Kata-kata Ki Tinggil yang diucapkan tidak sungguh-sungguh tetapi
terasa memperingatkan, yang sebetulnya juga tidak perlu dikatakan. Ki
Tinggil dapat melihat cara mereka saling pandang, kemudian katanya:
“Nyai mari Paman antar pulang dan besok akan Paman jemput lagi Keesokan harinya, tanpa ada pengumuman hampir seluruh penduduk, baik pria, wanita maupun anak-anak memadati tepi alun-alun.U Duajago yang tiada taranya masa itu akan berhadapan.
Di wismanya Nyi Endang Darma pagi-pagi telah memakai busana pendekarnya.
Dengan hati gelisah, bertanya kepada pengasuhnya. “Kaki …. Nini…, cara bagaimana aku harus merobohkan Gusti Wira agar tidak terluka?” katanya setengah tidak sadar.
Kedua pengasuhnya bukannya menjawab melainkan tersenyum. Maka Nyi Endang bertambah bingung, sambungnya, ” Nini …Engkau menertawakan aku?”
“Nyai,” berkata Ki Tana, “Kaki dan Nini kemaren melihat pertandingan. Bukan lawan-lawan Nyai, tetapi Gusti Wiralodra dan Ki Tinggil. Kedua orang itulah yang dapat menandingi kita, situa Tinggil lawanku bersama Nini dan Gusti Wira lawan Nyai.
Perkiraanku tepat, pada akhirnya Nyai akan diminta untuk menghadapi Gusti Wira.”
Kemudian Ki Tana menarik napas panjang.
Katanya perlahan, “Salah satu pusakayang dipajang di Dalem Agung adalah senjata cakra,maka dapat dipastikan pemiliknya mengusai ilmu Triwikrama, penguasaan Bawana-Buntala-Gegana. Dalam pewayangan Sri Kresna seorang diri menggegerkan bukan hanya negeri Hastina, bahkan Suralaya tempat para Dewa.
Maka janganlah Nyai memikir bagaimana merobohkan Gusti Wira tanpa terluka!”
Nyi Endang Darma tersadar rahasia hatinya diketahui Ki Tana. Terlebih Nini Tani yang nampak terus tersenyum.
Ki Tana melanjutkan: “Nyai, lawanlah Gusti Wira sekuat tenaga, kerahkan seluruh ilmu yang Nyai miliki!”
Beberapa saat kemudian Ki Tinggil tiba untuk menjemput. Maka berangkatlah mereka bertiga langsung menuju panggung alun-alun dimana Aria Wiralodra telah menunggunya.
Kemudian Ki Tinggil, Kaki Tana dan Nini Tani berunding bagaimana menilai hasil pertandingan.
setelah itu semua turun Ke gelanggang.Setelah sampai di tengah lapangan. Para wasit mengundurkan diri pada jarak yang cukup jauh. Sedangkan kedua pendekar berdiri berhadapan pada jarak lima depa.Nyi Endang Darma membungkukkan badan yang segera dibalas oleh Aria Wiralodra dan segera dia berseru: “Gusti, bersiaplah, Endang Darma akan segera mulai!”
Dijawab Aria Wiralodra: “Nyai tidak usah ragu-ragu, lakukanlah …!”
Nyai Endang menarik ujung selendang dari ping-gangnya dengan kecepatan tinggi,cahayanya berkelebat laksana kilat membelah udara. Inilah wrayang pusaka yang digerakan sepenuh hati . Mula-mula membuat lingkaran di atas kepala kemudian ke depan, ke samping kanan, ke samping kiri dan ke belakang dengan tanpa menoleh, kemudian kembali ke atas kepala, terakhir melilit kembali di pinggangnya.
Ki Tinggil yang terkagun-kagum sejak awal pertunjukan, langsung berteriak: “Nyi Pohaci berpayung emas …. Nyi Pohaci berpayung emas …. Memang benar inilah jurus pembukaan silat Pajajaran untuk wanita.”
Maka tanpa Ki Tinggil berteriakpun Aria Wiralodra telah mengetahuinya, pikirnya:
‘Kalau bukan murid Ki Walungsungsang,setidaknya Nyi Endang pernah belajar kepadanya Aria Wiralodra bersiap-siap mendapat serangan senjata rahasia secara beruntun. Tetapi ini tidak terjadi. Maka Aria Wiralodra maju selangkah dengan kesiapan tangan kosong,tiba-tiba ujung wrayang melesat ke arah muka yang langsung ditebas dengan tangan terbuka.
Di sinilah keunggulan Nyi Endang, ujung wrayangnya melilit tangan dan dengan kecepatan tinggi melilit tubuh Sang Wira seperti seratus laso menjerat seekor kuda.
Aria Wiralodra tidak mau adu kekuatan menarik wrayang, melainkan melompat ke atas tegak lurus sambil berputar seperti gasing dengan arah berlawanan lilitan wrayang.
Sampai lilitan terakhir lepas, Sang Wira masih di udara, kemudian baru turun dengan ringan.
Pertunjukan yang indah disambut sorak-sorai kagum para penonton.
Belum kaki Sang Wira menginjak bumi,serangan Nyi Endang menyusul dengan tangan kosong, membuat lawannya naik turun di udara.
Kini giliran Ki Tana yang tidak bisa menutup mulutnya, katanya nyaring: “Penguasaan gegana yang sempurna Setelah berulangkali menghindar, maka Sang Wira membiarkan telapak kakinya kena dipukul. Akibatnya kedua jago ini terpental hingga berjarak 10 depa.
Berlawanan dengan Sang Wira yang turun hingga menginjak bumi dengan tegak, Nyi Endang jatuh terguling, kemudian sambil bangkit patrem Nyi Endang melesat dengan kekuatan penuh ke arah tubuh Sang Wira.Apa yang terlihat seperti patrem (tusuk konde) itu sebetulnya adalah rencong mini yang terbuat dari baja putih (platina). Salah satu dari pusaka Walisanga, milik seorang wali senior,Syekh Maulana Malik Ibrahim (Maulana Magribi). Saat menjelang wafat pada tahun 1419 M diberikan kepada putranya Makhdar Ibrahim (yang saat itu masih bujang) dengan pesan agar diberikan pada anak perempuannya, adik langsung dari anak laki-lakinya yang pertama. Dialah yang saat ini bernama Nyi Endang Darma.
Senjata itu untuk pertama kali digunakan sebagai senjata rahasia. Sekilas Aria Wiralodra melihat datangnya bahaya yang terlalu cepat maka keris Gagak Handaka yang masih dalam wrangkanya dipergunakan sebagai tameng,menjadi tempat terpusatnya tenaga, tenaga Sang Wira, tenaga Triwikrama.
Maka laksana bunyi seratus petir meledak dan tanahpun bergoyang, penonton terpelanting berhamburan kalang kabut. Ketika tiga wasit tersadar jadi terkejut, karena dua pendekar yang
bertanding lenyap. Tetapi segera berseri karena Nyi Endang Darma tengah duduk di samping Aria Wiralodra dan asyik berbincang-bincang di panggung.
Kemudian ketiga wasit itu mendatanginya, Nyi Endang berseru: “Gusti, walaupun hamba sejauh sampai saat ini kalah, belum tentu dalam kecepatan adu lari!” Dengan kata-kata yang terakhir, Nyi Endang Darma melompat turun. Tetapi dengan selendangnya yang berkibar, maka tampaknya seperti terbang melayang.
Aria Wiralodra tersenyum, serunya, “Nyai aku kejar!” Sambil melompat Aria Wiralodra membuntuti Nyi Endang Darma, dan hanya dalam sekejap kedua pendekar telah lenyap dari pandangan orang banyak .
Kaki Tana dan Nini Tani memburu, tetapi dihalang-halangi oleh Ki Tinggil. Nini Tani marah dan akan segera menyerang, tetapi Kaki Tana yang segera tersadar, menarik istrinya.
Kemudian ketiganya tertawa gembira ….Di suatu tempat yang bernama Ujungjaya, Nyi
Endang Darma berhenti dan duduk di batu yang bertebing batu padas, kemudian segera
diikuti oleh Aria Wiralodra. Sambil memandang sekeliling Nyi Endang berkata: “Gusti, tempat
ini indah dan hamba ingin bersuci wudhu untuk solat dhuhur, hanya sayang tidak ada air.”
Aria Wiralodra mengerti, dia sedang diuji,maka katanya: “Nyai, pertama-tama jangan lagi
pangil aku ‘Gusti’ , panggillah ‘Mas’ atau sebut namaku saja dan berhenti menyebut diri
sendiri ‘hamba’ ganti dengan ‘aku’. Yang kedua, akan aku periksa tebing padas itu tampaknya lembab.”
Sampai di tepi tebing, Aria Wiralodra mengepalkan tangan kanannya dengan keras sambil pasang kuda -kuda. Sesaat kemudian,“bles” seluruh lengan kanannya amblas ke dalam tebing padas dan terdengar seperti suara batu bentrok berantai ke dalam perut bukit. Tidak terlalu lama menunggu, dari lobang bekas lengan tersebut menyembur air jemih seperti pancuran. Dan menggenangi cekungan seluas sepuluh depa persegi sehingga merupakan kolam. Tanpa berkata apapun mereka bersuci dan mengambil air wudhu kemudian salat dhuhur….
Sambil memandang kolam Nyi Endang Darma berkata: “Mas Wira, aku punya bibit ikan!”
Sementara bicara tangannya memetik daun-daun dari berbagai tumbuhan dan sekuntum
bunga “Dewi Uma” yang sedang mekar, lalu ditaburkan ke dalam kolam ….
Sekarang kolam telah berpenghuni ikan hias,dan seekor di antaranya yang berwarna kuning
dengan sirip panjang laksana berselendang sutra.
Kolam ini di kemudian hari disebut orang “Kolam Keramat Ujungjaya”.
Kemudian ketika Aria Wiralodra lengah, Nyi Endang Darma telah lari ke arah selatan tanpa
meninggalkan jejak.
Aria Wiralodra terperangah dengan tingkat ilmu Nyi Endang Darma yang bisa mengimbanginya.
Kesaktian (supranatural) digunakan Walisanga yang termasuk ilmu sejati atau ilmu hakiki,ilmu untuk mencapai derajat manusia sempurna (insan kamil), yang lebih mengutamakan akal batin (intuisi) daripada akal lahir (ratio), sehingga disebut “ajaib” atau “mustahil” bagi akal-lahir. Tetapi kesaktian bukan hanya milik para wali.
Setelah Aria Wiralodra mengikuti arah lari Nyi Endang Darma, sampailah dia ke celah bukit
dimana ada seekor serigala sedang memejamkan matanya. Sang pemburu melihatnya dan berseru “serigala!” .Maka Serigalapun melompatdan menghilang ke dalam semak-semak (sekarang bukit ini disebut Pasir Anjing). Kembali Sang Pemburu melihat di gua berbatu ada seekor harimau betina dan seruan berkumandang, “harimau”,membuat Sang Ratu Hutan lari (bukit besar itu sekarang bernama Pasir Maung).
bosan di perbukitan pindan Ke pohon jambu yang lebat daun maupun buahnya. Lagi-lagi Sang Pemburu berteriak: “Ada burung ketilang mau makanjambu!” Jadilah sekarang tempat itu Desa-Tarung Jambu.
Itulah yang terakhir dilakukan Nyi Endang Darma, sebab selanjutnya dia duduk di bukit batu yang terlindung (sekarang Desa Nyalindung).
Di bawah ini satu bait Pupuh Durma dari serat Babat Dermayu yang melukiskan saat-saat
sebelum Nyi Endang Darma mengakhiri pelariannya:
Mapan Raden Saktinya kaliwat-liwat
Ingsun umpetan pinanggih
Ing endi paran ingwang
Nyi Endang eweding manah
Raden apan anututi
Saparan nira
Nalia ing pinggir ukir
Kemudian mereka berdua bersama-sama mencari tempat yang terbaik untuk beristirahat. Tempat yang terpilih adalah Bukit Marongge.
Di Bukit Marongge Aria Wiralodra membuka percakapan: “Nyai, sebelum aku bicara soal lain, ada yang lebih penting dari yang terpenting, yaitu suatu pertanyaan pribadi dari aku kepada Nyai.”Kemudian setelah ditatapnya muka Nyi Endang cukup lama, Aria Wiralodra berkata lagi, “Aku melamarmu untuk jadi istriku, apakah engkau menerima?”
Nyi Endang Darma menunduk,menyembunyikan mukanya yang memerah karena debar jantungnya lebih cepat. Terdiam cukup lama, berusaha untuk tidak menjadi gugup. Akhirnya keluar jawaban pendek: “Mas Wira, aku menerima lamaranmu.”
Dengan penuh rasa kasih, Aria Wiralodra melanjutkan: “Nyai, nanti setelah kita selesai berbincang, aku akan membawamu ke Pegaden dan kita menikah di sana agar saudara misanku Dalem Wirasetro menjadi saksi.”
Nyi Endang Darma mengangguk .Dalam suasana seperti ini tidak nampak keperkasaan pendekar, melainkan kelembutan, baik dalam tutur kata maupun tingkah laku.
Berkata Aria Wiralodra, “Nyai, aku hanya dapat menyebut nama-nama seperti: Pangeran Walangsungsang, Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah, dan Fadillah Khan, Wong Agung Paseh; tetapi apa tujuan dan tugas Nyai, aku tidak bisa menebak .”
“Mas Wira,” sahut Nyai Endang halus, “aku akan berkisah.
“Aku dilahirkan di Pasai Aceh dengan nama Gandasari, punya seorang kakak laki-laki bernama Fadillah Khan. Ayahku Makdar Ibrahim adalah Ustad di Istana Kerajaan.
Kakekku Maulana Malik Ibrahim adalah anggota Walisanga yang paling tua.
“Ketika pecah perang dengan Portugis tahun 1521 M, Pasai menderita kekalahan. Istana dan
rumah-rumah di kota termasuk tempat tinggalku hancur. Ayah dan ibuku tewas.
“Aku bersama kakakku berlayar ke Pulau Jawa menghadap Sultan Demak Adipati Yunus .
Kakakku mendapat tugas ke Timur Tengah dan aku diangkat menjadi murid Sunan Gunung Jati
Syarif Hidayatullah yang kebetulan sedang menghadiri sidang Walisanga di Demak.
“Ketika Sunan Guruku kembali ke Caruban,aku ikut dan tinggal di Dalem Agung Pakungwati, aku berguru dalam ilmu agama dan Ilmu Kanuragan.
“Dalam hal kanuragan, ilmu silatku yang dari Pasai tetap dilanjutkan. Sunan hanya melatih
tenaga dalam yang disebut Jurus Sunan’ yang berjumlah 13 jurus.
“Saat ini aku diberi tugas oleh Sunan, guruku untuk mencuri pusaka utama Galuh Nagari
berupa patung ular yang dibuat dari emas.Rakyat Galuh Nagari, khususnya para Sang Hyang, percaya pada pusaka utama ini,sehingga bila hilang, mereka yakin bahwa Galuh Nagari akan sima.
“Dengan kepercayaan seperti ini, semangat juang prajurit Kerajaan akan rendah sehinggga
mudah ditaklukan.“Aku minta pada Sunan Guruku seorang teman pria, tetapi beliau bilang ‘Cari sendiri!’.
“Makanya aku kemari, karena aku memilih Mas Wira. Itulah aku dan tugasku. Mengenai Kaki Tana dan Nini Tani adalah orang kepercayaan Rama Walungsungsang untuk menjagaku Aria Wiralodra terdiam, kemudian bertanya,“Nyai, aku ada di Praja Cimanuk, mengabdi kepada Galuh Nagari, Hyang Prabu Cakraningrat.
“Adalah tugas rahasia dari Sultan Demak dalam rangka pengembangan agama Islam. Semula aku diberi tugas oleh Sultan Raden Patah,setelah wafat kini Sultan Adipati Yunus. Gurumu Sultan, tahu mengenai ini.“Jadi kecuali Sultan Demak hanya Nyai dan gurumu Sunan yang mengetahui.
“Tujuannya nanti pada saat armada laut Demak menyerang Pajajaran, aku di sini menyediakan
pangkalan dan perbekalan.“Nah sekarang Nyai mengerti. Adalah tidak mungkin aku bersama Nyai ke Galuh Nagari untuk tugas seperti itu. Aku terlalu dikenali mereka.
“Aku ada saran untuk Nyai, yaitu, adakan saja sayembara pertarungan untuk memperebutkan
gelar Pendekar Kelas Satu dari Caruban Nagari.”
“Mas Wira!” memotong Nyai Endang, “Orang Jawa bukan pendekar Cina. Budaya Jawa adalah
budaya padi yang tidak ingin pamer.“Ada satu cara yang bisa diadakan oleh penguasa Nagari, yaitu Sayembara memperebutkan putri penguasa seperti: Putri Raja, Putri Adipati atau Putri Temenggung.Tentu saja putrinya harus cantik. Kata Mas Wira aku cantik. Maka judul perlombaan adalah “Sayembara Pibu mencari jodoh”.
Hanya saja, apakah kalau sudah dari Pegaden,aku diizinkan oleh suamiku!”
“Sudah, sudah, tidak,” kata Sang Wira, “nanti saja dibicarakan setelah pulang dari Pegaden.”
Keesokan harinya sepasang calon pengantin berangkat menuju Pegaden. Perjalanan
panjang yang tidak me-lelahkan ….Tiba di Pegaden Aria Wiralodra dan Nyi Endang Darma disambut dengan hangat oleh Dalem Raden Wirasetro beserta garwanya .
Pada malam hari, Aria Wiralodra menuturkan suka dukanya membangun Praja Cimanuk.
Kemudian sekalian, disampaikan keinginan pernikahan mereka dilakukan di Pegaden.
Raden Wirasetro dengan senang hati setuju dan akan dilaksanakan secara besar-besaran. Namun
dengan sungguh-sungguh Aria Wiralodra meminta agar tidak ada pesta sama sekali.
Maka dengan terpaksa Dalem Wirastro menurutinya dan pernikahan dilaksanakan pada malam itu juga.Lontar Babad Darma Ayu (Abad XV M) menulis perihal pernikahan ini sebagai berikut:
Nyi Endang Darma ing besuk Daup Kagarwa ing krami Kalian Ki Wiralodra Nanging ingeta ing weling Ora kena kacatuma Iku sakehing pamali
Sedangkan perihal waktu pemikahannya disimpulkan pada 1525 M, sesuai dengan Candrasangkala pada lontar yang sama,“disembunyikan”, pada kata “genira mangun
nagari” di bawah ini.Dewa Jeksa gung Sangkawa Ana Sapta prang ing siti Papat catur ing sagara Palwa remek klem toyadi Bumi eka ing gumingsir Karya sabda mmuhun Wahana ika Ki Wira Genira mangun nagari Nulya Kaki Wiralodra Angandika Dalam perjalanan dari Pegaden ke Praja
Cimanuk, tiba di Bukit Marongge, kedua mempelai sepakat. Nyi Endang akan mencari “pengawal” untuk tugasnya dengan cara menyelenggarakan sayembara.
Kemudian Aria Wiralodra mengatakan bahwa kedua pengasuhnya akan diberi tahu. Akhirnya
Nyi Endang turun menyeberangi sungai kecil sambil menyipratkan minyak asuri yang harum lembut, sampai hilang di balik bukit (sekarang Desa Darmawangi).
Setelah berdiri selama sepemakan nasi, Aria Wiralodra kembali ke Praja Cimanuk, dan langsung menuju Wisma Nyi Endang Darma.
Setelah memberitahukan Ki Tana dan Nini Tani bahwa Nyi Endang Darma telah menjadi istrinya dan sekarang sedang menuju ke Caruban untuk menyelenggarakan sayembara,Aria Wiralodra minta agar pengasuhnya merahasiakan hal ini.
Tiba di Dalem Agung, Aria Wiralodra disambut oleh kedua saudaranya yang langsung menanyakan Nyi Endang. Dikisahkan oleh Aria Wiralodra bahwa Nyi Endang hilang di Tuk
Sungai Cimanuk dan minta kepada dua saudaranya agar hal ini dilaporkan kepada Ayahandanya di Bagelen.
Yang Gagal dan yang Berhasil Adipati Kuningan, Aria Kamuning (Suranggajaya) adalah putra Prabu Luragung (Jayaraksa) anak angkat Putri Ong Tin.
Dia mendapat tugas dari Sang Ayah Angkat Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah untuk menjaga keamanan daerah perbatasan Caruban-Galuh.
Di daerah ini banyak pondok pesantren yang didirikan. Bentrok senjata sering terjadi di daerah ini, membuat Sang Adipati tidak sabar menunggu misi Nyi Mas Ratna Gandasari (Nyi Endang Darma) mencuri pusaka utama Galuh Nagari “Sarpa Kandaga”. Maka dengan menggunakan kuda bernama “Si Windu Aji”,Adipati memimpin 300 lasykar Kuningan masuk lebih jauh dan menggempur pertahanan Galuh Nagari di Gempol (Palimanan). Lasykar ini terjebak di tempat terbuka Tegal Sirawat,dimana Pasukan Galuh Nagari dari Palimanan dipimpin oleh Adipati Arya Kiban, yang mengendarai gajah bernama Si Liman Bango melabraknya (dalam cerita wayang kulit Cirebonan disebut “Palagan Tegal Sirawat”).
Lasykar Kuningan ditarik mundur dalam kejaran pasukan Galuh Nagari sampai ke “perbatasan”. Adipati Arya Kiban menghentikan pengejaran dan menarik mundur pasukannya.
Beruntung bagi Caruban, serangan balik lawan tidak dilanjutkan sampai ke pusat kota, bahkan
ditarik mundur Arya Kiban khawatir dengan berita bahwa di Caruban ada sejumlah 700 orang pasukan Demak yang bukan saja bersenjata api tetapi juga meriam. Dia tidak memperoleh info
bahwa pasukan Demak telah diberangkatkan menuju pusat kekuatan Angkatan Perang Pajajaran di Banten Girang.
Situasi “perbatasan” aman kembali, tetapi kejadian ini membuat Galuh Nagari percaya diri dan dengan semangat tinggi mempersiapkan perang.
Maka tugas Nyi Mas Ratna Gandasari (Nyi Endang Darma) dipercepat….
Sementara itu Nyi Endang Darma yang telah menggunakan kembali nama Nyi Mas Ratna Gandasari. Dari Bukit Marongge dengan naik kuda, dia menyusuri jalan hutan menuju
Caruban. Jauh di luar kota, dia mengambil jalan “Cimanuk-Caruban”, dan mulai memberi
tanda-tanda pada batu atau pohon, yang hanya dapat dibaca oleh Ki Tana dan Nini Tani. Maka
dengan mudah mereka bertemu di Panguragan.Di Desa ini Nyi Mas Ratna Gandasari bersama
Ki Tana dan Nini Tani dengan bantuan seorang wiku terkenal Ki Selapandan,menyelenggarakan Sayembara Pibu Mencari Jodoh.
Pesilat di Caruban Nagari yang mencoba turut serta. (nama-namanya tercatat dalam Babad Cirebon, seperti : Pangeran Rudamala, Dipati Rangkong, Jaka Supetak, Ki Demang Paluamba.
Jaka Pekik, Ki Jungjang. Ki Plered dll).Hanya ada seorang yang dapat menandinginya, yaitu seorang pendatang dari Negeri Siam.
Yang bernama Pangeran Remagelung atau lebih terkenal dengan nama Jaka Soka.
Dia adalah murid Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah sejak setahun yang lalu, ketika
baru tiba di Caruban Nagari dan belajar ilmu Tauhid kepada Sunan.
Di bawah ini penuturan Dalang Macak atau Tukang Kanda, yang biasa diiringi gamelan terbatas atau hanya sebuah kecapi.Pupuh Burma :
Nulya medal sayagi ing yuda nira
Remagelung Gandasari
Sampan ayun-ayunan
Anggene angadu jaya
Prawantu sakalih sakti
Kawicaksanan
Pan sami angimbangi
Pertarungan itu dilaksanakan di atas panggung terbuka diawasi secara cermat oleh Ki Tana
daan Nini Tani Sementara itu di antara penonton ada seorang lagi pengwas gelap yang menyamar sebagai seorang petani, Aria Wiralodra, Sang Suami.
Setelah pilihanjatuh pada Jaka Soka, Nyi Mas Ratna Gandasari sengaja menerima tendangan
yang ditahanoleh kedua telapak tangan dan dengan sentakan kakinya yang kuat melompat
mundur sehingga jatuh di kerumunan penonton di luar arena. Ini berarti dia kalah dalam sayembara.
Pada saat yang sama, Ki Tana dan Nini Tani membuat keonaran, yang menghasilkan lolosnya Nyi Mas Ratna Gandasari hilang dari pandangan penonton, Sementara Jaka Soka yang mengetahui arah kemana lawannya meloloskan diri dan akan mengejar terhalang oleh dua orang “penonton” yang kelihatan bingung.
Pada jarak sekitar 100 depa, baru Jaka Soka terlepas dari penghalang dan mengejar lawannya. Akan tetpi ada seorang penonton lagi yang melesat lari melewati Jaka Soka dan menyusul Nyi Mas Ratna Gandasari. McngHnliui slapa yang lari di sampingnya, Nyi Mas Ratna Gandasai berseru, “Mas, aku ke guruku Sunan di Pakungwati!”
Mengetahui tujuannya, sang penonton melesat ke depan dan tiba di muka gerbang Agung
Pakungwati, kemudian duduk menyandar pada pohon laban di tepi jalan. Tidak lama kemudian tiba Nyi Mas Ratna Gandasari yang dikenali prajurit jaga dan langsung masuk.
Sedangkan Jaka Soka yang tidak berani masuk minta kepada prajurit jaga agar dilaporkan ada
murid Sunan yang bernama Jaka Soka ingin menghadap.
Di luar dugaan Sang Guru Syarif Hidayatullah sendiri yang keluar dan memanggil Jaka Soka
untuk masuk.Melihat semua ini, orang yang duduk menyandar di bawah pohon laban menghilang
tidak diketahui kemana perginya.
Sementara itu , jauh di luar kota Caruban, di panggung terbuka Panguragan, Wiku Ki
Selapandan mengumumkan Pangeran Remagelung alias Jaka Soka adalah pemenang sayembara. Sekalipun kalah, Nyi Mas Ratna Gandasari, atas usul penduduk diberi Gelar Nyi Mas Ratu Panguragan. Di Dalem Agung Pakungwati, di ruang pribadinya, Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah, didampingi Nyi Mas Ratna Gandasari, berkata kepada Pangeran Remagelung: “Jaka Soka engkau telah terpilih oleh Nyi Mas Ratna untuk tugas Negara .
Sayembara yang engkau menangkan itu tadi,adalah caraku untuk mencari pria tangguh,yang akan mendampingi Nyi Mas Ratna dalam tugas mencuri ‘Sarpa Kandaga’ di Istana Sadomas Galuh Nagari. Engkau sudah tahu arti kehilangan Pusaka Utama Negara. Kita tidak usah malu menjadi pencuri, karena hal ini demi prajurit dan rakyat Galuh Nagari sendiri,sekecil mungkin korban yang jatuh dalam perang.”
Remagelung mengangguk, katanya: “Guru,sekarang hamba baru sadar mengapa tadi Nyi Mas Ratna Gandasari berbuat di mata penonton seperti benar-benar kalah. Hanya,menurut ketentuan sayembara yang diumumkan oleh Ki Selapandan di muka penonton yang demikian banyaknya, bahwa yang menang jadi suaminya. Lalu apakah hamba atau Nyi Mas Ratna Gandasari tidak
melanggar hukum janji dalam Islam?”“Jaka Soka,” jawab Sang Guru, “Pertama,ketentuan ini dibuat oleh Ki Wiku Selapandan yang bukan penganut Islam, jadi tidak berlaku bagi kita . Kedua ketentuan di Perguruanku seorang murid laki-laki yang tingkatannya < i i
bawah murid wanita tidak boleh menikahinya.”
“Guru, hamba minta maaf karena tidak mengetahui bahwa Nyi Mas Ratna Gandasari adalah kakak seperguruan hamba, sebab sejak hamba tiba di Caruban dan menjadi murid Guru, Nyi Mas Ratna Gandasari tidak ada,” kata Jaka Soka.
“Benar,” sahut Sang Guru “dia dapat tugas ke Praja Cimanuk. Sekarang begini. Pertama, hasil
sayembara dibatalkan . Kedua bicaralah dengan Nyi Ratna, cara bagaimana melaksanakan tugas.
Apakah engkau bersedia?”
“Guru,” sahut Jaka Soka, “sesudah menjadi jelas masalahnya, maka hamba merasa mendapat kehormatan besar, dipercaya sebagai pendamping Nyi Mas Ratna Gandasari untuk Negara.”
Kemudian Sang Guru bertanya pada Nyi Ratna,
“Mana Ki Tana dan Nini Tani? Suruh masuk!”Nyi Mas Ratna Gandasari yang yakin Ki Tana
dan Nini Tani sudah tiba menjawab cepat, ”
Ada di luar pintu gerbang Guru.” Sementara itu prajurit telah memanggilnya.
Tiba di hadapan Sunan, mereka menyembah lalu duduk. Berkata Ki Tana: “Gusti, hamba
berdua menghadap dan menghaturkan sembah bhakti.”
“Aku terima,” kata Sang Sunan, “begini Tana dan engkau Tani. Ini Pangeran Remagelung,
boleh engkau sebut Pangeran Jaka Soka,adalah muridku yang akan ikut dalam tugas Gustimu Nyi Ratna. Jaga murid-muridku dalam melaksanakan tugas Nagara.”
Setelah menyembah, Ki Tana menjawab:” Titah Gusti akan hamba berdua laksanakan.”
Kemudian mereka minta diri dan dengan mengendarai kuda-kuda milik Istana, berpacu
menuju Praja Cimanuk.
Lontar Babad Darma Ayu (Abad XV M ) menulis dalam bentuk macapat Pupuh Kinanti, sebagai
berikut:
Ana Sayembara besuk Ratna Gandasari Putri
Pinilih Pamanggul Yuda Anggempur Sang Galuh
Nagari Babare ing Palimanan Aja den catuma neki
Memasuki Sarang Naga
Nyi Mas Ratna Gandasari beserta Ki Tana, Nini Tani dan Jaka Soka, tiba di Praja Cimanuk,
“disambut” oleh banyak bendera Nagara yang berwarna Hijau/Kuning dan tulisan “Selamat
Datang di Darma Ayu Nagari” dipasang di mana-mana.
Tulisan inilah yang membuat Nyi Endang Darma terharu, karena pelestarian namanya menjadi
nama Nagari. Sang Adipati telah mengganti dari Praja Cimanuk menjadi “Darma Ayu”
Nagari, singkatan dari Nyi Endang Darma Yang Ayu. Penggantian nama ini dilakukan sejak
pernikahan mereka di Pegaden (1525 M).Hanya selang dua minggu Nyi Endang melepas
rindu dengan suaminya, kemudian dia kembali lagi kerja keras menyusun rencana kerja tugas.
Bersama sang suami Aria Wiralodra, Nyi Endang Darma membentuk pasukan khusus yang pimpinannya diserahkan kepada Jaka Soka.
Pasukan ini terdiri dari para pendekar wisudawan persilatan Nyi Endang Darma yang dilatih sebagai Prajurit Kadipaten Darma Ayu,sejumlah 24 orang.
Ketika saat yang telah diperhitungkan tiba,maka dari Kadipaten Darma Ayu Nyi Endang
Darma yang mengendarai kuda Bima dikawal oleh Ki Tana dan Nini Tani bersama Jaka Soka
beserta 24 prajurit khususnya yang berjalan kaki menuju Galuh Nagari.
Di desa Jagasatru. Leuwikujang, pasukan kecil ini sudah dicegat prajurit Galuh Nagari. Namun
karena mengibarkan bendera Hijau/Kuning yang mereka tahu dari Kadipaten Praja Cimanuk, maka pawang-jalan memandunya sampai batas ibu kota Sadomas. Dari pos jaga Pasirtenjo, kedatangan pasukan kecil yang dipimpin oleh seorang wanita ini telah diketahui dan disambut oleh Pasukan Kawal Istana Galuh Nagari.
Nyi Endang Darma yang menyatakan jatidirinya sebagai Permaisuri Prabu Indrawijaya dari Kadipaten Cimanuk, ingin menghadap Hyang Prabu Cakraningrat; diizinkan hanya bersama
pengasuh dan embannya saja, yaitu Ki Tana dan Nini Tani, masuk ke Dalem Agung .
Sedangkan pasukan pimpinan Jaka Soka ditempatkan di Paseban.
Di hadapan Sang Prabu, Nyi Endang Darma menyembah, kemudian berkata: “Gusti, hamba
istri Indrawijaya dari Kadipaten Praja Cimanuk menghaturkan sembah bakti!”
Jawab Sang Prabu singkat, “B age a Nyai,duduklah!”Setelah duduk, karena khawatir ditanya hal
yang sulit dijawab, maka Nyi Endang Darma segera berkata, “Gusti, suamiku Indrawijaya terpaksa tidak dapat menghadap , karena khawatir rencananya diketahui mata-mata dari Caruban. Maka Praja Cimanuk seolah-olah tidak akan membantu Galuh.
“Yang kami khawatirkan adalah Pasukan Demak yang bersenjata api, sekarang ada di Caruban dalam jumlah yang sangat besar.Mereka akan membalas Galuh atas kekalahan Caruban di Palagan Tegal Sirawat. Orang -orang kami telah disebar di Caruban Nagari untuk mengetahui kapan serangan mereka akan dimulai.
“Suami hamba, melalui hamba, mohon disampaikan kepada Hyang Prabu, katanya:
‘Lasykar Praja Cimanuk akan melakukan penyerangan dari belakang mereka, apabila mereka berhasil mendekati Sadomas.’”
Setelah memberikan laporan, Nyi Endang Darma ; tunduk dan diam.
Segera berkata Sang Prabu dengan gembira :“Nyai,garwa Aria Indrawijaya Adipati Praja Cimanuk,aku sangat senang. Nanti selepas matahari terbenam Nyai diundang ke Ruang Jamuan
untuk menghadiri pesta jamuan makan bersama para menteriku. Kita nanti bicara lagi di sana. Sekarang istirihatlah di Wisma Dalem bersama emban dan pengasuhmu!”
Selagi diantar pelayan ke wisma, tiga pasang mata menjelajahi tata ruang istana ….
Dalam ruang jamuan yang besar, dengan sangat gembira Hyang Prabu Cakraningrat beserta
permaisuri dan sejumlah pengagung Nagari menjamu Garwa Dalem Aria Indrawijaya,Adipati Praja Cimanuk.Pesta ini diakhiri dengan minum tuak, yang walaupun permaisuri ikut minum, tetapi Nyi Endang Darma secara halus, menolaknya, dan diterima dengan baik.
Tengah malam permaisuri yang sudah goyah mengajak Nyi Endang masuk kamar peraduannya, dimana tersedia beberapa tempat tidur. Kemudian permaisuri minta agar Nyi Endang bersedia menempati salah satu tempat tidur yang ada.
Sementara Sang Permaisuri sudah pulas, Nyi Endang Darma telah mengetahui letak “Sarpa
Kandaga” dipajang. o Melalui pintu kamar peraduan Sang Prabu, yang sengaja dibuka
lebar oleh para penjaga, karena Sang Prabu,(yang kamar peraduannya berhadapan dengan
kamar peraduan Sang permaisuri) segera masuk sambil dipayang penjaga karena terlalu
banyak minum. Tidak berapa lama kemudian seluruh penjaga keluar karena Sang Prabu
sudah tertidur.
Saat itulah Sarpa Kandaga dilarikan Nyi Endang Darma.Pasukan Kawal Sang Prabu baru sadar ketika Jaka Soka dengan pasukan khususnya menerobos ke dalam.
Sambil mundur Nyi Endang Darma bersama Jaka Soka bertempur melawan pasukan elite yang paling handal di Galuh Nagari, yang terkenal dengan sebutan Prajurit Domas.
Sementara itu Ki Tana dan Nini Tani bersama lasykar Jaka Soka membuka jalan ke luar istana dengan mendobrak pintu-pintu,melumpuhkan Pasukan Jagabaya serta memadamkan obor-obor penerangan.Kemudian menjebol pintu gerbang. Menculik seorang penjaga, lalu mereka seluruhnya lenyap ditelan kegelapan malam.
Di tempat yang jauh dari Sadomas, dimana ada empat ekor kuda ditambat, rombongan berhenti dan Nyi Endang Darma memeriksa jatidiri tawanannya, lalu berkata nyaring:
“Sarma, supaya kamu melapor pada atasanmu,agar disampaikan kepada Rajamu, bahwa aku
yang menyamar sebagai Garwa Aria Indrawijaya dari Cimanuk adalah Gandasari, murid Sunan
Gunung Jati Syarif Hidayatullah dari Caruban,musuh Galuh Nagari. Lakukan! kalau tidak,nanti engkau akan kucari dan kubunuh.”
Maka Sarmapun segera pergi dengan berlari.Kemudian Nyi Endang bersama ketiga orang pengikutnya naik ke punggung kudanya masing-masing dan kabur menuju Caruban tanpa berhenti. Ketika fajar menyingsing mereka telah tiba di gerbang Dalem Agung Pakungwati.
Saat itu juga prajurit-prajurit jaga mempersilahkan mereka masuk karena mereka telah dipesan oleh Gusti Sunan untuk membangunkannya bila Nyi Mas Ratna Gandasari tiba pada malam hari.
Maka setelah Sarpa Kandaga diserahkan kepada Sang Guru, Nyi Mas Ratna Gandasari bersama kedua penga-suhnya minta izin untuk segera, saat itu juga, kembali ke Cimanuk.
Sedang perincian laporan akan disampaikan oleh Jaka Soka Keluar dari Dalem Agung dan menukar kuda,Nyi Endang Darma bersama Ki Tana dan Nini Tani, berpacu menuju Cimanuk.
Tidak terlalu lama setelah mereka tiba di Darma Ayu Nagari, datang pula 24 orang anggota pasukan khususnya dari Galuh Nagari. Mereka diperintah Nyi Endang Darma agar terus
berlatih karena dalam beberapa minggu lagi,akan mendapat tugas berat, bersama Pasukan
Caruban menyerang Galuh Nagari.
Galuh Nagari Jatuh Pada pertengahan 1527 M pertempuran Caruban melawan Galuh (Palagan Tegal Sirawat) dimenangkan Galuh. Namun demikian Galuh Nagari memindahkan pertahanannya ke gunung Girinata (Palimanan) yang di depannya terbentang lembah terbuka. Sang Prabu Cakraningrat sebagai Manggala Yuda,memimpin dari atas bukit tersebut. Di puncaknya berkibar bendera Galuh Nagari yang berwarna putih dengan gambar naga berwama biru.
Setelah mendengar info bahwa Caruban sudah siap-siap untuk bergerak, pertahanan Girinata
telah siaga. Di kaki bukit, barisan tombak dan pedang dan di atasnya para pemanah yang berjumlah sangat besar, siap tempur.
Senapati perang Arya Kiban naik gajah besar yang bernama Si Liman Bango dilindungi di sebelah kiri, kanan dan belakangnya oleh prajurit-prajurit unggulan Palimanan. Tetapi keangkeran Sang Senapati tidak tampak,bahkan cenderung muram . Hilangnya Sarpa Kandaga membuat para prajurit kehilangan semangat, bahkan milisi rakyat untuk gelar perang “Gelatik Mabur” tidak memenuhi syarat dalam jumlah.
Namun demikian ketika bendera “Naga Biru”di atas bukit Girinata digoyang-goyang,kecemasan menghilang, semangat prajurit “Bela Negara” timbul. Baik yang di kaki bukit,tebing sampai puncak telah siaga pada posisinya.
Keadaan menjadi tegang ketika musuh semakin mendekat, tetapi aba-aba perang dari puncak
bukit belum ada. Menurut perhitungan ahli pariah (yang memegang tiang bendera) masih
terlalu jauh dari jangkauan anak panah.Tiba-tiba barisan musuh berhenti dan membentuk deretan ke kiri dan ke kanan secara lurus. Mereka adalah pasukan bersenjata api. Kemudian maju ke depan, dua buah meriam ditarik masing-masing seekor kerbau. Setelah kerbau dilepas dan dihalau ke belakang, meriam diputar dengan sasaran tembak yang berbeda. Kejadian ini berlangsung secara cepat, karena dilakukan oleh prajurit-prajurit terampil … bantuan dari
Demak, sebanyak lebih dari 500 orang.
Pasukan gabungan Caruban dan Demak ini dipimpin oleh Senapati Perang senior Pangeran Walangsungsang dibantu oleh Pamanggul Yuda Adipati Kuningan Arya Kamuning (Pangeran Suranggajaya).
Ketika pasukan gabungan Caruban-Demak bergerak maju sekitar 20 depa, genderang di atas Bukit Girinata terdengar jelas dan bendera Naga Biru digoyang ke kiri dan ke kanan.
Maka sejumlah anak panah melesat sebagai percobaan, tetapi jatuhnya masih jauh dari sasaran.
Sebaliknya di pihak musuh, mereka sudah membuat posisinya seperti 20 depa ke belakang. Kemudian bendera merah diangkat dan meriam menyal \*. dengan dua arah peluru yang berbeda yang ledakannya seperti dua petir dipadu. Bendera Naga Biru di atas buMt, hilang dan gajah Si Liman Bango tertembak kemudian kabur ….
Manggala Yuda dan Senapati Perang Galuh Nagari, dalam keadaan yang sangat gawat secara bersamaan, tidak bisa menjalankan tugas. Keadaan sangat kritis. Maka atas prakarsa sendiri prajurit-prajurit yang bersenjata tombak dan yang bersenjata pedang, mereka menyerbu maju untuk perang jarak pendek, satu lawan satu.
Diawali Pasukan Domas, kemudian Pasukan unggulan Palimanan, pasukan maju ke arah musuh. Hanya saja sebagian besar pasukan tewas di tengah jalan, kena tembak senjata api, atau tiba di barisan musuh dalam keadaan luka tembak.
Sementara itu dua meriam terus menyalak,me-nimbulkan kebakaran di lereng bukit Girinata.
Dalam keadaan yang gawat itu tiba-tiba saja ada seorang petani tua berlari seperti Dewa
Angin menerobos menuju meriam prajurit Demak. Dia merobohkan lima orang yang menghalang-halanginya, sambil tak henti-hentinya berujar: “Pembantaian-pembantaian…!”
Begitu tiba di lokasi meriam, dengan cepat dia gulingkan meriam tersebut, dan roda-roda penyangganya dilempar jauh-jauh ke depan,sehingga tidak bisa dioperasikan.
Seperti ketika datang laksana Dewa Angin,demikian pula kembalinya. Belum hilang kekaguman para prajurit Demak atas tenaga raksasa petani tua tersebut, tiba -tiba dia sudah terlihat di lereng Girinata mendaki dengan melompati tebing-tebing dan sampai di puncaknya. Kemudian semua orang melihat ada aba-aba bendera yang diputar mendatar
kemudian menunjuk ke Celah Timur.
“Petani Tua” yang dikenali Sang Prabu Cakraningrat, tampak mengadakan
pembicaraan singkat, kemudian seorang diri turun ke bawah, jauh ke depan dan menutup jalan masuk dengan cara meruntuhkan tebing,seperti terjadi tanah longsor. Kemudian Pasukan Galuh Nagari menuju Kadipaten Talaga untuk menyusun kekuatan baru.
Dalam wayang golek cepak Cirebon, tidak akan dilupakan kata-kata terakhir Hyang Prabu
Cakraningrat sebelum meninggalkan puncak Girinata di pegunungan Kromong.
Sing sapa karep maring dunya oletana ning Gunung Kromong. Nanging ora kanggo Wong
Caruban, ingsun ora idin….
Sementara pasukan gabungan Caruban/Demak terhambat, di ibu kota Sadomas terjadi kepanikan masal. Ada seorang petani tua sambil lari menuju Istana Sadomas memberi tahu bahwa Pasukan Galuh kalah dan dalam waktu setengah hari pasukan musuh akan sampai ke Ibu Kota.
Karena jembatan gantung ke Istana telah putus, maka si petani menyeberangi sungai yang airnya deras itu, dengan cara melompat pada batu-batu yang mencuat di atas air.
Setibanya di seberang dia menghilang ke balik tembok kuta Istana.Istana Galuh Nagari diapit dua sungai yang bermuara satu sama lain yang sulit diseberangi (sungai-sungai Ciwaringin dan Ciputri).
Si petani tua, menerobos ke dalam Istana dengan tidak ada yang memperdulikan karena kepanikan masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri. Berbicara singkat dengan permaisuri kemudian keluar Istana menunggu di jembatan rahasia untuk melintasi sungai.
Tidak berapa lama 20 orang kuat melewati jembatan dengan memanggul peti kayu atau keranjang rotan. Di belakang rombongan,permaisuri ditandu dua orang kuat melintas jembatan dengan cepat dan melambai pada si petani.
Selamat di seberang, lalu jembatan dihancurkan si petani, dan dia kemudian menghilang. Tidak berapa lama, tiba Pasukan Khusus Nyi Mas Ratna Gandasari yang hampir bersamaan dengan Pamanggul Yuda Arya Kamuning. Kemudian terjadi percakapan yang lebih merupakan teguran dari Sang Pamanggul Yuda. Arya Kamuning tahu kemampuan Nyi Mas Ratna Gandasari. Dia memerlukannya untuk mengejar si Petani Tua di Girinata, maka katanya: “Nyai, sejak kapan engkau bersama kami, baru sekarang aku melihatmu?”
“Sejak di lembah Girinata,” jawab Nyi Mas Ratna Gandasari tenang, “saat tembakan meriam yang pertama, ketika itu gajah Aria Kiban terluka dan kabur, aku mengejarnya,jauh sampai ke Gunung Sanghyang. Yang aku temui hanya gajahnya saja yang sudah mati.
Lalu aku kembali bergabung.”
“Sudahlah;” kata Sang Pamanggul Yuda“sekarang engkau bersama pasukanmu,menyeberang sungai dengan membawa ujung tali panjang ini. Pada ujung tali yang lain aku ikatkan tali yang cukup besar. Bila sudah tiba di seberang, tariklah sampai ujung tali yang lebih besar di tanganmu dan ikatkan yang kuat pada apa saja. Pasukanku akan menyeberang dengan berpegangan pada tali tersebut.” Nyi Mas Ratna Gandasari cepat mengambil ujung tali itu dan diikuti oleh pasukannya menyeberang sungai seperti yang dilakukan si petani.Terheran-heran Sang Pamanggul Yuda melihat seluruh pengikut Nyi Mas Ratna Gandasari mampu melakukan itu.
Hanya dalam waktu pendek, sudah terbentang tali tambang melintang.sungai.
Sementara menunggu Pasukan Arya Kemuning tiba, Nyi Mas Ratna Gandasari dalam sekilas
dapat melihat bahwa Istana sudah kosong dari penghuni, yang berarti tidak ada lagi benda
berharga yang tertinggal.Dia merenung dan hatinya berkata: “Si Petani Tua yang luarbiasa. tugasku telah diambil alih pada saat yang tepat. Kalau tidak cara bagaimana aku bertindak dengan Arya Kamuning di dekatku?”
Tidak berapa lama, Pamanggul Yuda Arya Kamuning beserta pasukannya tiba dan langsung memasuki Istana dan keluar dengan marah-marah, katanya: “Akan aku selidiki,siapa saja yang memihak musuh.”Tentu saja seruan itu ditujukan kepada Pihak Nyi Mas Ratna Gandasari. Dengan tidak peduli pada sindirannya, Nyi Mas Ratna Gandasari berjalan menuju tepi sungai dan memanjat menara pengawas istana. Dari atas menara dengan sangat jelas Nyi Mas Ratna Gandasari menyaksikan peristiwa bersejarah yang belum
pernah dia lihat: Kota yang sedang dijarah,harta benda rakyat yang dirampas danjerit tangis gadis-gadis yang ditangkapi, sambil menutup mata
dia berkata sendiri. ‘Suamiku benar dan pasukanku dilarangnya ikut menjarah.’ Tidak sampai hati rae-nyaksikan peristiwa ini, dia turun dan bersama pasukannya mohon diri kepada Sang Pamanggul Yuda .
Almarhum P.S. Sulendraningrat dari Keprabon dalam bukunya Babad Cirebon terbitan tahun
1984 menulis sebagai berikut:
Ki Kuwu segera membagikan sebagai pemberian ganjaran kepada seluruh Wadyabala Caruban dan Wadyabala Demak, emas picis dunya berhala, kerbau sapi sudah dibagikan semua, segera seluruh para putri dan janda kembang berikut para perawannya yang dibagikan kepada para Pinangeran dan para Gegedeng. Selesailah sudah Ki Kuwu memberi ganjaran kepada seluruh Wadyabala yang turut berperang.
Demikianlah hukum perang. Peristiwa ini telah berlalu, tetapi ada seorang pelaku sejarahnya
yang tidak dilupakan masyarakat Caruban sampai lima abad kemudian, yang dipertunjukan dalam bentuk kesenian rakyat seperti sendra tari, sandiwara, wayang kulit purwa dan wayang golek cepak.
Dia adalah: Nyi Mas Ratna Gandasari atau Nyi Endang Darma, Garwa Aria Indarwijaya atau
Aria Wiralodra, Adipati Darma Ayu Nagari.
Istri, Nyi Endang Darma dalam melaksanakan tugas dari Sang Guru Sunan Gunung Jati Syarif
Hidayatullah.
Diawali dengan “Sarpa Kandaga” dan diakhiri kemenangan Caruban atas Galuh Nagari dengan korban tewas yang kecil. Maka pada malam pesta itu, Sang Suami memberi gelar:
Nyi Mas Ratna Gumilang , dan dari hadirin : Ratu Saketi Hutama. Sementara itu, saat Sang Ratu
akan bicara bahwa sesungguhnya peran suami tercintalah yang punya andil terbesar, Sang Prabu dapat mencegahnya sehingga tidak sampai terucapkan.
Lontar Babad Darma Ayu (Abad XV M) menulis dalam Pupuh Kinanti sebagai berikut:
Nyi Endang Darma Pinunjul Putri Nata
Anggayasti Ingkang sanes malih asma Ratna
Gumilang kekasih Ratu Saketi Hutama Nyi Mas
Ratna Gandasari
Pesta belum lagi usai, tiba-tiba Aria Wiralodra berdiri. Sebagai seorang yang mumpuni,firasatnya menangkap adanya sesuatu yang tidak beres di bagian timur wilayah nagarinya.
Ki Tinggil cepat menghampiri, lalu berbisik kepadanya, kemudian bergeras keluar Dalem Agung dan menghilang.
Semua hadirin termasuk Nyi Mas Ratna Gumilang memandang Ki Tinggil yang akan memberi penjelasan. Belum sepatah kata terucap, tiba-tiba datang seseorang yang memakai busana pendekar, diantar prajurit jaga, yang langsung berkata dengan menghadap Nyi Mas Ratu Saketi Hutama:
“Maaf Gusti Ratu, hamba memaksa prajurit jaga masuk, karena berita yang sangat penting.
Hamba diutus wiku Ki Selapandan dari Panguragan untuk memberi tahu Gusti Ratu, bahwa pasukan bersenjata api dan meriam Caruban pimpinan Adipati Kuningan Arya Kamuning sedang bergerak kemari.
Setelah si pelapor diuji kebenarannya dan diantar keluar oleh prajurit jaga, Nyi Mas Ratna Gumilang berkata pada Ki Tinggil:
“Paman, atur prajurit di sebelah timur sungai,bawalah pasukan pendekarku, aku akan mendampingi suamiku!”
Sementara bicara , kakinya sudah melangkah ke luar Dalem Agung, kemudian berlari kilat
seperti terbangnya burung sikatan. Tanpa disuruh, sepasang pendekar Ki Tana dan Nini
Tani membuntuti Sang Burung Sikatan Di bawah ini kutipan, satu bait dari Serat Babad Dermayu (Pupuh Durma) bukti kebenaran firasat Aria Wiralodra.
Sareng dugi ing wates wetan nag ora Kaget ana mariyem muni Suralc mangambal – ambal Awor suara ning bedil Mapan Raden amarani Dateng barisan Barise wong mangun Jurit Aria Wiralodra yang masih berbusana resmi Adipati, berdiri menghadang barisan yang sedang maju, sehingga membuat kepala prajurit pelopor marah. Dengan tombaknya coba mengusir Aria Wiralodra, tetapi kena dirampas dan dipatahkan. Kejadian ini membuat barisan terhenti Segera datang seorang perwira yang bernama Dipasara dengan busana pasukan Caruban tetapi masih berikat kepala berlambang prajurit Domas. “Si pembelot dari Galuh Nagari,” gumam Aria Wiralodra. Setelah jelas bagi Sang Perwira, bahwa dia berhadapan dengan Aria Wiralodra, orang yang dicari gustinya, maka dimintanya Sang Wira menghadap Arya Kamuning yang sudah berada di Kemah Agung Dua prajurit kawal menyertainya, sementara Sang Perwira mendahului untuk melapor pada
Gustinya. Selesai mengatur Kemah Agung dimana Arya Kamuning duduk di antara empat prajurit bersenjata api, kemudian SangTamu dipersilahkan masuk dan duduk.
Sejak melihat tamunya, Arya Kamuning sudah tidak dapat menahan geramnya, katanya:
“Katambetan, aku Adipati Kuningan, Arya Kamuning, Pamanggul Yuda Caruban Nagari,apakah benar engkau yang bernama Aria Wiralodra?”
Yang ditanya menjawab hormat: “Ya benar,aku!”
“Dengarlah!” sambung Aria Kamuning, “Engkau membuat kesalahan besar. Pertama. Engkau
telah membangun Nagari di wilayah Caruban tanpa izin.
“Kedua. Engkau telah menyatakan kepada Gandasari, murid ayahku Sultan, tidak memihak Galuh, mengapa tidak membantu kami dari Caruban“Ketiga. Engkau jelas-jelas membantu Galuh di Palagan Lembah Girinata.
“Keempat. Engkau mencuri benda-benda berharga Istana Galuh Nagari yang merupakan benda jarahan milik Caruban.
“Maka menurut hukum perang, aku Pamanggul Yuda Caruban bertindak sebagai hakim menjatuhkan hukuman mati yang akan dilakukan sekarang juga!”
Melihat empat prajurit sudah mengangkat senjata, Sang Wira akan membuat Arya Kamuning jadi tameng. Tetapi batal karena pendengarannya yang tajam menangkap suara yang ringan, langkah tiga manusia dan mengenal siapa mereka. Maka katanya: “Aku mendengar bahwa Sultan Caruban, Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah seorang yang arif dan bijak dalam mengadili perkara.
Apakah seorang yang didakwa tidak boleh menjawab untuk membela diri atau bahkan membela
kebenaran?”
Mendengar jawaban terdakwa, yang disaksikan banyak orang, Arya Kamuning khawatir dituduh
orang di kemudian hari, sebagai seorang yang tidak menjunjung tata-tertib pengadilan. Ia menjawab, “Baik, aku memberi kesempatan padamu untuk menjawab tuduhan, meskipun itu sudah jelas.”
Aria Wiralodra berdiri, kemudian katanya:
“Pertama, aku membangun Praja Cimanuk atas ijin yang berhakyaitu Galuh Nagari. Caruban
juga membangun Nagari atas ijin Galuh Nagari dan bertahun-tahun mengirim upeti kepada
Galuh Nagari.
“Kedua, aku membantu Gandasari atas keinginan Sunan, gurunya, yang menghendaki kemenangan di pihak Caruban dengan korban manusia yang sekecil-kecilnya. Maka aku tidak
bisa membiarkan pembantaian besar-besaran pasukan yang sudah tidak berdaya karena kalah persenjataan, kemudian Caruban meraih kemenangan atas Galuh Nagari dengan korban perang yang kecil.
“Ketiga, pembantaian manusia besar-besaran tidak di-kehendaki oleh Sunan , guru Gandasari. Jadi aku membantu pengunduran demi memperkecil korban yang jatuh.
“Keempat, Tidak benar aku mencuri benda jarahan milik Caruban. Tidak satu barangpun aku mengambil dari Galuh Nagari. Maka tuduhannya tidak terbukti .”
Arya Kamuning bertindak nekad, perintahnya kepada prajurit: ‘ Tembak!”
Tetapi baru saja dua prajurit sebelah kanan dan dua prajurit sebelah kiri Arya Kamuning mengangkat senjata, secepat itu pula senjata telah dirampas sepasang pendekar Pajajaran,
Ki Tana dan Nini Tani.
Arya Kamuning yang menduga Aria Wiralodra sudah terluka tembak, menerjang ke depan
bersenjatakan pedang-suduk. Tangkisan tangan kiri Aria Wiralodra, bukan hanya menjatuhkan pedang, tetapi dilanjutkan menerjang rahang. Sementara tangan kanannya mendarat di perut dan kakinya menyapu dua kaki lawan. Maka tidak ampun lagi Arya Kamuning jatuh tertelungkup.
Dipasara yang akan membantu Arya Kamuning,didahului Nyi Mas Ratna Gandasari, yang
menendang perutnya dari samping Dipasara jatuh terguling tanpa bisa segera bangkit.
Ketika Arya Kamuning memberi aba-aba agar semua prajurit masuk, Nyi Mas Ratna
Gandasari berseru dengan sangat nyaring:
“Para prajurit dengarlah! Aku Gandasari murid Gusti Sunan Gunung Jati. Untuk menyelamatkan nyawa Aria Kamuning putra Sunan, jangan ada yang berani masuk.” Aba-aba tersebut ternyata ditaati.
Dalam keadaan terluka Arya Kamuning masih berhasil memberi perintah kepada Dipasara yang sudah dapat menguasai diri. Dia keluar dari tenda secara diam -diam dan semua prajurit menjauhi tenda kemudian sunyi. Aba-aba yang dilakukan Arya Kamuning adalah tanda untuk terus menyerbu Praja Cimanuk.
Ketika hal ini disadari Nyi Mas Ratna Gandasari, Ki Tana dan Nini Tani yang akan mengejarnya, dia ditahan Aria Wiralodra,katanya: “Biarkan sampai menyeberangi sungai Kali Kamal (yang tidak dalam dan lebarnya hanya sekitar delapan depa).”
Ki Tana keluar ingin melihat apa yang terjadi.Inilah suatu pemandangan seperti anak-anak
main ular-ularan.
Setelah pasukan terdepan menyeberang,kemudian memutar dan menyeberang balik menuju Caruban ….
Dalam Kemah Agung, Nyi Mas Ratna Gumilang minta agar suaminya membebaskan Arya
Kamuning. Arya Wiraloda bukan saja setuju,tetapi bahkan membantu penyembuhan “luka
dalam” nya.
Setelah menyampaikan terima kasih Nyi Mas keluar kemah, menaiki Kuda Si Windu Aji yang
ditambat di muka kemah dan kabur ke arah Cimanuk. Seketika Nyi Mas Ratna Gumilang tampak kecewa dan menengok suaminya, dia tenang-tenang saja.
Tiba-tiba Arya Kamuning terlihat memacu kudanya balik ke arah Caruban.
Setelah Ki Tana menceritakan apa yang telah dilihatnya tadi, maka ketiganya tertawa lebar.
Kemudian Aria Wiralodra berkata: “Mereka baru akan sadar di muka Gerbang Dalem Agung Pakungwati yang dikiranya Istana Diajeng Ratna Gumilang.”
Dalam bukunya terbitan 1984, mengenal peristiwa ini, Almarhum P.S. Sulendraningrat
dari Keprabon Cirebon menulis:
Segera Sang Prabu sendirian (maksudnya Aria Wiralodra.Pen) bertolak menuju kali/sungai Kamal memasang jimat oyod Mingmang.
Di halaman lain:
Orang Kuningan pada bingung, putar-putar balik lagi di tempat semula, lalu Jeng Pangeran datang (maksudnya Arya Kamuning.Pen). Barisan Kuningan lekas dipanggil siap untuk terus maju jalan menuju Praja Indramayu, Wadyabala Kuningan mematuhi.
Jeng Pangeran sudah merasa telah datang dialun-alun Indramayu. Berkat wataknya jimat oyod Mingmang mereka tidak datang di alun-alun Indramayu, akan tetapi sebetulnya mereka telah datang dialun-alun Cirebon,karenanya Jeng Pangeran Kuningan jadi terheran-heran lalu masuk kedalam Keraton Pakungwati.
Serat Babad Dermayu menulis peristiwa pertempuran Kali Kamal I ( dari 24 ) bait Pupuh Durma sebagai berikut:
Pan den dupak Kamuning tiba kalumah
Sinepak ngqjumpalGc
Mrangkang ngungsi barisan Anulya narik curiga
Pan mqjeng ing rana malih Prang lan bedama
Kamuning muntah getih Sedarigkan
Lontar Babad Darma Ayu ( abad XVM ) menulis sebagai berikut:
Saksana ana duratmaka mangparad Kaki Aria
Kamuning Senapati ing Alaga Pakungwati kang
Nagara Dipasara Apepati
Seja mangparad Darma Ayu Nagari mukti KaJci
Indrawijaya pan asung winara Irikata ing Kali
Kamal Pinasang mingmang wenang Lata
maosandi jimat Kalci Aria Kamuning linglung polahnya
Setelah selesai mengatasi “peristiwa Kali Kamal”, Aria Wiralodra berkata pada Sang Ratu: “Diajeng Ratna Gumilang, engkau pulanglah dahulu ke Darma Ayu bersama Ki Tana dan Nini Tani, aku mau bertemu pada gurumu Sunan. Aku khawatir Arya Kamuning membuat laporan yang tidak-tidak ….
Tiba di Dalem Agung Pakungwati, Aria Wiralodra menyampaikan semua apa yang terjadi di Kali Kamal.
Sang Sultan Caruban mengeluh: “Kamuning tidak pernah menjadi dewasa, aku akan memberi peringatan keras.”
Kemudian pembicaraan menjadi lebih santai,berkata Sang Sultan Caruban: “Wira, setelah Galuh Nagari jatuh, sebenarnya aku memerlukan pikiran dan tenaga Nyi Gandasari,untuk menyelesaikan Talaga. Tetapi adalah hal yang tidak pantas setelah menjadi garwamu,maka sejak saat ini dia kubebaskan agar bisa lebih banyak membantu engkau dalam pembangunan nagari, terutama dalam pengembangan Islam.
Setelah Aria Wiralodra menyampaikan terima kasih dan berjanji akan mengembangkan Islam
di wilayahnya, Sang Sultan menyambung pembicaraannya: “Wira, tugas apa sekarang yang engkau terima dari Demak?”
Aria Wiralodra menjawab singkat: “Sinuhun Sultan Trenggono memerintahkan hamba, memperluas dermaga Cimanuk untuk Pangkalan Angkatan Laut kita .”
Hukum Islam Sejak Awal Ketika Aria Wiralodra pada 1510 M dilantik menjadi Adipati Praja Cimanuk oleh“Gubernur” Pajajaran Sang Prabu Cakraningrat di Galuh Nagari, maka seluruh pejabat pemerintahannya di Praja Cimanuk beragama Islam, kecuali seorang (untuk jabatan Patih) yang ditunjuk langsung oleh Sang Prabu Cakraningrat sendiri. Karena jabatan Patih adalah kunci pemerintahan, maka sejak awal Sang Adipati, menunggu waktu dan cara yang tepat untuk memin-dahkannya dari jabatan tersebut. Pejabat itu bernama Aria Danujaya.
Setelah enam bulan Aria Wiralodra memperhatikan sifat dan tingkah lakunya,diketahui Aria Danujaya adalah seorang flamboyan yang selalu saja kekurangan uang karena hidupnya ingin selalu senang. Maka ketika Sang Adipati menawarkan jabatan juru labuhan (syahbandar) dan melepas jabatan Patih, tanpa dipikir dua kali langsung dia menerimanya, (secara nilai uang,syahbandar berpenghasilan jauh lebih besar dari patih).Aria Danujaya bahkan mohon kepada Sang Adipati berulang-ulang agar hal tersebut dirahasiakan kepada Hyang Prabu
Cakraningrat.
Pada 1513 M kapal ekspedisi Bangsa Portugis dengan tujuan Pulau Jawa, singgah di Ciamo
(Cimanuk). Seorang penumpangnya yang bernama Tome Pires, menulis dalam buku perjalanannya sebagai berikut:
Seka’ lipun penduduk di sini kebanyakannya muslim, tetapi yang menjadi syahbandarnya adalah orang Kafir, inilah yang dia tulis:
Many moors live here, the Captain of this port is a heathen, is belongs to the Kingdom of
Sunda, the end of the Kingdom is here.
Di bawah ini kutipan satu bait dalam serat Babad Dermayu (Macapat Pupuh Durma)mengenai Hukum Islam, yang diberlakukan sejak masih bernama Dukuh Cimanuk:
Kinasian ing Sultan Nagari Demak darnel Karaton mangkin
pan Raja pribadiya sinapu ukumannya
durjana pandung puniki mendet sing Qur’ an
ngangge pan ukum neki
Pada 1525 (setelah perhikahan Aria Wiralodra dengan Nyi Endang Darma), sang Adipati
menjadikan tempat dimana Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah pernah berda’wah pada
1471 yaitu Bungko, menjadi Pusat Pengembangan Agama Islam Wilayah Timur Sungai Cimanuk. Baik Sang Adipati sendiri,maupun (terlebih) Sang Ratu Nyi Mas Ratna Gandasari (Nyi Endang Darma) ikut mengawasi sendiri hampir setiap pembangunan masjid-masjid dan madrasah-madrasah, khususnya di wilayah baru yaitu di sebelah Barat Sungai Cimanuk.
Di seluruh madrasah-madrasah Darma Ayu Nagari, selain santrinya wajib mempelajari
Ilmu Agama, mereka diharuskan pula belajar ilmu bela diri, agar selalu siaga sewaktu -waktu
diperlukan untuk Bela Negara.
Pelatih-pelatih silatnya adalah para pendekar alumnus Perguruan Silat Nyi Endang Darma
Pelarian dari Jayakarta (Sunda Kalapa)Tumenggung Nitinagara
Setelah Nyi Mas Ratna Gandasari bebas dari tugas-tugas Sang Guru Sunan Gunung Jati,
maka sang Adipati Aria Wiralodra mendapat seorang tenaga ahli, baik di bidang agama
maupun kesejahteraan rakyat.
Hal yang paling perlu dikembangkan untuk kesejahteraan rakyat adalah bidang perdagangan, khususnya ke luar Darma Ayu maupun ke Mancanagara.
Ketika perluasan pembangunan pelabuhan(atas saran Demak) selesai dikerjakan, maka
pintu telah dibuka dan kapal besar-kecil,keluar-masuk pelabuhan (desa-desa yang sekarang bernama Pagirikan , Pabean dan Pasekan adalah lokasinya). Betapa ramainya perdagangan sampai ke mancanagara waktu itu.
Bersambung...
“Nyai mari Paman antar pulang dan besok akan Paman jemput lagi Keesokan harinya, tanpa ada pengumuman hampir seluruh penduduk, baik pria, wanita maupun anak-anak memadati tepi alun-alun.U Duajago yang tiada taranya masa itu akan berhadapan.
Di wismanya Nyi Endang Darma pagi-pagi telah memakai busana pendekarnya.
Dengan hati gelisah, bertanya kepada pengasuhnya. “Kaki …. Nini…, cara bagaimana aku harus merobohkan Gusti Wira agar tidak terluka?” katanya setengah tidak sadar.
Kedua pengasuhnya bukannya menjawab melainkan tersenyum. Maka Nyi Endang bertambah bingung, sambungnya, ” Nini …Engkau menertawakan aku?”
“Nyai,” berkata Ki Tana, “Kaki dan Nini kemaren melihat pertandingan. Bukan lawan-lawan Nyai, tetapi Gusti Wiralodra dan Ki Tinggil. Kedua orang itulah yang dapat menandingi kita, situa Tinggil lawanku bersama Nini dan Gusti Wira lawan Nyai.
Perkiraanku tepat, pada akhirnya Nyai akan diminta untuk menghadapi Gusti Wira.”
Kemudian Ki Tana menarik napas panjang.
Katanya perlahan, “Salah satu pusakayang dipajang di Dalem Agung adalah senjata cakra,maka dapat dipastikan pemiliknya mengusai ilmu Triwikrama, penguasaan Bawana-Buntala-Gegana. Dalam pewayangan Sri Kresna seorang diri menggegerkan bukan hanya negeri Hastina, bahkan Suralaya tempat para Dewa.
Maka janganlah Nyai memikir bagaimana merobohkan Gusti Wira tanpa terluka!”
Nyi Endang Darma tersadar rahasia hatinya diketahui Ki Tana. Terlebih Nini Tani yang nampak terus tersenyum.
Ki Tana melanjutkan: “Nyai, lawanlah Gusti Wira sekuat tenaga, kerahkan seluruh ilmu yang Nyai miliki!”
Beberapa saat kemudian Ki Tinggil tiba untuk menjemput. Maka berangkatlah mereka bertiga langsung menuju panggung alun-alun dimana Aria Wiralodra telah menunggunya.
Kemudian Ki Tinggil, Kaki Tana dan Nini Tani berunding bagaimana menilai hasil pertandingan.
setelah itu semua turun Ke gelanggang.Setelah sampai di tengah lapangan. Para wasit mengundurkan diri pada jarak yang cukup jauh. Sedangkan kedua pendekar berdiri berhadapan pada jarak lima depa.Nyi Endang Darma membungkukkan badan yang segera dibalas oleh Aria Wiralodra dan segera dia berseru: “Gusti, bersiaplah, Endang Darma akan segera mulai!”
Dijawab Aria Wiralodra: “Nyai tidak usah ragu-ragu, lakukanlah …!”
Nyai Endang menarik ujung selendang dari ping-gangnya dengan kecepatan tinggi,cahayanya berkelebat laksana kilat membelah udara. Inilah wrayang pusaka yang digerakan sepenuh hati . Mula-mula membuat lingkaran di atas kepala kemudian ke depan, ke samping kanan, ke samping kiri dan ke belakang dengan tanpa menoleh, kemudian kembali ke atas kepala, terakhir melilit kembali di pinggangnya.
Ki Tinggil yang terkagun-kagum sejak awal pertunjukan, langsung berteriak: “Nyi Pohaci berpayung emas …. Nyi Pohaci berpayung emas …. Memang benar inilah jurus pembukaan silat Pajajaran untuk wanita.”
Maka tanpa Ki Tinggil berteriakpun Aria Wiralodra telah mengetahuinya, pikirnya:
‘Kalau bukan murid Ki Walungsungsang,setidaknya Nyi Endang pernah belajar kepadanya Aria Wiralodra bersiap-siap mendapat serangan senjata rahasia secara beruntun. Tetapi ini tidak terjadi. Maka Aria Wiralodra maju selangkah dengan kesiapan tangan kosong,tiba-tiba ujung wrayang melesat ke arah muka yang langsung ditebas dengan tangan terbuka.
Di sinilah keunggulan Nyi Endang, ujung wrayangnya melilit tangan dan dengan kecepatan tinggi melilit tubuh Sang Wira seperti seratus laso menjerat seekor kuda.
Aria Wiralodra tidak mau adu kekuatan menarik wrayang, melainkan melompat ke atas tegak lurus sambil berputar seperti gasing dengan arah berlawanan lilitan wrayang.
Sampai lilitan terakhir lepas, Sang Wira masih di udara, kemudian baru turun dengan ringan.
Pertunjukan yang indah disambut sorak-sorai kagum para penonton.
Belum kaki Sang Wira menginjak bumi,serangan Nyi Endang menyusul dengan tangan kosong, membuat lawannya naik turun di udara.
Kini giliran Ki Tana yang tidak bisa menutup mulutnya, katanya nyaring: “Penguasaan gegana yang sempurna Setelah berulangkali menghindar, maka Sang Wira membiarkan telapak kakinya kena dipukul. Akibatnya kedua jago ini terpental hingga berjarak 10 depa.
Berlawanan dengan Sang Wira yang turun hingga menginjak bumi dengan tegak, Nyi Endang jatuh terguling, kemudian sambil bangkit patrem Nyi Endang melesat dengan kekuatan penuh ke arah tubuh Sang Wira.Apa yang terlihat seperti patrem (tusuk konde) itu sebetulnya adalah rencong mini yang terbuat dari baja putih (platina). Salah satu dari pusaka Walisanga, milik seorang wali senior,Syekh Maulana Malik Ibrahim (Maulana Magribi). Saat menjelang wafat pada tahun 1419 M diberikan kepada putranya Makhdar Ibrahim (yang saat itu masih bujang) dengan pesan agar diberikan pada anak perempuannya, adik langsung dari anak laki-lakinya yang pertama. Dialah yang saat ini bernama Nyi Endang Darma.
Senjata itu untuk pertama kali digunakan sebagai senjata rahasia. Sekilas Aria Wiralodra melihat datangnya bahaya yang terlalu cepat maka keris Gagak Handaka yang masih dalam wrangkanya dipergunakan sebagai tameng,menjadi tempat terpusatnya tenaga, tenaga Sang Wira, tenaga Triwikrama.
Maka laksana bunyi seratus petir meledak dan tanahpun bergoyang, penonton terpelanting berhamburan kalang kabut. Ketika tiga wasit tersadar jadi terkejut, karena dua pendekar yang
bertanding lenyap. Tetapi segera berseri karena Nyi Endang Darma tengah duduk di samping Aria Wiralodra dan asyik berbincang-bincang di panggung.
Kemudian ketiga wasit itu mendatanginya, Nyi Endang berseru: “Gusti, walaupun hamba sejauh sampai saat ini kalah, belum tentu dalam kecepatan adu lari!” Dengan kata-kata yang terakhir, Nyi Endang Darma melompat turun. Tetapi dengan selendangnya yang berkibar, maka tampaknya seperti terbang melayang.
Aria Wiralodra tersenyum, serunya, “Nyai aku kejar!” Sambil melompat Aria Wiralodra membuntuti Nyi Endang Darma, dan hanya dalam sekejap kedua pendekar telah lenyap dari pandangan orang banyak .
Kaki Tana dan Nini Tani memburu, tetapi dihalang-halangi oleh Ki Tinggil. Nini Tani marah dan akan segera menyerang, tetapi Kaki Tana yang segera tersadar, menarik istrinya.
Kemudian ketiganya tertawa gembira ….Di suatu tempat yang bernama Ujungjaya, Nyi
Endang Darma berhenti dan duduk di batu yang bertebing batu padas, kemudian segera
diikuti oleh Aria Wiralodra. Sambil memandang sekeliling Nyi Endang berkata: “Gusti, tempat
ini indah dan hamba ingin bersuci wudhu untuk solat dhuhur, hanya sayang tidak ada air.”
Aria Wiralodra mengerti, dia sedang diuji,maka katanya: “Nyai, pertama-tama jangan lagi
pangil aku ‘Gusti’ , panggillah ‘Mas’ atau sebut namaku saja dan berhenti menyebut diri
sendiri ‘hamba’ ganti dengan ‘aku’. Yang kedua, akan aku periksa tebing padas itu tampaknya lembab.”
Sampai di tepi tebing, Aria Wiralodra mengepalkan tangan kanannya dengan keras sambil pasang kuda -kuda. Sesaat kemudian,“bles” seluruh lengan kanannya amblas ke dalam tebing padas dan terdengar seperti suara batu bentrok berantai ke dalam perut bukit. Tidak terlalu lama menunggu, dari lobang bekas lengan tersebut menyembur air jemih seperti pancuran. Dan menggenangi cekungan seluas sepuluh depa persegi sehingga merupakan kolam. Tanpa berkata apapun mereka bersuci dan mengambil air wudhu kemudian salat dhuhur….
Sambil memandang kolam Nyi Endang Darma berkata: “Mas Wira, aku punya bibit ikan!”
Sementara bicara tangannya memetik daun-daun dari berbagai tumbuhan dan sekuntum
bunga “Dewi Uma” yang sedang mekar, lalu ditaburkan ke dalam kolam ….
Sekarang kolam telah berpenghuni ikan hias,dan seekor di antaranya yang berwarna kuning
dengan sirip panjang laksana berselendang sutra.
Kolam ini di kemudian hari disebut orang “Kolam Keramat Ujungjaya”.
Kemudian ketika Aria Wiralodra lengah, Nyi Endang Darma telah lari ke arah selatan tanpa
meninggalkan jejak.
Aria Wiralodra terperangah dengan tingkat ilmu Nyi Endang Darma yang bisa mengimbanginya.
Kesaktian (supranatural) digunakan Walisanga yang termasuk ilmu sejati atau ilmu hakiki,ilmu untuk mencapai derajat manusia sempurna (insan kamil), yang lebih mengutamakan akal batin (intuisi) daripada akal lahir (ratio), sehingga disebut “ajaib” atau “mustahil” bagi akal-lahir. Tetapi kesaktian bukan hanya milik para wali.
Setelah Aria Wiralodra mengikuti arah lari Nyi Endang Darma, sampailah dia ke celah bukit
dimana ada seekor serigala sedang memejamkan matanya. Sang pemburu melihatnya dan berseru “serigala!” .Maka Serigalapun melompatdan menghilang ke dalam semak-semak (sekarang bukit ini disebut Pasir Anjing). Kembali Sang Pemburu melihat di gua berbatu ada seekor harimau betina dan seruan berkumandang, “harimau”,membuat Sang Ratu Hutan lari (bukit besar itu sekarang bernama Pasir Maung).
bosan di perbukitan pindan Ke pohon jambu yang lebat daun maupun buahnya. Lagi-lagi Sang Pemburu berteriak: “Ada burung ketilang mau makanjambu!” Jadilah sekarang tempat itu Desa-Tarung Jambu.
Itulah yang terakhir dilakukan Nyi Endang Darma, sebab selanjutnya dia duduk di bukit batu yang terlindung (sekarang Desa Nyalindung).
Di bawah ini satu bait Pupuh Durma dari serat Babat Dermayu yang melukiskan saat-saat
sebelum Nyi Endang Darma mengakhiri pelariannya:
Mapan Raden Saktinya kaliwat-liwat
Ingsun umpetan pinanggih
Ing endi paran ingwang
Nyi Endang eweding manah
Raden apan anututi
Saparan nira
Nalia ing pinggir ukir
Kemudian mereka berdua bersama-sama mencari tempat yang terbaik untuk beristirahat. Tempat yang terpilih adalah Bukit Marongge.
Di Bukit Marongge Aria Wiralodra membuka percakapan: “Nyai, sebelum aku bicara soal lain, ada yang lebih penting dari yang terpenting, yaitu suatu pertanyaan pribadi dari aku kepada Nyai.”Kemudian setelah ditatapnya muka Nyi Endang cukup lama, Aria Wiralodra berkata lagi, “Aku melamarmu untuk jadi istriku, apakah engkau menerima?”
Nyi Endang Darma menunduk,menyembunyikan mukanya yang memerah karena debar jantungnya lebih cepat. Terdiam cukup lama, berusaha untuk tidak menjadi gugup. Akhirnya keluar jawaban pendek: “Mas Wira, aku menerima lamaranmu.”
Dengan penuh rasa kasih, Aria Wiralodra melanjutkan: “Nyai, nanti setelah kita selesai berbincang, aku akan membawamu ke Pegaden dan kita menikah di sana agar saudara misanku Dalem Wirasetro menjadi saksi.”
Nyi Endang Darma mengangguk .Dalam suasana seperti ini tidak nampak keperkasaan pendekar, melainkan kelembutan, baik dalam tutur kata maupun tingkah laku.
Berkata Aria Wiralodra, “Nyai, aku hanya dapat menyebut nama-nama seperti: Pangeran Walangsungsang, Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah, dan Fadillah Khan, Wong Agung Paseh; tetapi apa tujuan dan tugas Nyai, aku tidak bisa menebak .”
“Mas Wira,” sahut Nyai Endang halus, “aku akan berkisah.
“Aku dilahirkan di Pasai Aceh dengan nama Gandasari, punya seorang kakak laki-laki bernama Fadillah Khan. Ayahku Makdar Ibrahim adalah Ustad di Istana Kerajaan.
Kakekku Maulana Malik Ibrahim adalah anggota Walisanga yang paling tua.
“Ketika pecah perang dengan Portugis tahun 1521 M, Pasai menderita kekalahan. Istana dan
rumah-rumah di kota termasuk tempat tinggalku hancur. Ayah dan ibuku tewas.
“Aku bersama kakakku berlayar ke Pulau Jawa menghadap Sultan Demak Adipati Yunus .
Kakakku mendapat tugas ke Timur Tengah dan aku diangkat menjadi murid Sunan Gunung Jati
Syarif Hidayatullah yang kebetulan sedang menghadiri sidang Walisanga di Demak.
“Ketika Sunan Guruku kembali ke Caruban,aku ikut dan tinggal di Dalem Agung Pakungwati, aku berguru dalam ilmu agama dan Ilmu Kanuragan.
“Dalam hal kanuragan, ilmu silatku yang dari Pasai tetap dilanjutkan. Sunan hanya melatih
tenaga dalam yang disebut Jurus Sunan’ yang berjumlah 13 jurus.
“Saat ini aku diberi tugas oleh Sunan, guruku untuk mencuri pusaka utama Galuh Nagari
berupa patung ular yang dibuat dari emas.Rakyat Galuh Nagari, khususnya para Sang Hyang, percaya pada pusaka utama ini,sehingga bila hilang, mereka yakin bahwa Galuh Nagari akan sima.
“Dengan kepercayaan seperti ini, semangat juang prajurit Kerajaan akan rendah sehinggga
mudah ditaklukan.“Aku minta pada Sunan Guruku seorang teman pria, tetapi beliau bilang ‘Cari sendiri!’.
“Makanya aku kemari, karena aku memilih Mas Wira. Itulah aku dan tugasku. Mengenai Kaki Tana dan Nini Tani adalah orang kepercayaan Rama Walungsungsang untuk menjagaku Aria Wiralodra terdiam, kemudian bertanya,“Nyai, aku ada di Praja Cimanuk, mengabdi kepada Galuh Nagari, Hyang Prabu Cakraningrat.
“Adalah tugas rahasia dari Sultan Demak dalam rangka pengembangan agama Islam. Semula aku diberi tugas oleh Sultan Raden Patah,setelah wafat kini Sultan Adipati Yunus. Gurumu Sultan, tahu mengenai ini.“Jadi kecuali Sultan Demak hanya Nyai dan gurumu Sunan yang mengetahui.
“Tujuannya nanti pada saat armada laut Demak menyerang Pajajaran, aku di sini menyediakan
pangkalan dan perbekalan.“Nah sekarang Nyai mengerti. Adalah tidak mungkin aku bersama Nyai ke Galuh Nagari untuk tugas seperti itu. Aku terlalu dikenali mereka.
“Aku ada saran untuk Nyai, yaitu, adakan saja sayembara pertarungan untuk memperebutkan
gelar Pendekar Kelas Satu dari Caruban Nagari.”
“Mas Wira!” memotong Nyai Endang, “Orang Jawa bukan pendekar Cina. Budaya Jawa adalah
budaya padi yang tidak ingin pamer.“Ada satu cara yang bisa diadakan oleh penguasa Nagari, yaitu Sayembara memperebutkan putri penguasa seperti: Putri Raja, Putri Adipati atau Putri Temenggung.Tentu saja putrinya harus cantik. Kata Mas Wira aku cantik. Maka judul perlombaan adalah “Sayembara Pibu mencari jodoh”.
Hanya saja, apakah kalau sudah dari Pegaden,aku diizinkan oleh suamiku!”
“Sudah, sudah, tidak,” kata Sang Wira, “nanti saja dibicarakan setelah pulang dari Pegaden.”
Keesokan harinya sepasang calon pengantin berangkat menuju Pegaden. Perjalanan
panjang yang tidak me-lelahkan ….Tiba di Pegaden Aria Wiralodra dan Nyi Endang Darma disambut dengan hangat oleh Dalem Raden Wirasetro beserta garwanya .
Pada malam hari, Aria Wiralodra menuturkan suka dukanya membangun Praja Cimanuk.
Kemudian sekalian, disampaikan keinginan pernikahan mereka dilakukan di Pegaden.
Raden Wirasetro dengan senang hati setuju dan akan dilaksanakan secara besar-besaran. Namun
dengan sungguh-sungguh Aria Wiralodra meminta agar tidak ada pesta sama sekali.
Maka dengan terpaksa Dalem Wirastro menurutinya dan pernikahan dilaksanakan pada malam itu juga.Lontar Babad Darma Ayu (Abad XV M) menulis perihal pernikahan ini sebagai berikut:
Nyi Endang Darma ing besuk Daup Kagarwa ing krami Kalian Ki Wiralodra Nanging ingeta ing weling Ora kena kacatuma Iku sakehing pamali
Sedangkan perihal waktu pemikahannya disimpulkan pada 1525 M, sesuai dengan Candrasangkala pada lontar yang sama,“disembunyikan”, pada kata “genira mangun
nagari” di bawah ini.Dewa Jeksa gung Sangkawa Ana Sapta prang ing siti Papat catur ing sagara Palwa remek klem toyadi Bumi eka ing gumingsir Karya sabda mmuhun Wahana ika Ki Wira Genira mangun nagari Nulya Kaki Wiralodra Angandika Dalam perjalanan dari Pegaden ke Praja
Cimanuk, tiba di Bukit Marongge, kedua mempelai sepakat. Nyi Endang akan mencari “pengawal” untuk tugasnya dengan cara menyelenggarakan sayembara.
Kemudian Aria Wiralodra mengatakan bahwa kedua pengasuhnya akan diberi tahu. Akhirnya
Nyi Endang turun menyeberangi sungai kecil sambil menyipratkan minyak asuri yang harum lembut, sampai hilang di balik bukit (sekarang Desa Darmawangi).
Setelah berdiri selama sepemakan nasi, Aria Wiralodra kembali ke Praja Cimanuk, dan langsung menuju Wisma Nyi Endang Darma.
Setelah memberitahukan Ki Tana dan Nini Tani bahwa Nyi Endang Darma telah menjadi istrinya dan sekarang sedang menuju ke Caruban untuk menyelenggarakan sayembara,Aria Wiralodra minta agar pengasuhnya merahasiakan hal ini.
Tiba di Dalem Agung, Aria Wiralodra disambut oleh kedua saudaranya yang langsung menanyakan Nyi Endang. Dikisahkan oleh Aria Wiralodra bahwa Nyi Endang hilang di Tuk
Sungai Cimanuk dan minta kepada dua saudaranya agar hal ini dilaporkan kepada Ayahandanya di Bagelen.
Yang Gagal dan yang Berhasil Adipati Kuningan, Aria Kamuning (Suranggajaya) adalah putra Prabu Luragung (Jayaraksa) anak angkat Putri Ong Tin.
Dia mendapat tugas dari Sang Ayah Angkat Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah untuk menjaga keamanan daerah perbatasan Caruban-Galuh.
Di daerah ini banyak pondok pesantren yang didirikan. Bentrok senjata sering terjadi di daerah ini, membuat Sang Adipati tidak sabar menunggu misi Nyi Mas Ratna Gandasari (Nyi Endang Darma) mencuri pusaka utama Galuh Nagari “Sarpa Kandaga”. Maka dengan menggunakan kuda bernama “Si Windu Aji”,Adipati memimpin 300 lasykar Kuningan masuk lebih jauh dan menggempur pertahanan Galuh Nagari di Gempol (Palimanan). Lasykar ini terjebak di tempat terbuka Tegal Sirawat,dimana Pasukan Galuh Nagari dari Palimanan dipimpin oleh Adipati Arya Kiban, yang mengendarai gajah bernama Si Liman Bango melabraknya (dalam cerita wayang kulit Cirebonan disebut “Palagan Tegal Sirawat”).
Lasykar Kuningan ditarik mundur dalam kejaran pasukan Galuh Nagari sampai ke “perbatasan”. Adipati Arya Kiban menghentikan pengejaran dan menarik mundur pasukannya.
Beruntung bagi Caruban, serangan balik lawan tidak dilanjutkan sampai ke pusat kota, bahkan
ditarik mundur Arya Kiban khawatir dengan berita bahwa di Caruban ada sejumlah 700 orang pasukan Demak yang bukan saja bersenjata api tetapi juga meriam. Dia tidak memperoleh info
bahwa pasukan Demak telah diberangkatkan menuju pusat kekuatan Angkatan Perang Pajajaran di Banten Girang.
Situasi “perbatasan” aman kembali, tetapi kejadian ini membuat Galuh Nagari percaya diri dan dengan semangat tinggi mempersiapkan perang.
Maka tugas Nyi Mas Ratna Gandasari (Nyi Endang Darma) dipercepat….
Sementara itu Nyi Endang Darma yang telah menggunakan kembali nama Nyi Mas Ratna Gandasari. Dari Bukit Marongge dengan naik kuda, dia menyusuri jalan hutan menuju
Caruban. Jauh di luar kota, dia mengambil jalan “Cimanuk-Caruban”, dan mulai memberi
tanda-tanda pada batu atau pohon, yang hanya dapat dibaca oleh Ki Tana dan Nini Tani. Maka
dengan mudah mereka bertemu di Panguragan.Di Desa ini Nyi Mas Ratna Gandasari bersama
Ki Tana dan Nini Tani dengan bantuan seorang wiku terkenal Ki Selapandan,menyelenggarakan Sayembara Pibu Mencari Jodoh.
Pesilat di Caruban Nagari yang mencoba turut serta. (nama-namanya tercatat dalam Babad Cirebon, seperti : Pangeran Rudamala, Dipati Rangkong, Jaka Supetak, Ki Demang Paluamba.
Jaka Pekik, Ki Jungjang. Ki Plered dll).Hanya ada seorang yang dapat menandinginya, yaitu seorang pendatang dari Negeri Siam.
Yang bernama Pangeran Remagelung atau lebih terkenal dengan nama Jaka Soka.
Dia adalah murid Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah sejak setahun yang lalu, ketika
baru tiba di Caruban Nagari dan belajar ilmu Tauhid kepada Sunan.
Di bawah ini penuturan Dalang Macak atau Tukang Kanda, yang biasa diiringi gamelan terbatas atau hanya sebuah kecapi.Pupuh Burma :
Nulya medal sayagi ing yuda nira
Remagelung Gandasari
Sampan ayun-ayunan
Anggene angadu jaya
Prawantu sakalih sakti
Kawicaksanan
Pan sami angimbangi
Pertarungan itu dilaksanakan di atas panggung terbuka diawasi secara cermat oleh Ki Tana
daan Nini Tani Sementara itu di antara penonton ada seorang lagi pengwas gelap yang menyamar sebagai seorang petani, Aria Wiralodra, Sang Suami.
Setelah pilihanjatuh pada Jaka Soka, Nyi Mas Ratna Gandasari sengaja menerima tendangan
yang ditahanoleh kedua telapak tangan dan dengan sentakan kakinya yang kuat melompat
mundur sehingga jatuh di kerumunan penonton di luar arena. Ini berarti dia kalah dalam sayembara.
Pada saat yang sama, Ki Tana dan Nini Tani membuat keonaran, yang menghasilkan lolosnya Nyi Mas Ratna Gandasari hilang dari pandangan penonton, Sementara Jaka Soka yang mengetahui arah kemana lawannya meloloskan diri dan akan mengejar terhalang oleh dua orang “penonton” yang kelihatan bingung.
Pada jarak sekitar 100 depa, baru Jaka Soka terlepas dari penghalang dan mengejar lawannya. Akan tetpi ada seorang penonton lagi yang melesat lari melewati Jaka Soka dan menyusul Nyi Mas Ratna Gandasari. McngHnliui slapa yang lari di sampingnya, Nyi Mas Ratna Gandasai berseru, “Mas, aku ke guruku Sunan di Pakungwati!”
Mengetahui tujuannya, sang penonton melesat ke depan dan tiba di muka gerbang Agung
Pakungwati, kemudian duduk menyandar pada pohon laban di tepi jalan. Tidak lama kemudian tiba Nyi Mas Ratna Gandasari yang dikenali prajurit jaga dan langsung masuk.
Sedangkan Jaka Soka yang tidak berani masuk minta kepada prajurit jaga agar dilaporkan ada
murid Sunan yang bernama Jaka Soka ingin menghadap.
Di luar dugaan Sang Guru Syarif Hidayatullah sendiri yang keluar dan memanggil Jaka Soka
untuk masuk.Melihat semua ini, orang yang duduk menyandar di bawah pohon laban menghilang
tidak diketahui kemana perginya.
Sementara itu , jauh di luar kota Caruban, di panggung terbuka Panguragan, Wiku Ki
Selapandan mengumumkan Pangeran Remagelung alias Jaka Soka adalah pemenang sayembara. Sekalipun kalah, Nyi Mas Ratna Gandasari, atas usul penduduk diberi Gelar Nyi Mas Ratu Panguragan. Di Dalem Agung Pakungwati, di ruang pribadinya, Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah, didampingi Nyi Mas Ratna Gandasari, berkata kepada Pangeran Remagelung: “Jaka Soka engkau telah terpilih oleh Nyi Mas Ratna untuk tugas Negara .
Sayembara yang engkau menangkan itu tadi,adalah caraku untuk mencari pria tangguh,yang akan mendampingi Nyi Mas Ratna dalam tugas mencuri ‘Sarpa Kandaga’ di Istana Sadomas Galuh Nagari. Engkau sudah tahu arti kehilangan Pusaka Utama Negara. Kita tidak usah malu menjadi pencuri, karena hal ini demi prajurit dan rakyat Galuh Nagari sendiri,sekecil mungkin korban yang jatuh dalam perang.”
Remagelung mengangguk, katanya: “Guru,sekarang hamba baru sadar mengapa tadi Nyi Mas Ratna Gandasari berbuat di mata penonton seperti benar-benar kalah. Hanya,menurut ketentuan sayembara yang diumumkan oleh Ki Selapandan di muka penonton yang demikian banyaknya, bahwa yang menang jadi suaminya. Lalu apakah hamba atau Nyi Mas Ratna Gandasari tidak
melanggar hukum janji dalam Islam?”“Jaka Soka,” jawab Sang Guru, “Pertama,ketentuan ini dibuat oleh Ki Wiku Selapandan yang bukan penganut Islam, jadi tidak berlaku bagi kita . Kedua ketentuan di Perguruanku seorang murid laki-laki yang tingkatannya < i i
bawah murid wanita tidak boleh menikahinya.”
“Guru, hamba minta maaf karena tidak mengetahui bahwa Nyi Mas Ratna Gandasari adalah kakak seperguruan hamba, sebab sejak hamba tiba di Caruban dan menjadi murid Guru, Nyi Mas Ratna Gandasari tidak ada,” kata Jaka Soka.
“Benar,” sahut Sang Guru “dia dapat tugas ke Praja Cimanuk. Sekarang begini. Pertama, hasil
sayembara dibatalkan . Kedua bicaralah dengan Nyi Ratna, cara bagaimana melaksanakan tugas.
Apakah engkau bersedia?”
“Guru,” sahut Jaka Soka, “sesudah menjadi jelas masalahnya, maka hamba merasa mendapat kehormatan besar, dipercaya sebagai pendamping Nyi Mas Ratna Gandasari untuk Negara.”
Kemudian Sang Guru bertanya pada Nyi Ratna,
“Mana Ki Tana dan Nini Tani? Suruh masuk!”Nyi Mas Ratna Gandasari yang yakin Ki Tana
dan Nini Tani sudah tiba menjawab cepat, ”
Ada di luar pintu gerbang Guru.” Sementara itu prajurit telah memanggilnya.
Tiba di hadapan Sunan, mereka menyembah lalu duduk. Berkata Ki Tana: “Gusti, hamba
berdua menghadap dan menghaturkan sembah bhakti.”
“Aku terima,” kata Sang Sunan, “begini Tana dan engkau Tani. Ini Pangeran Remagelung,
boleh engkau sebut Pangeran Jaka Soka,adalah muridku yang akan ikut dalam tugas Gustimu Nyi Ratna. Jaga murid-muridku dalam melaksanakan tugas Nagara.”
Setelah menyembah, Ki Tana menjawab:” Titah Gusti akan hamba berdua laksanakan.”
Kemudian mereka minta diri dan dengan mengendarai kuda-kuda milik Istana, berpacu
menuju Praja Cimanuk.
Lontar Babad Darma Ayu (Abad XV M ) menulis dalam bentuk macapat Pupuh Kinanti, sebagai
berikut:
Ana Sayembara besuk Ratna Gandasari Putri
Pinilih Pamanggul Yuda Anggempur Sang Galuh
Nagari Babare ing Palimanan Aja den catuma neki
Memasuki Sarang Naga
Nyi Mas Ratna Gandasari beserta Ki Tana, Nini Tani dan Jaka Soka, tiba di Praja Cimanuk,
“disambut” oleh banyak bendera Nagara yang berwarna Hijau/Kuning dan tulisan “Selamat
Datang di Darma Ayu Nagari” dipasang di mana-mana.
Tulisan inilah yang membuat Nyi Endang Darma terharu, karena pelestarian namanya menjadi
nama Nagari. Sang Adipati telah mengganti dari Praja Cimanuk menjadi “Darma Ayu”
Nagari, singkatan dari Nyi Endang Darma Yang Ayu. Penggantian nama ini dilakukan sejak
pernikahan mereka di Pegaden (1525 M).Hanya selang dua minggu Nyi Endang melepas
rindu dengan suaminya, kemudian dia kembali lagi kerja keras menyusun rencana kerja tugas.
Bersama sang suami Aria Wiralodra, Nyi Endang Darma membentuk pasukan khusus yang pimpinannya diserahkan kepada Jaka Soka.
Pasukan ini terdiri dari para pendekar wisudawan persilatan Nyi Endang Darma yang dilatih sebagai Prajurit Kadipaten Darma Ayu,sejumlah 24 orang.
Ketika saat yang telah diperhitungkan tiba,maka dari Kadipaten Darma Ayu Nyi Endang
Darma yang mengendarai kuda Bima dikawal oleh Ki Tana dan Nini Tani bersama Jaka Soka
beserta 24 prajurit khususnya yang berjalan kaki menuju Galuh Nagari.
Di desa Jagasatru. Leuwikujang, pasukan kecil ini sudah dicegat prajurit Galuh Nagari. Namun
karena mengibarkan bendera Hijau/Kuning yang mereka tahu dari Kadipaten Praja Cimanuk, maka pawang-jalan memandunya sampai batas ibu kota Sadomas. Dari pos jaga Pasirtenjo, kedatangan pasukan kecil yang dipimpin oleh seorang wanita ini telah diketahui dan disambut oleh Pasukan Kawal Istana Galuh Nagari.
Nyi Endang Darma yang menyatakan jatidirinya sebagai Permaisuri Prabu Indrawijaya dari Kadipaten Cimanuk, ingin menghadap Hyang Prabu Cakraningrat; diizinkan hanya bersama
pengasuh dan embannya saja, yaitu Ki Tana dan Nini Tani, masuk ke Dalem Agung .
Sedangkan pasukan pimpinan Jaka Soka ditempatkan di Paseban.
Di hadapan Sang Prabu, Nyi Endang Darma menyembah, kemudian berkata: “Gusti, hamba
istri Indrawijaya dari Kadipaten Praja Cimanuk menghaturkan sembah bakti!”
Jawab Sang Prabu singkat, “B age a Nyai,duduklah!”Setelah duduk, karena khawatir ditanya hal
yang sulit dijawab, maka Nyi Endang Darma segera berkata, “Gusti, suamiku Indrawijaya terpaksa tidak dapat menghadap , karena khawatir rencananya diketahui mata-mata dari Caruban. Maka Praja Cimanuk seolah-olah tidak akan membantu Galuh.
“Yang kami khawatirkan adalah Pasukan Demak yang bersenjata api, sekarang ada di Caruban dalam jumlah yang sangat besar.Mereka akan membalas Galuh atas kekalahan Caruban di Palagan Tegal Sirawat. Orang -orang kami telah disebar di Caruban Nagari untuk mengetahui kapan serangan mereka akan dimulai.
“Suami hamba, melalui hamba, mohon disampaikan kepada Hyang Prabu, katanya:
‘Lasykar Praja Cimanuk akan melakukan penyerangan dari belakang mereka, apabila mereka berhasil mendekati Sadomas.’”
Setelah memberikan laporan, Nyi Endang Darma ; tunduk dan diam.
Segera berkata Sang Prabu dengan gembira :“Nyai,garwa Aria Indrawijaya Adipati Praja Cimanuk,aku sangat senang. Nanti selepas matahari terbenam Nyai diundang ke Ruang Jamuan
untuk menghadiri pesta jamuan makan bersama para menteriku. Kita nanti bicara lagi di sana. Sekarang istirihatlah di Wisma Dalem bersama emban dan pengasuhmu!”
Selagi diantar pelayan ke wisma, tiga pasang mata menjelajahi tata ruang istana ….
Dalam ruang jamuan yang besar, dengan sangat gembira Hyang Prabu Cakraningrat beserta
permaisuri dan sejumlah pengagung Nagari menjamu Garwa Dalem Aria Indrawijaya,Adipati Praja Cimanuk.Pesta ini diakhiri dengan minum tuak, yang walaupun permaisuri ikut minum, tetapi Nyi Endang Darma secara halus, menolaknya, dan diterima dengan baik.
Tengah malam permaisuri yang sudah goyah mengajak Nyi Endang masuk kamar peraduannya, dimana tersedia beberapa tempat tidur. Kemudian permaisuri minta agar Nyi Endang bersedia menempati salah satu tempat tidur yang ada.
Sementara Sang Permaisuri sudah pulas, Nyi Endang Darma telah mengetahui letak “Sarpa
Kandaga” dipajang. o Melalui pintu kamar peraduan Sang Prabu, yang sengaja dibuka
lebar oleh para penjaga, karena Sang Prabu,(yang kamar peraduannya berhadapan dengan
kamar peraduan Sang permaisuri) segera masuk sambil dipayang penjaga karena terlalu
banyak minum. Tidak berapa lama kemudian seluruh penjaga keluar karena Sang Prabu
sudah tertidur.
Saat itulah Sarpa Kandaga dilarikan Nyi Endang Darma.Pasukan Kawal Sang Prabu baru sadar ketika Jaka Soka dengan pasukan khususnya menerobos ke dalam.
Sambil mundur Nyi Endang Darma bersama Jaka Soka bertempur melawan pasukan elite yang paling handal di Galuh Nagari, yang terkenal dengan sebutan Prajurit Domas.
Sementara itu Ki Tana dan Nini Tani bersama lasykar Jaka Soka membuka jalan ke luar istana dengan mendobrak pintu-pintu,melumpuhkan Pasukan Jagabaya serta memadamkan obor-obor penerangan.Kemudian menjebol pintu gerbang. Menculik seorang penjaga, lalu mereka seluruhnya lenyap ditelan kegelapan malam.
Di tempat yang jauh dari Sadomas, dimana ada empat ekor kuda ditambat, rombongan berhenti dan Nyi Endang Darma memeriksa jatidiri tawanannya, lalu berkata nyaring:
“Sarma, supaya kamu melapor pada atasanmu,agar disampaikan kepada Rajamu, bahwa aku
yang menyamar sebagai Garwa Aria Indrawijaya dari Cimanuk adalah Gandasari, murid Sunan
Gunung Jati Syarif Hidayatullah dari Caruban,musuh Galuh Nagari. Lakukan! kalau tidak,nanti engkau akan kucari dan kubunuh.”
Maka Sarmapun segera pergi dengan berlari.Kemudian Nyi Endang bersama ketiga orang pengikutnya naik ke punggung kudanya masing-masing dan kabur menuju Caruban tanpa berhenti. Ketika fajar menyingsing mereka telah tiba di gerbang Dalem Agung Pakungwati.
Saat itu juga prajurit-prajurit jaga mempersilahkan mereka masuk karena mereka telah dipesan oleh Gusti Sunan untuk membangunkannya bila Nyi Mas Ratna Gandasari tiba pada malam hari.
Maka setelah Sarpa Kandaga diserahkan kepada Sang Guru, Nyi Mas Ratna Gandasari bersama kedua penga-suhnya minta izin untuk segera, saat itu juga, kembali ke Cimanuk.
Sedang perincian laporan akan disampaikan oleh Jaka Soka Keluar dari Dalem Agung dan menukar kuda,Nyi Endang Darma bersama Ki Tana dan Nini Tani, berpacu menuju Cimanuk.
Tidak terlalu lama setelah mereka tiba di Darma Ayu Nagari, datang pula 24 orang anggota pasukan khususnya dari Galuh Nagari. Mereka diperintah Nyi Endang Darma agar terus
berlatih karena dalam beberapa minggu lagi,akan mendapat tugas berat, bersama Pasukan
Caruban menyerang Galuh Nagari.
Galuh Nagari Jatuh Pada pertengahan 1527 M pertempuran Caruban melawan Galuh (Palagan Tegal Sirawat) dimenangkan Galuh. Namun demikian Galuh Nagari memindahkan pertahanannya ke gunung Girinata (Palimanan) yang di depannya terbentang lembah terbuka. Sang Prabu Cakraningrat sebagai Manggala Yuda,memimpin dari atas bukit tersebut. Di puncaknya berkibar bendera Galuh Nagari yang berwarna putih dengan gambar naga berwama biru.
Setelah mendengar info bahwa Caruban sudah siap-siap untuk bergerak, pertahanan Girinata
telah siaga. Di kaki bukit, barisan tombak dan pedang dan di atasnya para pemanah yang berjumlah sangat besar, siap tempur.
Senapati perang Arya Kiban naik gajah besar yang bernama Si Liman Bango dilindungi di sebelah kiri, kanan dan belakangnya oleh prajurit-prajurit unggulan Palimanan. Tetapi keangkeran Sang Senapati tidak tampak,bahkan cenderung muram . Hilangnya Sarpa Kandaga membuat para prajurit kehilangan semangat, bahkan milisi rakyat untuk gelar perang “Gelatik Mabur” tidak memenuhi syarat dalam jumlah.
Namun demikian ketika bendera “Naga Biru”di atas bukit Girinata digoyang-goyang,kecemasan menghilang, semangat prajurit “Bela Negara” timbul. Baik yang di kaki bukit,tebing sampai puncak telah siaga pada posisinya.
Keadaan menjadi tegang ketika musuh semakin mendekat, tetapi aba-aba perang dari puncak
bukit belum ada. Menurut perhitungan ahli pariah (yang memegang tiang bendera) masih
terlalu jauh dari jangkauan anak panah.Tiba-tiba barisan musuh berhenti dan membentuk deretan ke kiri dan ke kanan secara lurus. Mereka adalah pasukan bersenjata api. Kemudian maju ke depan, dua buah meriam ditarik masing-masing seekor kerbau. Setelah kerbau dilepas dan dihalau ke belakang, meriam diputar dengan sasaran tembak yang berbeda. Kejadian ini berlangsung secara cepat, karena dilakukan oleh prajurit-prajurit terampil … bantuan dari
Demak, sebanyak lebih dari 500 orang.
Pasukan gabungan Caruban dan Demak ini dipimpin oleh Senapati Perang senior Pangeran Walangsungsang dibantu oleh Pamanggul Yuda Adipati Kuningan Arya Kamuning (Pangeran Suranggajaya).
Ketika pasukan gabungan Caruban-Demak bergerak maju sekitar 20 depa, genderang di atas Bukit Girinata terdengar jelas dan bendera Naga Biru digoyang ke kiri dan ke kanan.
Maka sejumlah anak panah melesat sebagai percobaan, tetapi jatuhnya masih jauh dari sasaran.
Sebaliknya di pihak musuh, mereka sudah membuat posisinya seperti 20 depa ke belakang. Kemudian bendera merah diangkat dan meriam menyal \*. dengan dua arah peluru yang berbeda yang ledakannya seperti dua petir dipadu. Bendera Naga Biru di atas buMt, hilang dan gajah Si Liman Bango tertembak kemudian kabur ….
Manggala Yuda dan Senapati Perang Galuh Nagari, dalam keadaan yang sangat gawat secara bersamaan, tidak bisa menjalankan tugas. Keadaan sangat kritis. Maka atas prakarsa sendiri prajurit-prajurit yang bersenjata tombak dan yang bersenjata pedang, mereka menyerbu maju untuk perang jarak pendek, satu lawan satu.
Diawali Pasukan Domas, kemudian Pasukan unggulan Palimanan, pasukan maju ke arah musuh. Hanya saja sebagian besar pasukan tewas di tengah jalan, kena tembak senjata api, atau tiba di barisan musuh dalam keadaan luka tembak.
Sementara itu dua meriam terus menyalak,me-nimbulkan kebakaran di lereng bukit Girinata.
Dalam keadaan yang gawat itu tiba-tiba saja ada seorang petani tua berlari seperti Dewa
Angin menerobos menuju meriam prajurit Demak. Dia merobohkan lima orang yang menghalang-halanginya, sambil tak henti-hentinya berujar: “Pembantaian-pembantaian…!”
Begitu tiba di lokasi meriam, dengan cepat dia gulingkan meriam tersebut, dan roda-roda penyangganya dilempar jauh-jauh ke depan,sehingga tidak bisa dioperasikan.
Seperti ketika datang laksana Dewa Angin,demikian pula kembalinya. Belum hilang kekaguman para prajurit Demak atas tenaga raksasa petani tua tersebut, tiba -tiba dia sudah terlihat di lereng Girinata mendaki dengan melompati tebing-tebing dan sampai di puncaknya. Kemudian semua orang melihat ada aba-aba bendera yang diputar mendatar
kemudian menunjuk ke Celah Timur.
“Petani Tua” yang dikenali Sang Prabu Cakraningrat, tampak mengadakan
pembicaraan singkat, kemudian seorang diri turun ke bawah, jauh ke depan dan menutup jalan masuk dengan cara meruntuhkan tebing,seperti terjadi tanah longsor. Kemudian Pasukan Galuh Nagari menuju Kadipaten Talaga untuk menyusun kekuatan baru.
Dalam wayang golek cepak Cirebon, tidak akan dilupakan kata-kata terakhir Hyang Prabu
Cakraningrat sebelum meninggalkan puncak Girinata di pegunungan Kromong.
Sing sapa karep maring dunya oletana ning Gunung Kromong. Nanging ora kanggo Wong
Caruban, ingsun ora idin….
Sementara pasukan gabungan Caruban/Demak terhambat, di ibu kota Sadomas terjadi kepanikan masal. Ada seorang petani tua sambil lari menuju Istana Sadomas memberi tahu bahwa Pasukan Galuh kalah dan dalam waktu setengah hari pasukan musuh akan sampai ke Ibu Kota.
Karena jembatan gantung ke Istana telah putus, maka si petani menyeberangi sungai yang airnya deras itu, dengan cara melompat pada batu-batu yang mencuat di atas air.
Setibanya di seberang dia menghilang ke balik tembok kuta Istana.Istana Galuh Nagari diapit dua sungai yang bermuara satu sama lain yang sulit diseberangi (sungai-sungai Ciwaringin dan Ciputri).
Si petani tua, menerobos ke dalam Istana dengan tidak ada yang memperdulikan karena kepanikan masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri. Berbicara singkat dengan permaisuri kemudian keluar Istana menunggu di jembatan rahasia untuk melintasi sungai.
Tidak berapa lama 20 orang kuat melewati jembatan dengan memanggul peti kayu atau keranjang rotan. Di belakang rombongan,permaisuri ditandu dua orang kuat melintas jembatan dengan cepat dan melambai pada si petani.
Selamat di seberang, lalu jembatan dihancurkan si petani, dan dia kemudian menghilang. Tidak berapa lama, tiba Pasukan Khusus Nyi Mas Ratna Gandasari yang hampir bersamaan dengan Pamanggul Yuda Arya Kamuning. Kemudian terjadi percakapan yang lebih merupakan teguran dari Sang Pamanggul Yuda. Arya Kamuning tahu kemampuan Nyi Mas Ratna Gandasari. Dia memerlukannya untuk mengejar si Petani Tua di Girinata, maka katanya: “Nyai, sejak kapan engkau bersama kami, baru sekarang aku melihatmu?”
“Sejak di lembah Girinata,” jawab Nyi Mas Ratna Gandasari tenang, “saat tembakan meriam yang pertama, ketika itu gajah Aria Kiban terluka dan kabur, aku mengejarnya,jauh sampai ke Gunung Sanghyang. Yang aku temui hanya gajahnya saja yang sudah mati.
Lalu aku kembali bergabung.”
“Sudahlah;” kata Sang Pamanggul Yuda“sekarang engkau bersama pasukanmu,menyeberang sungai dengan membawa ujung tali panjang ini. Pada ujung tali yang lain aku ikatkan tali yang cukup besar. Bila sudah tiba di seberang, tariklah sampai ujung tali yang lebih besar di tanganmu dan ikatkan yang kuat pada apa saja. Pasukanku akan menyeberang dengan berpegangan pada tali tersebut.” Nyi Mas Ratna Gandasari cepat mengambil ujung tali itu dan diikuti oleh pasukannya menyeberang sungai seperti yang dilakukan si petani.Terheran-heran Sang Pamanggul Yuda melihat seluruh pengikut Nyi Mas Ratna Gandasari mampu melakukan itu.
Hanya dalam waktu pendek, sudah terbentang tali tambang melintang.sungai.
Sementara menunggu Pasukan Arya Kemuning tiba, Nyi Mas Ratna Gandasari dalam sekilas
dapat melihat bahwa Istana sudah kosong dari penghuni, yang berarti tidak ada lagi benda
berharga yang tertinggal.Dia merenung dan hatinya berkata: “Si Petani Tua yang luarbiasa. tugasku telah diambil alih pada saat yang tepat. Kalau tidak cara bagaimana aku bertindak dengan Arya Kamuning di dekatku?”
Tidak berapa lama, Pamanggul Yuda Arya Kamuning beserta pasukannya tiba dan langsung memasuki Istana dan keluar dengan marah-marah, katanya: “Akan aku selidiki,siapa saja yang memihak musuh.”Tentu saja seruan itu ditujukan kepada Pihak Nyi Mas Ratna Gandasari. Dengan tidak peduli pada sindirannya, Nyi Mas Ratna Gandasari berjalan menuju tepi sungai dan memanjat menara pengawas istana. Dari atas menara dengan sangat jelas Nyi Mas Ratna Gandasari menyaksikan peristiwa bersejarah yang belum
pernah dia lihat: Kota yang sedang dijarah,harta benda rakyat yang dirampas danjerit tangis gadis-gadis yang ditangkapi, sambil menutup mata
dia berkata sendiri. ‘Suamiku benar dan pasukanku dilarangnya ikut menjarah.’ Tidak sampai hati rae-nyaksikan peristiwa ini, dia turun dan bersama pasukannya mohon diri kepada Sang Pamanggul Yuda .
Almarhum P.S. Sulendraningrat dari Keprabon dalam bukunya Babad Cirebon terbitan tahun
1984 menulis sebagai berikut:
Ki Kuwu segera membagikan sebagai pemberian ganjaran kepada seluruh Wadyabala Caruban dan Wadyabala Demak, emas picis dunya berhala, kerbau sapi sudah dibagikan semua, segera seluruh para putri dan janda kembang berikut para perawannya yang dibagikan kepada para Pinangeran dan para Gegedeng. Selesailah sudah Ki Kuwu memberi ganjaran kepada seluruh Wadyabala yang turut berperang.
Demikianlah hukum perang. Peristiwa ini telah berlalu, tetapi ada seorang pelaku sejarahnya
yang tidak dilupakan masyarakat Caruban sampai lima abad kemudian, yang dipertunjukan dalam bentuk kesenian rakyat seperti sendra tari, sandiwara, wayang kulit purwa dan wayang golek cepak.
Dia adalah: Nyi Mas Ratna Gandasari atau Nyi Endang Darma, Garwa Aria Indarwijaya atau
Aria Wiralodra, Adipati Darma Ayu Nagari.
Istri, Nyi Endang Darma dalam melaksanakan tugas dari Sang Guru Sunan Gunung Jati Syarif
Hidayatullah.
Diawali dengan “Sarpa Kandaga” dan diakhiri kemenangan Caruban atas Galuh Nagari dengan korban tewas yang kecil. Maka pada malam pesta itu, Sang Suami memberi gelar:
Nyi Mas Ratna Gumilang , dan dari hadirin : Ratu Saketi Hutama. Sementara itu, saat Sang Ratu
akan bicara bahwa sesungguhnya peran suami tercintalah yang punya andil terbesar, Sang Prabu dapat mencegahnya sehingga tidak sampai terucapkan.
Lontar Babad Darma Ayu (Abad XV M) menulis dalam Pupuh Kinanti sebagai berikut:
Nyi Endang Darma Pinunjul Putri Nata
Anggayasti Ingkang sanes malih asma Ratna
Gumilang kekasih Ratu Saketi Hutama Nyi Mas
Ratna Gandasari
Pesta belum lagi usai, tiba-tiba Aria Wiralodra berdiri. Sebagai seorang yang mumpuni,firasatnya menangkap adanya sesuatu yang tidak beres di bagian timur wilayah nagarinya.
Ki Tinggil cepat menghampiri, lalu berbisik kepadanya, kemudian bergeras keluar Dalem Agung dan menghilang.
Semua hadirin termasuk Nyi Mas Ratna Gumilang memandang Ki Tinggil yang akan memberi penjelasan. Belum sepatah kata terucap, tiba-tiba datang seseorang yang memakai busana pendekar, diantar prajurit jaga, yang langsung berkata dengan menghadap Nyi Mas Ratu Saketi Hutama:
“Maaf Gusti Ratu, hamba memaksa prajurit jaga masuk, karena berita yang sangat penting.
Hamba diutus wiku Ki Selapandan dari Panguragan untuk memberi tahu Gusti Ratu, bahwa pasukan bersenjata api dan meriam Caruban pimpinan Adipati Kuningan Arya Kamuning sedang bergerak kemari.
Setelah si pelapor diuji kebenarannya dan diantar keluar oleh prajurit jaga, Nyi Mas Ratna Gumilang berkata pada Ki Tinggil:
“Paman, atur prajurit di sebelah timur sungai,bawalah pasukan pendekarku, aku akan mendampingi suamiku!”
Sementara bicara , kakinya sudah melangkah ke luar Dalem Agung, kemudian berlari kilat
seperti terbangnya burung sikatan. Tanpa disuruh, sepasang pendekar Ki Tana dan Nini
Tani membuntuti Sang Burung Sikatan Di bawah ini kutipan, satu bait dari Serat Babad Dermayu (Pupuh Durma) bukti kebenaran firasat Aria Wiralodra.
Sareng dugi ing wates wetan nag ora Kaget ana mariyem muni Suralc mangambal – ambal Awor suara ning bedil Mapan Raden amarani Dateng barisan Barise wong mangun Jurit Aria Wiralodra yang masih berbusana resmi Adipati, berdiri menghadang barisan yang sedang maju, sehingga membuat kepala prajurit pelopor marah. Dengan tombaknya coba mengusir Aria Wiralodra, tetapi kena dirampas dan dipatahkan. Kejadian ini membuat barisan terhenti Segera datang seorang perwira yang bernama Dipasara dengan busana pasukan Caruban tetapi masih berikat kepala berlambang prajurit Domas. “Si pembelot dari Galuh Nagari,” gumam Aria Wiralodra. Setelah jelas bagi Sang Perwira, bahwa dia berhadapan dengan Aria Wiralodra, orang yang dicari gustinya, maka dimintanya Sang Wira menghadap Arya Kamuning yang sudah berada di Kemah Agung Dua prajurit kawal menyertainya, sementara Sang Perwira mendahului untuk melapor pada
Gustinya. Selesai mengatur Kemah Agung dimana Arya Kamuning duduk di antara empat prajurit bersenjata api, kemudian SangTamu dipersilahkan masuk dan duduk.
Sejak melihat tamunya, Arya Kamuning sudah tidak dapat menahan geramnya, katanya:
“Katambetan, aku Adipati Kuningan, Arya Kamuning, Pamanggul Yuda Caruban Nagari,apakah benar engkau yang bernama Aria Wiralodra?”
Yang ditanya menjawab hormat: “Ya benar,aku!”
“Dengarlah!” sambung Aria Kamuning, “Engkau membuat kesalahan besar. Pertama. Engkau
telah membangun Nagari di wilayah Caruban tanpa izin.
“Kedua. Engkau telah menyatakan kepada Gandasari, murid ayahku Sultan, tidak memihak Galuh, mengapa tidak membantu kami dari Caruban“Ketiga. Engkau jelas-jelas membantu Galuh di Palagan Lembah Girinata.
“Keempat. Engkau mencuri benda-benda berharga Istana Galuh Nagari yang merupakan benda jarahan milik Caruban.
“Maka menurut hukum perang, aku Pamanggul Yuda Caruban bertindak sebagai hakim menjatuhkan hukuman mati yang akan dilakukan sekarang juga!”
Melihat empat prajurit sudah mengangkat senjata, Sang Wira akan membuat Arya Kamuning jadi tameng. Tetapi batal karena pendengarannya yang tajam menangkap suara yang ringan, langkah tiga manusia dan mengenal siapa mereka. Maka katanya: “Aku mendengar bahwa Sultan Caruban, Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah seorang yang arif dan bijak dalam mengadili perkara.
Apakah seorang yang didakwa tidak boleh menjawab untuk membela diri atau bahkan membela
kebenaran?”
Mendengar jawaban terdakwa, yang disaksikan banyak orang, Arya Kamuning khawatir dituduh
orang di kemudian hari, sebagai seorang yang tidak menjunjung tata-tertib pengadilan. Ia menjawab, “Baik, aku memberi kesempatan padamu untuk menjawab tuduhan, meskipun itu sudah jelas.”
Aria Wiralodra berdiri, kemudian katanya:
“Pertama, aku membangun Praja Cimanuk atas ijin yang berhakyaitu Galuh Nagari. Caruban
juga membangun Nagari atas ijin Galuh Nagari dan bertahun-tahun mengirim upeti kepada
Galuh Nagari.
“Kedua, aku membantu Gandasari atas keinginan Sunan, gurunya, yang menghendaki kemenangan di pihak Caruban dengan korban manusia yang sekecil-kecilnya. Maka aku tidak
bisa membiarkan pembantaian besar-besaran pasukan yang sudah tidak berdaya karena kalah persenjataan, kemudian Caruban meraih kemenangan atas Galuh Nagari dengan korban perang yang kecil.
“Ketiga, pembantaian manusia besar-besaran tidak di-kehendaki oleh Sunan , guru Gandasari. Jadi aku membantu pengunduran demi memperkecil korban yang jatuh.
“Keempat, Tidak benar aku mencuri benda jarahan milik Caruban. Tidak satu barangpun aku mengambil dari Galuh Nagari. Maka tuduhannya tidak terbukti .”
Arya Kamuning bertindak nekad, perintahnya kepada prajurit: ‘ Tembak!”
Tetapi baru saja dua prajurit sebelah kanan dan dua prajurit sebelah kiri Arya Kamuning mengangkat senjata, secepat itu pula senjata telah dirampas sepasang pendekar Pajajaran,
Ki Tana dan Nini Tani.
Arya Kamuning yang menduga Aria Wiralodra sudah terluka tembak, menerjang ke depan
bersenjatakan pedang-suduk. Tangkisan tangan kiri Aria Wiralodra, bukan hanya menjatuhkan pedang, tetapi dilanjutkan menerjang rahang. Sementara tangan kanannya mendarat di perut dan kakinya menyapu dua kaki lawan. Maka tidak ampun lagi Arya Kamuning jatuh tertelungkup.
Dipasara yang akan membantu Arya Kamuning,didahului Nyi Mas Ratna Gandasari, yang
menendang perutnya dari samping Dipasara jatuh terguling tanpa bisa segera bangkit.
Ketika Arya Kamuning memberi aba-aba agar semua prajurit masuk, Nyi Mas Ratna
Gandasari berseru dengan sangat nyaring:
“Para prajurit dengarlah! Aku Gandasari murid Gusti Sunan Gunung Jati. Untuk menyelamatkan nyawa Aria Kamuning putra Sunan, jangan ada yang berani masuk.” Aba-aba tersebut ternyata ditaati.
Dalam keadaan terluka Arya Kamuning masih berhasil memberi perintah kepada Dipasara yang sudah dapat menguasai diri. Dia keluar dari tenda secara diam -diam dan semua prajurit menjauhi tenda kemudian sunyi. Aba-aba yang dilakukan Arya Kamuning adalah tanda untuk terus menyerbu Praja Cimanuk.
Ketika hal ini disadari Nyi Mas Ratna Gandasari, Ki Tana dan Nini Tani yang akan mengejarnya, dia ditahan Aria Wiralodra,katanya: “Biarkan sampai menyeberangi sungai Kali Kamal (yang tidak dalam dan lebarnya hanya sekitar delapan depa).”
Ki Tana keluar ingin melihat apa yang terjadi.Inilah suatu pemandangan seperti anak-anak
main ular-ularan.
Setelah pasukan terdepan menyeberang,kemudian memutar dan menyeberang balik menuju Caruban ….
Dalam Kemah Agung, Nyi Mas Ratna Gumilang minta agar suaminya membebaskan Arya
Kamuning. Arya Wiraloda bukan saja setuju,tetapi bahkan membantu penyembuhan “luka
dalam” nya.
Setelah menyampaikan terima kasih Nyi Mas keluar kemah, menaiki Kuda Si Windu Aji yang
ditambat di muka kemah dan kabur ke arah Cimanuk. Seketika Nyi Mas Ratna Gumilang tampak kecewa dan menengok suaminya, dia tenang-tenang saja.
Tiba-tiba Arya Kamuning terlihat memacu kudanya balik ke arah Caruban.
Setelah Ki Tana menceritakan apa yang telah dilihatnya tadi, maka ketiganya tertawa lebar.
Kemudian Aria Wiralodra berkata: “Mereka baru akan sadar di muka Gerbang Dalem Agung Pakungwati yang dikiranya Istana Diajeng Ratna Gumilang.”
Dalam bukunya terbitan 1984, mengenal peristiwa ini, Almarhum P.S. Sulendraningrat
dari Keprabon Cirebon menulis:
Segera Sang Prabu sendirian (maksudnya Aria Wiralodra.Pen) bertolak menuju kali/sungai Kamal memasang jimat oyod Mingmang.
Di halaman lain:
Orang Kuningan pada bingung, putar-putar balik lagi di tempat semula, lalu Jeng Pangeran datang (maksudnya Arya Kamuning.Pen). Barisan Kuningan lekas dipanggil siap untuk terus maju jalan menuju Praja Indramayu, Wadyabala Kuningan mematuhi.
Jeng Pangeran sudah merasa telah datang dialun-alun Indramayu. Berkat wataknya jimat oyod Mingmang mereka tidak datang di alun-alun Indramayu, akan tetapi sebetulnya mereka telah datang dialun-alun Cirebon,karenanya Jeng Pangeran Kuningan jadi terheran-heran lalu masuk kedalam Keraton Pakungwati.
Serat Babad Dermayu menulis peristiwa pertempuran Kali Kamal I ( dari 24 ) bait Pupuh Durma sebagai berikut:
Pan den dupak Kamuning tiba kalumah
Sinepak ngqjumpalGc
Mrangkang ngungsi barisan Anulya narik curiga
Pan mqjeng ing rana malih Prang lan bedama
Kamuning muntah getih Sedarigkan
Lontar Babad Darma Ayu ( abad XVM ) menulis sebagai berikut:
Saksana ana duratmaka mangparad Kaki Aria
Kamuning Senapati ing Alaga Pakungwati kang
Nagara Dipasara Apepati
Seja mangparad Darma Ayu Nagari mukti KaJci
Indrawijaya pan asung winara Irikata ing Kali
Kamal Pinasang mingmang wenang Lata
maosandi jimat Kalci Aria Kamuning linglung polahnya
Setelah selesai mengatasi “peristiwa Kali Kamal”, Aria Wiralodra berkata pada Sang Ratu: “Diajeng Ratna Gumilang, engkau pulanglah dahulu ke Darma Ayu bersama Ki Tana dan Nini Tani, aku mau bertemu pada gurumu Sunan. Aku khawatir Arya Kamuning membuat laporan yang tidak-tidak ….
Tiba di Dalem Agung Pakungwati, Aria Wiralodra menyampaikan semua apa yang terjadi di Kali Kamal.
Sang Sultan Caruban mengeluh: “Kamuning tidak pernah menjadi dewasa, aku akan memberi peringatan keras.”
Kemudian pembicaraan menjadi lebih santai,berkata Sang Sultan Caruban: “Wira, setelah Galuh Nagari jatuh, sebenarnya aku memerlukan pikiran dan tenaga Nyi Gandasari,untuk menyelesaikan Talaga. Tetapi adalah hal yang tidak pantas setelah menjadi garwamu,maka sejak saat ini dia kubebaskan agar bisa lebih banyak membantu engkau dalam pembangunan nagari, terutama dalam pengembangan Islam.
Setelah Aria Wiralodra menyampaikan terima kasih dan berjanji akan mengembangkan Islam
di wilayahnya, Sang Sultan menyambung pembicaraannya: “Wira, tugas apa sekarang yang engkau terima dari Demak?”
Aria Wiralodra menjawab singkat: “Sinuhun Sultan Trenggono memerintahkan hamba, memperluas dermaga Cimanuk untuk Pangkalan Angkatan Laut kita .”
Hukum Islam Sejak Awal Ketika Aria Wiralodra pada 1510 M dilantik menjadi Adipati Praja Cimanuk oleh“Gubernur” Pajajaran Sang Prabu Cakraningrat di Galuh Nagari, maka seluruh pejabat pemerintahannya di Praja Cimanuk beragama Islam, kecuali seorang (untuk jabatan Patih) yang ditunjuk langsung oleh Sang Prabu Cakraningrat sendiri. Karena jabatan Patih adalah kunci pemerintahan, maka sejak awal Sang Adipati, menunggu waktu dan cara yang tepat untuk memin-dahkannya dari jabatan tersebut. Pejabat itu bernama Aria Danujaya.
Setelah enam bulan Aria Wiralodra memperhatikan sifat dan tingkah lakunya,diketahui Aria Danujaya adalah seorang flamboyan yang selalu saja kekurangan uang karena hidupnya ingin selalu senang. Maka ketika Sang Adipati menawarkan jabatan juru labuhan (syahbandar) dan melepas jabatan Patih, tanpa dipikir dua kali langsung dia menerimanya, (secara nilai uang,syahbandar berpenghasilan jauh lebih besar dari patih).Aria Danujaya bahkan mohon kepada Sang Adipati berulang-ulang agar hal tersebut dirahasiakan kepada Hyang Prabu
Cakraningrat.
Pada 1513 M kapal ekspedisi Bangsa Portugis dengan tujuan Pulau Jawa, singgah di Ciamo
(Cimanuk). Seorang penumpangnya yang bernama Tome Pires, menulis dalam buku perjalanannya sebagai berikut:
Seka’ lipun penduduk di sini kebanyakannya muslim, tetapi yang menjadi syahbandarnya adalah orang Kafir, inilah yang dia tulis:
Many moors live here, the Captain of this port is a heathen, is belongs to the Kingdom of
Sunda, the end of the Kingdom is here.
Di bawah ini kutipan satu bait dalam serat Babad Dermayu (Macapat Pupuh Durma)mengenai Hukum Islam, yang diberlakukan sejak masih bernama Dukuh Cimanuk:
Kinasian ing Sultan Nagari Demak darnel Karaton mangkin
pan Raja pribadiya sinapu ukumannya
durjana pandung puniki mendet sing Qur’ an
ngangge pan ukum neki
Pada 1525 (setelah perhikahan Aria Wiralodra dengan Nyi Endang Darma), sang Adipati
menjadikan tempat dimana Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah pernah berda’wah pada
1471 yaitu Bungko, menjadi Pusat Pengembangan Agama Islam Wilayah Timur Sungai Cimanuk. Baik Sang Adipati sendiri,maupun (terlebih) Sang Ratu Nyi Mas Ratna Gandasari (Nyi Endang Darma) ikut mengawasi sendiri hampir setiap pembangunan masjid-masjid dan madrasah-madrasah, khususnya di wilayah baru yaitu di sebelah Barat Sungai Cimanuk.
Di seluruh madrasah-madrasah Darma Ayu Nagari, selain santrinya wajib mempelajari
Ilmu Agama, mereka diharuskan pula belajar ilmu bela diri, agar selalu siaga sewaktu -waktu
diperlukan untuk Bela Negara.
Pelatih-pelatih silatnya adalah para pendekar alumnus Perguruan Silat Nyi Endang Darma
Pelarian dari Jayakarta (Sunda Kalapa)Tumenggung Nitinagara
Setelah Nyi Mas Ratna Gandasari bebas dari tugas-tugas Sang Guru Sunan Gunung Jati,
maka sang Adipati Aria Wiralodra mendapat seorang tenaga ahli, baik di bidang agama
maupun kesejahteraan rakyat.
Hal yang paling perlu dikembangkan untuk kesejahteraan rakyat adalah bidang perdagangan, khususnya ke luar Darma Ayu maupun ke Mancanagara.
Ketika perluasan pembangunan pelabuhan(atas saran Demak) selesai dikerjakan, maka
pintu telah dibuka dan kapal besar-kecil,keluar-masuk pelabuhan (desa-desa yang sekarang bernama Pagirikan , Pabean dan Pasekan adalah lokasinya). Betapa ramainya perdagangan sampai ke mancanagara waktu itu.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar