Almarhum Rosihan Anwar bukan hanya terkenal dengan julukan
“wartawan tiga zaman”, tetapi beliau diakui pula sebagai budayawan,
sastrawan, dan juga sejarawan. Tulisannya mengenai sejarah dapat kita
baca dalam sejumlah buku, baik yang khusus tentang sejarah maupun yang
bersifat “bunga rampai” serta dalam berbagai media. Salah satu
tulisan beliau yang telah saya simpan lebih dari 23 tahun adalah
sebuah kliping koran Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, tertanggal
15 Maret 1988 pada halaman Opini dengan judul “Kerajaan Islam
Samudera-Pasai”. Penulis lain yang menyinggung Samudera Pasai, antara
lain, Prof Dr Hamka, Solichin Salam, H M Zainuddin, dan Prof A Hasjmy.
Namun, sebagian penulis Indonesia yang lain, sama sekali tidak
menyebut lagi Kerajaan Samudra-Pasai ketika mereka meriwayatkan
kehidupan Wali Songo.
Prof Dr Hamka dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Melayu dan dicetak di Singapura menyebutkan, “Banyaklah putera Pasai meningggalkan kampung halamannya, terutama sejak dua kali serangan yang menyedihkan, pertama dari Siam, kedua dari Majapahit. Dan akhirnya di tahun 1521 diserang pula oleh Portugis. Kerajaan Majapahit yang keras mempertahankan kerinduannya itu, sehingga menyebabkan negeri Pasai terpaksa mengakui takluk ke bawah naungannya, menyebabkan beberapa anak Pasai pergi merantau ke tanah Jawa sendiri, terutama ke Jawa Timur dan menetap di sana. Jika negerinya sendiri telah terbakar, dibakar oleh suatu kekuasaan besar, anak Pasai itu telah pergi ke hulu kekuasaan itu, ke daerah kekuasaan Majapahit sendiri dan mengembangkan pula cita-citanya di sana. Dengan suatu ajaran rohani yang murni, Majapahit telah mereka perangi pula, bukan dengan senjata. Apa yang mereka tanamkan, itulah kelaknya yang akan besar dan kukuh, menjelma menjadi Kerajaan Islam Demak.
Seorang di antara anak Pasai itu ialah Falatehan, atau Fatahillah, atau bernama juga Syarif Hidayatullah, datang ke Jawa sebab negerinya diserang Portugis (1521). Mulanya menjadi panglima perang dari Kerajaan Islam Demak untuk menaklukkan Jawa Barat, Kerajaan Galoh dan Pajajaran, dan akhirnya menjadi pendiri daripada dua Kerajaan Islam sesudah Demak, iaitu Bantam dan Cirebon. (Baca buku karya Prof.Dr. Hamka yang sudah diterjemahkan ke bahasa Melayu, “Sejarah Umat Islam”, edisi baru, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 2005, halaman 708 - 709).”
Masih dalam buku yang sama, pada halaman 745 dikatakan, “Tersebut perkataan, bahwasanya raja negeri Campa itu beranak dua orang perempuan. Yang tertua bernama Darawati diambil istri oleh Angkawijaya Raja Majapahit. Itulah yang lebih terkenal dengan sebutan Puteri Campa itu. Dan anak perempuannya yang seorang lagi kawin pula dengan seorang penyair Islam dari Tanah Arab, maka mendapatlah putera Raden Rahmat. Kalau benar bahwa Campa itu bukan yang di Annam Indo-China, tetapi di Aceh, yaitu negeri Jeumpa, sudah tidak pelak lagi bahwasanya Raden Rahmat, adalah keturunan Arab datang dari Aceh. Dikirimlah Raden Rahmat itu oleh nenek Raja Campa (Jeumpa) ke tanah Jawa dan singgah dua bulan di Palembang, Lalu diajaknya Aria Damar; Adipati Majapahit memeluk Islam. Aria Damar memeluk Islam dengan sembunyi-sembunyi. Kemudian Raden Rahmat meneruskan perjalanan ke Jawa”.
Solichin Salam dalam bukunya “Sekitar Wali Sanga”, Penerbit Menara Kudus, Semarang, 1974, juga mengakui bahwa sebagian wali itu punya asal-usul dari Kerajaan Samudera-Pasai. Penulis lain, Umar Hasyim, dalam bukunya “Sunan Giri”, Penerbit Menara Kudus, Semarang, 1979, di halaman 21 menyebutkan, “Maulana Ishak diberi tugas oleh Zawiyah Cot Kala untuk menyebarkan Islam ke Jawa. Beliau kawin dengan salah seorang putri Blambangan. Dari perkawinan itu beliau dikaruniai seorang putera yang bernama Raden Paku yang kemudian bergelar Sunan Giri”.
Kalau merujuk kepada pendapat para pengarang tersebut di atas serta beberapa tulisan lepas lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa enam orang dari sembilan wali (wali songo) yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa berasal dari Aceh. Beliau-beliau itu adalah: (1) Maulana Malik Ibrahim, (2) Malik Ishak (Sunan Giri), (3) Ali Rahmatullah/Raden Rahmat (Sunan Ampel), (4) Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang), (5) Masaih Munad (Sunan Drajat), dan (6) Syarief Hidayatullah/Fatahillah (Sunan Gunung Jati).
Beberapa sumber menyebutkan, pada masa Kerajaan Samudra-Pasai di bawah pemerintahan Sultan Zainal Abidin Bahian Syah (± 797 H/1395 M), sebuah tim dakwah Islam yang dipimpin Maulana Malik Ibrahim telah dikirimnya ke pulau Jawa
Rosihan Anwar juga berpendapat demikian. Pada peringatan Hari Israk Mikraj tahun 1988, Rosihan Anwar menjelaskan lewat TVRI-Jakarta dan beberapa suratkabar, antara lain, sebagai berikut: “Masuknya Islam ke Jawa adalah karena usaha juru dakwah dari Pasai. Dari sembilan wali (wali songo) yang menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke 14, 15 dan 16 Masehi, empat wali berasal dari Samudra Pasai, yaitu Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Drajat dan Sunan Bonang. Wali pertama adalah Malik Ibrahim yang wafat dan dimakamkan di Gresik tahun 1419; beliau seorang saudagar Persia, berasal dari Gujarat, India.
Akan tetapi, wali kedua yang muncul pada pertengahan abad ke-15 bernama Sunan Ampel atau Raden Rahmat, yang makamnya terdapat di Kampung Arab di Surabaya, berasal dari Pasai. Beliau wafat kira-kira tahun 1481. Kedua putranya, yaitu Sunan Drajat dan Sunan Bonang yang kemudian bermukim di Tuban dan juga menjadi wali, pun berasal dari Pasai.
Terakhir dari Wali Songo adalah Sunan Gunung Jati, juga dikenal sebagai Fatahillah atau Falatehan, lahir di Basma, Pasai, tahun 1490. Setelah menjadi wakil kerajaan Demak di Banten, Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon pada tahun 1552, beliau wafat tahun 1570.
Dewasa ini sudah semakin langka para penulis sejarah Islam di Indonesia yang menghubungkan kisah Wali Songo dengan negeri Samudra-Pasai di Aceh. Menurut kebanyakan penulis “sejarah” sekarang, agama Islam yang menyebar ke seluruh nusantara tidaklah mulai bergerak dari Aceh, melainkan dari Kerajaan Campa (di negara Kamboja - sekarang). Oleh hal demikian, maka hilanglah “jaringan Aceh” sebagai tempat mula bertapaknya Islam di Indonesia seperti yang diyakini selama ini. Padahal, menurut pengarang tempo dulu, negeri Campa adalah Kerajaan Jeumpa yang terletak di wilayah Bireuen, di Aceh sekarang; bukan kerajaan Campa yang terdapat di negara Kamboja.
Sebuah buku terbaru tentang Wali Songo, yang berjudul “Sejarah Walisongo - Misi Pengislaman di Tanah Jawa” penerbit Graha Pustaka, Yogyakarta, dapat menjadi bukti `terbaru’ pula bagi kita, bahwa para penulis kisah Wali Songo dewasa ini sama sekali tidak menyinggung lagi Kerajaan Samudra-Pasai; ketika mereka mengisahkan riwayat Wali Songo. Buku ini ditulis oleh Budiono Hadi Sutrisno, seorang sarjana lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip)-UGM Yogyakarta yang amat produktif menulis berbagai buku. Ternyata buku “sejarah Wali Songo” ini menjadi buku best seller.
Buku ini juga tidak sekali pun menyebut Kerajaan Samudra-Pasai sebagai tempat asal sebagian Wali Songo. Sebuah buku lain yang telah lama beredar, cetakan ke-4 terbitan Bandung (1996) “Seri Wali Songo” yang ditulis Arman Arroisi juga berpendapat serupa mengenai asal-usul wali songo. Karena buku ini ditulis berseri, maka setiap orang wali ditulis dalam sebuah buku khusus/tersendiri dengan buku berbentuk lebar dengan huruf dan ilustrasi gambar yang besar-besar. Pada buku yang dikhususkan kepada anak-anak ini, Sunan Ampel disebutkan berasal dari negeri Campa di Kamboja. Singkat kata, baik buku bacaan anak-anak maupun buku bacaan orang dewasa yang menyangkut kisah Walisong dewasa ini; semuanya telah memberi `talak tiga’ kepada kerajaan Samudra-Pasai.
Padahal dalam buku “Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa”, Grafiti Pers, Jakarta, 1986, disebutkan bahwa Sunan Ampel berasal dari Aceh. Buku yang semula berbahasa Belanda dan telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia; ditulis oleh dua sejarawan Belanda, Dr. H. J. De Graaf dan Dr. TH. G. TH. Pigeaud.
Mengenai asal-usul Sunan Ampel dari Campa, kedua sejarawan Belanda ini tidak menganggap negeri Campa yang berada di negara Kamboja, tetapi negeri Jeumpa yang terletak di wilayah Bireuen sekarang. Begitulah. ‘Arus sejarah’ yang berkembang kini ternyata telah menenggelamkan sejarah Kerajaan Samudra-Pasai” dari jalur riwayat Wali Songo di Tanah Jawa.
Sebelum masalah asal-usul Wali Songo dari Aceh semakin gelap, alangkah baiknya digerakkan suatu upaya untuk menelusuri kembali sejarah wali-wali itu mulai dari Aceh sampai ke pulau Jawa. Sebagai langkah awal saya mengajukan beberapa saran. Pertama,
agar dilakukan cetak ulang dan disebarluaskan semua buku yang pernah mengaitkan sejarah Wali Songo dengan negeri asal mereka. Kedua, mendesak pihak berwenang untuk mengadakan Seminar Internasional tentang Sejarah Wali Songo, yang dilangsungkan di Banda Aceh. Keempat, memproduksi film dokumenter mengenai kisah profil Wali Songo yang isinya menceritakan asal mula kehidupan sang wali di Kerajaan Samudra-Pasai.
T A Sakti
Artikel Sama namun Beda Waktu Penerbitan
Prof Dr Hamka dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Melayu dan dicetak di Singapura menyebutkan, “Banyaklah putera Pasai meningggalkan kampung halamannya, terutama sejak dua kali serangan yang menyedihkan, pertama dari Siam, kedua dari Majapahit. Dan akhirnya di tahun 1521 diserang pula oleh Portugis. Kerajaan Majapahit yang keras mempertahankan kerinduannya itu, sehingga menyebabkan negeri Pasai terpaksa mengakui takluk ke bawah naungannya, menyebabkan beberapa anak Pasai pergi merantau ke tanah Jawa sendiri, terutama ke Jawa Timur dan menetap di sana. Jika negerinya sendiri telah terbakar, dibakar oleh suatu kekuasaan besar, anak Pasai itu telah pergi ke hulu kekuasaan itu, ke daerah kekuasaan Majapahit sendiri dan mengembangkan pula cita-citanya di sana. Dengan suatu ajaran rohani yang murni, Majapahit telah mereka perangi pula, bukan dengan senjata. Apa yang mereka tanamkan, itulah kelaknya yang akan besar dan kukuh, menjelma menjadi Kerajaan Islam Demak.
Seorang di antara anak Pasai itu ialah Falatehan, atau Fatahillah, atau bernama juga Syarif Hidayatullah, datang ke Jawa sebab negerinya diserang Portugis (1521). Mulanya menjadi panglima perang dari Kerajaan Islam Demak untuk menaklukkan Jawa Barat, Kerajaan Galoh dan Pajajaran, dan akhirnya menjadi pendiri daripada dua Kerajaan Islam sesudah Demak, iaitu Bantam dan Cirebon. (Baca buku karya Prof.Dr. Hamka yang sudah diterjemahkan ke bahasa Melayu, “Sejarah Umat Islam”, edisi baru, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 2005, halaman 708 - 709).”
Masih dalam buku yang sama, pada halaman 745 dikatakan, “Tersebut perkataan, bahwasanya raja negeri Campa itu beranak dua orang perempuan. Yang tertua bernama Darawati diambil istri oleh Angkawijaya Raja Majapahit. Itulah yang lebih terkenal dengan sebutan Puteri Campa itu. Dan anak perempuannya yang seorang lagi kawin pula dengan seorang penyair Islam dari Tanah Arab, maka mendapatlah putera Raden Rahmat. Kalau benar bahwa Campa itu bukan yang di Annam Indo-China, tetapi di Aceh, yaitu negeri Jeumpa, sudah tidak pelak lagi bahwasanya Raden Rahmat, adalah keturunan Arab datang dari Aceh. Dikirimlah Raden Rahmat itu oleh nenek Raja Campa (Jeumpa) ke tanah Jawa dan singgah dua bulan di Palembang, Lalu diajaknya Aria Damar; Adipati Majapahit memeluk Islam. Aria Damar memeluk Islam dengan sembunyi-sembunyi. Kemudian Raden Rahmat meneruskan perjalanan ke Jawa”.
Solichin Salam dalam bukunya “Sekitar Wali Sanga”, Penerbit Menara Kudus, Semarang, 1974, juga mengakui bahwa sebagian wali itu punya asal-usul dari Kerajaan Samudera-Pasai. Penulis lain, Umar Hasyim, dalam bukunya “Sunan Giri”, Penerbit Menara Kudus, Semarang, 1979, di halaman 21 menyebutkan, “Maulana Ishak diberi tugas oleh Zawiyah Cot Kala untuk menyebarkan Islam ke Jawa. Beliau kawin dengan salah seorang putri Blambangan. Dari perkawinan itu beliau dikaruniai seorang putera yang bernama Raden Paku yang kemudian bergelar Sunan Giri”.
Kalau merujuk kepada pendapat para pengarang tersebut di atas serta beberapa tulisan lepas lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa enam orang dari sembilan wali (wali songo) yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa berasal dari Aceh. Beliau-beliau itu adalah: (1) Maulana Malik Ibrahim, (2) Malik Ishak (Sunan Giri), (3) Ali Rahmatullah/Raden Rahmat (Sunan Ampel), (4) Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang), (5) Masaih Munad (Sunan Drajat), dan (6) Syarief Hidayatullah/Fatahillah (Sunan Gunung Jati).
Beberapa sumber menyebutkan, pada masa Kerajaan Samudra-Pasai di bawah pemerintahan Sultan Zainal Abidin Bahian Syah (± 797 H/1395 M), sebuah tim dakwah Islam yang dipimpin Maulana Malik Ibrahim telah dikirimnya ke pulau Jawa
Rosihan Anwar juga berpendapat demikian. Pada peringatan Hari Israk Mikraj tahun 1988, Rosihan Anwar menjelaskan lewat TVRI-Jakarta dan beberapa suratkabar, antara lain, sebagai berikut: “Masuknya Islam ke Jawa adalah karena usaha juru dakwah dari Pasai. Dari sembilan wali (wali songo) yang menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke 14, 15 dan 16 Masehi, empat wali berasal dari Samudra Pasai, yaitu Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Drajat dan Sunan Bonang. Wali pertama adalah Malik Ibrahim yang wafat dan dimakamkan di Gresik tahun 1419; beliau seorang saudagar Persia, berasal dari Gujarat, India.
Akan tetapi, wali kedua yang muncul pada pertengahan abad ke-15 bernama Sunan Ampel atau Raden Rahmat, yang makamnya terdapat di Kampung Arab di Surabaya, berasal dari Pasai. Beliau wafat kira-kira tahun 1481. Kedua putranya, yaitu Sunan Drajat dan Sunan Bonang yang kemudian bermukim di Tuban dan juga menjadi wali, pun berasal dari Pasai.
Terakhir dari Wali Songo adalah Sunan Gunung Jati, juga dikenal sebagai Fatahillah atau Falatehan, lahir di Basma, Pasai, tahun 1490. Setelah menjadi wakil kerajaan Demak di Banten, Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon pada tahun 1552, beliau wafat tahun 1570.
Dewasa ini sudah semakin langka para penulis sejarah Islam di Indonesia yang menghubungkan kisah Wali Songo dengan negeri Samudra-Pasai di Aceh. Menurut kebanyakan penulis “sejarah” sekarang, agama Islam yang menyebar ke seluruh nusantara tidaklah mulai bergerak dari Aceh, melainkan dari Kerajaan Campa (di negara Kamboja - sekarang). Oleh hal demikian, maka hilanglah “jaringan Aceh” sebagai tempat mula bertapaknya Islam di Indonesia seperti yang diyakini selama ini. Padahal, menurut pengarang tempo dulu, negeri Campa adalah Kerajaan Jeumpa yang terletak di wilayah Bireuen, di Aceh sekarang; bukan kerajaan Campa yang terdapat di negara Kamboja.
Sebuah buku terbaru tentang Wali Songo, yang berjudul “Sejarah Walisongo - Misi Pengislaman di Tanah Jawa” penerbit Graha Pustaka, Yogyakarta, dapat menjadi bukti `terbaru’ pula bagi kita, bahwa para penulis kisah Wali Songo dewasa ini sama sekali tidak menyinggung lagi Kerajaan Samudra-Pasai; ketika mereka mengisahkan riwayat Wali Songo. Buku ini ditulis oleh Budiono Hadi Sutrisno, seorang sarjana lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip)-UGM Yogyakarta yang amat produktif menulis berbagai buku. Ternyata buku “sejarah Wali Songo” ini menjadi buku best seller.
Buku ini juga tidak sekali pun menyebut Kerajaan Samudra-Pasai sebagai tempat asal sebagian Wali Songo. Sebuah buku lain yang telah lama beredar, cetakan ke-4 terbitan Bandung (1996) “Seri Wali Songo” yang ditulis Arman Arroisi juga berpendapat serupa mengenai asal-usul wali songo. Karena buku ini ditulis berseri, maka setiap orang wali ditulis dalam sebuah buku khusus/tersendiri dengan buku berbentuk lebar dengan huruf dan ilustrasi gambar yang besar-besar. Pada buku yang dikhususkan kepada anak-anak ini, Sunan Ampel disebutkan berasal dari negeri Campa di Kamboja. Singkat kata, baik buku bacaan anak-anak maupun buku bacaan orang dewasa yang menyangkut kisah Walisong dewasa ini; semuanya telah memberi `talak tiga’ kepada kerajaan Samudra-Pasai.
Padahal dalam buku “Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa”, Grafiti Pers, Jakarta, 1986, disebutkan bahwa Sunan Ampel berasal dari Aceh. Buku yang semula berbahasa Belanda dan telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia; ditulis oleh dua sejarawan Belanda, Dr. H. J. De Graaf dan Dr. TH. G. TH. Pigeaud.
Mengenai asal-usul Sunan Ampel dari Campa, kedua sejarawan Belanda ini tidak menganggap negeri Campa yang berada di negara Kamboja, tetapi negeri Jeumpa yang terletak di wilayah Bireuen sekarang. Begitulah. ‘Arus sejarah’ yang berkembang kini ternyata telah menenggelamkan sejarah Kerajaan Samudra-Pasai” dari jalur riwayat Wali Songo di Tanah Jawa.
Sebelum masalah asal-usul Wali Songo dari Aceh semakin gelap, alangkah baiknya digerakkan suatu upaya untuk menelusuri kembali sejarah wali-wali itu mulai dari Aceh sampai ke pulau Jawa. Sebagai langkah awal saya mengajukan beberapa saran. Pertama,
agar dilakukan cetak ulang dan disebarluaskan semua buku yang pernah mengaitkan sejarah Wali Songo dengan negeri asal mereka. Kedua, mendesak pihak berwenang untuk mengadakan Seminar Internasional tentang Sejarah Wali Songo, yang dilangsungkan di Banda Aceh. Keempat, memproduksi film dokumenter mengenai kisah profil Wali Songo yang isinya menceritakan asal mula kehidupan sang wali di Kerajaan Samudra-Pasai.
T A Sakti
Artikel Sama namun Beda Waktu Penerbitan
MELACAK JEJAK WALI SONGO DI ACEH
Meski Gema Tahun Budaya 2004 yang sudah lebih dua bulan dicanangkan
masih amat sepi, namun saya tetap ingin meramaikannya dengan
saran-saran dalam tulisan singkat ini. Berpedoman pada agenda Tahun
Budaya 2004, bahwa Pemda NAD berprinsip : “tidak satu pun khazanah
kebudayaan Aceh yang hampir punah tidak bisa dilestarikan dan
diselamatkan. Meskipun saat ini adanya di Negeri Belanda” (Serambi
Indonesia, Selasa 24 Februari 2004 halaman1), maka pada kesempatan ini
saya ingin membicarakan masalah asal-usul sebagian Wali Songo (Wali
Sembilan), yang sekarang kuburan-kuburan beliau berada di pulau Jawa.
Memang
amat sedikit para pemulis sejak era Republik Indonesia yang mengkaji
asal-usul Wali Songo secara tuntas. Di antara yang sedikit itu
tersebutlah Prof. Dr. Hamka, Solichin Salam, Prof. A. Hasjmy dan H.
Rosihan Anwar. Kalau merujuk kepada pendapat para pengarang tersebut di
atas serta beberapa tulisan lepas lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa
enam orang dari Sembilan Wali (Wali Songo) yang menyebarkan agama
Islam di pulau Jawa adalah berasal dari Aceh(Kerajaan Samudera Pasai)..
Beliau-beliau itu adalah: . Maulana Malik Ibrahim, 2. Malik Ishak
(Sunan Giri), 3. Ali Rahmatullah/Raden Rahmat (Sunan Ampel), 4. Makhdum
Ibrahim (Sunan Bonang), 5. Masaih Munad (Sunan Drajat), dan 6. Syarief
Hidayatullah/Fatahillah (Sunan Gunung Jati).
Pada peringantan
Malam Israk Mikraj tahun 1988, wartawan senior H. Rosihan Anwar
menjelaskan lewat TVRI-Jakarta dan beberapa suratkabar; antara lain
sebagai berikut: “Masuknya Islam ke Jawa adalah karena usaha juru
dakwah dari Pasai. Dari sembilan wali (Wali Songo) yang menyebarkan
Islam di Jawa pada abad ke 14, ke 15 dan ke-16 Masehi, maka empat wali
berasal dari Samudra Pasai, yaitu Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan
Drajat dan Sunan Bonang. Wali pertama adalah Malik Ibrahim yang wafat
dan dimakamkan di Gresik tahun 1419; beliau seorang saudagar Persia,
berasal dari Gujarat, India.
Akan tetapi wali kedua yang muncul
pada pertengahan abad ke-15 bernama Sunan Ampel atau Raden Rahmat, yang
makamnya terdapat di Kampung Arab di Surabaya, berasal dari Pasai.
Beliau wafat kira-kira tahun 1481. Kedua putranya, yaitu Sunan Drajat
dan Sunan Bonang yang kemudian berkemukiman di Tuban dan juga menjadi
Wali, pun berasal dari Pasai.
Yang terakhir dari Wali Songo
adalah Sunan Gunung Jati, juga dikenal sebagai Fatahillah atau
Falatehan, lahir di Basma, Pasai tahun 1490. Setelah menjadi wakil
kerajaan Demak di Banten, Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon pada
tahun 1552. beliau wafat tahun 1570.
Orang sedikit sekali
menyadarinya, tetapi memang demikianlah faktanya. Empat dari sembilan
wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa berasal dari Samudra Pasai”.
(Lihat : “Kerajaan Islam Samudra Pasai TVRI” oleh: H. Rosihan Anwar,
Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 15 Maret 1988 halaman 4/Opini).
H.
Rosihan Anwar hanya menyebut empat dari sembilan wali yang berasal
dari Aceh (tepatnya dari Kerajaan Samudra Pasai, yang lokasinya dekat
kota Lhokseumawe – sekarang). Namun, penulis yang lain mengakui pula,
bahwa Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak/Raden Paku (Sunan Giri)
juga berasal dari Pasai. Beberapa sumber menyebutkan, bahwa pada masa
pemerintahan Sultan Zainal Abidin Bahian Syah (± 797 H/1395 M), sebuah
Tim Dakwah Islam yang dipimpin Maulana Malik Ibrahim telah dikirimnya
ke pulau Jawa.
Melacak bukti sejarah Wali Songo dan beberapa
wali lainnya di Jawa cukup mudah, karena berbagai jenis sumber tersedia
di sana. Lain halnya, jika kita hendak melacak jejak wali-wali
tersebut ketika belum merantau ke pulau Jawa. Bagaimana kehidupan
mereka semasa masih kanak-kanak di Kerajaan Samudra Pasai (di Aceh).
Sultan yang mana yang sedang berkuasa saat itu?. Latar belakang apa
yang menyebabkan calon-calon wali-wali itu berangkat ke Jawa? Apa,
karena terpaksa?, suka rela? atau sengaja dikirim Sultan Samudra Pasai
sebagai juru dakwah untuk mengembangkan agama Islam di pulau Jawa?.
Semua
pertanyaan di atas hampir mustahil bisa dijawab, karena suber-sumber
sejarah mengenai wali sama-sekali tidak terdapat di Aceh. Cerita
rakyat, legenda, batu bersurat, kitab-kitab lama juga tidak pernah
menyinggung masalah calon-calon wali tu. Jadi, perihal kehidupan
wali-wali semasa masih kecil di Aceh – di Kerajaan Samudra Pasai- masih
merupakan fakta sejarah yang gelap; yang entah kapan bisa terungkap?.
Sebelum
masalah asal-usul Wali Songo dari Aceh semakin gelap, alangkah baiknya
jika dalam tahun Budaya 2004 ini digerakkan suatu upaya untuk
menelusuri sejarah wali-wali itu; mulai dari Aceh sampai pulau Jawa.
Sebagai langkah awal, perlulah tempat-tempat yang dianggap terikat
dengan wali-wali di Aceh agar mengabadikan nama wali (semasa kecil) di
tempat itu. Bangunan Mesjid, Meunasah, Dayah-Pesantren, sekoah dsb.
;juga perlu dinamakan dengan nama-nama harum dari wali-wali tersebut.
Sebuah
buku cetakan ke-4 terbitan Bandung (1996) “Seri Wali Songo” yang
ditulis Arman Arroisi telah mencantumkan pendapat yang berbeda mengenai
asal-usul Wali Songo. Pada buku yang dikhususkan kepada anak-anak ini,
Sunan Ampel disebutkan berasal dari negeri Campa di Kamboja. Padahal
dalam buku “Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa”, Grafiti Pers, Jakarta,
1986, menyebutkan Sunan Ampel berasal dari Aceh. Buku yang semula
berbahasa Belanda dan telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia; ditulis
oleh dua sejarawan Belanda, DR. H. J. De Graaf dan DR. TH. G. TH.
Pigeaud.
Mengenai asal-usul Sunan Ampel dari Campa, kedua penulis
buku ini tidak menganggap negeri Campa yang di negara Kamboja, tetapi
negeri Jeumpa yang terletak diwilayah Bireuen -Aceh – sekarang.
Begitulah,
bila pihak-pihak terkait di Aceh, terutama Pemda Aceh terus-menerus
tidak peduli dengan upaya “mempatenkan” asal-usul sebagaian Wali Songo
berasal dari Aceh, besar kemungkinan dalam waktu tidak lama lagi,
sejarah asal-usul wali-wali itu akan jatuh ke daerah lain, bahkan pula
ke negara lain. Ketika hal itu terjadi, maka pupuslah salah satu sebab
mengapa daerah Aceh digelar negeri Serambi Mekah!!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar