Nama asli
Kanjeng Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah. Ia adalah anak
seorang puteri raja Pajajaran bernama Rara Santang atau Syarifah
Mada’in, yang menikah dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah,
yang konon putera raja Mesir keturunan Bani Ismailiah. Syarif
Hidayatullah memiliki seorang saudara bernama Syarif Nurullah.
Semasa muda, Syarif Hidayatullah pergi
ke Makkah dan Baghdad untuk menuntut ilmu. Di Makkah ia belajar selama
empat tahun, dan berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri serta Syekh
Ataullahi Sadzili. Sementara di Baghdad ia belajar tasawuf. Ketika
Syarif Hidayatullah berusia 27 tahun, sekitar tahun 1475 TU, ia kembali
ke tanah Jawa dan bermukim di Caruban dekat Cirebon. Di Cirebon, Syarif
Hidayatullah kemudian menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati puteri dari
Pangeran Cakrabuana, penguasa Cirebon. Setelah Pangeran Cakrabuana
berusia lanjut, kekuasaan atas negeri Cirebon diserahkan kepada
menantunya, yaitu Syarif Hidayatullah dan diberi gelar Susuhunan atau Sunan.
Ketika Kerajaan Islam Demak mendengar
adanya seorang penyiar agama Islam di Cirebon, maka atas persetujuan
para wali, Raden Fatah selaku Sultan Demak menetapkan Syarif
Hidayatullah sebagai Penetap Penata Gama Rasul di tanah Pasundan bergelar Sunan Gunung Jati dan termasuk salah seorang Wali Sanga. Tidak hanya itu, Sunan Gunung Jati ditetapkan pula sebagai pengusa negeri Cirebon (Suhadi, 1995/1996: 84). Dalam Babad Cirebon, Sunan Gunung Jati disebut Ratu Pandita.
Artinya Syarif Hidayatullah mempunyai fungsi rangkap yaitu sebagai
wali, penyebar agama Islam di Jawa Barat atau tanah Pasundan, dan
sebagai raja yang memerintah dan berkedudukan di Cirebon
(Tjandrasasmita, 1999: 284-285). Dari Cirebon agama Islam dengan mudah
disebarkan ke seluruh wilayah Pasundan, sehingga hampir semua rakyat
Sunda memeluk agama Islam (Suhadi, 1995/1996: 84).
Setelah Sunan Gunung Jati diangkat
menjadi salah seorang wali, hubungan Cirebon dengan Demak semakin erat.
Hubungan tersebut kemudian dikuatkan dengan pernikahan puteri Sunan
Gunung Jati bernama Ratu Ayu dengan Pati Unus, putera Raden Fatah
(Suhadi, 1995/1996: 84). Berita lain menyebutkan Ratu Ayu menikah dengan
Sultan Trenggana, dan setelah Sultan Trenggana wafat, Ratu Ayu menikah
dengan Fatahillah (Abdurachman, ed., 1982: 37).
Purwaka Caruban Nagari menyebutkan
Sunan Gunung Jati menikah dengan Nhay Kawunganten, puteri dari
Pajajaran dan mempunyai dua orang anak. Anak yang tertua bernama
Sabakingking yang kemudian bernama Hasanuddin menjadi Sultan Banten.
Anak yang kedua bernama Siti Winahon, lebih dikenal dengan nama Ratu Ayu
yang kemudian menikah dengan salah seorang sultan Demak (Abdurachman,
ed., 1982: 37).
Selain dengan Nhay Kawunganten Sunan
Gunung Jati juga menikah dengan Nyi Mas Siti Babadan, dari Babadan,
Cirebon. Perkawinannya yang lain adalah dengan Rara Jati dari kalangan
ningrat Cirebon. Dari perkawinan ini lahir dua orang putera, yaitu Jaya
Kelana dan Brata Kelana. Brata Kelana kemudian dikenal dengan nama
Pangeran Seda Lautan (pangeran yang meninggal di laut). Isteri Sunan
Gunung Jati yang lain bernama Nyi Mas Tepasari dari daerah Bumiayu,
Brebes, memiliki putera bernama Pangeran Pasarean yang kemudian
menurunkan para Sultan Cirebon (Abdurachman, ed., 1982: 37).
Sunan Gunung Jati juga disebutkan
menikahi seorang puteri dari negeri Cina bernama Ong Tien. Diceritakan
bahwa pertemuan Sunan Gunung Jati dengan Ong Tien terjadi ketika Sunan
Gunung Jati mengadakan kunjungan ke negeri Cina. Dari pernikahan
tersebut mereka tidak dikaruniai anak (Abdurachman, ed., 1982: 37).
Adanya perkawinan antara Sunan Gunung
Jati dengan Ong Tien dari Cina secara langsung maupun tidak langsung
berdampak pula terhadap hubungan dagang kedua negeri. Data arkeologi
menunjukkan di sekitar Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan di
kompleks pemakaman Gunung Sembung banyak ditemukan keramik yang berasal
dari negeri Cina.
Pada tahun 1568 TU Sunan Gunung Jati
wafat dan dimakamkan di Pasir Jati, yaitu puncak Bukit Sembung, di tepi
kota Cirebon. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, pemerintahan di Cirebon
dilanjutkan oleh Pangeran Mas yang bergelar Pangeran Ratu atau
Panembahan Ratu (1570-1640 TU) (Graaf, 1986: 254). Purwaka Caruban Nagari menyebut Panembahan Ratu memerintah sampai tahun 1649 TU, tetapi sumber lain menunjuk tahun 1650 TU.
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu,
tahun 1628 TU, terjadi serangan Mataram terhadap VOC di Batavia, dan
pada tahun itu pula terjadi ikatan kekeluargaan melalui perkawinan
antara kakak perempuan Panembahan Ratu, yakni Ayu Sukluh dengan Mas
Rangsang yang kemudian menjadi Sultan Agung Mataram. Ikatan perkawinan
ini memperkuat hubungan antara Panembahan Ratu dengan Sultan Agung
Mataram, dan merupakan kelanjutan hubungan yang sudah dibina sejak dari
masa Senapati Ing Alaga (setelah menjadi raja bergelar Panembahan
Senapati). Diberitakan bahwa pada tahun 1590 TU Raja Mataram, Panembahan
Senopati, membantu Cirebon mendirikan atau memperkuat tembok yang
mengelilingi kotanya. Perkuatan kota Cirebon tersebut dilakukan oleh
Raja Mataram, karena ia menganggap Cirebon sebagai pertahanan
keprajuritan di bagian barat kerajaannya.
Setelah Panembahan Ratu wafat pada tahun
1649/1650 TU, ia digantikan oleh cucunya yaitu Panembahan
Adiningkusuma, yang kemudian bergelar Panembahan Ratu II. Tidak lama
setelah diangkat menjadi raja, ia diundang ke Mataram bersama isteri dan
kedua anaknya, yaitu Martawijaya dan Kartawijaya. Panembahan Ratu II
sejak berada di Mataram tidak pernah kembali lagi ke Cirebon sampai
meninggal pada tahun 1662. Makamnya di Girilaya, sehingga ia dikenal
juga sebagai Panembahann Girilaya.
Setelah Panembahan Girilaya wafat,
kekuasaan Cirebon terpecah menjadi dua akibat perebutan kekuasaan oleh
kedua anaknya. Kekuasan Cirebon kemudian dibagi menjadi dua, yaitu
Panembahan Martawijaya menjadi Sultan Sepuh I dengan gelar Abil Makarim
Syamsudin, dan Pangeran Kartawijaya menjadi Sultan Anom I dengan gelar
Abil Makarim Badrudin.
Di masa pemerintahan Sunan Gunung Jati
sampai terpecahnya Cirebon menjadi dua kekuasaan yaitu sekitar abad XVII
TU sampai XVIII TU, di Cirebon berkembang kegiatan sastra seperti
kegiatan mengarang tembang keagamaan Islam, yang disebut suluk, yang
bercorak mistik. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh ruhani Sunan Gunung
Jati itu masih berlangsung hingga abad XVIII TU.
Sunan Gunung Jati dikenal sebagai peletak dasar Islam di Banten. Babad Banten menceritakan
bahwa Sunan Gunung Jati dan puteranya Hasanuddin datang dari Pakungwati
(Cirebon) untuk mengislamkan masyarakat Banten. Awalnya mereka mereka
datang ke Banten Girang, kemudian ke selatan ke Gunung Pulosari, tempat
80 orang ajar (pendeta Hindu) tinggal. Mereka kemudian menjadi
pengikut Hasanuddin. Selanjutnya diceritakan, di lereng Gunung Pulosari,
Sunan Gunung Jati mengajarkan ilmu pengetahuan keislaman kepada
anaknya. Setelah selesai mengajarkan ilmu keislaman, Sunan Gunung Jati
kemudian memerintahkan anaknya supaya menyebarkan agama Islam kepada
penduduk Banten.
Permintaan Sunan Gunung Jati tersebut
kemudian dilaksanakan oleh Hasanuddin dengan berkeliling sambil
berdakwah dari satu daerah ke daerah lain. Dalam menyampaikan agama
Islam kepada penduduk lokal, Hasanuddin terkadang menggunakan cara-cara
yang dikenal oleh masyarakat setempat, seperti menyabung ayam ataupun
mengadu kesaktian. Cara-cara ini berhasil, terbukti dengan banyaknya
pembesar negeri yang memeluk agama Islam dan bersedia menjadi pengikut
Hasanuddin.
Pada tahun 1525 TU, seluruh daerah
Banten dikuasai oleh tentara Islam dari Demak dan Cirebon yang dibantu
oleh pasukan Hasanuddin. Atas petunjuk Sunan Gunung Jati, pusat
pemerintahan yang berada di Banten Girang di daerah pedalaman kemudian
dipindahkan ke dekat pelabuhan Banten. Pada pemindahan pusat
pemerintahan Banten ke pesisir tersebut, Sunan Gunung Jati pulalah yang
menentukan lokasi dalem (istana), benteng, pasar dan alun-alun
yang harus dibangun. Ada beberapa alasan pemindahan pusat pemerintahan
tersebut dari Banten Girang ke daerah dekat pesisir, yaitu:
- Ekonomi, berdasarkan potensi maritimnya, Banten berpotensi sebagai pelabuhan besar yang dapat menggantikan Sunda Kelapa.
- Mistis religius, kota dan keraton yang ditaklukkan harus ditinggalkan, karena dianggap sudah tidak memiliki kekuatan magis lagi.
- Politik, memudahkan hubungan antara pesisir utara Jawa dan pesisir Sumatera melalui Selat Sunda.
Di samping peran dalam proses
pengislaman di daerah Banten, Sunan Gunung Jati bersama anaknya
Hasanuddin selanjutnya memperkuat dasar Islam di Banten. Hal ini
dibuktikan dengan dengan dibangunnya masjid dan tempat kegiatan
keagamaan berupa pesantren.
Ada dua masjid yang dibangun di kota
Banten pada masa pemerintahan Hasanuddin di daerah ini. Pertama, yaitu
Masjid Agung Banten yang terletak di pusat pemerintahan berdekatan
dengan Keraton Surosowan. Sementara masjid yang lainnya dibangun di
daerah Pecinan letaknya agak ke barat dari bagian kota. Masjid yang
berada di Pecinan tersebut telah runtuh, dan kini hanya tinggal
menaranya saja. Adapun Masjid Agung Banten masih berdiri kokoh hingga
saat ini. Masjid ini beratap tumpang lima susun, dan merupakan model
atap tumpang masjid-masjid kuna sebagaimana masjid-masjid lainnya di
Jawa.
Dalam masyarakat Islam, masjid merupakan tempat paling utama dalam mengembangkan syiar Islam. Hal ini diperkuat oleh beberapa babad yang menyebutkan tentang peranan masjid sebagai tempat bermusyawarah dan pertemuan untuk membahas masalah keagamaan.
Incoming search terms:
- biografi sunan gunung jati
- sunan gunung jati biografi
- riwayat hidup sunan gunung jati
- sejarah sunan gunung jati
- sunan gunung jati
- nama lain sunan gunung jati
- riwayat sunan gunung jati
- biodata sunan gunung jati
- Sunan gunung jati cirebon
- Syarif hidayattallah anak siapa???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar