Prakata
Bila membaca tulisan ini, akan anda
jumpai beberapa kejadian yang menurut logika“tidak masuk akal” atau
“mustahil, tetapi jangan berprasangka bahwa peristiwa tersebut tidak
pernah terjadi. Seseorang yang telah mencapai derajat mumpuni (insan
kamil),lebih banyak menggunakan akal batin (intuisi) dari pada akal
lahir (ratio), karena kedekatan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang
tersebut dalam perbuatannya mampu menggunakan unsure kebatinan
(magis/mistik) dan kesaktian (supranatural), seperti yang banyak
dilakukan oleh para Wali dalam penyebaran Agama Islam.
Tetapi
kebatinan dan kesaktian bukan hanya milik para Wali.Pengantar Pada abad
ke-4 M, di tepi sungai Cimanuk telah berdiri sebuah kerajaan lokal yang
bernama Kerajaan Manukrawa. Permaisuri dari Raja Indraprahasta ke-3
Prabu Wiryabanyu (421M – 444 M) yang bernama Nyi Mas Ratu Nilam Sari,
berasal dari Kerajaan Manukrawa. Tetapi dalam sepuluh abad berikutnya
tidak ada berita perihal kerajaan ini. Diduga telah terjadi musibah
besar, kerajaan diterpa banjir bandang sungai Cimanuk, yang
kadang-kadang terjadi dan masih terjadi sampai abad ke-19 M. (yang
terakhir adalah 1850 M). Pada abad ke-14 M, baru terdengar adanya tempat
pemukiman kecil penduduk, jauh di sebelah timur sungai Cimanuk, yaitu
di desa Bungko, yang pada 1471 M dikunjungi Sunan Gunung Jati Syarif
Hidayatullah dalam da’wah Agama Islam. Kecuali tempat tersebut, kawasan
muara sungai Cimanuk sampai abad ke-15 kembali menjadi hutan belantara.
Padepokan Gunung Sumbing
Pada 1500
M, Aria Wiralodra berusia sekitar 17 tahun. Dia adalah Putra Adipati
Bagelen Dalem Singalodra. Keluarga Sang Adipati yang beragama Islam,
memihak Demak sejak memisahkan diri dari Majapahit.Sebagai putra
Adipati, pada usia tersebut dia wajib melaksanakan pendidikan kesatria
seperti ilmu keta-tanegaraan dan keprajuritan,termasuk ilmu kanuragan,
bela diri dan bela negara. Sedangkan ilmu Agama Islam dilaksanakan lebih
awal yaitu pada usia tujuh tahun. Kesemuanya itu telah dilaksanakan.
Kemudian
untuk meningkatkan “kemampuandiri”, baik lahiriah maupun batiniyah,
Aria Wiralodra memilih Padepokan Gunung Sumbing untuk berkhalwat.Di
padepokan ini dimakamkan leluhurnya,pendiri Bagelen Nagari, Ki Betara.
Oleh karena itu dinamakan pula Padepokan Ki Betara.“Serat Babad
Dermayu”Macapat Pupuh Sinom :
Anang Sainggiling malaya Tempat
ingkang sanget werit Gumuling ana ing kisma Anenuwun ing Yang Widi Sore’
at tarekat mangkin Hakekat ma’ ripat waa Tan sanes ingkang tumingal
Amandeng ing wujud Tunggal Jaba-jero supaya dadi satunggal Tinggal sareh
miwah dahar tigang taun lami neki Kantun gagra lan usika Sampun ical
wujud neki Medal caya ingkang bening Tanda tinarimang Agung Kang den
suwun ing Yang Sukma Mugia antuk ridho Gusti Saturune Mugia antuk
Raharja
Kini Sang Pertapa telah
mendapatkan“kekuatan” yang tinggi, apa yang disebut sebagai mumpuni,
yaitu memiliki kemampuan batin (magis) dan kesaktian
(supranatural).Ketika Aria Wiralodra mohon diri kepada Sang Wiku
Padepokan untuk kembali ke Bagelen,dia mendapat tiga buah senjata Pusaka
Gunung Sumbing, berupa sebuah cakra yang bernama Cakra Udaksana Kiai
Tambu, dan dua buah keris yang bernama Gagak Handaka dan Gagak
Pernala.Pusaka-pusaka tersebut buatan Empu Warih(Anak Empu Bondan),
dibuat masa Kerajaan Kediri abad ke-12 M (sekarang disimpan di Kabupaten
lndramayu).Setelah tertegun mendapat tiga pusaka utama,(yang merupakan
idaman para pertapa Gunung Sumbing) yang tidak diduganya, Aria Wiralodra
sujud syukur kepada Yang Maha Esa dan menyampaikan terima kasih
berulang-ulang kepada Sang Wiku Padepokan. Kemudian mohon diri dan Aria
Wiralodra kembali ke Kadipaten Bagelen. Dipanggil Sultan Demak,Tiba di
Dalem Agung Bagelen, Aria Wiralodra sungkem pada ayahanda Adipati. Sang
ayah memandanginya dari kepala sampai ke kaki,kemudian katanya: “Wira,
kulihat engkau sangat kurus, tetapi bercahaya, apa engkau telah mendapat
petunjukNya?”Sambil mengangguk Sang Putra menjawab:
“Berkat restu Rama, Ananda sekarang telah siap untuk mengabdi kepada Agama dan Negara.”
“Wira,”
menyambung Sang Ayah, “Dengarlah,sejak setahun yang lalu semua pemuda,
putra-putra adipati, tumenggung dan demang yang telah selesai melakukan
pendidikan kesatriaan dengan nilai baik, dipanggil Sultan Demak dan
diberi tugas. Sementara mengenai engkau,telah kulaporkan sedang berada
di padepokan
Ki Betara Gunung Sumbing. Beliau sangat mengerti dan
berpesan kepadaku agar engkau menghadapnya segera setelah kembali.
Tetapi sekarang pulihkan dulu badanmu.” Belum genap satu bulan Aria
Wiralodra telah minta izin Ayahanda untuk menghadap Sultan Demak Raden
Fatah.Tanpa mendapat kesulitan, Aria Wiralodra diterima Sultan di ruang
khusus.
Berkata Raden Fatah: “Wira,
mendekatlah, aku ingin menanyakan beberapa hal yang engkau ketahui dan
yang engkau pikirkan. Singkat saja. Pertama, apa pendapatmu tentang
Kerajaan Majapahit.”Setelah menggeser maju duduknya,
Aria Wiralodra menjawab: “Gusti,
karena kelemahan pemerintahan raja-raja setelah Prabu Hayam Wuruk, maka
Majapahit, sebagai kerajaan Nusantara, akan segera runtuh.Bahkan saat
ini lontar abad 15 M. Datanya dipakai untuk penulisan buku ini.Selat
Malaka, pintu perniagaan mancanegara,sudah tidak dikuasainya dan Bangsa
Portugis telah membuat benteng di Malaka.
”“Bagus,” sahut Sang Sultan gembira,
kemudian sambungnya: “Aku telah menyuruh Yunus anakku untuk persiapan
menyerang benteng tersebut. Kemudian yang kedua, bagaimana
dengan Pajajaran?”Setelah diam sejenak,
Aria Wiralodra menjawab: “Sama saja
Gusti. Cipamali,pelabuhan paling timur di Brebes telah ditinggalkan dan
kini tinggal pelabuhan Cimanuk, yang masih dikuasainya.”
“Bagus,
bagus!” Sang Sultan memotong. “Aku menyuruhmu kemari untuk maksud itu,
untuk tugas Agama dan Kesultanan Demak. Aku memberi tugas engkau untuk
jadi penguasa Pelabuhan Cimanuk, di bawah kekuasaan Pajajaran. Caranya
terserah. Kemudian hari,pada saatnya Armada Laut Demak menyerang
Pajajaran,
Pelabuhan Cimanuk akan menjadi sangat penting. Aku memberi tugas ini
tidak disertai prajurit, melainkan engkau Dipanggil Sultan Demak
sendiri. Apa engkau mengerti?
”“Gusti,” jawab Wiralodra: “dengan segala kemampuan hamba, tugas akan hamba laksanakan. Hamba mohon do’ a restu!”
“Wira!”
berkata Sang Sultan, “Ingat! Tidak boleh ada yang tahu mengenai
tugasmu,kecuali tentu saja aku akan memberi tahu Sultan Caruban, Syarif
Hidayatullah.”
perjalanan Yang Panjang Keberangkatan
Aria Wiralodra dari Bagelen untuk mencari muara Sungai Cimanuk disertai
seorang pengiring yang bernama Ki Tinggil, dan digambarkan dalam serat
Babad Dermayu berbentuk Macapat Pupuh Kinanti, sebagai berikut:
Kaidinan
sampun kondur Saking Ibu Rama neki Sami medal toga waspa Andres mijil
den tangisi Kalayan kang pandakawan Kiai Tinggil wasta neki Medal ngidul
pinggir gunung Malebet dateng wanadri Lali turn miwah dahar Apan dereng
antuk warti Cimanuk kang den pilala Ning pundi panggenan kali..
Lebih dari setahun Aria
Wiralodra dan Ki Tinggil merambah hutan belukar, maka pada suatu hari
sampailah di tepi sungai yang sangat lebar. Airya deras bergelombang,
mengalir ke arah utara.Sambil duduk di batu memandang arus air,Wiralodra
berbincang dengan Ki Tinggil.“Paman! Aku sangsi apakah ini sungai
Cimanuk atau bukan, tetapi aku menduga tanah di sini bekas kebun atau
masih menjadi milik orang.Lihat ada banyak pohon dukuh dan
manggis.”“Raden benar, semoga kita bertemu dengan pemiliknya atau siapa
saja yang bisa ditanya.”Belum habis Ki Tinggil bicara, tiba-tiba
terdengar sayup-sayup suara orang bersenandung Pupuh Kinanti.:
Punika
Kali Citarum Karawang bagian neki Sampun kalintang pan tebah Kedah
wangsul malih kaki Amesisir lampah dika Ngeler ngetan lampah neki..
Aria
Wiralodra tidak dapat menangkap kata-kata tembangnya, tetapi gembira
karena akan bertemu seseorang. Maka cepat-cepat dia berdiri sambil
menepuk Ki Tinggil, katanya:
“Paman! Suara itu datang dari arah sana,”
dengan
diikuti oleh mata Ki Tinggil ditunjuknya sisi hutan yang agak ke
pinggir sungai. Dugaan Aria Wiralodra tidak meleset, karena tepat dari
balik semak-semak yang baru ditunjuknya itu, tiba-tiba muncul seorang
tua yang langsung mendatanginya. Maka tanpa pikir panjang Aria Wiralodra
bergegas menyambut.
Disalaminya orang tua itu sambil berkata :“Sampurasun wahai Kakek, tolonglah kami !”
Orang
tua itu tersenyum dan dengan isyarat tangannya Aria Wiralodra
dipersilakan duduk di bebatuan yang agak lebar. Setelah menyalami Ki
Tinggil, diapun duduk di sisi Aria
Wiralodra.Dengan tidak sabar,
kembali Aria Wiralodra berkata: “Kakek, kami pengembara dari Bagelen
Nagari, telah lebih setahun menjelajahi hutan belantara mencari Sungai
Cimanuk. Akhirnya kami sampai di sini bertemu dengan kakek, manusia
pertama yang kami jumpai selama perjalanan. Dapatkah Kakek
memberitahukan apakah sungai ini yang bernama Cimanuk?”
Perjalanan
Yang Panjang Kembali sang kakek tersenyum, setelah berdehem baru
menyahut. “Cucuku! Engkau bertanya padaku tentang sungai ini? Inilah
sungai Citarum, termasuk wilayah Karawang.Sungai Cimanuk yang engkau
cari, telah jauh terlampaui. Engkau berdua harus kembali ke timur dan
ambilah jalan pesisir utara!”Selesai ucapan katanya yang terakhir Sang
kakek menghilang Aria Wiralodra tertegun,
katanya: “Paman, aku
menyesal belum sempat tanya nama dan asalnya.”Ki Tinggil menyahut gugup:
‘ Telah paman duga sejak kehadirannya, tetapi apapun yang terjadi kita
beruntung mendapat warta. Oleh karena
itu Raden, sebaiknya kita
segera berangkat!”Aria Wiralodra mengiyakan, maka berangkatlah mereka
kembali ke timur arah utara, merambah hutan belukar, Dua bulan
telah berlalu, kemudian ketika kelelahan sampai pada puncaknya, secara kebetulan
mereka menjumpai sumber air. Maka berkata Aria Wiralodra: “Paman. kita berhenti dahulu,
aku lihat ada sumber air jernih.
”Ki Tinggil mengangguk lesu: “Benar,
silahkan Raden mandi dahulu.” Sementara Aria Wiralodra mandi, Ki Tinggil
telah tertidur di bawah pohon….
(di kemudian hari tempat ini bernama
Pasir Ucing, dengan sumber airnya yang dikeramatkan orang). Seminggu
lamanya mereka melepaskan lelah, kemudian melanjutkan perjalanan...
pada suatu hari sampailah mereka pada
tempat yang terbuka. Di luar dugaan tanah tersebut memang dibuka orang.
Di sana-sini terdapat pohon-pohon roboh bekas tebangan kapak. Maka
bukan main girangnya Aria Wiralodra.
Katanya kepada Ki Tinggil: “Paman kita akan ketemu orang. Lihat padi gogo,palawija, dan pohon tebu.Mari kita cari peladangnya!”
‘Tunggu!” sahut Ki Tinggli sambil melompat ke arah sebatang pohon dan memanjatnya.
“Ha! sambungnya kemudian, “lihatlah
dia orangnya, lebih ke utara!” Sementara itu nampaknya kedatangan mereka
telah diketahui si peladang, karena ketika Aria Wiralodra dan Ki
Tinggil baru akan mencari jalan, peladang itu telah tiba di hadapannya,
sambil berseru: “Kisanak, selamat datang di daerahku!”
“Terima Kasih!” sahut Aria Wiralodra
cepat sambil mengulurkan tangannya bergantian dengan Ki Tinggil.Hendak
ke manakah Kisanak sampai kesasar kemari? Mengapa cuma tinggal berdua?
Ada malapetaka? Mana sisa rombongan yang lain?
”Sang Peladang bertanya tidak sabar.
“Kanda!”sahut Aria Wiralodra, “kami hanya berdua,namaku Wiralodra dan
ini Paman Ki Tinggil,kami berasal dari Bagelen.”
“Tunggu!” sela Sang Peladang. “Dari Bagelen?Apa ada hubungan dengan Tumenggung Wirakusuma dari Banyuurip?”
“Itulah kakak kakekku,” sahut Aria Wiralodra tidak ragu-ragu. Sang peladang tampak
terkejut
lalu merangkul sambil berkata terharu: “Adikku! Engkau saudara
misanku.Namaku Wirasetro. Marilah ke pondokku.berceritalah di sana.”Di
pondoknya, Raden Wirasetro menjamu
tamunya luar biasa. Nasi huma yang wangi,panggang ayam hutan dan sayur bunga tebu,
dihidangkan.
Raden Wirasetro membuka pembicaraan dengan menguraikan perjalanannya
bersama rombongan sampai ke daerah ini, yang bernama Pegaden (yang
dikemudian hari Raden Wirasetro menurunkan dalem-dalem Pegaden),
kemudian iaberkata:
“Nah sekarang berceritalah adikku! Mengapa engkau sampai di sini?”
Kini giliran Aria Wiralodra menguraikan suka-duka perjalanannya. “Oleh karena itu,” kata Ki
Tinggil, “Paman mengusulkan agar kita tinggal yang lama di sini, mau mengembalikan daging
paman yang pergi, yang rupanya tidak krasan diisi dedaunan saja.”
“Bagus!” sahut Raden Wirasetro, kebetulan di rombonganku ada seorang tukang masak,
besok akan kuhidangkan nasi gurih, acar ikan tambak, dendeng rusa dan sayur asin.”
Sementara Raden Wirasetro bicara, Ki Tinggil mulutnya komat-kamit dan tangannya
mengusap-usap
perut. Maka hampir bersamaan ketiganya terlawa lebar.Setelah sebulan
lamanya, maka pada pagi hari,Aria Wiralodra dan Ki Tinggil minta diri
sambil berjanji akan berkunjung kembali ke Pegaden pada suatu ketika,
apabila maksudnya telah tercapai. Lalu mereka
pun berangkat.Dengan arah ke timur,
kembali Aria Wiralodra dan Ki Tinggil memasuki hutan belantara dengan
segala penghuninya. Akhirnya sampailah di tepi sungai yang lebar.
Maka berkata Aria Wiralodra: “Paman kuduga inilah sungai Cimanuk!”
Ki Tinggil membenarkan, katanya: “Baik Raden,semoga kita dapat segera menjumpai orang.
Mari kita menyusuri tepi sungai ini ke utara,ke hilir.”
Namun
alangkah kecewa mereka karena setelah berhari-hari perjalanan tidak
seorangpun manusia yang dijumpai, bahkan setelah lebih dari satu bulan
lamanya. Baru setelah Ki Tinggil mengeluh, sampailah mereka ke suatu
tempat dimana ada tanda-tanda daerah itu dihuni manusia dan benar
demikian. Tidak sampai seratus depa ke depan, tampaklah kebun yang
subur. Aneka tanaman palawija tumbuh bersama: ubi emas,jagung, timun,
lobak dan cabe ditanam berbaris berselang seling.Setelah yakin tidak ada
di kebun, lalu diikutinya jalan setapak yang menuju ke tepi sungai,
dugaan mereka tidak salah, dekat pada tepi sungai ada wisma kecil yang
indah dikelilingi bunga srengkuni; di kanan -kiri pintu wismanya ada
bunga tongkeng ; agak ke muka lagi berjajaran bunga mandakaki.
Dan alangkah terkejutnya Aria
Wiralodra dan Ki Tinggil karena baru setelah dekat sekali tampaklah
pemiliknya yang sedang duduk sambil menganyam bubu penangkap ikan ….
Orangnya telah tua, tetapi tubuhnva
tampak tegap kuat dengan otot-otot yang menonjol. Sudah pasti kedatangan
mereka telah diketahui, maka tak ayal lagi segera Aria Wiralodra
bersalam: “Sampurasun Kakek,bolehkah kami datang berkunjung?”
Setelah sekian lama tidak ada sambutan,kembali Aria Wiralodra bersalam:
“Kulonuwun Kakek, aku mohon sukalah
bermurah hati,ingin kutanyakan wilayah ini dan nama sungainya.”Di luar
dugaan si kakek yang tetap duduk menjawab dengan bengis: “Hai dua ekor
babi,mau apa kau ini, baru datang sudah berani memeriksa. Apakah tidak
tahu inilah aku Si Kaki Tani Malihwarni, pemilik kebun ini. Apa kau
berdua mau coba merampokku?”
Kemasygulan Aria Wiralodra dimaklumi Ki Tinggil, maka cepat- cepat katanya,
“Raden! Pamanpun baru menjumpai orang
tidak mengenal sopan santun macam ini, tetapi hendaknya kita maklum
karena dia manusia hutan.”
Sadar akan hal ini, Aria Wiralodra
melangkah lebih dekat sambil berkata: “Wahai Kakek,tolonglah kami, jauh
dari Bagelen Nagari.Tidak lain yang kami cari ialah Sungai Cimanuk. Bila
benar ini Sungai Cimanuk,izinkanlah kami turut berkebun. Di mana saja
kami diperbolehkan?”
Kembali Kaki Tani Malihwarni membentak:
‘Tidak sudi aku menolong, aku cukup punya rakyat, lekas mampuslah kau berdua , tak sudi
aku melihatmu!”
Aria Wiralodra tidak dapat menahan amarahnya, maka serunya:
“Hai
tua bangka, orang macam apa engkau ini,tidak punya hati baik mengenai
kebunmu ini sekarang aku rampas, cobalah engkau melawan!”
Dengan
beraninya Kaki Tani Malihwarni berdiri bertolak pinggang, kemudian
berteriak lebih nyaring sambil menunjuk, “Aku tidak takut anak kecil
macam kau ini, semula kau tanya daerah ini, lalu tanya sungai akhimya
kau akan merampas semuanya, benar-benar berandal!”
Segera Aria Wiralodra meloncat maju dan dengan gerakan yang cepat menyambar pergelangan tangan Malihwarni yang masih menunjuk.
Tetapi ternyata Si Tua cukup
gesit.Mendapat serangan kilat yang demikian itu,tangannya dilempar ke
samping kanan, diikuti putaran badannya, sedang kaki kirinya dari
samping menendang ke leher Aria Wiralodra.Sementara mengagumi kelincahan
lawannya,Aria Wiralodra segera merendahkan diri dan dengan meng-gunakan
ujung-ujung jari tangannya menyerang pinggang lawan.
Insyaf tendangannya gagal dan
pinggangnya terbuka,Malihwarni lompat ke samping. Kaki kanannya ditekuk
rendah ke muka, tangan kiri melindungi pinggangnya sedang tangan
kanannya langsung memukul muka lawan,tetapi dengan mudah pukulan ini
dapat ditangkis Aria Wiralodra dengan kibasan ke luar tangan kiri. Tidak
sabar Malihwarni melanjutkan serangannya. Kaki kirinya menendang ke
perut lawan dengan sepenuh tenaga. Aria Wiralodra tidak menghindar,
kedua tangannya menyilang,mengacip pergelangan kaki Sang Malihwarni,
menangkapnya
dan menyentakkannya ke atas,membuat seluruh tubuh Malihwarni melayang
di udara, Aria Wiralodra menunggu jatuhnya Malihwarni ke tanah yang
tidak kunjung tiba...
Wiralodra dari heran menjadi
terkejut,karena Sang Malihwarni menghilang . Wismanya juga menghilang .
Kebunnya juga menghilang,daerah itu menjadi hutan.Aria Wiralodra cepat
menguasai diri dan segera menyadarkan Ki Tinggil yang terpana. Seperti
dugaannya, kemudian sayup-sayup terdengar kembali orang bersenandung
Pupuh Kinanti :
yang lirih membelai ….
Eh Wiralodra putuku Mbok
ora weruh ing mami Buyut Sidwn jeneng ingwang Pan dudu Cimanuk kali Lan
pinasti kersaning Yang Besuk dadi desa kal-ci Pamanukan ingkang dusun
Cipunegara kang kali Enggal sira anyabranga Mengko lamun sira manggih
Kidang – mas inten kang soca Enggal burunen pan kaki Ing
pundi icale ivau Yaitu Cimanuii kali Benjang lamun kaki babad Poma kaki wekas mami Tetapaha qja nendra Pasti turun Ira mukti
Ingat akan pengalamannya di
tepi Sungai Citarum, Aria Wiralodra memusatkan pendengarannya kata demi
kata hingga dapat memaklumi maksudnya. Maka katanya pada Ki Tinggil:
“Paman, dua kali kita telah ditolong Buyut Sidum. Pertama di tepi sungai
Citarum dan kini di tepi sungai Cipunegara. Semoga kita segera dapat
menjumpai kidang yang dimaksud.”
“Raden!” sahut Ki Tinggil sambil bangkit,“Marilah kita berangkat!”
Dalam perjalanan, Aria Wiralodra menebak-nebak siapa Buyut Sidum itu. Tetapi tidak dapat mengingatnya. Maka katanya dalam hati:
“Orang baik itu tidak ingin dikenali, maka biarlah demikian.”
Buyut
Sidum atau Ki Sidum, nama aslinya adalah Ki Purwakali dan sebutannya
Kidang Pananjung. Dia adalah salah seorang pengasuh Prabu Siliwangi. Dan
seperti pengasuh yang lain adalah orang bijak yang mumpuni (sakti).
Setelah mengundurkan diri dari Istana
Pakuan(Pajajaran), dia kemudian mengembara ke bekas Kerajaan
Tarumanagara (sungai Citarum).Di saat mudanya Ki Sidum punya saudara
seper-guruan yang bemama Gagak Wirahandaka yang kemudian menjadi
Tumenggung di Majapahit. Gagak Wirahandaka adalah kakek Aria
Wiralodra.Setelah mengamati dan tahu bahwa Aria
Wiralodra cucu
saudara seperguruannya, Ki Sidum menganggap sebagai cucunya juga,sesuai
kaidah perguruan. Maka dengan caranya sendiri dia ingin memberi petunjuk
kepada sang cucu menuju sungai Cimanuk.Lontar Babad Darma Ayu ( Abad XV
M ) memberi penjelasan sebagai berikut:
Pamoali sakehing iku Buyut Sidum tiang karihin Kidang Pananjung kan asma Pajajaran
asli neki Tumenggung Sri Baduga Kang katah jasa hireki
Pada hari ketiga, Aria Wiralodra dan
Ki Tinggil sampai di daerah yang terbuka, pohon-pohonan jarang dan
rendah bergerumbul di sana sini. Mereka dapat memandang jauh-jauh sambil
mengharap munculnya kidang yang berbulu emas dan bermata intan ….
Tetapi berlawanan dengan harapannya ,
tiba-tiba saja muncul harimau belang yang sangat besar yang disebut
macan Lodaya, dan tampak sangat garang. Ki Tinggil terkejut sambil
berteriak: “Raden! Ke mana kita menghindar?”
“Paman!” tukas Aria Wiralodra. “Akan
aku tanya dahulu.”Ditatapnya sang raja hutan itu sebentar,kemudian
katanya: “Hai Kiyai! Apa maksudmu menghalangi perjalanan kami ?”
Harimau itu menggeram, kedua kakinya menggaruk-garuk tanah dengan kukunya dan
tiba-tiba saja , dengan sebat lompat menerkam Aria Wiralodra. Aria Wiralodra telah siaga ,
sambil
menggeser ke kiri, kaki kanannya menendang lambung si Loreng. Maka tak
ayal lagi harimau itu mental dan jatuh di balik belukar.
Ki Tinggil
yang sementara itu sudah bersenjata sebatang kayu, mengejarnya. Di luar
dugaan Ki Tinggil menghadapi bahaya lain. Dalam jarak dua depa di balik
belukar tadi baru terlihat
olehnya seekor ular besar dan langsung
meluncur ke arahnya. Tetapi Ki Tinggil cukup gesit, batang kayunya
diputar dan jatuh dengan derasnya di kepala ular yang segera
terpelanting ke dalam sungai yang lebar.
Ki Tinggil melompat mundur dan
menancapkan kakinya ke samping Aria Wiralodra, katanya gugup: “Raden!
Darimana datangnya sungai yang besar itu ?”
Aria Wiralodra tidak
menjawab, berfikir sejenak, kemudian diambilnya Sang Cakra Udaksana dan
dibuka sarungnya. Kemudian dengan ayunan keras Sang Cakra cepat meluncur
menerjang permukaan air. Hasilnya telah dapat diduga, sungai itu lenyap
dan kembali menjadi belukar. Aria Wiralodra bergegas memungut
senjatanya.Belum sempat Aria Wiralodra berpikir , tiba-tiba muncul
seorang wanita muda yang cantik luar biasa. Dan dengan tidak ragu-ragu
berlenggang mendekati Aria Wiralodra, sambil bersenandung Pupuh Sinom:
Pan kola maksih hakenya
Dereng anglapahi laki
Larawana wasta kula
Mangga jandika turuti
Sakarsa sampean niki
Kula sanggup bade tulung
Kasugian kadigjayan
Arsa kula dipun kawin
Mangga raden tampinen nyeti kaula
Setelah dekat dan berhadapan, si
mojang berkata lembut: “Aduhai Sang Perkasa,kujumpai tuan di sini, di
rimba, mau mencari apa? Namaku telah kukatakan tadi , Larawana,masih
gadis, belum pernah bersuami .Terimalah lamaranku, jadilah suamiku,
nanti akan kupenuhi semua yang tuan inginkan.”
Ki Tinggil cepat bertindak disentuhnya Aria Wiralodra sambil berkata, “Raden, ingatlah di mana kita kini sedang berada.”
“Aku sadar Paman,” sahut Aria Wiralodra dan sambil menghadap Larawana dia menyahut:
“Nyai!
Engkau gadis ayu, sangat cantik ,membuat jantungku berdebar sampai ke
hati. Hanya saja tidaklah pantas, bagi wanita secantik engkau dan masih
gadis pula, tinggal di dalam hutan seorang diri. Mengenai lamaranmu, aku
menyesal menolaknya, karena masih panjang perjalananku. Perkara kawin
bagiku, kelak kalau sudah mulia.”
“Ah!” jawab Larawana kecewa. “Apa
yang tuan katakan, kalau sudah mulia, pada saat itu sudah tidak rupawan
lagi, sudah tidak perkasa lagi, sudah jadi kakek-kakek.” Kemudian suara
Larawana meninggi,Sambungnya: “Kalau sudah demikian aku tidak mau, aku
mau sekarang saja.”
“Menyesal, cab. ayu,” sahut Aria Wiralodra.“Jawab-anku sudah kuucapkan.”
Larawana
marah, mukanya bersemu dadu,katanya geram: “Baru kujumpai, laki-laki
sesombong engkau, akan kutangkap engkau berdua, hai Wiralodra!”
Kata-kata Larawana diikuti tindakannya. Tangan kanannya meraih ke
tenggorokan, tangan kirinya meluncur ke ulu ati, sedangkan kakinya
menyiku, membuat kuda-kuda.
ia Wiralodra telah siaga,
serangan ini ditangkis dengan kibasan tangan kiri ke luar,sedang tangan
kanannya menangkap pergelangan tangan kiri Nyi Larawana. Tidak terduga
tangan Larawana licin seperti belut.Maka dengan sentakan kuat Larawana
melepaskan diri dengan melompat mundur.Begitu kakinya menjejak tanah
lalu maju lagi dengan cepat dan tangan kanannya berkelebat ke arah
kepala lawan.
Aria Wiralodra menghindar dengan menundukan kepala sambil mementang kedua tangannya.
Kesempatan ini tidak disia-siakan
Larawana. Kelima jarinya yang berkuku tajam meluncur ke arah perut. Aria
Wiralodra cepat miring sambil maju merapat, dan bagaikan kilat Aria
Wiralodra menangkap pinggang Larawana dari samping . Bukan main
terkejutnya Larawana, segera kedua kakinya diangkat dan berbareng
menendang dada lawannya sekuat tenaga.Akibatnya adalah pertunjukan yang
indah.Sementara Aria Wiralodra teguh pada kuda-kudanya, Larawana melesat
belasan depa ke belakang, setelah berputar sekali di udara,Larawana
menginjakkan kakinya dengan ringan di tanah bagaikan bidadari turun dari
kayangan. Di tangan kirinya tergenggam sebuah busur dan di tangan
kanannya anak panah yang berantai emas, lalu berseru
lantang:
“Hai Wiralodra, lihatlah senjata ranteku ini,akan kuikat engkau kini!”
Sementara
ia bicara, busurnya telah dipentang kemudian melesatlah sang anak
panah.Laksana besi beradu dengan baja, letupan bunga api memercik, anak
panah itu patah terpental dari dada Aria Wiralodra.
“Ah Raden. Aria
bagus yang Gunasakti,” kata Larawana lembut. “Aku telah bertekad mati
bila tidakjadi sejoli, maka walau aku tidak dapat menangkapmu, belum
tentu engkau dapat mengalahkanku. Oleh karena itu cobalah membalas
dengan senjata pula. Aria Wiralodra mengambil Cakra Udaksana.Sementara
Ki Tinggil menghampirinya seraya berkata: “Raden, jangan ragu-ragu, yang
telak,jangan sampai meleset, perjalanan kita masih belum ada
ketentuan.”Setelah mengangguk , Aria Wiralodra mementang cakra, kemudian
melesat menerjang Larawana , kena ketebas lalu lenyap….
Beberapa saat lamanya keadaan jadi sunyi. Aria Wiralodra belum
mengetahui bahwa Larawana hilang. Pada saat-saat terakhir tadi dia
memejamkan matanya, karena betapapun dia maklum akan diri Larawana,
tetapi wujudnya adalah wanita, dia tidak sampai hati untuk menyaksikan
kehancurannya.
Maka betapa dia terkejut ketika membuka matanya, bukan
karena hilangnya Larawana yang telah dia pastikan, tetapi munculnya di
tempat tersebut seekor kijang berbulu kuning keemasan dengan sinar
matanya berkilauan bagaikan intan.“Paman, itulah Kidang Kencana!”
serunya gembira pada Ki Tinggil. Lalu cepat-cepat dia mengambil
cakranya. Kemudian ditolehnya Ki Tinggil yang tampak sedang
menepuk-nepuk perutnya kegirangan, sambil berteriak: “Tak salah lagi,
memang itulah dia!”
Merekapun bergegas membuntuti sang kidang yang
lari ke arah timur.Perburuan ini memakan waktu berminggu-minggu. Walau
demikian kelelahan tidak terasa karena sang kidang mengerti benar bila
pemburunya memerlukan istirahat . Pada saat-saat itu sang kidang
merebahkan diri menunggu pada jarak yang cukup dekat ….
Pada suatu
hari yang cerah, tiba-tiba Kidang Kencana menghilang dan tidak sampai
setengah hari perjalanan tampaklah sebuah sungai yang besar. Airnya
deras mengalir dari selatan ke utara. Tidak diragukan lagi itulah Sungai
Cimanuk. Setelah puas memandangi sungai. Aria Wiralodra dan Ki Tinggil
merebahkan diri di bawah pohon Kiara. Angin lembut membuat rasa
mengantuk dan dalam keadaan setengah sadar kembali terdengar senandung
yang tidak asing lagi, suara Ki Buyut Sidum, hanya berganti Pupuh Sinom:
Eh, putulcu Wiralodra
Iki bogus apan kali
Cimanuk kang den pilala
Wis bagjamu kaki benjing
Ing turun-turun sireki
Karsane Yang Maha Agung
Mapan oleh kamuktian
Wis katrima ing Yang Widi
Age nglilir Ki Tinggil lan Wiralodra
Secara serentak Aria Wiralodra dan Ki
Tinggil tersadar, lalu bersama-sama sujud syukur memanjatkan puji pada
Tuhan Yang Maha Esa.
“Paman!” berkata Aria Wiralodra kemudian kepada Ki Tinggil, “di sinilah rupanya tanah yang dijanjikan itu . Alangkah bahagiaku.”
“Raden!”
sahut Ki Tinggil. “Pertolongan Ki Sidum luar biasa, paman pernah
mendengar dari eyangmu Gusti Sepuh Wirahandaka perihal saudara
seperguruannya yang mengabdi ke Kerajaan Pajajaran, sedangkan beliau ke
Majapahit. Paman menduga dialah orangnya.Maka itu Paman nanti akan
menanyakannya.
Paman hafal ciri-ciri Ki Sidum. Sekarang Raden, marilah kita cari tempat untuk kita menetap.”
Setelah melihat kesana-kemari, akhirnya terpilih tanah yang datar dan luas di sebelah barat sungai (sekarang desa Sindang).
bersambung...