(pupuh LVI.13 - LVIII.06)
Diceritakan kemudian bahwa pada suatu
hari Sinuhun Gunung Jati berkeinginan
untuk menyendiri di tempat yang sepi.
Sinuhun pergi dengan membawa serta
kerisnya Sangyang Naga. Sinuhun sudah
mengetahui bahwa ajalnya sudah
mendekat. Dia pergi ke Gunung Jati dan
duduk bertafakur disana, di Gunung Jati
yang di sebelah timur itu. Kemudian
Sinuhun menulis surat dengan
menggunakan daun sebagai kertasnya,
surat itu ditujukan kepada anaknya di
Banten yang isinya berbunyi, "He Sunan
Sebakingkin, itu cucumu yang bernama
Kapil [nama panggilan untuk Maulana
Muhammad] suruhlah dia pergi
menunaikan ibadah haji, sebab dialah
yang kelak akan menjadi raja.
Sepulangnya menunaikan ibadah haji,
segeralah dinobatkan, karena setelah itu
engkau dan demikian juga anakmu tidak
akan lama memerintah. Oleh karena itu
Muhammad Kapil besok yang akan
menjadi raja dan yang akan
mendapatkan wasiatnya Nabi".
Daun itu digulung dan diikatkan
pada keris yang kemudian melesat
terbang ke angkasa. Keris itu terbang
dengan cepat, cahayanya terang
bagaikan andaru (bintang jatuh) di
tengah malam. Sesampainya di Banten
keris itu turun di istana Banten. Semua
yang ada di Dalem Puri terkejut
melihatnya, mereka mengira bahwa ada
bintang jatuh. Keris tersebut jatuh di
hadapan Pangeran Sebakingkin. Dengan
penuh ketakjuban Sunan Banten melihat
keris yang jatuh di hadapannya itu, dia
mengetahui bahwa itu adalah Keris
Sangyang Naga milik ayahandanya.
Segera surat itu dibacanya, yang isinya
minta agar cucunya disuruh naik haji.
Sunan Banten menyetujui
keinginan wali, ayahandanya, dan Sunan
Banten pun segera membuat surat
balasannya. Surat balasan itu ditulis
diatas kertas perak dan bertuliskan
dengan tinta emas indah. Isi suratnya
berbunyi, "Ayahanda wali, sang cucu
akan hamba suruh menunaikan ibadah
haji, pesan akan ananda laksanakan".
Setelah selesai ditulis, kemudian surat itu
dibungkus dengan kesturi wulung , dan
diikatkan kembali pada keris itu. Sang
keris pun segera terbang lagi ke angkasa
bagaikan burung, dan tidak dikisahkan
perjalanannya, keris itu telah tiba
kembali di Gunung Jati. Tibanya pada
waktu tengah malam, Sinuhun melihat
surat balasan yang ditulis dengan amat
indah. Sinuhun berkata, "Inilah ciri dari
kesombongan dan hati yang takabur.
Seberapa lamanya kita dalam hidup ini
akan berkuasa, pasti tidak akan
selamanya. Lama kekuasaan
keturunanku di Banten kelak tak akan
lebih dari sembilan keturunan".
Setelah berkata demikian, Sunan
Gunung Jati lalu merebahkan dirinya di
tanah sambil melipat tangan diatas
dadanya. Dia berbaring di tanah
beralaskan daun Rudamala, dan
berbantalkan batu. Kepalanya berada di
arah timur sedangkan kakinya di arah
barat, seperti layaknya tengah melakukan
shalat. Ketika tiba waktunya makan
sahur, Sinuhun Gunung Jati meninggal
dunia. Pada waktu itu Sinuhun usianya
genap seratus dua puluh tahun. Sunan
Kalijaga segera memberitahukan berita
duka cita itu kepada seluruh sanak
keluarga. Semua telah diberitahu bahwa
Sinuhun Jati telah meninggal di Gunung
Kentaki. Sebagai pembawaan seorang
Wali utama, alam dunia ikut berduka cita
atas kepergiannya.
Dedaunan jatuh berguguran,
hewan-hewan berbunyi saling
bersahutan, air bergelora dan lautan
menjerit bergemuruh bergantian dengan
gempa yang bergetar dengan suara yang
menakutkan. Alam dunia bagaikan akan
roboh, batuan krikil bergemeletuk dan
terdengar suara beraneka macam. Tanah
menjadi gembur dan seluruh isi hutan
riuh berbunyi. Bergelegar suara gunung,
bergema berkumandang di langit. Sang
surya panas membara, sang bulan begitu
pula. Semua yang ada di dunia bagaikan
menangis. Tidak lama kemudian turun
para malaikat dari langit ke atas Gunung
Jati. Para malaikat itu kemudian
membawa jenazah Sinuhun naik ke
langit.
Setelah tersiar berita duka cita
itu, para santri dan para sanak saudara
semua menangis dengan sedihnya,
mereka bingung ketika mengetahui
bahwa jenazah Sinuhun telah tiada.
Suasana saat itu hiruk pikuk, canang Ki
Bicak berbunyi bertalu-talu tanpa ada
yang menabuh. Para santana mantri
semuanya pergi menuju ke Gunung
Sembung. Yang pergi ke Gunung Jati,
hanyalah Sunan Kalijaga, Syekh Datuk
Khapi, dan Pangeran Makdum saja.
Ketika mereka tiba di situ jenazahnya
sudah tidak ada, yang tinggal tergeletak
di tanah hanyalah wangkingan (ikat
pinggang) dan jubah Sinuhun saja.
Begitulah Sunan Kalijaga segera
menyingsingkan lengan bajunya untuk
menggali liang lahat. Syekh Datuk Khapi
datang dan minta untuk menggantikan,
demikian juga halnya dengan Pangeran
Makdum. Akan tetapi Sunan Kali berkata,
"Biarlah kalian jangan ikut-ikut, biar aku
sendiri saja yang menguburkan pakaian
itu". Akhirnya selesai sudah pakaian
Sinuhun dikuburkan di sana dengan
sempurna, yaitu di Gunung Kentaki yang
di sebelah timur itu. Akan tetapi bentuk
kuburannya tak terlihat karena diratakan
lagi dengan tanah. Hanya tandanya ialah
bahwa tak akan ada daun yang jatuh
keatas kuburan ini.
Sementara itu Tubagus Pase
datang ke Gunung Kentaki yang di
sebelah barat bersama para sentana
mantri. Mereka berkumpul di tempat itu
dan mereka menemukan bahwa jenazah
sudah tidak ada lagi, yang masih ada di
sana hanya Keris Naga dan Tasbih
Sinuhun. Sang keris menggelantung di
udara, merah membara bagaikan bintang
jatuh, sedangkan tasbihnya kemudian
dikuburkan di bumi mulia. Tempat itu
kemudian direka-reka menjadi berbentuk
makam, di Gunung Sembung. Terkenal
diantara rakyat kecil bahwa Sinuhun
Aulia, dimakamkan di Gunung Jati yang
di sebelah Barat itu, di tempat mana
dahulu beliau tinggal. Adapun Nyi Mas
Putri Jangkung, kemudian tinggal disana
menunggui kuburan suaminya dengan
penuh kasih sayang. Adapun Keris
Sangyang Naga kemudian terbang
melesat ke langit bagaikan bintang dan
jatuh masuk ke Dalem Agung, dan Keris
Sangyang Naga itu menghilang disana.
Catatan: Mengenai waktu wafatnya
Syarif Hidayatullah, ada beberapa
pendapat. Dalam History of Java ditulis
bahwa Syarif Hidayatullah wafat pada
tahun 1428 Saka (1506 M) dalam "usia
yang sangat lanjut", tahun tersebut tidak
tepat karena pada waktu perang dengan
Galuh Pajajaran (Bab XXII) dimana
Sunan Gunung Jati masih berperan.
Dalam Negarakertabhumi, dan demikian
juga dalam Purwaka Caruban Nagari
bahwa Syarif Hidayatullah wafat pada
tanggal 11 Kresna-paksa, bulan
Badramasa tahun 1490 Caka (1568 M),
Sumber lainnya menyebutkan bahwa
Sunan Gunung Jati wafat pada tanggal
12 bagian terang, bulan Badra tahun
1490 Saka atau 19 Septem-ber 1568 M.
Diceritakan kemudian bahwa pada suatu
hari Sinuhun Gunung Jati berkeinginan
untuk menyendiri di tempat yang sepi.
Sinuhun pergi dengan membawa serta
kerisnya Sangyang Naga. Sinuhun sudah
mengetahui bahwa ajalnya sudah
mendekat. Dia pergi ke Gunung Jati dan
duduk bertafakur disana, di Gunung Jati
yang di sebelah timur itu. Kemudian
Sinuhun menulis surat dengan
menggunakan daun sebagai kertasnya,
surat itu ditujukan kepada anaknya di
Banten yang isinya berbunyi, "He Sunan
Sebakingkin, itu cucumu yang bernama
Kapil [nama panggilan untuk Maulana
Muhammad] suruhlah dia pergi
menunaikan ibadah haji, sebab dialah
yang kelak akan menjadi raja.
Sepulangnya menunaikan ibadah haji,
segeralah dinobatkan, karena setelah itu
engkau dan demikian juga anakmu tidak
akan lama memerintah. Oleh karena itu
Muhammad Kapil besok yang akan
menjadi raja dan yang akan
mendapatkan wasiatnya Nabi".
Daun itu digulung dan diikatkan
pada keris yang kemudian melesat
terbang ke angkasa. Keris itu terbang
dengan cepat, cahayanya terang
bagaikan andaru (bintang jatuh) di
tengah malam. Sesampainya di Banten
keris itu turun di istana Banten. Semua
yang ada di Dalem Puri terkejut
melihatnya, mereka mengira bahwa ada
bintang jatuh. Keris tersebut jatuh di
hadapan Pangeran Sebakingkin. Dengan
penuh ketakjuban Sunan Banten melihat
keris yang jatuh di hadapannya itu, dia
mengetahui bahwa itu adalah Keris
Sangyang Naga milik ayahandanya.
Segera surat itu dibacanya, yang isinya
minta agar cucunya disuruh naik haji.
Sunan Banten menyetujui
keinginan wali, ayahandanya, dan Sunan
Banten pun segera membuat surat
balasannya. Surat balasan itu ditulis
diatas kertas perak dan bertuliskan
dengan tinta emas indah. Isi suratnya
berbunyi, "Ayahanda wali, sang cucu
akan hamba suruh menunaikan ibadah
haji, pesan akan ananda laksanakan".
Setelah selesai ditulis, kemudian surat itu
dibungkus dengan kesturi wulung , dan
diikatkan kembali pada keris itu. Sang
keris pun segera terbang lagi ke angkasa
bagaikan burung, dan tidak dikisahkan
perjalanannya, keris itu telah tiba
kembali di Gunung Jati. Tibanya pada
waktu tengah malam, Sinuhun melihat
surat balasan yang ditulis dengan amat
indah. Sinuhun berkata, "Inilah ciri dari
kesombongan dan hati yang takabur.
Seberapa lamanya kita dalam hidup ini
akan berkuasa, pasti tidak akan
selamanya. Lama kekuasaan
keturunanku di Banten kelak tak akan
lebih dari sembilan keturunan".
Setelah berkata demikian, Sunan
Gunung Jati lalu merebahkan dirinya di
tanah sambil melipat tangan diatas
dadanya. Dia berbaring di tanah
beralaskan daun Rudamala, dan
berbantalkan batu. Kepalanya berada di
arah timur sedangkan kakinya di arah
barat, seperti layaknya tengah melakukan
shalat. Ketika tiba waktunya makan
sahur, Sinuhun Gunung Jati meninggal
dunia. Pada waktu itu Sinuhun usianya
genap seratus dua puluh tahun. Sunan
Kalijaga segera memberitahukan berita
duka cita itu kepada seluruh sanak
keluarga. Semua telah diberitahu bahwa
Sinuhun Jati telah meninggal di Gunung
Kentaki. Sebagai pembawaan seorang
Wali utama, alam dunia ikut berduka cita
atas kepergiannya.
Dedaunan jatuh berguguran,
hewan-hewan berbunyi saling
bersahutan, air bergelora dan lautan
menjerit bergemuruh bergantian dengan
gempa yang bergetar dengan suara yang
menakutkan. Alam dunia bagaikan akan
roboh, batuan krikil bergemeletuk dan
terdengar suara beraneka macam. Tanah
menjadi gembur dan seluruh isi hutan
riuh berbunyi. Bergelegar suara gunung,
bergema berkumandang di langit. Sang
surya panas membara, sang bulan begitu
pula. Semua yang ada di dunia bagaikan
menangis. Tidak lama kemudian turun
para malaikat dari langit ke atas Gunung
Jati. Para malaikat itu kemudian
membawa jenazah Sinuhun naik ke
langit.
Setelah tersiar berita duka cita
itu, para santri dan para sanak saudara
semua menangis dengan sedihnya,
mereka bingung ketika mengetahui
bahwa jenazah Sinuhun telah tiada.
Suasana saat itu hiruk pikuk, canang Ki
Bicak berbunyi bertalu-talu tanpa ada
yang menabuh. Para santana mantri
semuanya pergi menuju ke Gunung
Sembung. Yang pergi ke Gunung Jati,
hanyalah Sunan Kalijaga, Syekh Datuk
Khapi, dan Pangeran Makdum saja.
Ketika mereka tiba di situ jenazahnya
sudah tidak ada, yang tinggal tergeletak
di tanah hanyalah wangkingan (ikat
pinggang) dan jubah Sinuhun saja.
Begitulah Sunan Kalijaga segera
menyingsingkan lengan bajunya untuk
menggali liang lahat. Syekh Datuk Khapi
datang dan minta untuk menggantikan,
demikian juga halnya dengan Pangeran
Makdum. Akan tetapi Sunan Kali berkata,
"Biarlah kalian jangan ikut-ikut, biar aku
sendiri saja yang menguburkan pakaian
itu". Akhirnya selesai sudah pakaian
Sinuhun dikuburkan di sana dengan
sempurna, yaitu di Gunung Kentaki yang
di sebelah timur itu. Akan tetapi bentuk
kuburannya tak terlihat karena diratakan
lagi dengan tanah. Hanya tandanya ialah
bahwa tak akan ada daun yang jatuh
keatas kuburan ini.
Sementara itu Tubagus Pase
datang ke Gunung Kentaki yang di
sebelah barat bersama para sentana
mantri. Mereka berkumpul di tempat itu
dan mereka menemukan bahwa jenazah
sudah tidak ada lagi, yang masih ada di
sana hanya Keris Naga dan Tasbih
Sinuhun. Sang keris menggelantung di
udara, merah membara bagaikan bintang
jatuh, sedangkan tasbihnya kemudian
dikuburkan di bumi mulia. Tempat itu
kemudian direka-reka menjadi berbentuk
makam, di Gunung Sembung. Terkenal
diantara rakyat kecil bahwa Sinuhun
Aulia, dimakamkan di Gunung Jati yang
di sebelah Barat itu, di tempat mana
dahulu beliau tinggal. Adapun Nyi Mas
Putri Jangkung, kemudian tinggal disana
menunggui kuburan suaminya dengan
penuh kasih sayang. Adapun Keris
Sangyang Naga kemudian terbang
melesat ke langit bagaikan bintang dan
jatuh masuk ke Dalem Agung, dan Keris
Sangyang Naga itu menghilang disana.
Catatan: Mengenai waktu wafatnya
Syarif Hidayatullah, ada beberapa
pendapat. Dalam History of Java ditulis
bahwa Syarif Hidayatullah wafat pada
tahun 1428 Saka (1506 M) dalam "usia
yang sangat lanjut", tahun tersebut tidak
tepat karena pada waktu perang dengan
Galuh Pajajaran (Bab XXII) dimana
Sunan Gunung Jati masih berperan.
Dalam Negarakertabhumi, dan demikian
juga dalam Purwaka Caruban Nagari
bahwa Syarif Hidayatullah wafat pada
tanggal 11 Kresna-paksa, bulan
Badramasa tahun 1490 Caka (1568 M),
Sumber lainnya menyebutkan bahwa
Sunan Gunung Jati wafat pada tanggal
12 bagian terang, bulan Badra tahun
1490 Saka atau 19 Septem-ber 1568 M.
naskah-naskah lama mengenai Babad
Cirebon dan Pajajaran post by Amman
W)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar