Minggu, 01 Mei 2016

BABAD INDRAMAYU part 4 (end)


kisah sebelumnya...

Hasil pertanian dari bibit-bibit unggul yang dibawa oleh Nyi Endang Darma sangat disukai
oleh para pembeli dari luar Darma Ayu maupun mancanagara, seperti: lada, padi,kacang tanah, sayur mayur, mangga, pisang sale, sagu, gula, minyak kelapa, garam, juga dendeng rusa, dendeng kerbau , telur asin,ayam itik dan kalkun. Selain itu komoditas lain diminati pula oleh pembeli dari mancanagara seperti tikar, bakul, ayakan bahkan anglo,tetapi yang paling menguntungkan adalah
keranjang rotan dan kayu balok/papan.
Kebalikannya masyarakat Darma Ayu Nagari paling banyak mendatangkan dari mancanagara
adalah: pakaiari, porselen, keramik Cina,laken, permadani dan batangan besi.
Ketika kemakmuran mulai meningkat dalam keadaan yang stabil damai , tiba-tiba Darma Ayu Nagari dikejutkan kedatangan musuh yang dipimpin oleh Tumenggung Jayakarta yang bernama
Pangeran Nitinagara. Dia didampingi penasehatnya yang disebutTetua (juga seorang tumenggung) bernama Pangeran Wadu Aji.
Mereka berkemah di luar kota dan mengutus Sang Tctua Pangeran Wadu Aji, dikawal empat
orang jawara. Dengan beraninya mereka langsung masuk Pendopo Dalem Agung yang sedang ada acara seba.
Para prajurit Jagabaya mengira mereka adalah tamu biasa yang akan menghadiri acara seba,
membiarkan masuk. Jagabaya baru kemudian menyadari ketika mereka menerobos terus ke
depan, maka prajurit pengawal yang berjumlah delapan orang menghalaunya. Tidak diduga, dengan mudah kedelapan prajurit Jagabaya tersebut dilumpuhkan.
Terjadi keonaran karena hampir semua pejabat Nagari dari tumengung sampai bahusuku ingin mcnangkapnya, tetapi dicegah oleh Sang Adipati. Dengan waspada Aria Wiralodra membisiki Sang Ratu Saketi Hutama yang segera keluar dari Pendopo dan diikuti oleh scpasang burung Rajawali Ki Tana dan Nini Tani. Di luar gerbang Dalem Agung, mereka melepaskan belasan anak panah sumprit secara beruntun ke udara dengan berbunyi melengking berkepanjangan.
Setelah itu terdengar suara kentungan tancla bahaya dari segala penjuru kota. Tidak sampai
hitungan yang ke 300 maka lapangan di muka Dalem Agung telah berbaris sekitar 50 orang
prajurit berikat kepala hijau -kuning (prajurit pesilat) dan 200 orang prajurit biasa. Termasuk
di antaranya para pejabat yang keluar dari Pendopo Dalem Agung.
Sementara itu di dalam Pendopo Agung hanya tinggal Sang Adipati, Tumenggung Kiyai Tinggil,
Demang Ki Pulaha dan sang tamu serta pengawalnya.
Berkata Sang Adipati: “Bagea tamu yang tidak diundang, siapa nama dan mau apa datang ke
sini?”
Jawaban Pangeran Wadu Aji memperlihatkan keangkuhan, menganggap rendah Penguasa
Darma Ayu Nagari, katanya: “Katambuan, aku adalah pengelana, namaku Wadu Aji, kami
sedang mencari tempat untuk Pangeran Nitinagara yang akan menjadi Penguasa dan tempat ini cocok.
“Kami punya 200 orang prajurit unggulan yang saat ini sedang berkemah di luar kota menjaga
Pangeran kami dan aku diutus kemari untuk menawarkan perdamaian. Maka kalau kamu menyerah, akan selamat. Barangkali nanti Pangeran Nitinagara bersedia membayar kerugian. Kami kaya, uang banyak dari hasil penjualan Tanah Karawang dan Bogor pada pengusaha berbangsa Inggris. Apa jawabanmu?
Cepat sebelum aku berubah pikiran !”
Sang Adipati menjawab keras: “Wadu Aji, tadi kamu telah mendengar tanda-bahaya dengan
sumprit dan bunyi kentungan. Maka apabila kamu keluar dari sini akan melihat kesiapan
tempur rakyat yang akan membela nagarinya.Sekarang dengarlah! Kamu mengatakan
Nitinagara, aku tahu sekarang, Nitinagara dan kamu adalah Tumenggung Pajajaran di Sunda
Kalapa dan bekerjasama dengan orang Portugis melawan Panglima Demak, Wong Agung Paseh
Fadillah Khan. Kamu dan pasukan Portugismu kalah dan terusir sampai di sini.
“Sekarang aku putuskan, kalau Nitinagara dan kamu menyerah akan aku bebaskan tetapi
seluruh harta benda yang kamu bawa menjadi milik Nagari termasuk prajuritmu. Tetapi kalau
melawan akan kami tangkap untuk diserahkan ke Demak. Nagari kami di bawah kuasa Demak.
“Nah, sekarang pergilah dan sampaikan kepada Nitinagara!”
Menghormati dirinya sebagai duta maka tanpa berkata apa-apa Pangeran Wadu Aji
mengundurkan diri.
Aria Wiralodra sendiri bersama Ki Tinggil dan Ki Pulaha bergegas ke lapangan. Di lapangan
terbuka Dalem Agung telah tiba dari segala penjuru para prajurit dan sedang menyusun gelar perang yang akhirnya terbentuklah dalam gelar Trisula.
Sementara itu pasukan musuh sudah mulai memasuki lapangan dan berhenti pada jarak 100 depa, membentuk gelar Perang Bedawangkara (segi empat dengan tameng di sisi luar. Dipergunakan untuk melindungi seseorang secara berlapis-lapis dari segala penjuru).
Gelar ini hanya punya kekuatan pada kepala kura-kura dan sisi-sisinya saja dan sama sekali
tidak cocok untuk menyerang, melainkan bertahan atau gelar sementara, maka ketika bendera aba-aba perang dikibarkan Sang Bedawangkara maju dengan sangat lamban.
Di lain pihak di formasi Tombak Trisula, pada sula utama terlihat Sang Ratu Saketi Hutama
dibantu sepasang pendekar Ki Tana dan Nini Tani. Di sula kanan ada Ki Pulaha bersama Ki
Wanasara. Sedangkan pada sula kiri tampil Ki Drayantaka dan Ki Puspahita.
Gerak cepat dari Trisula menerobos
Bedawangkara di tiga tempat dan langsung terjadi perang senjata.
Bagaimana Aria Wiralodra dan Ki Tinggil menerobos ke perut Bedawangkara, tidak ada yang tahu, tiba-tiba saja Pangeran Nitinagara sudah diikat dan dibawa oleh Ki Tinggil ke Pendopo.
Kemudian Aria Wiralodra maju lagi untuk menghadapi Wadu Aji yang sedang bertempur dengan Sang Ratu yang nampak kerepotan,maka Sang Adipati berseru katanya: “Wadu Aji dengarlah! Nitinagara telah kami tawan dan ada di Pendopo, kamu menyerah sajalah!”
Sang Wadu Aji memindahkan serangannya kepada Aria Wiralodra sambil berkata:
“Sebentar lagi akan aku bebaskan setelah aku bunuh kamu.” Maka terjadilah pertempuran
yang berimbang.
Aria Wiralodra berpikir bahwa pertempuran seperti ini akan memakan waktu lama,sementara para prajurit mungkin banyak yang tewas. Maka segera dia bertriwikrama menjadi sebesar anak gunung yang langsung menangkap Pangeran Wadu Aji. Tetapi Wadu Aji berhasil lolos dan melarikan diri.
Di bawah ini Serat Babad Dermayu melukiskan peristiwa tersebut dalam bentuk macapat Pupuh Durma:
Enggal sira nyabeta lawan bedama Nulya
Nitinagara Angasta wangkingannya Anyuduk ing
Wiralodra Nitinagara binanting gumuling kisma
den taleni ing Ki Tinggil Samia bentuk bedama
ing yuda nira Raden anang ngqjurit nemu
tanding aprang Wadu Aji Tan mengsah sinepak
surung njumpalik den Wiralodra medal
Triwikrama glis Antarane sagunung anak
agengnya Wadu Aji ngoncati melqjeng sing rana
mangidul palqjengnya ing pundi ingkang den
ungsi mapan mertapa dadi pandila mangkin
Puspaita Drayantaka Wanasara ngamuk anang
jurit anulya Pulaha angamuk bala katah balane
Tumenggung mangkin nungkul sedaya
kapasrahalcen Ki Tinggil

Setelah dua orang pimpinan tertingginya tidak terlihat di palagan, para prajurit Nitinagara
segera menyerah.
Tumenggung Nitinagara datang ke Darma Ayu Nagari, seperti yang mengirim upeti saja,
sebab harta yang dibawa, baik uang maupun benda-benda berharga, bernilai sangat besar,
menjadi milik Darma Ayu Nagari.
Para prajuritnya dibebaskan dari hukuman dan menjadi penduduk biasa.
Terhadap Pangeran Nitinagara, Sang Adipati meng-ambil kebijakan seperti tertulis pada
Serat Babad Dermayu Pupuh Dandanggula di bawah ini.
Mapan Nitinagara anangis anang ngarsa nira 
Raden Wira reh bade kakirimake ing Demak
pan Sinuhun amripun melas asih mesti gusti
kaula potong jangga ulun aljdi gusti nuwun
gesang Wiralodra sanget welas aningali Wadu
Aji kang dosa Pan sinangonan Nitinagara ken
kesah ngungsi dateng ukir ken mertapa
ngilangake dosa ingkang agung nulya kesah
Nitinagara pun lepas lampah ira benjang
lenggahipun ing leuwiseeng punika ngallh
namajejuluk Ki Gedeng Mangkin Leuwiseeng
pan Sanghyang
 
Kepergian Sang Dwi -Tunggal Pendiri Darma Ayu Nagari Dalam bentuk tulisan maupun lisan yang lebih rinci, seperti dalam hikayat babad, macapat,kanda, kaol, wayang golek cepak, wayang kulit
Cirebonan, dalang macak, sandiwara dan sendratari, maka penuturan maupun pertunjukan perihal Nyi Mas Ratna Gandasari selalu menarik.
Ketaatannya kepada agama dan nagara serta perjuangannya untuk kesejahteraan rakyat dipuji masyarakat Caruban dan Darma Ayu Nagari, sampai lima abad kemudian.
Sanjungan yang merupakan ramalan sang suami, Aria Wiralodra, disampaikan di hadapan saudara-saudaranya yang datang dari Bagelan,dilukiskan dalam Serat Babad Dermayu Macapat Pupuh Dandanggula seperti berikut:
Lan pinasti kersaning Widi
Sanqjan ingkang ngawiwiti kakang
Ingkang gawe nagarane
Endang Darma pan tumut
Anggelar gawe nagari
Dadi campur wanita
Endang Darma punjul
Datan kotor yuda brata
Lan sumbada Endang Darma Ayu rayi
Pan Darmayu Nagara
Benjing negara Darmayu rayi
Dadi pangungsen segala bangsa
Tanah sebrang dugi mangke
Sing wetan kulcn rawuh
Saking pribawaning estri
Samia berumah tangga
Ana ing Darmayu
Langkung rame pan nagara
Nameng susah benjang anak putu niami
Kendang pan ing perdesan

Dalam usia lanjut Nyi Mas Ratu Gandasari (Nyi Endang Darma) wafat dan dimakamkan di
Pemakaman Dalem “Setana Bojong”Indramayu.
Namun masyarakat Cirebon banyak yang menduga, bahwa Nyi Mas Ratu Gandasari dimakamkan di Panguragan, Arjawinangun,Cirebon. Yaitu di lokasi dimana “Sayembara
Pibu Mencari Jodoh” pernah dilakukan. Di tempat tersebut Nyi Mas Ratu Gandasari pernah berkhalwat menyendiri dalam mendekatkan hati kepada Allah SWT sebelum sayembara Pibu.
Masyarakat Cirebon sampai sekarangpun banyak yang percaya bahwa tanah tempat
tafakur Nyi Mas Ratu Gandasari tersebut sangar dan sangat ampuh untuk menghancurkan musuh. Dikenal dengan nama:
“Lemah Panguragan.”
Konon bila tanah ini dipakai untuk maksud kejahatan, obatnya adalah tanah di Desa Lemah Tamba dimana Remagelung (Jaka Soka) melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Nyi Mas Ratu Gandasari. Desa Lemah Tamba adalah tetangga Desa Panguragan.
Tahun wafat, baik Nyi Mas Ratu Gandasari maupun Sang Suami Aria Wralodra, tidak tercatat dalam sejarah.
Serat Babad Dermayu hanya menyatakan dalam Pupuh Dandanggula sebagai berikut:
Kacarita Kiyai Dalem neki Pun lami anggene
mukti nagara Dados Dalem Darmayune
Mangke sampun sesunu
Pan sekawan katah nireki
Pembqjenge Sutamerta
Wirapati wau
Ping tiga Inten entinya
Wuragile Raden Drayantaka mangkin
Kang Rama sampun seda
 
(Adipati Aria Wiralodra dimakamkan di Setana Dalem Sindang)
Untuk mengakhiri kisah ini, dikutipkan sebagian dari ramalan Adipati Aria Wiralodra
mengenai masa depan Darma Ayu Nagari (Lontar abad XV-M) sebagai berikut:
Dulca awak mami benjang Turun pitu dumugi
Para kadang pada ngrenggana temah udrasi
Cipta sesedyane iki
Pangarahnya luput wigar
Saking kurang temeneki
Sanget i/cu den awas den welingana
Priyagung kang pancakara
Kawula sangsara sami
Wong padesan paulayan
Rowang lawan prajurit
Kerengan akeh kang mati
Akeh angin sindung ribut
Kilat tatit kaliweran
Tentanduran rusak sami
Pra Bupati sahandapane pada susah
Susah pari susah beras Kebo Sapi pada mati
Kadang-kadangira pada Kendang mring
padesan sami Nanging banjur Allah nyukani
Karakhamatan kang linuhung
Darma Ayu mulih harja
Tan ana sawiji-wiji
Partelane yen ana taksaka nyabrang
Kali Cimanuk pernahnya
Sumur kejayan dres mili
Dilupak murub tanpa patra
Sedaya pan mukti mali
Somahan lawan prajurit
Rowan kaliyan priyagung
Samiya tentrem atinya
Sedaya harja tumuli
Ing sakehing negara pada raharjat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar