilakukan sumpah pocong. Setelah  ritual sumpah pocong itu, akan terlihat mana yang salah, dan mana yang benar antara kedua belah pihak. Sesuai dengan sumpah yang diajukan berdasarkan fitnah dan tuduhan tersebut.
Selain itu, ada situs berupa dua Cungkup Penadzaran yang mengapit jalan setapak menuju makam Sunan Bejagung Lor. Biasanya cungkup ini digunakan warga sekitar atau peziarah untuk mewujudkan nadzarnya. Berupa penyembelihan kambing atau lembu di tempat tersebut. Sebagai media sedekah kepada sesama umat manusia. Jika melakukan penadzaran di cungkup tersebut, maka para penadzar cukup menyediakan bumbu dapur lengkap, beras untuk dijadikan tumpeng, dan hewan yang disembelih. Seluruh proses dan persiapan penadzaran dilakukan Oleh Mrebot(pembantu juru kunci) mulai dari menyembelih, memasak, sampai mengundang warga sekitar untuk kenduren di tempat tersebut.
Proses penadzaran dilakukan ditempat itu, karena dikhawatirkan kalau prosesnya dilakukan di tempat lain, darah dan tulang hewan yang disembelih berserakan dimana-mana. Prosesi penyembelihan dan memasak hewan nadzar dilakukan di Cungkup itu, maka para Mrebot telah siap untuk mengelola dan mengumpulkan segala sisa-sisa upacara penadzaran, dijadikan satu kemudian dikubur di sekitar kompleks pemakaman Sunan Bejagung Lor.
Karena upacara ritual penadzaran yang dilakukan di Cungkup Penadzaran ini kerap dilakukan, ditambah lagi karena Sunan Bejagung Lor gemar bersedekah, maka di zaman dulu ketika Sunan Bejagung Lor masih menjadi Modin di kawasan perdikan Bejagung, warga dilarang untuk menjual nasi. Sebagai wujud penghormatan kepada para penadzar yang melakukan penadzaran di tempat tersebut. Wujud rasa hormat masyarakat, terhadap petuah Sunan Bejagung Lor dan para penadzar,  diwujudkan oleh masyarakat dengan tidak menjual nasi di sekitar Padepokan Sunan Bejagung Lor.
Sampai sekarang, kepercayaan masyarakat Bejagung dan sekitarnya masih ada. Dan petuah itu melekat pada pemikiran masyarakat tersebut. Hal itu terbukti bahwa sampai saat ini tidak ditemukan kedai warung nasi di sekitar makam Sunan Bejagung. Baik di makam Sunan Bejagung Lor*.  Maupun di Makam Sunan Bejagung Kidul*. Yang ada hanyalah warga yang menjual lontong tahu. Pemikiran masyarakat, baik yang melakukan penadzaran  untuk mewujudkan hajatnya, ataupun masyarakat yang tidak berani berjualan nasi, masih terjaga sampai sekarang. Mitos yang beredar di masyarakat, bahwa kalau menjual nasi, pada malam harinya warung tersebut akan didatangi harimau putih.
Ada yang unik di area kompleks makam Sunan Bejagung Lor. Yaitu bangunan gapura yang kecil, rendah, dan sempit. Bangunan gapura-gapura tersebut tak lazim dengan bangunan gapura pada umummya. Biasanya bangunan gapura di tempat manapun terkenal dengan sebuah benteng pintu masuk yang megah, tinggi, kokoh, dan besar. Di padepokan Sunan Bejagung Lor (sekarang menjadi kompleks pemakaman Sunan Bejagung Lor) tidak seperti itu. Bangunan gapura yang kecil, rendah, dan sempit mengisyaratkan kepada seluruh santrinya untuk senantiasa menunduk. Dalam artian untuk selalu menjaga kesopanan berperilaku, kesantunan dalam berbahasa, tawaduk, dan mawas diri. Apa yangdipasemonkan oleh Sunan Bejagung Lor dapat dibuktikan dengan gelagat seseorang dengan menunduk. Orang ketika menunduk, pasti saat berbicara, berperilaku lebih sopan dan santun, dibandingkan dengan orang yang berbicara membusungkan dada dan mengadah ke atas. Itulah salah satu ajaran Sunan Bejagung Lor Yang terkenal dengan kelembutan dan kebersahajaan.
Di sebelah Selatan makam Sunan Bejagung Lor juga terdapat sebuah situs yang dikeramatkan.  Tidak kalah penting dan estetis dengan situs-situs lainnya. Situs yang  berada di sebelah selatan makam Sunan Bejagung Lor tersebut berupa sumur Wali yang usianya ribuan tahun. Kedalamannya mencapai 40 meter. Sumur tersebut dibuat Sunan Bejagung Lor, karena melihat tanah perdikan yang diamanahkan oleh Adipati Tuban kepada Sunan Bejagung Lor, tanahnya  kering kerontang, terjadi kekeringan, dan warga kesulitan pengadaan air. Maka muncul inisiatif sang wali untuk membuat sebuah sumur di tanah tandus. Dengan memohon ridho Allah SWT. Akhirnya sang wali mendapatkan petunjuk untuk membuat sumur di sebelah selatan padepokannya. Pembuat sumur tersebut tidak lain adalah santrinya sendiri yang bernama Mbah Pamor. Beliau merupakan salah satu santri Sunan Bejagung Lor yang paling setia kepada sang wali Allah Sunan Bejagung Lor. Selain kesetiaanya, beliau juga taat beribadah kepada Allah SWT.
Dengan izin Allah, sumur yang dibuat oleh Sunan Bejagung Lor tidak pernah kering walaupun terjadi kekeringan di musim kemarau panjang. Selain tidak pernah kekeringan dan digunakan untuk  kebutuhan sahari-hari oleh warga sekitar, air sumur tersebut  juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam kegunaan seperti menyembuhkan penyakit gatal-gatal, penyakit dalam yang tak terdeteksi oleh medis, pengasihan, dan keselamatan. Selain itu juga sebagai sarana untuk mewujudkan nadzar orang tua kepada anak. Apabila orang itu bernadzar, anak sembuh dari sakit, maka kewajiban orang tua adalah memandikan anak tersebut di sumur wali, guna memenuhi nadzarnya tersebut.
Untuk penyembuhan penyakit dalam, air sumur tersebut tidak usah dimasak atau dicampur dengan air lain. Air tersebut dapat dikonsumsi secara langsung, tetapi sebelum meminum air tersebut disunahkan membaca kalimat syahadat dan salawat nabi sebanyak tiga kali. Jika air diminum di tempat tersebut, maka ada juru bantu (Mrebot) yang menjelaskan prosedur yang harus dilakukan para peziarah dalam mengunjungi sumur Wali tersebut.
 Ada beberapa prosedur yang harus dilakukan oleh para peziarah ketika berkunjung ke sumur wali tersebut. Pertama, harus membeli bunga terlebih dulu. Bunga yang dibeli, kemudian diserahkan kepada panitia penyelenggara pengambilan air sumur yang ditugaskan oleh juru kunci makam. Kedua, memberikan infaq seikhlasnya, bersamaan dengan pengambilan air tersebut. Ketiga,air yang telah diambil, dicampur dengan bunga, sebelum air tersebut dimanfaatkan oleh para peziarah. Pencampuran  dilakukan oleh panitia (Mrebot). Kalau untuk perantara menyembuhkan penyakit dalam, air tersebut diminum dan diusapkan pada bagian yang sakit. Sambil membaca kalimat Syahadat dan Salawat Nabi tiga kali.
Pengambilan air yang dilakukan oleh paraMrebot tergolong cukup unik. Karena pengambilannya menggunakan pemintal gulungan tali, penumpu, dan poros. Diputar seperti halnya pemintal benang yang digunakan pengrajin batik Gedog, yang ada di kecamatan Kerek. Pengambilan dilakukan oleh para Mrebot dan tidak bisa diwakilkan oleh siapapun. Hal itu terbukti, bahwa orang yang menjadi Mrebot rata-rata sudah berusia lanjut.
Mengunjungi sumur wali tersebut juga menentukan dan memilih hari yang dianggap paling baik. Menurut kepercayaan pengunjung dan masyarakat sekitar, hari Kamis Pon Malam Jumat Wage merupakan hari yang paling istimewa untuk mengunjungi sumur Wali tersebut. Pemilihan hari Jumat Wage dilandasi dari sebuah peristiwa di masa lalu. Ketika sang sunan menjadi Modin. Kebiasaan-kebiasaan sang sunan mengadakan pertemuan-pertemuan penting dengan para pejabat kerajaan atau ketika sedang mengadakan pengajian di Padepokan pada malam Jumat Wage, secara rutin. Dengan dasar kebiasaan ini, para peziarah sampai sekarang mempercayai bahwa hari Kamis Pon malam Jumat Wage merupakan hari istimewa untuk mengunjungi Padepokan atau Kasunanan Bejagung (sekarang menjadi kompleks pemakaman Sunan Bejagung Lor).
Hal itu juga melandasi pemikiran para masyarakat setempat dan para peziarah untuk berziarah ke makam Sunan Bejagung Lor. Biasanya hari Kamis Pon malam Jumat Wage, para peziarah berjubel di makam Sunan Bejagung Lor. Bahkan ada yang menginap di makam tersebut sambil berdoa kepada Allah SWT. Dan melalui karomah Sunan Bejagung Lor atau Kidul, berharap hajat yang dimiliki para peziarah dapat terkabul, dijauhkan dari mara bahaya. Kepercayaan yang menganggap hari Kamis Pon malam Jumat Wage adalah hari paling istimewa, masih ada dan melandasi pemikiran masyarakat dalam mengunjungi makam Sunan Bejagung Lor dan makam Sunan Bejagung Kidul.
Penyulut Pelita dan Muadzin Masjidil Haram
Beberapa karomah yang  lain yang dimiliki oleh Sunan Bejagung Lor, dikeramatkan orang, lantaran semasa hidupnya Syekh Abdullah As’ari (Sunan Bejagung Lor) dikenal sebagai penyulut pelita (lampu) dan muadzin di Masjidil Haram. Setiap sore menjelang Adzan Magrib, Sunan Bejagung Lor  pergi ke Masjidil Haram, Makkah. Konon, hanya Sunan Bejagung  Lor lah yang mampu melaksanakan tugas itu. Dan, yang menajubkan lagi, manakala memasuki waktu salat Isya, Sunan bejagung sudah kembali  berada di tengah ratusan santrinya dan menjadi imam salat Isya di masjid Agung Sunan Bejagung.
Sebagai seorang wali, sekaligus juga sebagai penyulut pelita di Masjidil Haram, Sunan Bejagung Lor juga pernah digoda oleh Jin. Ketika Sunan Bejagung  Lor hendak melakukan perjalanan haji menuju Masjidil Haram, beliau ditipu oleh Jin yang menjelma menjadi santrinya. Jin yang berwujud santrinya tersebut sanggup mengantarkan dan menggendong Sunan Bejagung Lor dari Bejagung sampai Masjidil Haram. Sunan Bejagung Lor menyetujui penawaran santrinya yang berwujud Jin tersebut. Sesampai di samudra, Sunan Bejagung Lor dijatuhkan ke dalam samudra. Kemudian beliau ditolong oleh ikan Meladang. Ikan tersebut kemudian membawa Sunan Bejagung Lor sampai ke pesisir pantai Jeddah, Hadrah Maut (Saudi Arabia). 
Dari peristiwa dijatuhkannya Sunan Bejagung Lor  ke samudra oleh santrinya yang berwujud Jin, terdapat pantangan bagi masyarakat bejagung dan sekitarnya. Terutama keturunan lansung dari Sunan bejagung Lor. Setelah sampai di Saudi Arabia, Sunan Bejagung Lor berpesan kepada anak cucu, masyarakat Bejagung dan sekitarnya, tidak boleh memakan ikan Meladang (ikan yang berbentuk pipih, kulitnya halus seperti kulit manusia).  Karena ikan tersebut telah menyelamatkan Sunan Bejagung Lor ketika dijatuhkan santrinya yang berwujud Jin ke samudra. Dan ikan tersebut telah membawa Sunan  Bejagung Lor ke tepi Pantai Hadrah Maut. Barang siapa yang melanggar pantangan tersebut, maka orang yang memakan ikan Meladang dengan sengaja, akan menderita penyakit buras (sejenis penyakit gatal-gatal dan timbul bisul di seluruh tubuh). Penyakit buras tersebut tidak ada obatnya secara medis. Jika menginginkan kesembuhan, harus mandi air sumur Wali yang berada di sebelah selatan komplek makam Sunan Bejagung Lor. Sampai sekarang, baik keturunan, masyarakat Bejagung, dan sekitarnya tidak ada yang berani melanggar pantangan tersebut.
Siti Garit dan Watu Gajah
Pangeran Sudimoro, putra mahkota kerajaan Majapahit yang tidak ingin menjadi putra mahkota kerajaan, meninggalkan kerajaan Majapahit dan berguru mencari ilmu. Ia pergi ke Tuban mencari Guru Ilmu Syariat , Tarekat, Hakikat, dan Marifat. Sesuai dengan petunjuk Syekh Jumadil Kubra, beliau disuruh menemui Syekh Abdullah As’ari (Sunan Bejaung Lor). Setelah sampai di Tuban, beliau bertemu dengan Sunan Bejagung Lor. Kemudian Pangeran Sudimoro mengaji kepada beliau. Sampai menjadi orang Alim.
Ketika pangeran Sudimoro masih mengaji di Kasunanan Bejagung, Prabu Hayam wuruk berusaha mencarinya. Setelah mengetahui bahwa putranya mengaji di Padepokan Sunan Bejagung Tuban, maka Prabu Brawijaya IV memerintahkan Patihnya bernama Gajah Mada dan bala tentaranya untuk mengajak Putra Mahkota (Pangeran Sudimoro)  pulang ke Majapahit.
Berita tersebut didengar oleh Pangeran Sudimoro. Beliau menghadap kepada Sunan Bejagung Lor. Meminta perlindungan dan bantuan Sunan Bejagung  untuk menolak keinginan Sang Prabu Hayam Wuruk. Sebab Pangeran Sudimoro ingin tetap menekuni ilmu Agama Islam. Kehendak Pangeran Sudimoro tersebut dikabulkan oleh Sunan Bejagung Lor.
Selanjutnya Sunan Bejagung menggaris tanah sekitar Padepokan Kasunanan Bejagung. Berbentuk segi empat mengitari kasunanan Bejagung. Agar tentara Majapahit tidak bisa masuk Kasunanan Bejagung. Ketika mahapatih Gajah Mada yang  tersohor dengan ilmu BaratKetiga dan bala tentara Majapahit hendak menjemput pangeran Sudimoro di kasunanan Bejagung. Ternyata tentara Majapahit tidak bisa masuk ke kasunanan Bejagung. begitu juga dengan mahapatih Gajah mada yang terkenal dengan ilmunya Barat Ketiga (ilmu kecepatan angin kemarau). Garisan tanah yang dibuat oleh Sunan Bejagung Lor tersebut dikenal dengan nama Siti Garet. 
Masyarakat sekitar memandang bahwa Siti Garet merupakan fenomena gaib. Tidak semua orang yang dapat melihatnya. Selain itu, Siti Garet merupakan tempat untuk bersembunyi para pejuang ketika dikejar-kejar tentara Belanda. Kalau  pejuang masuk kasunanan tersebut, para tentara Belanda tidak bisa ikut masuk. Karena pandangannya terhalang oleh kabut. Selain itu, adanya Siti Garet juga mempengaruhi pandangan para pejabat negara dan kerajaan. Apabila pejabat negara telah lancang masuk ke Kasunanan Bejagung – memiliki niat yang tidak baik, maka pejabat negara tersebut dalam waktu dekat akan lengser dari jabatannya. Sampai sekarang pandangan tersebut masih ada dalam pandangan sebagian masyarakat dan para pejabat negara di Indonesia. Semua itu dilandasi dengan adanya pasukan dan pejabat kerajaan Majapahit yang tidak dapat masuk Kasunanan ketika akan menjemput Pangeran Kusumo / Pangeran Sudimoro/pangeran Pengulu.
Pasukan-pasukan Majapahit dan bala tentara gajah akhirnya terhenti di sebelah selatan Kasunanan. Salah seorang santri melapor kepada Sunan bahwa di sebelah selatan Kasunanan Bejagung  banyak pasukan Gajah dari Majapahit. Sunan mengatakan,  tidak gajah tetapi batu. Seketika itu semua gajah menjadi batu. Sampai sekarang, tempat berhentinya pasukan gajah tersebut dikenal dengan sebutan Watu Gajah(Batu Gajah). Letaknya di sebelah Barat Laut kantor Kecamatan Semanding.
Pangeran Sudimoro yang terkenal rajin mengaji dan alim, kemudian diberikan gelar Pangeran Pengulu/Syekh Hasyim Alamuddin (sekarang dikenal dengan sebutan Sunan Bejagung Kidul) oleh sunan Bejagung Lor. Akhirnya, diambil menantu oleh Sunan Bejagung Lor dan ditetapkan menjadi penerus di Kasunanan Bejagung. Semenatara Sunan Bejagung Lor Uzlah (berpindah tempat) di sebelah utara Kasunanan.
Ikan Dodok dari Daun Waru
Setelah seluruh  pasukan gajah dari Majapahit menjadi batu, para pasukan Majapahit kembali dan Lapor kepada Prabu Hayamwuruk.Bahwa semua pasukan Gajah kerajaan Majapahit menjadi batu di Tuban. Kemudian Sang Prabu memerintahkan kepada Patih Gajah Mada(terkenal dengan ilmu Barat Ketigo). Untuk menguji sampai sejauh mana ilmu Sunan Bejagung Lor.
Maha Patih Gajah Mada berangkat tanpa bala tentara menuju pesisir utara Kadipaten Tuban, ia menyamar dan menggunakan nama Barat Ketiga(suatu nama ilmu tinggi yang dimilikinya). Ia mengaduk air laut Tuban sampai keruh. Dan berpura-pura mencari ikan Dodok. Setelah diketahui oleh Sunan Bejagung Lor, Barat ketiga ditanya Sunan Bejagung Lor, jawabannya bahwa Barat Ketiga sedang mencari ikan dodok, karena adiknya hamil dan ngidam ingin makan ikan Dodok.
Akhirnya Sunan Bejagung mengambil lontar dan membuat timba. Barat Ketiga diperintahkan untuk mengambil daun waru. Setelah timba/tempayan lontar tersebut diisi dengan air dan daun waru dimasukkan kedalam timba. Seketika itu daun waru menjadi ikan Dodok. Kejadian ini diingat oleh Masyarakat Bejagung. Bahwa sampai sekarang apabila mengadakan kenduri atau sedang bersih desa selalu menggunakan lauk ikan Dodok.
Maja Agung
Barat Ketiga ingin menguji lagi Kesaktian Sunan Bejagung Lor. Ia  pergi ke perdikan Bejagung. Setelah berada di ladang Sunan Bejagung, ia menggoyang pohon Kelapa. Sunan Bejagung bertanya, “untuk apa menggoyangkan pohon Kelapa?”  Barat Ketigo menjawab bahwa ia haus. Sunan Bejagung berkata, “Kalau digoyang keras yang muda ikut jatuh dan tidak bisa dimanfaatkan buahnya.”  Akhirnya Sunan Bejagung Lor mengambil buah kelapa dengan cara merebahkan  pohon kelapa dengan cangkul. Barat Ketigo dengan mudah mengambil buah kelapa yang sudah tua, tanpa merusak kelapa yang masih muda. Kemudian pohon kelapa dikembalikan tegak berdiri seperti semula.
Dia  kagum atas kesaktian Sunan Bejagung Lor. Tetapi ia masih belum puas, setelah ia meminum air kelapa, ia pura-pura masih haus. Ingin minum air yang banyak. Setelah kepura-puraannya itu disampaikan kepada Sunan Bejagung Lor, kemudian Kanjeng Sunan berkata,“Kalau demikian, tunggu di sini, saya ambilkan air.” Tidak lama kemudia Sunan Bejagung Lor mengambil air, dimasukkan ke dalam buah Maja kecil (disebut Mojo berduri). Melihat ulah Sunan Bejagung Lor yang aneh tersebut, Barat Ketigo tertawa karena air sedikit dimasukkan ke dalam buah Maja yang dibelah menjadi dua bagian. Ia menganggap mana mungkin air dalam buah Maja dapat menghilangkan rasa haus. Ternyata setelah air itu diminum,  air yang ada di dalam Maja tersebut masih utuh dan tidak habis-habis. Sehingga buah Maja tersebut disebut Mojo Agung. Kemudian dari peristiwa tutur mulut ke mulut berubah menjadi Beja Agung, kemudian menjadi Bejagung. Dijadikan nama desa Bejagung. Selain itu juga dipakai sebagai sebutan nama lain syekh Abdullah As’ari.
Akhirnya Barat Ketigo merasa kalah sakti dan menyatakan menjadi Santri Kanjeng Sunan Bejagung Lor. Sampai meninggal dunia ia tetap menjadi Santri Kanjeng Sunan Bejagung Lor. Setelah ia wafat dimakamkan di perbatasan Desa Bejagung-Prunggahan Kulon, sampai sekarang terkenal dengan sebutan Makam Panjang.
Makam Panjang
Makam atau petilasan di Kabupaten Tuban berjumlah ratusan, salah satunya yang luput dari khalayak adalah yang dipercaya sebagai Barat Ketigo/Patih Gajah Mada, Patih semasa Kerajaan Majapahit, terletak di Desa Bejagung Kecamatan Semanding, Tuban.
Dalam perjalananya sejarah Kabupaten Tuban merupakan daerah lintasan, maupun tempat singgah para penyebar keyakinan maupun punggawa kerajaan pada masanya, namun tak sedikit yang wafat di tlatah Tuban dengan meninggalkan bukti fisik berupa makam atau petilasan yang sampai saat ini masih diziarahi oleh sebagian masyarakat. Salah satunya adalah yang dipercaya sebagai makamnya Barat Ketigo Atau Patih Gajah Mada.
Menurut versi masyarakat sekitar yang dipercaya turun temurun sampai sekarang. Saat sosialnews.com mengunjungi makam tersebut, kondisinya nampak terawat dengan baik dan bersih. Menurut Mbah Siram (80 th), warga setempat mengatakan, ”Makam tersebut memang sengaja tidak ada bangunan penutup atau lebih dikenal dengan cungkup, karena memang tidak mau dibangun seperti itu, jadi makam tersebut terbuka seperti makam lain di sekitarnya.”
Makam yang terletak di bawah pohon randu alas besar, diameter dua rengkuhan tangan orang dewasa tersebut, persis berada di paling pinggir barat komplek makam umum Islam Desa Bejagung Kidul. Pada malam-malam tertentu terutama malam Jum’at Pahing, beberapa orang mengunjunginya untuk berdo’a. Makam yang terletak kurang lebih berjarak 3 km dari pusat kota dan 500 m, arah barat laut makam Sunan Bejagung Kidul, mudah dijangkau dari pusat Kota Tuban.
Konon cerita yang berkembang di masyarakat saat Patih Gajah Mada diutus Raja Mojopahit untuk mencari Ikan Bader Bang Sisik Kencono (ikan bader warna merah bersisikkan emas) untuk kepentingan sang Raja, alkisah sampailah di pantai Tuban dan sempat bertemu dengan Sunan Bejagung Kidul, dalam pertemuan tersebut sempat mengadu kesaktian namun sang Patih Gajah Mada merasa kalah sakti, sehingga beliau merasa terheran-heran, karena beliau yang merasa orang paling sakti di Nusantara dikalahkan oleh sosok sederhana. Hal itu disadari saat Patih Gajah Mada meminta minum, Sunan Bejagung Kidul mengambil buah kepoh (mangga) yang kering lalu diisi air dan diberikan kepada Patih Gajah Mada, lantas diminumnya. Air tak habis-habis, meskipun rasa haus Patih sudah hilang, semestinya habis sekali teguk karena tempatnya kecil.
Dalam satu sumpahnya beliau Patih Gajah Mada suatu saat akan kembali ke wilayah Tuban, dan diceritakan meninggal lalu dimakamkan di wilayah sekitaran makam Sunan Bejagung Kidul, makam panjang 3 m tersebutlah yang dipercaya Makam Barat Ketigo Atau Patih Gajah Mada.
Keberadaan makam tersebut kebenaran hakikinya tergantung masing-masing individu masyarakat, bahwa Barat Ketigo atau Gajah Mada adalah Patih dari Kerajaan Mojopahit menganut agama Hindu Budha, tapi makam yang ada tersebut selayaknya makam Islam yang membujur utara-selatan. Namun demikian dapat menjadi salah satu kunjungan ziarah, dalam melihat jejak para pendahulu dan mendokumentasikan dalam rangkaian sejarah Nusantara di wilayah Tuban, karena ketokohannya dalam menpersatukan Nusantara yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya .‎

Sayyid Abdulloh Alqodri Alhasany (Kyai Ageng Selomanik)


Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ »
Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian”
(HR. Muslim no.108, 2/671)
Keutamaan Ziarah kubur :
Haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang yang mati dalam keadaan kafir (Nailul Authar [219], Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi [3/402]). Sebagaimana juga firman Allah Ta’ala:
 مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya)” (QS. At Taubah: 113)
Berziarah kubur ke makam orang kafir hukumnya boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402). Berziarah kubur ke makam orang kafir ini sekedar untuk perenungan diri, mengingat mati dan mengingat akhirat. Bukan untuk mendoakan atau memintakan ampunan bagi shahibul qubur. (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 187)
Jika berziarah kepada orang kafir yang sudah mati hukumnya boleh, maka berkunjung menemui orang kafir (yang masih hidup) hukumnya juga boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402).
Hadits ini adalah dalil tegas bahwa ibunda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mati dalam keadaan kafir dan kekal di neraka (Syarh Musnad Abi Hanifah, 334)
Tujuan berziarah kubur adalah untuk menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri akan kematian (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402)
An Nawawi, Al ‘Abdari, Al Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa ziarah kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup. Sedangkan bagi wanita diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat hukumnya boleh selama terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan hukumnya haram mengingat hadits ,
لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور
“Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur” (HR. At Tirmidzi no.1056, komentar At Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”)
Dan sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325). Yang rajih insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita karena tujuan berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan mengingat akhirat, sedangkan ini dibutuhkan oleh laki-laki maupun perempuan (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 180).
Ziarah kubur mengingatkan kita akan akhirat. Sebagaimana riwayat lain dari hadits ini:
زوروا القبور ؛ فإنها تذكركم الآخرة
“Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569)
Ziarah kubur dapat melembutkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim no.1393, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)
Ziarah kubur dapat membuat hati tidak terpaut kepada dunia dan zuhud terhadap gemerlap dunia. Dalam riwayat lain hadits ini disebutkan:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا وتذكر الآخرة
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat membuat kalian zuhud terhadap dunia dan mengingatkan kalian akan akhirat” (HR. Al Haakim no.1387, didhaifkan Al Albani dalam Dha’if Al Jaami’, 4279)
Al Munawi berkata: “Tidak ada obat yang paling bermanfaat bagi hati yang kelam selain berziarah kubur. Dengan berziarah kubur, lalu mengingat kematian, akan menghalangi seseorang dari maksiat, melembutkan hatinya yang kelam, mengusir kesenangan terhadap dunia, membuat musibah yang kita alami terasa ringan. Ziarah kubur itu sangat dahsyat pengaruhnya untuk mencegah hitamnya hati dan mengubur sebab-sebab datangnya dosa. Tidak ada amalan yang sedahsyat ini pengaruhnya” (Faidhul Qaadir, 88/4)
Disyariatkannya ziarah kubur ini dapat mendatangkan manfaat bagi yang berziarah maupun bagi shahibul quburyang diziarahi (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 188). Bagi yang berziarah sudah kami sebutkan di atas. Adapun bagi shahibul qubur yang diziarahi (jika muslim), manfaatnya berupa disebutkan salam untuknya, serta doa dan permohonan ampunan baginya dari peziarah. Sebagaimana hadits:
 
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
 
“Aisyah bertanya: Apa yang harus aku ucapkan bagi mereka (shahibul qubur) wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ucapkanlah: Assalamu ‘alaa ahlid diyaar, minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul mustaqdimiina wal musta’khiriina, wa inna insyaa Allaahu bikum lalaahiquun (Salam untuk kalian wahai kaum muslimin dan mu’minin penghuni kubur. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului (mati), dan juga orang-orang yang diakhirkan (belum mati). Sungguh, Insya Allah kami pun akan menyusul kalian” (HR. Muslim no.974)
Ziarah kubur yang syar’i dan sesuai sunnah adalah ziarah kubur yang diniatkan sebagaimana hadits di atas, yaitu menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri akan kematian. Adapun yang banyak dilakukan orang, berziarah-kubur dalam rangka mencari barokah, berdoa kepada shahibul qubur adalah ziarah kubur yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Selain itu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga melarang qaulul hujr ketika berziarah kubur sebagaimana hadits yang sudah disebutkan. Dalam riwayat lain disebutkan:
 
ولا تقولوا ما يسخط الرب
 
“Dan janganlah mengatakan perkataan yang membuat Allah murka” (HR. Ahmad 3/38,63,66, Al Haakim, 374-375)
Termasuk dalam perbuatan ini yaitu berdoa dan memohon kepada shahibul qubur, ber-istighatsah kepadanya, memujinya sebagai orang yang pasti suci, memastikan bahwa ia mendapat rahmat, memastikan bahwa ia masuk surga, (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 178-179)
Tidak benar persangkaan sebagian orang bahwa ahlussunnah atau salafiyyin melarang ummat untuk berziarah kubur. Bahkan ahlussunnah mengakui disyariatkannya ziarah kubur berdasarkan banyak dalil-dalil shahih dan menetapkan keutamaannya. Yang terlarang adalah ziarah kubur yang tidak sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam y‎ang menjerumuskan kepada perkara bid’ah dan terkadang mencapai tingkat syirik.                      
Dalam tradisi Jawa, ketinggian lokasi makam seseorang menggambarkan ketinggian kedudukannya. Semakin tinggi lokasi makam, semakin tinggi pula derajat, keilmuan, keturunan, bahkan kedudukannya di hadapan Tuhan. Karena itu, para ulama, raja dan bangsawan Jawa biasanya dimakamkan di kawasan pegunungan, yang letaknya lebih tinggi ketimbang tempat lain di sekitarnya.
Demikian pula dengan makam Syeikh Abdullah Selomanik. Lokasinya menjulang tinggi di atas pegunungan Dieng. Tidak mudah mencapainya. Harus melalui anak tangga yang cukup banyak jumlahnya. Tingginya lokasi makam itu menunjukkan ketinggian kedudukan sang ulama di mata masyarat Islam di daerah ini. 
Secara administratif, Makam Syeikh Abdullah Selomanik masuk dalam Desa Kalilembu, Kejajar, Wonosobo.
Desa Kalilembu, terletak di kawasan dataran tinggi Dieng. Dieng adalah kawasan vulkanik aktif dan dapat dikatakan merupakan gunung apiraksasa dengan beberapa kepundan kawah. Ketinggian rata-rata adalah sekitar 2.000m di atas permukaan laut. Suhu daerah ini berkisar 15—20 °C di siang hari dan 10 °C di malam hari. Pada musim kemarau (Juli dan Agustus) suhu udara dapat mencapai 0 °C di pagi hari dan memunculkan embun beku yang oleh penduduk setempat disebut bun upas(“embun racun”) karena menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian.
Menurut Gus Huda, Syeikh Abdullah Selomanik berasal dari Irak. Beliau datang ke Kejajar atas permintaan sejumlah orang Islam untuk menjaga keseimbangan alam dan mendidik masyarakatnya.
Nasab dan silsilah Sayid Abdullah 
Sayyidina Rosululloh SAW 
Sayidatina Fatimah *Sayyidina Ali bin Abi Thalib
Sayyidina  Hasan Al Mujtaba
Sayyid Hasan al Mutsanna
Sayyid Abdullah al Mahdi
Sayyid Musa al Jun
Sayyid Dawud
Sayyid Muhammad
Sayyid Yahya Azzahid
Sayyid Abdullah
Sayyid Musa
Sayyid Syekh Abdul Qadir al Jailani r.a
Sayyid Abdullah 
Sayyid Muhammad 
Sayyid Ali 
Sayyid Ja'far
Sayyid Achmad 
Sayyid Umar
Sayyid Abdul Karim
Sayyid Muhammad 
Sayyid Abdul Majid
Sayyid Abdullah Umar
Sayyid Yusuf 
Sayyid Thoyib 
Sayyid Muhammad 
Sayyid Faqih * Roro Sujilah binti Djoko Dholoq bin Browijoyo 
Sayyid Abdillah Selomanik 
Perjuangan Sayyid di tanah Jawa
Syeikh Abdullah adalah Ulama yang mengabdi di Demak Bintoro pada Masa Sultan Syah Alam Akbar Alfatah yang sebelum di Demak Beliau menjadi Pejabat Di Majapahit dengan Gelar Rakyan Selomanik dan di bawah Senopati Jimbun. Setelah Senopati Jimbun Berpindah ke Glagah Wangi dan mendirikan kadipaten Bintoro Kyai Selomanik pun mengikuti dan menjabat sebagai Abdi Dalem Tumenggung. Dan setelah Demak Resmi menjadi Kesultanan Kyai Ageng Selomanik diutus oleh Sultan Fattah untuk berdakwah di daerah pegunungan bekas kerajaan Mataram Kuno serta untuk membentengi kawasan tersebut.
Pada masa Kesultanan Demak Bintoro Beliau Aktif Sebagai Guru Agama Islam membantu Sultan Fattah dalam berdakwah serta menjadi Salah satu Senopati di Kesultanan Demak Bintoro.
Syeikh Abdullah Selomanik menikah dengan Dewi Salimah putri Kyai Ageng Pilang dan dari pernikahan tersebut beliau punya beberapa Putra Putri dan di antara nya 
Sayyid Abdul Iman (Tumenggung Selomanik ke 2)
Sayyid Burhanuddin (Kyai Ageng Pandak)
Sayyid Abdurrahman Alqodri (Kyai Agung)
Syarifah Maimunah (Istri Pangeran Pecangakan)
Di antara murid murid Beliau adalah 
Pangeran Kadjoran
Pangeran Kanduruhan
Kyai Ageng Pandan Alas
Kyai Ageng Pandan Wangi
Pangeran Made Pandan 
Serta para Senopati Demak pada Zaman itu
Masa perjuangan Sayyid Abdullah Selomanik terbesar adalah sewaktu masih di Demak Bintoro sebagai seorang Ulama dan pejabat.
Dan pada masa akhir Perjuangan Beliau mengajarkan ilmu kesufian dan kebatinan. Serta beliau pun menjauh dari keramaian duniawi dan menetap di pegunungan tuk mengisi hari tua. Berdakwah dan mengajarkan berbagai disiplin ilmu Sufi dan Ilmu Hikmah.
Banyak para tokoh pada masa itu yang datang ke Padepokan Kyai Ageng Selomanik untuk belajar dan mendalami ilmu hikmah serta sufi dan kanuragan sebagai bekal dalam kehidupan dan perjuangan Islam.
Sayyid Abdullah Al Qodri Alhasany yang bergelar Kyai Ageng Selomanik 1 adalah seorang Waliyulloh yang mempunyai Drajat keilmuan dan perjuangan yang tinggi. Karomah Beliau Tersembunyi. Perjuangan Beliau pun tidak banyak di ketahui. Dan yang pasti sebagai generasi penerus di wilayah Dieng dan sekitarnya hendaknya mengambil hikmah dari riwayat Singkat perjalanan Salah satu sesepuh Wonosobo yang sangat tersembunyi.
Hanya ini yang bisa saya tuliskan dan semoga memberikan sedikit gambaran perjuangan Sayyid Abdullah Selomanik yang dimakamkan di Desa Kalilembu kawasan Dieng Wonosobo. ‎

Sepenggal Kisah Wali Banyumas (Syaikh Abdus Somad)

Tulisan ini barangkali akan menjadi rintisan penggalian sejarah penyebar Islam di Banyumas, yang selama ini sangat dibutuhkan dalam mengelola berbagai informasi kekayaan sejarah lokal khususnya di wilayah Banyumas dan keterterkaitan dengan wilayah luar banyumas.
Dengan dikelolanya cagar budaya yang berkaitan dengan peristiwa masa lalu sejarah tempat dan para pelaku sejarah yang menghiasi peradaban, tentu akan sangat berguna bagi generasi yang akan datang dalam menerima berbagai warisan informasi. Perjalanan para pembawa agama khususnya di Banyumas, juga akan menjadi catatan sejarah yang berharga, bahwa agama-agama yang ada di wilayah Banyumas diperkenalkan dan di dakwahkan melalui waktu yang panjang dan kesabaran yang luar biasa dari para pelaku sejarah.
Jombor merupakan nama Grumbul di Desa Cipete Kecamatan Cilongok di Kabupaten Banyumas. Nama Desa ini selalu dikaitkan dengan keberadaan Syaikh Abdus Shomad yang merupakan ulama abad ke-16 dalam melakukan penyebaran Islam di Banyumas pada umumnya dan peranannya dalam meng-Islamkan masyarakat wilayah Cipete dan sekitarnya pada khususnya.
Terdapat beberapa versi tentang asal usul nama “JOMBOR” sebagai grumbul di mana Syaik Abdus Shomad berdakwah dan mengajarkan agama Islam khususnya di wilayah Cipete dan di Kabupaten Banyumas pada umumnya. Adapun versi-versi ini berdasar dari informasi baik keturunan / trah maupun masyarakat setempat antara lain :
1.
Lokasi yang sekarang didirikan Masjid  Baitus Shomad di RT. 02 RW. 03 Desa Cipete, adalah merupakan tilas yang konon pernah tumbuh sebuah pohon yang sangat lebat, rimbun dan besar. Tidak jauh dari pohon tersebut terdapat sungai yang mengalir dengan kejernihan air yang masih bersifat alami.
Kehadirannya di wilayah ini disambut warga dengan sikap positif. Sebelum mendirikan Padepokan ia harus  menginap dan istirahat di rumah warga. Meski penduduk setempat juga menyediakan tempat tinggal untuk beliau, namun ada hal yang dianggap masih kurang dimana dalam setiap rumah dan tidak ada tempat yang tersedia untuk beribadah menjalankan ibadah shalat, karena pada saat itu warga masih memiliki beragam kepercayaan.
Usaha lahir terus dilakukan oleh beliau melalui sillaturrahim (ngendong bahasa Jawa) dari rumah ke rumah ibarat sebagai orang pendatang, berbaur dengan warga dalam kerukunan bermasyarakat. Sedangkan usaha batin beliau melakukan mujahadah, berkhalwat atau menyepi mendekatkan diri terhadap Allah SWT, memohon pertolongan dan diberi kemudahan dalam melakukan dakwah dan penyebaran agama Islam terhadap warga setempat.
Mujahadah ini tentu membutuhkan ketenangan bathin, sehingga beliau memanfaatkan pohon besar yang rimbun sebagai tempat untuk menyepi, tanpa ada yang mengganggu ketenangannya. Konon di atas pohon sebagaimana yang disebutkan di atas, terdapat cabang yang datar yang memudahkan beliau duduk bersila melakukan dzikir. Cabang – cabang pohon yang masih rendah memudahkan beliau naik turun tanpa harus menggunakan tangga untuk naik ke atas.
Jalan antara pohon terdapat lokasi mata air berupa sumur yang dibuat beliau, yang setiap saat digunakan untuk berwudlu. Kegiatan naik turun pohon menuju ke lokasi air ini menyebabkan jalan setapak ini menjadi becek atau dalam bahasa Banyumas disebut Jember. Orang kemudian menyebutnya Jombor, sehingga terjadilah Jombor sebagai nama grumbul.
2.
Hampir di setiap wilayah, sebelum Islam diperkenalkan kepada masyarakat khususnya di Banyumas dan umumnya di luar wilayah, kebudayaan, adat istiadat serta kepercayaan masyarakat beragam dan bermacam-macam. Budaya membuat sesaji, (nyajeni bahasa Jawa) di tempat-tempat keramat, mengkultuskan batu besar, pohon, berjudi, main, minum serta perbuatan tercela lainnya masih sangat subur. Sebagai seorang musafir Syaikh Abdus Shomad tentu tidak serta merta melarang, membenci, atau pun mencemooh bagi pelakunya mengingat Sebagai seorang pendakwah Syaikh Abdus Shomad harus tetap istiqomah menunjukkan akhlak yang mulia terhadap mereka, mengingat mereka belum mengerti.
Jombor pada versi terbentuknya asal mula tempat adalah merupakan sebagian isi dari dakwah beliau, yang berupa ajakan yang di dalamnya terkandung keselamatan bagi manusia bagi yang menuruti nasehat-nasehatnya.
Beberapa orang menafsirkan bahwa asal-usul nama Jomboryang selalu dikaitkan dengan Nama Syaikh Abdus Shomad adalah merupakan isi misi dakwah beliau yang mengandung larangan. Misalnya kata Jo dalam kalimat Jawa “Ojo” (Jangan atau tidak boleh dalam bahasa Indonesia), diartikan sebagai larangan dan dikaitkan dengan sebuah ajakan.
JO
Ojo / Jo
M
Musyrik / munafik/ .............................dst
BOR
jo Boros
Jo musyrik, Jo Munafik, Jo Mungkar, Jo Maca Qur’an Lan nyenggol nek ra suci, Jo main, Jo medok Jo mabuk-mabukan, madat, Jo metani alane wong liyo, Jo mateni / mepet dalan pangane wong liyo, Jo meneih sesaji kanggo syetan, Jo merek-merek barang haram, Jo muwur , Jo mangan riba, Jo maling dunyo wong liyo, Jo mikir kumed sodaqoh, Jo mbelani perkoro salah, Jo Mbalelo, Jo mriksani barang kang haram, Jo mburu maksiyat, Jo mekso kekarepan ala, Jo mikir ninggal shalat wajib, Jo mikir ninggal puoso wajib, Jo mulang barang kang ala, Jo mituruti bisikan syetan, Jo moni padudon karo tetonggo, Jo mentelantarkan cah yatim, Jo masang sesrangkah dalan tetonggo, Jo mungkir, Jo mutus tali paseduluran, Jo mati ra nggowo iman, Jo melak-melik dunyo wong liyo, Jo mempeng golet dunyo nanging lali gusti Allah, Jo mbetitil, merem ngamal kanggo akherat, Jo mbanggel karo nasehate kyai, Jo mblenjani janji, Jo moni nyupatani karo sepada-pada, Jo minteri sepada-pada, Jo mbebani tanggungjawab marang wong kang ora mampu, Jo mbeler nggolet pangupa jiwo (kasab/pahal), Jo mangas ketipu nikmate dunyo, Jo mbeber alaning manungsa, Jo mlanggar toto aturaning masyarakat, Jo milih urip sesrawung, Jo Mubadzir. Dan dakwah-dakwah yang lain, karena hal tersebut hanya sekedar pendapat.
BOR dalam kalimat jomBORdiartikan sebagai ajakan oJo Boros. Pemborosan waktu yang berkaitan dengan umur manusia, jika dikonsentrasikan hanya untuk kepentingan dunia tanpa dibarengi dengan ibadah adalah kerugian yang besar. Bila manusia telah diperbudak harta maka hubungan dengan Tuhan menjadi jauh. Kehidupan manusia di dunia hanyalah sebentar karena umur manusia juga telah ditentukan Tuhan. Penghaburan harta untuk kesenangan duniawi menyebabkan seorang terjebak dalam israf. Apabila manusia telah jatuh pada kebangkrutan atau pailit maka ia lebih dekat kepada kefakiran dan kefakiran mendekatkan pada kekufuran.
Batas wilayah Jombor dari arah barat ditandai dengan sungai Kuyuk dan bagian timur dibatasi dengan sungai lembarang, bagian selatan berbatasan dengan grumbul Pejaten dan di bagian utara berbatasan dengan Desa Cirangkok.
Lokasi yang dulu digunakan untuk mujahadah sekarang didirikan Masjid dan Pondok Pesantren. Bangunan Masjid dan Pesantren yang dibangun oleh Syaikh Abdus Shomad, berupa panggung dengan bahan dasar kayu dan bambu, tepat di sebelah utara
NAMA CIPETE
Cipete merupakan nama Desa dimana Syaikh Abdus Shomad tinggal memiliki sejarah nama yang menarik. Ada dua versi untuk mengetahui asal-usul nama desa ini, antara lain :
1.
Wilayah Cipete pernah menjadi perebutan antara Kawedanan Karanglewas dengan (Pasir Luhur) dengan Kawedanan Ajibarang. Tarik menarik antara siapa yang berhak menguasai. Dengan berbagai kesepakatan dan perundingan diantara dua Kawedanan tersebut diambil kesepakatan bahwa wilayah yang sempit “Cupet” menjadi wilayah tersendiri, bukan bagian dari wilayah Kawedanan Ajibarang maupun Karanglewas (Pasir Luhur). Tokoh pendiri Desa saat itu hanya memberikan jawaban tentang tidak adanya keterpihakan dan ketidakkesiapannya untuk tunduk kepada kedua Kawedanan, dengan mengatakan, “ Panggonan KayaKiye Cupete Kok Degawe Rageg” ( Wilayah yang segini sempitnya kenapa menjadi keributan). Berawal dari kata Cupete berubahlah ungkapan menjadi Cipete.
2.
Bahwa kata Cipete berasal dari kata dalam bahasa Sunda. Hal ini beralasan mengingat Syaikh Abdus Shomad berasal dari Cirebon dan Sunda Kelapa, menantu-menantu beliau juga berasal dari Cirebon Sunda, sehingga terpengaruh budaya dan tradisi Sunda. Berdasarkan penelitian bahwa terdapatnya Kali Mengaji dan Kali Logawa, (di wilayah Ketapang Karanglewas) menjadi batas wilayah barat banyak dipengaruhi budaya Sunda atau Kerajaan Galuh Pakuwan atau Padjajaran. Bukti-bukti itu dapat di lihat dari nama-nama desa yang berawalan ci, seperti Cilongok, Cikawung, Cipete, Citamo, Ciberung dan lainnya.
Tercatat di dalam catatan silsilah Jombor sebagai berikut :
Dari Ayahnya :
1.      Prabu Munding Sari
2.      Ratu Galuh
3.      Siung Winara
4.      Prabu Lingga Wastu
5.      Prabu Lingga Hayang
6.      Prabu Lingga Wastu
7.      Prabu Lingga Larang
8.      Prabu Munding Kawati
9.      Prabu Silihwangi
10.  Banyak Cathra
11.  Banyak Roma
12.  Banyak Wiratha
13.  Banyak Kesumba
14.  Pangeran Senopati Mangkubumi
15.  Panembahan kertalangu
16.  Nyai Ageng Kembangan
17.  Kyai Singawedhana
18.  Asy-Syaikh Abdush Shomad Jombor
Dari Ibunya :
1.     Rasulullah Muhammad Saw
2.     Fatimah Az-Zahrah
3.     Sayidina Husain
4.     ‘Ali Zainal Abidin
5.     Muhammad Al-Baqir
6.     Ja’far As-Shadiq
7.     ‘Ali Al’ridhi
8.     Muhammad
9.     Isya Albasyari
10.  Ahmad Al Muhazir
11.  ‘Ubaidilah
12. ‘Uluwi
13.  ‘Abdul Malik
14.  ‘Abdullah
15.  Imam Ahmad Syah
16.  Jamaludin Akbar
17.  Najmudin
18.  ‘Abdullah
19.  Syarif Hidayatullah  (Sunan Gunung Jati Cirebon)
20.  Maulana Hasanudin
21.  Pangeran Sakethi
22.  Panembahan Kertalangu
23.  Nyai Ageng Kembangan
24.  Kyai Singawedhana
25.  Asy-Syaikh Abdush Shomad Jombor
Ada nama yang sama dikarenakan Kanjeng Senopati Mangkubumi berbesanan dengan Pangeran Saketi.
Syaikh Abdus Shomad lahir di Jawa Barat. Tanggal dan tahun kelahiran belum ditemukan. Beliau diperkirakan lahir pada abad ke-16 M. Data yang mendukung terdapat pada bekas prasasti kayu dengan huruf Jawa yang tertulis “Gebyog Iki Dibangun Ing Tahun 1817 Masehi. Gebyog adalah Cungkup makam Syaikh Abdus Shomad. Sedangkan bangunan makam tersebut dibangun oleh Mbah Kyai Muhammad Noer Zaman, yang dalam catatan silsilah keluarga Jombor merupakan keturunan ketujuh dari Syaikh Abdus Shomad.
Petunjuk lain yaitu antara Syaikh Abdus Shomad dengan Adipati Joko Kaiman terdapat hubungan besan. Hasanudin putra Syaikh Abdus Shomad dinikahkan dengan putri dari Adipati Joko Kaiman. Hubungan ini mengindikasikan adanya rentang masa kehidupan mereka dalam kurun waktu yang sama.
Beberapa tahun kenudian bangunan makam yang semula terbuat dari ijuk diganti dengan seng atas prakarsa Syaikh Abdul Malik (Kedung Paruk Purwokerto), seorang ulama Kharismatik dan Guru Besar Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Asy-Syadziliyah Indonesia, putra dari Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja, keturunan ke-empat Pangeran Diponegoro, bangswan dari Kesultanan Yogyakarta. Syaikh Abdul Malik Dari pihak ayah   yaitu Syaikh Muhammad Ilyas keturunan Kasultanan Yogyakarta, sedang dari pihak ibu keturunan Syaikh Abdus Shomad keturunan Padjajaran.
Setelah dari Makkah Syaikh Muhammad Ilyas dinikahkan dengan adik dari Syaikh Abdullah Kepatihan Tegal akan tetapi tidak dikaruniai keturunan, kemudian dinikahkan kembali dengan cucu Syaikh Andus Shomad yaitu Nyai Zainab, dan dikaruniai empat orang anak. Anak pertama laki-laki yang diberi nama Muhammad Asy’ad yang kemudian dikenal
MASA PENDIDIKAN
Masa muda Syaikh Abdus Shomad dihabiskan di Pondok Pesantren di Gunung Jati Cirebon Jawa Barat. Peluang karir untuk menjadi pejabat di lingkungan keraton seperti halnya suadara-saudaranya, tidak menarik perhatian bagi Syaikh Abdus Shomad muda.
Orangtuanya menyebutnya dengan filsafat tabuh beduk. Syaikh Abdus Shomad tidak tertarik menerima tongkat estafet pemimpin namun lebih tertuju kepada cita-citanmya menjadi seorang santri yang kelak mampu memberi manfaat kepada ummat dalam penyebar agama Islam dengan memilih tongkat tabuh / pemukul beduk yang adanya di longkungan pesantren / masjid.
Kehidupan keraton yang penuh dengan berbagai kesenangan dan berada di dalamnya adalah tingkat strata kehidupan yang tinggi, tentu tidak sama dengan kehidupan komunitas di Pondok Pesantren. Kehidupan serta kebutuhan diri memperpanjang kehidupan di Pondok dengan seluruh suka dan duka tidak merubah pendirian untuk terus “ngalap berkah ilmu sang kyai” hingga pada akhirnya sang kyai menganggap sebagai santri terbaik dengan menguasai ilmu-ilmu agama sebagai bekal pengembaraan melakukan dakwah Islam.
PERJALANAN DAN PERJUANGAN DAKWAH ISLAM
Setelah Syaikh Abdus Shomad dinyatakan lulus dengan prestasi terbaik, beliau pamit pulang dan oleh gurunya diberi petunjuk untuk berjalan ke timur ke arah selatan, setelah sebelumnya ia menetap beberapa tahun di Sunda Kelapa dan Cirebon, untuk melakukan dakwah di sana.
Kebiasaan Syaikh Abdus Shomad untuk bermujahadah seperti yang dilakukan di pesantren terus dilakukan, hingga satu waktu ketika beliau sedang menyepi bermujahadah di bawah pohon kelapa dalam suasana malam yang gelap serta rimbunnya tumbuhan disekitar hutan, telah merubah konsentrasi beliau ketika seekor ular besar mendekat. Dalam menghadapi ancaman tentu Syaikh Abdus Shomad tidak menyandarkan pada takdirnya sendiri. Bagaimana pun ia harus berusaha menghindar dari berbagai kemungkinan ancaman yang dihadapi dengan naik ke atas pohon kelapa agar konsentrasi mujahadah terus dapat dilakukan. Hingga menjelang pagi ular bukan malah pergi tetapi malah melilit pohon kelapa dimana beliau berada di atas.
Perjalanan selanjutnya menuju Pantai Selatan, yaitu Cilacap, menuju Kampung laut Kelapa Kerep. Kelapa Kerep konon adalah kelapa yang dirapatkan yang digunakan sebagai rakit.
SINGGAH DI JINGKANG-SAWANGAN
Sebelum Syaikh Abdus Shomad sampai di Jingkang Sawangan yang saat ini masuk wilayah Ajibarang, telah terjadi penyebaran Islam yang dilakukan oleh Mbah Munhasir, yang diyakini merupakan pendatang dari Sriwijaya-Palembang dan menetap di wilayah ini.
Mbah Munhasir dengan demikian adalah tokoh yang berperan dalam membuka hutan menjadi wilayah desa dibantu beberapa orang lokal, hingga kemudian Mbah Munhasir mendapat jodoh putri Redja Wikrama tokoh lokal yang telah memberikan fasilitas selama melakukan dakwah.
Pembukaan hutan menjadi areal desa telah menarik perhatian penduduk di luar wilayah Jingkang-sawangan sekitar berdatangan menuju kepada kehidupan baru di tempat ini.
Keadaan tersebut berlangsung dalam waktu yang lama, sehingga Mbah Munhasir merasa perlu untuk mendirikan Padepokan di wilayah Jingkang-Kalisari sebagai tempat berbagi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu kanuragan. Setelah Mbah Munhasir wafat kepemimpinan padepokan diserahkan kepada putranya Mbah Sahidin. Setelah dua tokoh tersebut wafat tidak ada generasi berikutnya yang menyiarkan Islam di Ajibarang, sampai hadirnya Syaikh Abdus Shomad.
Syaikh Abdus Shomad sendiri sebenarnya hanya berniat singgah karena statusnya adalah sebagai musafir. Namun ketika keberadaan di tempat ini banyak diminta penduduk lokal akhirnya beliau bertahan beberapa tahun melanjutkan dakwah dari para pendahulu tokoh agama di wilayah ini.
Bersama dua pengikutnya yang merupakan santri Syaikh Abdus Shomad, yakni Mbah Bagus santri dan Mbah Bujang Santri, terus menerus melakukan dakwah sambil terus membuka lokasi hutan menjadi areal perkampungan. Ketika perjalanan masih terus berlanjut kedua santrinya wafat dan dimakamkan di Sawangan-Jingkang.
SINGGAH DI PEJATEN
Pejaten sekarang adalah grumbul di wilayah Desa Cipete Kecamatan Cilongok Banyumas. Grumbul Pejaten merupakan alas hutan jati, sebelum dibuka menjadi areal tempat tinggal.
Setibanya di Pejaten beliau melakukan laku ritual mujahadah di atas batu cadas Sungai Tenggulun. Bersamaan dengan itu, Nyai Sakheti putri tunggal Mbah Kroya atau Mbah Sukma Sejati, seorang tokoh yang tinggal di Bantuanten (2 km dari wilayah Pejaten) tengah mengalami sakit keras dan belum mendapatkan obat yang mampu menyembuhkan penyakit yang diderita putrinya.
Satu hari Mbah Kroya mendengar suara seperti gemuruh ombak, mirip suara kawanan lebah. Untuk memastikan bahwa sumber suara bukan ombak atau suara lebah namun berasal dari suara manusia, maka Mbah Kroya mengutus para pembantunya untuk mencari. Para pembantunya merasa tertegun setelah menemukan sumber suara itu adalah lafadz dzikir yang dilakukan oleh Syaikh Abdus Shomad yang duduk melakukan mujahadah di atas batu cadas sungai Tenggulun.
Percakapan para pembantunya di hadapan Syaikh Abdus Shomad telah mengundang naluri kemanusiaan Syaikh Abdus Shomad untuk bersilaturrahmi bertemu dengan Mbah Kroya dengan membawa air menggunakan daun talas dari sungai Tenggulun.
Pertemuan antara Mbah Kroya dengan Syaikh Abdus Shomad menumbuhkan rasa bangga diantara keduanya, karena mereka sama-sama bersasal dari wilayah Jawa Barat. Sampai beberapa hari kemudian Nyai Sakheti binti binti Mbah Kroya / Mbah Sukma Sejati dinikahkan dengan beliau Mbah Abdus Shomad.
Bantuanten berasal dari kata Bantuan atau Pertolongan dan Banten. Menilik dari sejarah terbentuknya desa Bantuanten tidak terlepas dari sosok Mbah Kroya sendiri. Mbah Kroya beserta beberapa pengikutnya pernah turut memberikan bantuan dalam sebuah peperangan yang melibatkan Kesultanan Banten. “Mbantu Banten”. Julukan  Mbah Kroya atau Mbah Sukma Sejati tidak lain karena Kroya merupakan grumbul tempat dimana beliau dimakamkan di pinggiran Sungai Tenggulun. Sedangkan adik laki-lakinya yang bernama Mbah Jati Kusuma dimakamkan di Kedung Makam Desa Bantuanten.
BERMUKIM DI JOMBOR
Setelah tinggal beberapa lama di Tempat Mbah Kroya bersama istri, maka Syaikh Abdus Shomad melanjutkan perjalanan ke wilayah Desa Cipete tepatnya di grumbul Jombor.
Perjalanan dari Bantuanten ke wilayah Cipete, harus melalui jalan setapak penghubung antara grumbul Pejaten, Jombor Selatan dan Jombor Kauman. Dengan menyusuri jalan yang jarang dilalui, Syaikh Abdus Shomad sesekali harus memastikan bahwa jalan yang sedang dilalui bukan jalan yang dilalui hewan-hewan buas.
Dalam perjalanan tersebut secara tidak sengaja beliau melihat anak harimau yang jatuh ke jurang sempit dan tidak mampu melompat ke atas karena tubuhnya terbelit akar. Terlihat sudah berhari-hari anak harimau itu tidak mampu melompat dan induknya tidak mampu menolongnya. Melihat ketidakberdayaan anak harimau tersebut Syaikh Abdus Shomad segera menurunkan barang bawaan sementara sang istri menunggu sambil berharap penuh kecemasan, karena berada di tengah hutan yang gelap oleh rimbunnya pohon-pohon besar.
Anak harimau yang terus bergerak agaknya cukup menyulitkan beliau untuk mengangkat ke atas. Pada saat tubuhnya hampir sampai di ujung jurang, anak harimau terus meronta hingga menimbulkan suara yang mengundang perhatian induk semangnya. Istrinya yang melihat kehadiran induknya yang bertubuh besar datang dan langsung hendak menerkam Syaikh Abdus Shomad. Namun beberapa saat harimau yang besar itu dapat ditaklukkan.
Di Jombor inilah menjadi tempat mukim Syaikh Abdus Shomad hingga akhir hayatnya. Konon Syaikh Abdus Shomad sempat menikah lagi dengan Nyai Saketi binti Mbah Abdul Salam, kakak seperguruan yang pernah bersama nyantri di Pesantren Cirebon.
Syaikh Abdus Shomad pada saat masih bersama di Pesantren pernah membuat perjanjian pada saat akan meninggalkan Pesantren, bahwa bila pada saat nanti Mbah Abdul Salam memiliki anak perempuan, maka akan dinikahkan dengan  Syaikh Abdus Shomad. Barangkali perjanjian itu hanya obrolan biasa sebagai seorang santri. Waktu telah berlalu dan Syaikh Abdus Shomad hampir sudah melupakan perjanjian yang tidak resmi tersebut. Namun perjanjian tersebut barangkali terdengar oleh Allah, sehinga merupakan do’a bagi Syaikh Abdus Salam. Rupanya perjanjian tersebut terus dipegang oleh Mbah Abdul salam, sehingga beliau mencari Syaikh Abdus Shomad untuk menepati perjanjiannya menuju Jombor bersama puterinya Nyai Sakheti ( nama sakheti adalah gelar bagi wanita bangsawan yang memiliki strata sosial tinggi). Setelah Mbah Abdul salam berada di Jombor, oleh Syaikh Abdus Shomad diminta untuk tetap tinggal di Jombor.
Penggalian informasi tentang istri dan keturunan yang di tinggal di Cirebon, sebelum mukim di Jombor juga belum tergali, dan lacak informasi keterangan tentang pernikahan Syaikh Abdus Shomad dengan Nyai Sakethi binti Mbah Abdus Salam, terutama pada anak keturunan dan sejarah Mbah Abdus Salam. Apakah silsilah keturunan syaikh Abdus Shomad hingga sekarang adalah pernikahan dengan Nyai Saketi binti Mbah Kroya /  Mbah Sukma Sejati ataukah keturunan pernikahannya dengan Nyai Saketi binti Abdus Salam, namun besar kemungkinan adalah pernikahan dengan Nyai Sakheti binti Mbah Kroya / Mbah Sukma Sejati, yang telah menerunkan ulama-ulama besar di Banyumas dan sekitarnya.
Mbah Abdus Salam sendiri disamping sebagai seorang ulama beliau juga seorang yang ahli dalam urusan tata pemerintahan . Dan seorang yang pandai berpidato atau ketib. Gagasan tentang tata aturan pemerintahan saat itu menjadi Inspirasi para pengelola wilayah baik Kesultanan maupun tingkat pemerintahan kawedanan.
Peran agama dan pemerintahan dijalani oleh Mbah Abdus Salam di wilayah Gununglurah saat itu. Kehebatannya dalam mendidik calon-calon pemipin, telah menerbitkan nama harum Gununglurah-Cilongok sebagai basis kampung para pemimpin, sehingga dinamakan Gunung Lurah.
Selama tinggal di Gununglurah ini, Mbah Abdus Abdul Salam banyak menerima tamu yang sengaja tukar kawruh tentang ilmu-ilmu pemerintahan. Beliau wafat dimakamkan di pekuburan umum Desa Gununglurah. Makamnya tidak pernah sepi dari para peziarah, terutama mereka yang memiliki hajat ingin mencalonkan diri mengabdi kepada negara atau pun Kepala Desa
Setelah Abdus Shomad merasa bahwa Jombor adalah pilihan terakhir untuk mengemban amanat sang guru dalam menyebarkan Islam di wilayah Kabupaten Banyumas, maka dengan bantuan warga sekitar diberi tanah sesuai dengan kebutuhan untuk mendirikan bangunan berupa Padepokan sebagai rumah berbagi ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu yang lain yang diperlukan masyarakat saat itu.
Sebelum Syaikh Abdus Shomad menetap di Jombor dan mendirikan Padepokan telah ada seseorang yang dianggap tokoh / Kamitua / Sesepuh yang cukup disegani, meski dia sendiri bukan seorang kyai dan hanya seorang kamitua yang ahli dalam ilmu-ilmu kejawen. Agaknya sang kamitua ini merasa tersaingi dengan kehadiran beliau Syaikh Abdus Shomad. Dengan berbagai keilmuan “Kejawen” kamitua ini terus menanam permusuhan meski sebenarnya Syaikh Abdus Shomad tidak pernah berfikir untuk mengalahkan, namun karena kesombongan sang kamitua ini akhirnya kalah pamor.
Latar belakang keilmuan Kejawen yang diperoleh Kamitua / Sesepuh tersebut juga tidak jelas, bahkan berseberangan dengan ilmu-ilmu yang diajarkan Syaikh Abdus Shomad. Apakah keilmuan yang diajarkan diperoleh melalui guru atau pun dipelajari dari nenek moyangnya. Dalam bidang ilmu agama Islam yang dimiliki agaknya masih dangkal, karena tidak mampu mengangkat dirinya dalam status julukan kyai saat itu. Namun dari segi pamor agaknya luar biasa. Rumahnya tidak pernah sepi dari kehadiran warga sekitar untuk memohon petunjuk atau pepadang.
Kehebatan dalam menguasai ilmu klenik / Kejawen ini cukup untuk menarik perhatian sampai di luar Jombor. Pamor yang dimiliki kamitua ini juga menyebabkan kedudukan keluarga dan dirinya semakin kuat bertahan puluhan tahun di grumbul Jombor.
Dengan mukimnya Syaikh Abdus Shomad, Sang Kamitua menganggap bahwa kehadiran Syaikh Abdus Shomad di Jombor dianggap sebagai tandingan pamor bagi dirinya. Melalui propaganda yang dihembuskan kepada warga dan orang-orang yang datang di kediamannya, Kamitua ini terus memperkuat keadaan dirinya.  Dengan berbagai alasan Syaikh Abdus Shomad dianggap telah merubah adat tradisi dan tatanan yang telah berlaku dari generasi ke generasi, dan itu merupakan sebuah ancaman yang bersifat pribadi di mata masyarakat. Namun demikian dakwah tetap dilakukan dengan kesabaran hingga masyarakat setempat benar-benar meninggalkan tradisi-tradisi musyrik serta mengembangkan tradisi yang disentuh dengan ruh Islami, sebagai upaya media dakwah saat itu.
SYAIKH ABDUS SHOMAD DAN PENGELOLAAN PADEPOKAN
Ketika Syaikh Abdus Shomad menetap di Jombor usianya memang mendekati usia-usia 60 tahun. Usia tersebut tergolong usia senja menuju usia masa tua.
Kegiatan dakwah dilakukan di lingkungan Padepokan, karena secara fisik Syaikh Abdus Shomad tidak lagi sekuat dan memiliki energi yang penuh untuk melakukan keliling di wilayah Jombor dan sekitarnya.
Namun demikian Syaikh Abdus Shomad mendapat perhatian masyarakat di lingkungan di luar Desa Cipete sangat luar biasa, karena berita dari mulut ke mulut tentang kehadiran seorang ulama pembawa agama Islam semakin banyak yang singgah dan menetap di Kabupaten Banyumas saat itu. Para penuntut ilmu pun datang silih berganti hingga Syaikh Abdus Shomad wafat.
PENERUS PERJUANGAN
Dari sumber silsilah keluarga Jombor, disebutkan bahwa Syaikh Abdus Shomad memiliki tiga orang keturunan, dua laki-laki dan satu perempuan, masing-masing bernama, Nyai ‘Ali, Nadzmudidin dan Hasanudin (Mbah Lambak).
Nyai ‘Ali nikah dengan Kyai Zainal Ali dari Cirebon. Keturunan dari Nyai ‘Ali dengan Kyai Zaenal inilah yang kemudian meneruskan perjuangan Islam di Jombor dan turun temurun menjadi perawat (kuncen) makam Syaikh Abdus Shomad, sampai sekarang.
Anak keturunan Nyai ‘Ali dengan Kyai Zaenal Ali tersebar di beberapa wilayah, seperti di Ajibarang, Pasiraman, Cikawung, Kali Benda, Citomo, Kroya, Sumpiuh, Sokaraja, Sawangan-Purwokerto, Wangon, Purbalingga, Bajarnegara, Blitar (Jawa Timur) sampai ke Lampung (Sumatera). Sedangkan Hasanudin atau yang dikenal dengan Julukan Mbah Lambak tinggal menetap di Banyumas dan dimakamkan di Dawuhan Banyumas.
Mbah Ketib Arum (Ketib Arum adalah putera dari Kyai Ali Muhammad dan Kyai Ali Muhammad adalah putera dari Kyai Muhammad dan Kyai Muhammad adalah putera tunggal dari Nyai ‘Ali sedang Nyai ‘Ali adalah puteri dari Syaikh Abdus Shomad). Dikenal sebagai tokoh ulama sekaligus orang yang pandai dalam berpidato (ketib). Pernah menjadi penghulu, sebuah lembaga pemerintahan bentukan Kolonial Belanda serta giat menekuni olah kanoragan.
Setelah semua keturunan Mbah Ketib Arum ini wafat, Padepokan dipindahkan ke Jombor Tengah atau kauman, karena pertimbangan keluarga / kerabat sebagian menetap di tempat ini, dan awal Syaikh Abdus Shomad pertama kali sering melakukan mujahadah juga di tempat ini. Selanjutnya Padepokan di asuh oleh Mbah Kyai Muhammad Sulaiman, yang merupakan menantu sebelumnya. Mbah Kyai Sulaiman ini adalah keturunan dari Adipati Mruyung Ajibarang.
Berikut adalah generasi penerus yang mengembangkan Pondok Pesantren di Jombor :
1.
Mbah Kyai Zainal ‘Ali
2.
Mbah Kyai Achmad Muhammad
3.
Mbah Kyai ‘Usman ‘Ali
4.
Mbah Kyai ‘Ali Muhammad
5.
Mbah Kyai Ketib Arum
6.
Mbah Kyai Zainal ‘Ali
7.
Mbah Kyai Munadha
8.
Mbah Kyai Marhani
9.
Mbah Kyai Muhammad Ikhsan
10.
Mbah Kyai Muhammad Sulaiman
11.
Mbah Kyai Muhammad Noer Zaman
12.
Kyai Abdurrahman
Sekitar tahun 1960 an keberadaan Pondok Pesantren, mengalami masa-masa fakum. Pengelolaan peninggalan Syaikh Abdus Shomad berkisar pada perawatan makam Syaikh Abdus Shomad, pengelolaan masjid, pengembangan lembaga pendidikan seperti Madin, Majlis Taklim, dan Madrasah Ibtidaiyah. Dari kepemimpinan Kyai Abdurrahman menurun pada  generasi berikutnya seperti :
1.
Kyai Muhiddin - Menantu
2.
Kyai Mas’ud (puetra pertama Kyai Abdurrahman)
3.
Kyai Humam Mas’udi (putera Kyai Mas’ud)
4.
Kyai Abdullah Sajad (keturunan kesembilan  Syaikh Abdus Shomad) Koordinator pengurus makam, yang merupakan putera dari Kyai Muhammad Hasan Tayyib (kuncen terdahulu) dengan puteri ketiga dari Kyai Muhammad Noer Zaman yaitu Nyai Kusrinah.
Setelah waktu berlalu lama akhirnya Pondok Pesantren kembali dibangun di wilayah Jombor oleh Kyai Muhdi bin Kyai Muhidin. Kyai Muhdi adalah keturunan kesepuluh dari Syaikh Abdus Shomad Jombor. Sementara di Jombor Kauman menjadi pusat pengelolaan lembaga pendidikan seperti, Madin, Madrasah, Majlis taklim.
KAROMAH SYAIKH ABDUS SHOMAD
1.
Menimba Emas
Dikisahkan setiap kali beliau berhadast, beliau turun untuk mengambil air wudlu. Ketika Syaikh Abdus Shomad menggunakan periuk atau kendi sebagai timba untuk mengambil air, kemudian secara perlahan diangkat ke atas terdapat keanehan, sebab periuk atau kendi yang sedang diangkat ke atas terasa berat dan harus mengeluarkan tenaga yang lebih. Alangkah terkejutnya ketika periuk yang telah menyentuh bibir sumur, terlihat bukan hanya berisi air tetapi sebagian dari badan periuk berisi bongkahan emas yang lebih besar dari periuk yang digunakan untuk timba.
Sadar bahwa beliau sedang diuji oleh Allah, SWT segera ia beristighfar dan berdo’a, mengadu bahwa bukan harta duniawi yang beliau pinta, namun pertolongan, kekuatan, kesabaran serta ridlo Allah SWT dalam memperjuangkan Agama Islam, di tempat yang baru, budaya masyarakat yang bermacam-macam serta kepercayaan yang beragam, hingga kemudian beliau melemparkan kembali emas tersebut ke dalam sumur.
2.
Membungkam Gong
Konon tradisi kesenian seperti wayang, kuda lumping dan kesenian yang mempergunakan gong, kenong atau benda lain sebagai alat musiknya, tidak akan berfungsi atau berbunyi apabila di bunyikan di wilayah Jombor. Dalam sejarahnya sampai hari ini, belum pernah di jombor ada pagelaran wayang, ronggeng, tayub ataupun kuda lumping.
Keadaan ini mengisyaratkan sejarah tersendiri bagi warga setempat. Bagi kebanyakan orang hal tersebut mungkin sudah mafhum, bahwa itu merupakan Karomah yang dimiliki Syaikh Abdus Shomad, mengingat jasad beliau dimakamkan di tanah ini. Karomah tersebut pada dasarnya tidak bisa dinalar sebab itu kekuasaan Allah. Namun bagi kebanyakan orang tentu hal ini menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji akar peristiwa yang melatar belakangi.
3.
MEMBUAT “KEDER” SERDADU BELANDA
Karomah ini tidak saja terjadi ketika Syaikh Abdus Shomad masih hidup, bahkan setelah beliu wafat pun masih dapat dirasakan di lingkungan sekitar Jombor. Diantara karomah yang terjadi setelah beliau meninggal antara lain membuat bingung atau Keder. Keder yang sering terjadi pada kita terkadang seputar arah dan tempat serta menjadi linglung meskipun kita sebenarnya sadar
Pada masa penjajahan Belanda, para serdadu Belanda bukan hanya berusaha merebut dan menguasai pusat-pusat kota di sekitar Banyumas, namun seluruh pelosok di wilayah Banyumas ini tidak lepas dari kegiatan operasi, untuk memburu para tentara Indonesia yang bersembunyi di wilayah pedesaan.
Para serdadu Belanda ini konon mengalami hal aneh dan tidak mampu membuat keputusan operasi penyergapan atau pun penyerangan terhadap markas tentara Republik, ketika akan masuk ke Desa Cipete.
Semua jalan yang menuju Desa Cipete, dianggap sebagai jalan buntu, yang tidak memungkinkan untuk dilalui mobil-mobil perang serta terhamparnya jurang dan bukit yang tidak memungkinkan serdadu yang berjalan kaki untuk turun dan mendaki. Dengan keaneha-keanehan tersebut para serdadu Belanda kemudian mengalihkan dan berbalik mencari jalan yang lain.
Meski telah menemukan jalan lain menuju Desa Cipete, namun para Serdadu Belanda ini mengalami keanehan lain yang sama pada peristiwa kejadian pertama. Akhirnya para tentara Belanda ini hanya bisa berhenti di perbatasan desa, bingung karena jalan yang dilalui terlihat seperti jalan yang pertama kali dilalui.
Hal itu berlaku bagi seluruh Serdadu Belanda, meskipun kompi / pasukan yang berbeda-beda pasti akan mengalami hal yang sama, baik mereka yang datang dari arah barat (Ajibarang) maupun mereka yang datang dari arah timur (Purwokerto).
PENINGGALAN-PENINGGALAN SYAIKH ABDUS SHOMAD
1.
Masjid Baitus Shomad Jombor, yang merupakan petilasan beliau melakukan kegiatan mujahadah.
2.
Pohon Kayu Nagasari yang berada di lokasi makam Syaikh Abdus Shomad, yang telah berusia ratusan tahun yang di tanam di kompleks makam dan digunakan sebagai tanda di tempat tersebut dimakamkan pula keturunan Syaikh Abdus Shomad. Hal yang sama juga ditemukan pada komplek makam Mbah Lambak (Mbah Hasanudin) di sebelah selatan makam Joko Kaiman.
3.
Sebuah Bedug yang terbuat dari kayu sidagurih. Terdapat tiga bedug yang dibuat, satu bedug di bawa ke ke Demak, satu di bawa ke Purwokerto dan satu ada di Jombor.
-------------+++----------------+----------------------------------------------------------------------
Demikian sejarah singkat perjalanan Syaikh Abdus Shomad Jombor, ulama yang memiliki karomah yang tinggi yang telah berperan dalam menyebarkan Agama Islam di Banyumas.
Penampilannya yang bersahaja, akhlaknya tinggi, kedalaman ilmu dalam bidang Tasawuf / Tarekat, Aqidah, Fiqih / mu’amalah, telah menempatkan beliau sebagai ulama yang disegani pada zamannya. Sedangkan karya-karya beliau yang bersifat tertulis dan sebagainya juga belum tergali.
Karomah dan do’a-do’anya telah memberi pencerahan bagi penduduk setempat baik ketika masih hidup maupun setelah beliau wafat. Maqamnya yang berada di Jombor tidak pernah sepi dari para pengunjung yang sengaja datang untuk berziarah, mendo’akan dan berdo’a di dekat maqam seorang wali yang memiliki karomah. 
Mudah-mudahan tulisan rintisan ini akan menjadi berkembang menuju pada penggalian Koreksi dan informasi yang lebih lengkap dan sangat berguna bagi Masyarakat Banyumas dan sekitarnya.‎