Sunan Katong dan Pakuwojo
Bathara Katong atau Sunan Katong besama pasukannya mendarat di Kaliwungu
dan memilih tempat di pegunungan Penjor atau pegunungan telapak kuntul
melayang. Beberapa tokoh dalam rombongannya antara lain terdapat tokoh
seperti Ten Koe Pen Jian Lien (Tekuk Penjalin),Han Bie Yan (Kyai
Gembyang) dan Raden Panggung (Wali Joko).
Penyebaran Islam di sekitar Kaliwungu tidak ada hambatan apapun. Sedangka memasuki wilayah yang agak ke barat, ditemui seorang tokoh agama Hindu/Budha, bahka disebutkan sebagai mantan petinggi Kadipaten di bawah Kerajaan Majapahit untuk wilayah Kendal/Kaliwungu, bernama Suromenggolo atau Empu Pakuwojo.
Dikatakan dalam cerita tutur, ia seorang petinggi Majapahit dan ahli membuat pusaka atau empu. Ia seorang adipati Majapahit yang pusat pemerintahannya di Kaliwungu/Kendal. Untuk meng-Islamkan atau menyerukan kepada Pakuwojo supaya memeluk agam Islam, Tidaklah mudah sebagaimana meng-ISlamkan masyarakat biasa lainnya. Biasanya sifat gengsi dan merasa jad taklukan adalah mendekati kepastian. Karena ia merasa punya kelebihan, maka peng-Islamannya diwarnai dengan adu kesaktian, sebagaimana Ki Ageng Pandan Aran meng-Islamkan para 'Ajar' di perbukitan Bergota/Pulau Tirang.
Kesepakatan atau persyaratan dibuat dengan penuh kesadaran dalam kapasitas sebagai seorang ksatria pilih tanding. "Bila Sunan Katong sanggup mengalahkannya, maka ia mau memeluk agama Islam dan menjadi murid Sunan Katong", demikian sumpah Pakuwojo di hadapan Sunan Katong. Pola dan gaya pertrungan seperti it memang sudash menjadi budaya orang-orang dahulu. Mereka lebih menjunjung sportivitas pribadi.
Dengan didampingi dua sahabatnya dan satu saudaranya, pertarungan antarkeduanya berlangsung seru. Selain adu fisik, mereka pun adu kekuatan batin yang sulit diikuti oleh mata oran awam. Kejar mengejar, baik di darat maupun di air hingga berlangsung lama dan Pakuwojo tidak pernah menang. Bahkan ia berkeinginan untuk lari dan bersembunyi. Kebetulan sekali ada sebuah pohon besar yang berlubang. Oleh Pakuwojo digunakan sebagai tempat bersembunyi dengan harapan Sunan Katong tidak mengetahuinya. Namun berkat ilmu yang dimiliki, Sunan Katong berhasil menemukan Pakuwojo, dan menyerahlah Pakuwojo.
Sebagaimana janjinya, kemudian ia mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam. Oleh Sunan Katong, pohon yang dijadikan tempat persembunyian Pakuwojo diberi nama Pohon Kendal yang artinya penerang. Di tempat itulah Pakuwojo terbuka hati dan pikirannya menjadi terang dan masuk Islam. Dan Sungai yang dijadikan tempat pertarungan kedua tokoh itu diberi nama Kali/Sungai Kendal, yaiut sungai yang membelah kota Kendal, tepatnya di depan masjid Kendal. Pakuwojo yang semula oleh banyak orang dipanggil Empu Pakuwojo, oleh Sunan Katong dipanggil dengan nama Pangeran Pakuwojo, sebuah penghargaan karena ia seorang petinggi Majapahit. Setelah itu ia memilih di desa Getas Kecamatan Patebon dan kadang-kadang ia ebrada di padepokannya yang terletak di perbukitan Sentir atau GUnung Sentir dan menjadi murid Sunan Katong pun ditepati dengan baik. Sedangkan nama tempat di sekitar pohon Kendal disebutnya dengan Kendalsari.
Masih ada keterangan lain yang ada hubungannya dengan nama Kendal. Dikatakannya bahwa nama Kendal berasal dari kata Kendalapura. Dilihat dari namanya, Kendalapura ini berkonotasi dengan agama Hindu. Artinya, bahwa Kendal sudah ada sejak agama Hindu masuk ke Kendal. Atau paling tidak di dalam berdo'a atau mantera-mantera pemujaan sudah menyebu-nyebut nama Kendalapura.
Ada juga keterangan yang menerangkan bahwa Kendal berasal dari kata Kantali atau Kontali. Nama itu pernah disebut-sebut oleh orang-orang Cina sehubungan dengan ditemukannya banya arca di daerah Kendal. Bahkan disebutkan oleh catatan itu bahwa candi-candi di Kendal jauh lebih tua dari candi Borobudur maupun candi Prambanan.
Temuan-temuan itu patut dihargai dan bahkan bisa menjadi kekayaan sebuah asal-usul, walaupun kebanyakan masyarakat lebih cenderung pada catatan Babad Tanah Jawi yang menerangkan bahwa nama Kendal berasal dari sebuah pohon yang bernama pohon Kendal.
Kecenderungan itu karena dapat diketahui tentang tokoh-tokohnya yaitu Sunan Katong dan Pakuwojo yang mendapat dukungan dari Pangeran Benowo. Selain itu catatan-catatan pendukung lainnya justru berada di Universitas Leiden, Belanda, sebuah perguruan tinggi terkenal yang banyak menyimpan catatan sejarah Jawa.
Akan halnya cerita Sunan Katong dan Pakuwojo dalam legenda yang telah banyak ditulis itu menggambarkan sebuah prosesi, betapa sulitnya merubah pendirian seseorang, terlebih menyangkut soal agama/keyakinan. Cerita-cerita itu menerangkan bahwa antara Pakuwojo dan Sunan Katong pada akhirnya tewas bersama (sampyuh).
Cerita yang sebenarnya tidaklah demikian. Cerita itu maksudnya, begitu Pakuwojo berhasil dibuka hatinya oleh Sunan Katong, dan Pakuwojo mau mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi murid Sunan Katong, berarti antara kedua tokoh itu hidup rukun sama-sama mengembangkan agama Islam.
Penyebaran Islam di sekitar Kaliwungu tidak ada hambatan apapun. Sedangka memasuki wilayah yang agak ke barat, ditemui seorang tokoh agama Hindu/Budha, bahka disebutkan sebagai mantan petinggi Kadipaten di bawah Kerajaan Majapahit untuk wilayah Kendal/Kaliwungu, bernama Suromenggolo atau Empu Pakuwojo.
Dikatakan dalam cerita tutur, ia seorang petinggi Majapahit dan ahli membuat pusaka atau empu. Ia seorang adipati Majapahit yang pusat pemerintahannya di Kaliwungu/Kendal. Untuk meng-Islamkan atau menyerukan kepada Pakuwojo supaya memeluk agam Islam, Tidaklah mudah sebagaimana meng-ISlamkan masyarakat biasa lainnya. Biasanya sifat gengsi dan merasa jad taklukan adalah mendekati kepastian. Karena ia merasa punya kelebihan, maka peng-Islamannya diwarnai dengan adu kesaktian, sebagaimana Ki Ageng Pandan Aran meng-Islamkan para 'Ajar' di perbukitan Bergota/Pulau Tirang.
Kesepakatan atau persyaratan dibuat dengan penuh kesadaran dalam kapasitas sebagai seorang ksatria pilih tanding. "Bila Sunan Katong sanggup mengalahkannya, maka ia mau memeluk agama Islam dan menjadi murid Sunan Katong", demikian sumpah Pakuwojo di hadapan Sunan Katong. Pola dan gaya pertrungan seperti it memang sudash menjadi budaya orang-orang dahulu. Mereka lebih menjunjung sportivitas pribadi.
Dengan didampingi dua sahabatnya dan satu saudaranya, pertarungan antarkeduanya berlangsung seru. Selain adu fisik, mereka pun adu kekuatan batin yang sulit diikuti oleh mata oran awam. Kejar mengejar, baik di darat maupun di air hingga berlangsung lama dan Pakuwojo tidak pernah menang. Bahkan ia berkeinginan untuk lari dan bersembunyi. Kebetulan sekali ada sebuah pohon besar yang berlubang. Oleh Pakuwojo digunakan sebagai tempat bersembunyi dengan harapan Sunan Katong tidak mengetahuinya. Namun berkat ilmu yang dimiliki, Sunan Katong berhasil menemukan Pakuwojo, dan menyerahlah Pakuwojo.
Sebagaimana janjinya, kemudian ia mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam. Oleh Sunan Katong, pohon yang dijadikan tempat persembunyian Pakuwojo diberi nama Pohon Kendal yang artinya penerang. Di tempat itulah Pakuwojo terbuka hati dan pikirannya menjadi terang dan masuk Islam. Dan Sungai yang dijadikan tempat pertarungan kedua tokoh itu diberi nama Kali/Sungai Kendal, yaiut sungai yang membelah kota Kendal, tepatnya di depan masjid Kendal. Pakuwojo yang semula oleh banyak orang dipanggil Empu Pakuwojo, oleh Sunan Katong dipanggil dengan nama Pangeran Pakuwojo, sebuah penghargaan karena ia seorang petinggi Majapahit. Setelah itu ia memilih di desa Getas Kecamatan Patebon dan kadang-kadang ia ebrada di padepokannya yang terletak di perbukitan Sentir atau GUnung Sentir dan menjadi murid Sunan Katong pun ditepati dengan baik. Sedangkan nama tempat di sekitar pohon Kendal disebutnya dengan Kendalsari.
Masih ada keterangan lain yang ada hubungannya dengan nama Kendal. Dikatakannya bahwa nama Kendal berasal dari kata Kendalapura. Dilihat dari namanya, Kendalapura ini berkonotasi dengan agama Hindu. Artinya, bahwa Kendal sudah ada sejak agama Hindu masuk ke Kendal. Atau paling tidak di dalam berdo'a atau mantera-mantera pemujaan sudah menyebu-nyebut nama Kendalapura.
Ada juga keterangan yang menerangkan bahwa Kendal berasal dari kata Kantali atau Kontali. Nama itu pernah disebut-sebut oleh orang-orang Cina sehubungan dengan ditemukannya banya arca di daerah Kendal. Bahkan disebutkan oleh catatan itu bahwa candi-candi di Kendal jauh lebih tua dari candi Borobudur maupun candi Prambanan.
Temuan-temuan itu patut dihargai dan bahkan bisa menjadi kekayaan sebuah asal-usul, walaupun kebanyakan masyarakat lebih cenderung pada catatan Babad Tanah Jawi yang menerangkan bahwa nama Kendal berasal dari sebuah pohon yang bernama pohon Kendal.
Kecenderungan itu karena dapat diketahui tentang tokoh-tokohnya yaitu Sunan Katong dan Pakuwojo yang mendapat dukungan dari Pangeran Benowo. Selain itu catatan-catatan pendukung lainnya justru berada di Universitas Leiden, Belanda, sebuah perguruan tinggi terkenal yang banyak menyimpan catatan sejarah Jawa.
Akan halnya cerita Sunan Katong dan Pakuwojo dalam legenda yang telah banyak ditulis itu menggambarkan sebuah prosesi, betapa sulitnya merubah pendirian seseorang, terlebih menyangkut soal agama/keyakinan. Cerita-cerita itu menerangkan bahwa antara Pakuwojo dan Sunan Katong pada akhirnya tewas bersama (sampyuh).
Cerita yang sebenarnya tidaklah demikian. Cerita itu maksudnya, begitu Pakuwojo berhasil dibuka hatinya oleh Sunan Katong, dan Pakuwojo mau mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi murid Sunan Katong, berarti antara kedua tokoh itu hidup rukun sama-sama mengembangkan agama Islam.
Wali Joko/Pangeran Panggung
Wali Joko yang memiliki nama kecil Jaka Suwirya adalah kakak-beradik
dengan Sunan Katong yang konon dimakamkan di Kaliwungu. Wali Joko yang
di saat mudanya bernama Pangeran Panggung, merupakan putra bungsu Prabu
Kertabumi atau Prabu Brawijaya V dengan Permaisuri Dewi Murdaningrum,
seorang putri dari Kerajaan Campa (ada yang menyebutkan Kamboja atau
Thailand saat ini.
Berdasarkan penelusuran sejarah yang
berhasil dirangkum, disebutkan bahwa Wali Joko masih memiliki hubungan
darah dengan Raden Patah, raja pertama Kesultanan Demak Bintoro. Dimana,
Raden Patah adalah putra Prabu Kertabumi dengan Permaisuri putri
Kerajaan Campa, Dewi Kian.
Saat muda, Pangeran Panggung pernah berguru pada Syeh Siti Jenar. Raden Patah yang mengetahui hal ini, kemudian menasehati Wali Joko agar meninggalkan ajaran yang dinilai menyimpang dari syariat Islam, utamanya di bidang tauhid itu. Raden Patah menyarankan agar Wali Joko belajar agama kepada Sunan Kalijaga yang beraliran ahlusunnnah wal jama’ah.
Saat muda, Pangeran Panggung pernah berguru pada Syeh Siti Jenar. Raden Patah yang mengetahui hal ini, kemudian menasehati Wali Joko agar meninggalkan ajaran yang dinilai menyimpang dari syariat Islam, utamanya di bidang tauhid itu. Raden Patah menyarankan agar Wali Joko belajar agama kepada Sunan Kalijaga yang beraliran ahlusunnnah wal jama’ah.
Sekitar tahun 1500 Masehi, atau tepatnya
1210 H, Pangeran Panggung mendirikan sebuah masjid di Kendal. Pangeran
Panggung datang dan mendirikan masjid di daerah Kendal, setelah melewati
pengembaraan yang cukup panjang. Pengembaraan yang harus dilakukan,
setelah kerajaannya, yaitu Majapahit, runtuh karena diserang pasukan
Prabu Girindra Wardhana dari Kediri.
Di masjid yang didirikannya, Wali Joko memiliki sejumlah santri. Beliau menanggung seluruh kebutuhan hidup para santrinya. Selain diberi pembelajaran ilmu agama, para santri juga dikaryakan antara lain dengan mengolah lahan pertanian dan tambak.
Di masjid yang didirikannya, Wali Joko memiliki sejumlah santri. Beliau menanggung seluruh kebutuhan hidup para santrinya. Selain diberi pembelajaran ilmu agama, para santri juga dikaryakan antara lain dengan mengolah lahan pertanian dan tambak.
Kini, masjid peninggalan Wali Joko
tersebut dikenal dengan Masjid Agung. Seiring berjalannya waktu, masjid
yang berdiri ”gagah” di pusat Kota Kendal ini telah mengalami delapan
kali renovasi.
Di sisi lain, tidak banyak benda-benda peninggalan yang dapat ditemui di masjid itu.
Menurut catatan takmir masjid, sejarah hanya menyisakan antara lain berupa, maksurah atau tempat shalat bagi bupati kala itu, mimbar tempat khotbah berbahan kayu jati yang di bagian muka bertuliskan tahun 1210 H, serta bergambar beduk dan penabuhnya.
Menurut catatan takmir masjid, sejarah hanya menyisakan antara lain berupa, maksurah atau tempat shalat bagi bupati kala itu, mimbar tempat khotbah berbahan kayu jati yang di bagian muka bertuliskan tahun 1210 H, serta bergambar beduk dan penabuhnya.
Di kompleks berdirinya masjid yang saat
ini sedang dibangun sebuah menara dengan tinggi 45 meter. Adanya makam
di kompleks masjid, pada awalnya adalah rumah Wali Joko. Selain makam
Wali Joko yang berada di depan sebelah selatan Masjid Agung Kendal, di
belakang masjid juga terdapat dua makam ulama lainnya, yaitu makam Kiai
Abu Sujak yang di era 1800-an adalah penghulu pertama Masjid Agung
Kendal dan makam Wali Hadi yang meninggal pada 1930.
Tradisi peninggalan Wali Joko yang masih
dapat ditemui di Masjid Agung Kendal, salah satunya ialah membuat
tradisi buka bersama dan juga Kegiatan Tadarus di bulan Ramadan serta
menggelar pengajian Kitab Kuning (kitab yang berisi uraian dan
penjabaran para ulama yang bersumber dari Alquran dan Hadis.
Sunan Nyamplungan
Nama Karimunjawa menurut rakyat
setempat tidak terlepas dari sosok Sunan Nyamplung yang bernama asli Amir
Hasan. Dia adalah putra Sunan Muria yang sejak kecil agak dimanjakan oleh
ibundanya Dewi Sujinah, sehingga perilakunya cenderung nakal. Amir Hasan
dititipkan kepada pamannya, Sunan Kudus, dengan harapan perilakunya berubah dan
itu menjadi kenyataan karena kemudian ia menjadi sosok pemuda yang sangat taat.
Sunan Muria yang sangat bangga
melihat perkembangan putranya itu kemudian memerintahkannya pergi ke salah satu
pulau yang terlihat kremun-kremun dari puncak Gunung Muria. Disertai dua orang
abdi, Amir Hasan berangkat dan diberi bekal berupa dua buah biji Nyamplung
untuk ditanam di pulau tersebut. Di samping itu ia juga membawa Mustaka Masjid (sampai
saat ini masih berada di kompleks pemakaman Sunan Nyamplung).
Pulau yang terlihat kremun-kremun
dari daratan Jawa itu akhirnya menjadi tempat tinggal Amir Hasan dan pohon
Nyamplung yang ditanamnya tumbuh subur berkembang biak hingga mengitari pulau.
Sampai sekarang masyarakat menyebut Amir Hasan sebagai "Sunan
Nyamplungan".
Tapi saat kepergian Amir Hasan ke
pulau itu rupanya tidak dengan sepengetahuan ibunya. Mengetahui anaknya tidak
berada di rumah, Sang Ibu terkejut dan segera bergegas menyusulnya ke pantai.
Maksudnya hanya ingin memberi tambahan bekal. Sesuai kesukaan anaknya, Nyai
Sunan Muria membawakan pecel lele dan siput yang telah dimasak.
Namun, ketika ia sampai di pantai,
sang anak telah berangkat bersama dua pengiringnya. Dengan rasa kecewa akhirnya
bungkusan pecel lele dan bungkusan siput dibuang ke laut. Atas kehendak Tuhan,
bungkusan itu terbawa ombak dan mengikuti perjalanan Amir Hasan sampai ke
Karimunjawa. Hal inilah yang konon kemudian mengakibatkan ikan-ikan lele yang
ada di Karimunjawa tidak memiliki patil. Areal ini sekarang dikenal dengan nama
Legon Lele, yaitu kawasan di bagian timur Pulau Karimunjawa. Demikian pula,
konon, sampai sekarang siput yang hidup di Legon Lele juga memiliki ciri khas,
yaitu punggungnya belong.
Ular Bermata Buta
Diriwayatkan pula ketika Amir
Hasan sampai di daratan Karimunjawa, ia mulai mencari tempat yang cocok untuk
menyebarluaskan agama Islam. Tiba-tiba seekor ular menghadangnya. Ular itu
bertubuh pendek, berwarna hitam dan sangat berbisa. Ular itu berusaha menggigit
Amir Hamzah tetapi tidak mempan. Namun Amir Hamzah sangat marah dan mengutuk
ular tersebut menjadi buta. Sampai sekarang jenis ular yang dikenal dengan nama
'Ular Edor' ini, matanya buta dan umumnya tidak mampu untuk bergerak di siang
hari.
Konon, kayu yang digunakan Amir
Hamzah mengutuk Ular Edor itu ialah Kayu Setigi. Maka tak heran jika Kayu
Setigi ini kemudian dipercaya masyarakat Karimunjawa dapat menyerap bisa dari
semua binatang, termasuk ular.
Kayu Dewa dan Kalimosodo
Makam Sunan Nyamplungan terletak
di Puncak Gunung Karimunjawa sebelah utara. Di pintu gerbang pemakaman itu
terdapat dua buah pohon besar, Masyarakat setempat menyebutnya sebagai "Kayu
Dewa".
Menurut kepercayaan masyarakat di sana sampai sekarang, kayu
Dewadaru ini mempunyai khasiat dan bahkan dikeramatkan. Konon, barang siapa
menyimpan kayu tersebut di rumah, akan terhindar dari niat orang mencuri dan
orang bermaksud jahat lainnya.
Berat jenis Kayu Dewadaru dan Kayu
Segiti lebih besar dari air, sehingga jika diletakkan di air kayu tersebut akan
tenggelam.
Sedangkan Kayu Kalimosodo, konon dapat
digunakan untuk menghalau lelembut atau roh-roh jahat yang mengganggu manusia.
Biasanya, kayu ini diisi mantra-mantra oleh "orang-orang pintar" di sana sesuai keinginan pemilik
kayu.
SYEKH TEGAL ARUM
jika RADEN ADIPATI ARYO COKRONAGORO I berjiwa seperti kiai, sunan atau
ulama besar tidak lain karena di dalam darahnya mengalir nilai-nilai
Islam para kiai atau sunan yang menjadi pendahulunya. Misalnya seperti
Kiai Nosingo (Wonosingo) yang merupakan kakeknya atau bahkan dengan
Sunan Geseng.
Sunan Geseng adalah murid dari ulama besar Jawa, yakni Sunan Kalijogo. Sebutan Sunan Geseng diberikan Sunan Kalijaga kepada Kiai Cokrojoyo I karena begitu setia terhadap perintahnya sehingga merelakan badannya menjadi hangus (geseng).
Alkisah, setelah ditinggal ibundanya (yakni Nyai Ageng Bagelen atau Raden Rara Rengganis), Bagus Gentho melanjutkan hidupnya di desa Bagelen. Pekerjaan sehari-hari dilakukan menjadi petani seperti kebiasaan para leluhur. Setelah dewasa ia menikah dan memperoleh putra yang diberi nama Raden Damarmoyo.
Raden Damarmoyo mempunyai putri bernama Raden Rara Rengganis II yang setelah dewasa menikah dengan Kiai Pakotesan. Pernikahan mereka menghasilkan keturunan, yakni Pangeran Semono atau sering disebut Pangeran Muryo. Dari hasil pernikahan Pangeran Semono inilah Kiai Cokrojoyo I lahir untuk mencicipi kehidupan di dunia dan kemudian dikenal sebagai Sunan Geseng
Saat Kiai Cokrojoyo I beranjak dewasa, Islam sedang mengalir deras ke Tanah Jawa. Penyebabnya tak lain karena sepak terjang para wali yang sangat gigih menyebarkan Islam di Tanah Jawa (baca: Pusat Pengembangan Peradaban Islam Madani). Di tengah fanatisme masyarakat penganut Hindu, Budha maupun Dinamisme, Sembilan Wali menyebarkan Islam ke Tanah Jawa mulai penghujung abad 14 sampai pertengahan abad 16. Para Wali Allah tersebut tinggal di tiga wilayah strategis pantai utara Jawa, yakni Jawa Timur (Surabaya-Gresik-Lamongan), Jawa Tengah (Demak-Kudus-Muria) dan Jawa Barat (Cirebon).
Di Jawa Tengah yang menjadi pemimpin wali Allah dalam menyebarkan Islam termasuk Sunan Kalijogo. Ia sering berkelana keliling menyiarkan Islam sampai di pelosok desa maupun hutan .
Pada suatu hari Sunan Kalijogo singgah di kediaman Kiai Cokrojoyo I karena mendengar kiprah anak Pangeran Semono ini dalam menyebarkan Islam di daerahnya. Sewaktu tiba, Cokrojoyo sedang mencetak aren sambil bernyanyi dengan santai (Jawa: uro-uro).
Setelah mengucapkan salam, Sunan Kalijaga bertanya; "Berapa hasilnya setelah menjadi gula?" Cokrojoyo menjawab seketika; ”hanya cukup untuk menghidupi orang melarat”. Sunan Kalijaga lalu berkata; ”Coba gantikanlah uran-uran-mu dengan Surat Kalimah Syahadat. "Kemarilah biar aku ajarkan membacanya dan nanti jika gulanya telah tercetak bawalah kemari, aku akan melihatnya," ujar Kalijaga lebih lanjut.
Setelah mengucapkan Surat Kalimah Syahadat, Cokrojoyo meneruskan kerjanya, dan sesudah gulanya dicetak ia tutupi dengan tampi. Kemudian cetakan gula itu diserahkan ke Sunan Kalijaga. Namun betapa takjubnya ketika tutup gula itu diangkat oleh Sunan Kalijaga, dilihatnya gula aren yang baru dibuat telah berubah menjadi emas. Ia pun langsung diam terpaku hingga beberapa saat.
Sewaktu sadar, Sunan Kalijaga sudah tak di tempat. Dengan bergegas (Jawa: guralawan) Cokrojoyo mengejar dan setelah berhasil menyusul ia langsung bersimpuh pada lutut Kalijaga. Sambil berlutut ia memohon agar diperkenankan menjadi muridnya. Dikisahkan Sunan Kalijaga mengatakan; ”Anakku (Jawa: jebeng) jika sungguh-sungguh ingin menjadi murid, maka kau harus bertapa sujud di tempat ini dan jangan pergi sebelum aku datang.” Setelah berkata demikian, Kalijaga sirna dari pandangan dalam sekejap.
Syahdan, Kalijaga baru teringat dengan peristiwa itu ketika lewat di desa Bagelen dalam rangka syiar Islam keliling. Kemudian para pengikutnya diperintahkan untuk mencari tempat bertapa Kiai Cokrojoyo I. Namun karena sudah dipenuhi alang-alang dan tumbuhan liar setinggi manusia, maka tak seorangpun berhasil menemukan.
Sunan Kalijogo kemudian memerintahkan untuk membabat seluruh tumbuh-tumbuhan yang menutupi tempat itu. Tapi sekali lagi, upaya itu sia-sia. Akhirnya tak ada jalan lain kecuali membakar seluruh alang-alang dan semua tumbuhan yang telah dibabat. Dikisahkan walaupun alang-alang dan dahan-dahan tumbuhan masih basah, ketika didoakan oleh Sunan Kalijaga, api langsung menyala berkobar-kobar seperti kebakaran hutan besar. Peristiwa itu membuat penduduk di sekitarnya menjadi cemas dan ketakutan.
Setelah api reda dan semua tumbuh-tumbuhan rata dengan tanah, terlihatlah tubuh Kiai Cokrojoyo I masih dalam posisi sujud namun telah hitam hangus. Walaupun seperti tak bernyawa, namun denyut jantungnya masih berdetak dengan sangat lemah.
Sunan Kalijaga mendekati tubuh hangus itu sambil berkata; ”Hai Cokrojoyo bangunlah. Jangan enak-enak tidur, aku datang”. Seketika Cokrojoyo tersentak dan begitu melihat sang guru ia langsung bersimpuh.
Kiai Cokrojoyo I kemudian mendapat wisik ”manunggalnya kawulo dengan gusti”, yang berarti dirinya telah mencapai tingkat kesempurnaan tertentu. Setelah menerima berkah Sunan Kalijaga, hatinya merasa semakin terang (dalam istilah Jawa: kadyo mendung ingkang kabuncang ing samirono, narawang lir pendah saged muluk ing ngawiyat).
Sunan Kalijogo meneruskan wejangan kepada Cokrojoyo. Dikatakan, atas kemurahan Allah Yang Maha Kuasa, Cokrojoyo telah terbuka (Jawa: tinarbuko) memperoleh Wahyu Wali. Kalijogo meneruskan ucapannya; "Karena badanmu hangus (geseng), pakailah nama Sunan Geseng dan mulailah bermukim (Jawa: tetruko) di hutan Loano. Hutan ini kelak akan menjadi desa ramai dan akan menjadi tempat tinggal para keturunan raja."
Sunan Geseng mengembara menyebarkan agama Islam sampai ke desa Jatinom, sekitar 10 kilometer arah utara kota Klaten. Penduduk Jatinom mengenal Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng Gribig, karena ia senang tinggal di rumah beratap gribig (anyaman daun nyiur).
Menurut legenda, ketika Ki Ageng Gribig pulang menunaikan ibadah haji, dilihatnya penduduk Jatinom sedang kelaparan. Ia kemudian membagikan sepotong kue apem kepada ratusan orang yang kelaparan. Kepada semua orang yang menerima secuil kue itu disuruhnya makan sambil berzikir: Ya-Qowiyyu (Allah Maha Kuat). Anehnya, seketika semuanya merasa kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom masih menyelenggarakan upacara ”Ya-Qowiyyu” setiap bulan Syafar.
Upacara itu dimulai masyarakat dengan membuat kue apem lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul hingga 40 ton itu berjumlah sekitar ratusan ribu potong. Puncak upacara berlangsung usai shalat Jumat. Dari menara masjid, kue apem disebarkan oleh para santri sambil berzikir; "Ya Qowiyyu..." Ribuan orang yang menghadiri upacara itu kemudian memperebutkan apem ”gotong royong” yang disebut apem ”Jokowiyu”.
Dikisahkan setelah 40 tahun kemudian, yang bertahta di kerajaan Mataram adalah Kangjeng Sinuwun Anyokrowati (1612-1621). Istri prameswarinya adalah Kanjeng Ratu Mas Hadi, putri dari Pangeran Adipati Benowo di Pajang. Pangeran Adipati Benowo ini adalah putra dari Joko Tingkir (Kangjeng Sinuwun Hadiwijoyo).
Kangjeng Sinuwun Anyokrowati mempunyai kakak laki-laki bernama Pangeran Wiromenggolo yang berambisi menjadi raja. Karena obsesi itu ia bertapa siang dan malam dan berguru pada Sunan Geseng di Tegal Bekung untuk mencapai kesempurnaan hidup. Karena bertapa melebihi batas kemampuan, Pangeran Wiromenggolo menemui ajalnya. Dikisahkan sukmanya merasuk ke dalam ikan tombro bersisik kencana (ikan mas).
Pada saat bersamaan, sang prameswari Kangjeng Ratu Mas Hadi sedang mengandung dan ngidam ikan tombro bersisik emas. Keinginannya itu disampaikan berkali-kali kepada suaminya Kangjeng Sinuwun.
Dalam pada itu Kangjeng Sinuwun mendengar kabar bahwa Sunan Geseng memiliki sebuah jala sutra dengan biji pemberat dari emas, yang khusus hanya untuk menjala ikan tombro. Oleh karenanya, sang Prabu mengirim utusan untuk minta bantuan Sunan Geseng menangkap ikan tombro bersisik kencana seperti yang diinginkan sang Ratu.
Akhirnya keinginan sang Ratu Ratu terpenuhi dan lahirlah bayi laki-laki yang diberi nama Raden Mas Jatmiko (atau Raden Mas Rangsang). Setelah Sinuwun Anyokrowati wafat, kedudukannya diganti oleh putranya Raden Mas Jatmiko, dengan gelar Kangjeng Sinuwun Sultan Agung Anyokrokusumo (1621-1636).
Sang Prabu juga berguru ilmu kesempurnaan pada Sunan Geseng, sampai pada tingkat penguasaan yang tinggi (Jawa: widagdo waskitho ing samudayanipun). Atas jasanya, Sunan Geseng dianugerahi sebidang tanah jabatan (siti lenggah) dengan nama Kiai Ageng Jolosutro.
Kini makam Sunan Geseng di Kabupaten Bantul, Yogyakarta dikenal Makam Jolosutro dan dikeramatkan orang untuk diziarahi terutama pada Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon.
Perkawinan Sunan Geseng melahirkan anak perempuan bernama Nyai Tumenggung Kertisara yang pada saat dewasa bersuamikan Bupati Jenar. Bupati Kertisara memiliki anak bernama Wiratantana yang memiliki anak perempuan bernama Raden Rara Sragu. Dari hasil perkawinannya, Raden Rara Sragu memiliki dua orang putera, yakni Kertamanggolo (kemudian bergelar Adipati Nilasrobo I atau Cokrojoyo II) dan Raden Bumi.
Dikisahkan Kertamanggolo memiliki perawakan yang agak aneh sehingga sering disebut Joko Bedug. Karena itu ayahnya memerintahkan untuk tapa brata secara ”gentur”, mengurangi tidur serta makan, dengan tekad agar segera diampuni oleh Yang Maha Kuasa. Setelah beberapa waktu, dikisahkan ia mendapat ampun dari Tuhan YME dan kembalilah wujudnya seperti sediakala, yaitu sebagai manusia.
Konon ”genturnya” Joko Bedug didengar Sang Raja Mataram. Karena itu ia diangkat menjadi Bupati di Bedug dengan nama, Raden Adipati Nilosrobo I. Setelah wafat ia dimakamkan dekat dengan Petilasan Nyai Ageng Bagelen.
Raden Adipati Nilosrobo I mempunyai putra, Raden Cokrojoyo III (Tumenggung Rogowongso atau Raden Adipati Danurejo). Setelah ditinggal wafat ayahnya, Raden Cokrojoyo III diperkenan oleh Sinuwun di Mataram untuk menggantikan kedudukan ayahanda sebagai Bupati di Bedug.
Semasa hidupnya, Raden Cokrojoyo III mengalami berbagai peristiwa huru-hara. Tidak jelas berapa lama perang itu berlangsung, tetapi yang jelas ketika Sinuwun Pakubuwono I mangkat dan kemudian digantikan oleh putranya (bergelar Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung), Kia Patih Cokrojoyo III masih di Surabaya.
Pengabdian Kiai Patih Cokrojoyo III di segala bidang sangat luar biasa. Akibatnya Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung menganugerahkan pangkat Adipati. Dengan gelar Adipati Danurejo, beliau meneruskan pengabdiannya sebagai Patih Kerajaan. Pengabdian itu berlangsung setelah Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung mangkat dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sinuwun Paku Buwono II.
Saat pergantian tampuk pimpinan kepada Raja yang masih muda itu, Kyai Patih diberhentikan dari jabatannya, dan bahkan dikisahkan dibuang ke Jakarta. Sesungguhnya Kyai Patih sudah mengabdi pada tiga Raja, yaitu Sinuwun Paku Buwono I, Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung dan Paku Buwono II. Kalau dihitung, jumlah pengabdiannya semasa jaman Pangeran Puger sudah berlangsung selama 45 tahun.
Cerita kembalinya Adipati Danurejo ke Bagelen memang masih misteri. Namun setelah ia dan istrinya wafat, jasadnya dimakamkan di pegunungan Gemulung di desa Bagelen, tidak jauh dari petilasan Nyai Ageng Bagelen.
Saat ini, makam Kiai Cokrojoyo III atau Tumenggung Rogowongso atau Raden Adipati Danurejo sudah dicungkup dengan dinding tembok. Makam itu dikenal nama Makam Rogowangsan, terletak di desa Bagelen Kabupaten Purworejo Jawa Tengah.
Kembali pada kisah Raden Adipati Danurejo, ia beristrikan adik dari Sinuwun Paku Buwono II yang merupakan keturunan dari Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung. Istrinya bernama Bandoro Raden Ayu Tungle yang sehari-harinya disebut (Jawa: apeparab) Kleting Dadu.
Sebelum menikahi Raden Adipati Danurejo, BRA. Tungle sudah kawin dengan Raden Nosuto yang disebut juga Wirosuto. Raden Nosuto masih bersaudara sepupu dari Raden Adipati Danurejo, yaitu putra dari Joko Bumi, kakak laki-laki (Jawa:roko) dari Joko Bedug alias Raden Nilosrobo I.
Perkawinan BRA. Tungle dengan Raden Nosuto menurunkan tiga orang anak laki-laki, yakni:
1. Raden Tumenggung Cokrojoyo I yang dikenal dengan nama Cokrojoyo Mbalik. Selama perang Giyanti ia menjadi pendamping Tumenggung Arung Binang;
2. Raden Kertoyudo;
3. Raden Hudosoro atau Yudosoro;
Perkawinan dengan Raden Adipati Danurejo, BRA. Tungle mempunyai 6 orang anak;
1. Raden Ayu Lebe (kemudian menikah dengan Syeh Baulowi);
2. Raden Ayu Notoyudo III (yakni istri Raden Tumenggung Notoyudo III, Bupati Kedu);
3. Raden Nilosrobo (tidak memiliki keturunan);
4. Raden Tumenggung Kartomenggolo (dimakamkan di Bedug);
5. Raden Rogoyudo (dimakamkan di Bagelen);
6. Raden Ayu Nosingo (menjadi istri Kiai Nosingo di Bragolan);
Perkawinan Raden Ayu Nosingo (Wonosingo) dengan Kiai Nosingo (Wonosingo) melahirkan keturunan dua anak laki-laki, yakni:
1. Raden Mas Singowijoyo;
2. Raden Mas Singogati
Setelah menikah, Raden Mas Singowijoyo (Raden Bei Singawijaya) memiliki tiga orang putera yang salah satunya kemudian menjadi Bupati pertama Purworejo):
1. Raden Rekso Diwiryo (RAA Cokronagoro I, Bupati Purworejo);
2. Raden Nganten Citrowikromo;
3. Raden Prawironagoro (Raden Tumenggung Prawironagoro, Wedana Bragolan);
Dari Raden Adipati Aryo Cokronagoro I lahir bupati-bupati Purworejo penerusnya sampai Raden Mas Tumenggung Cokronagoro IV. Adik bungsu RAA Cokronagoro I, yakni Raden Tumenggung Prawironagoro mempunyai anak bernama Raden Ayu Cokroatmojo yang menjadi istri Raden Adipati Cokroatmojo, Bupati Temanggung. Raden Adipati Cokroatmojo sendiri adalah putra Raden Gagak Handoko dari Loano.
Sementara Raden Mas Singogati di Jenar mempunyai putra Raden Singodrio dari Bakungan, cucu dari Raden Singowijoyo di Bragolan atau cicit Raden Singodiwongso (Kiai Singodiwongso) dan terus mengalir sampai kini.
Sunan Geseng adalah murid dari ulama besar Jawa, yakni Sunan Kalijogo. Sebutan Sunan Geseng diberikan Sunan Kalijaga kepada Kiai Cokrojoyo I karena begitu setia terhadap perintahnya sehingga merelakan badannya menjadi hangus (geseng).
Alkisah, setelah ditinggal ibundanya (yakni Nyai Ageng Bagelen atau Raden Rara Rengganis), Bagus Gentho melanjutkan hidupnya di desa Bagelen. Pekerjaan sehari-hari dilakukan menjadi petani seperti kebiasaan para leluhur. Setelah dewasa ia menikah dan memperoleh putra yang diberi nama Raden Damarmoyo.
Raden Damarmoyo mempunyai putri bernama Raden Rara Rengganis II yang setelah dewasa menikah dengan Kiai Pakotesan. Pernikahan mereka menghasilkan keturunan, yakni Pangeran Semono atau sering disebut Pangeran Muryo. Dari hasil pernikahan Pangeran Semono inilah Kiai Cokrojoyo I lahir untuk mencicipi kehidupan di dunia dan kemudian dikenal sebagai Sunan Geseng
Saat Kiai Cokrojoyo I beranjak dewasa, Islam sedang mengalir deras ke Tanah Jawa. Penyebabnya tak lain karena sepak terjang para wali yang sangat gigih menyebarkan Islam di Tanah Jawa (baca: Pusat Pengembangan Peradaban Islam Madani). Di tengah fanatisme masyarakat penganut Hindu, Budha maupun Dinamisme, Sembilan Wali menyebarkan Islam ke Tanah Jawa mulai penghujung abad 14 sampai pertengahan abad 16. Para Wali Allah tersebut tinggal di tiga wilayah strategis pantai utara Jawa, yakni Jawa Timur (Surabaya-Gresik-Lamongan), Jawa Tengah (Demak-Kudus-Muria) dan Jawa Barat (Cirebon).
Di Jawa Tengah yang menjadi pemimpin wali Allah dalam menyebarkan Islam termasuk Sunan Kalijogo. Ia sering berkelana keliling menyiarkan Islam sampai di pelosok desa maupun hutan .
Pada suatu hari Sunan Kalijogo singgah di kediaman Kiai Cokrojoyo I karena mendengar kiprah anak Pangeran Semono ini dalam menyebarkan Islam di daerahnya. Sewaktu tiba, Cokrojoyo sedang mencetak aren sambil bernyanyi dengan santai (Jawa: uro-uro).
Setelah mengucapkan salam, Sunan Kalijaga bertanya; "Berapa hasilnya setelah menjadi gula?" Cokrojoyo menjawab seketika; ”hanya cukup untuk menghidupi orang melarat”. Sunan Kalijaga lalu berkata; ”Coba gantikanlah uran-uran-mu dengan Surat Kalimah Syahadat. "Kemarilah biar aku ajarkan membacanya dan nanti jika gulanya telah tercetak bawalah kemari, aku akan melihatnya," ujar Kalijaga lebih lanjut.
Setelah mengucapkan Surat Kalimah Syahadat, Cokrojoyo meneruskan kerjanya, dan sesudah gulanya dicetak ia tutupi dengan tampi. Kemudian cetakan gula itu diserahkan ke Sunan Kalijaga. Namun betapa takjubnya ketika tutup gula itu diangkat oleh Sunan Kalijaga, dilihatnya gula aren yang baru dibuat telah berubah menjadi emas. Ia pun langsung diam terpaku hingga beberapa saat.
Sewaktu sadar, Sunan Kalijaga sudah tak di tempat. Dengan bergegas (Jawa: guralawan) Cokrojoyo mengejar dan setelah berhasil menyusul ia langsung bersimpuh pada lutut Kalijaga. Sambil berlutut ia memohon agar diperkenankan menjadi muridnya. Dikisahkan Sunan Kalijaga mengatakan; ”Anakku (Jawa: jebeng) jika sungguh-sungguh ingin menjadi murid, maka kau harus bertapa sujud di tempat ini dan jangan pergi sebelum aku datang.” Setelah berkata demikian, Kalijaga sirna dari pandangan dalam sekejap.
Syahdan, Kalijaga baru teringat dengan peristiwa itu ketika lewat di desa Bagelen dalam rangka syiar Islam keliling. Kemudian para pengikutnya diperintahkan untuk mencari tempat bertapa Kiai Cokrojoyo I. Namun karena sudah dipenuhi alang-alang dan tumbuhan liar setinggi manusia, maka tak seorangpun berhasil menemukan.
Sunan Kalijogo kemudian memerintahkan untuk membabat seluruh tumbuh-tumbuhan yang menutupi tempat itu. Tapi sekali lagi, upaya itu sia-sia. Akhirnya tak ada jalan lain kecuali membakar seluruh alang-alang dan semua tumbuhan yang telah dibabat. Dikisahkan walaupun alang-alang dan dahan-dahan tumbuhan masih basah, ketika didoakan oleh Sunan Kalijaga, api langsung menyala berkobar-kobar seperti kebakaran hutan besar. Peristiwa itu membuat penduduk di sekitarnya menjadi cemas dan ketakutan.
Setelah api reda dan semua tumbuh-tumbuhan rata dengan tanah, terlihatlah tubuh Kiai Cokrojoyo I masih dalam posisi sujud namun telah hitam hangus. Walaupun seperti tak bernyawa, namun denyut jantungnya masih berdetak dengan sangat lemah.
Sunan Kalijaga mendekati tubuh hangus itu sambil berkata; ”Hai Cokrojoyo bangunlah. Jangan enak-enak tidur, aku datang”. Seketika Cokrojoyo tersentak dan begitu melihat sang guru ia langsung bersimpuh.
Kiai Cokrojoyo I kemudian mendapat wisik ”manunggalnya kawulo dengan gusti”, yang berarti dirinya telah mencapai tingkat kesempurnaan tertentu. Setelah menerima berkah Sunan Kalijaga, hatinya merasa semakin terang (dalam istilah Jawa: kadyo mendung ingkang kabuncang ing samirono, narawang lir pendah saged muluk ing ngawiyat).
Sunan Kalijogo meneruskan wejangan kepada Cokrojoyo. Dikatakan, atas kemurahan Allah Yang Maha Kuasa, Cokrojoyo telah terbuka (Jawa: tinarbuko) memperoleh Wahyu Wali. Kalijogo meneruskan ucapannya; "Karena badanmu hangus (geseng), pakailah nama Sunan Geseng dan mulailah bermukim (Jawa: tetruko) di hutan Loano. Hutan ini kelak akan menjadi desa ramai dan akan menjadi tempat tinggal para keturunan raja."
Sunan Geseng mengembara menyebarkan agama Islam sampai ke desa Jatinom, sekitar 10 kilometer arah utara kota Klaten. Penduduk Jatinom mengenal Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng Gribig, karena ia senang tinggal di rumah beratap gribig (anyaman daun nyiur).
Menurut legenda, ketika Ki Ageng Gribig pulang menunaikan ibadah haji, dilihatnya penduduk Jatinom sedang kelaparan. Ia kemudian membagikan sepotong kue apem kepada ratusan orang yang kelaparan. Kepada semua orang yang menerima secuil kue itu disuruhnya makan sambil berzikir: Ya-Qowiyyu (Allah Maha Kuat). Anehnya, seketika semuanya merasa kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom masih menyelenggarakan upacara ”Ya-Qowiyyu” setiap bulan Syafar.
Upacara itu dimulai masyarakat dengan membuat kue apem lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul hingga 40 ton itu berjumlah sekitar ratusan ribu potong. Puncak upacara berlangsung usai shalat Jumat. Dari menara masjid, kue apem disebarkan oleh para santri sambil berzikir; "Ya Qowiyyu..." Ribuan orang yang menghadiri upacara itu kemudian memperebutkan apem ”gotong royong” yang disebut apem ”Jokowiyu”.
Dikisahkan setelah 40 tahun kemudian, yang bertahta di kerajaan Mataram adalah Kangjeng Sinuwun Anyokrowati (1612-1621). Istri prameswarinya adalah Kanjeng Ratu Mas Hadi, putri dari Pangeran Adipati Benowo di Pajang. Pangeran Adipati Benowo ini adalah putra dari Joko Tingkir (Kangjeng Sinuwun Hadiwijoyo).
Kangjeng Sinuwun Anyokrowati mempunyai kakak laki-laki bernama Pangeran Wiromenggolo yang berambisi menjadi raja. Karena obsesi itu ia bertapa siang dan malam dan berguru pada Sunan Geseng di Tegal Bekung untuk mencapai kesempurnaan hidup. Karena bertapa melebihi batas kemampuan, Pangeran Wiromenggolo menemui ajalnya. Dikisahkan sukmanya merasuk ke dalam ikan tombro bersisik kencana (ikan mas).
Pada saat bersamaan, sang prameswari Kangjeng Ratu Mas Hadi sedang mengandung dan ngidam ikan tombro bersisik emas. Keinginannya itu disampaikan berkali-kali kepada suaminya Kangjeng Sinuwun.
Dalam pada itu Kangjeng Sinuwun mendengar kabar bahwa Sunan Geseng memiliki sebuah jala sutra dengan biji pemberat dari emas, yang khusus hanya untuk menjala ikan tombro. Oleh karenanya, sang Prabu mengirim utusan untuk minta bantuan Sunan Geseng menangkap ikan tombro bersisik kencana seperti yang diinginkan sang Ratu.
Akhirnya keinginan sang Ratu Ratu terpenuhi dan lahirlah bayi laki-laki yang diberi nama Raden Mas Jatmiko (atau Raden Mas Rangsang). Setelah Sinuwun Anyokrowati wafat, kedudukannya diganti oleh putranya Raden Mas Jatmiko, dengan gelar Kangjeng Sinuwun Sultan Agung Anyokrokusumo (1621-1636).
Sang Prabu juga berguru ilmu kesempurnaan pada Sunan Geseng, sampai pada tingkat penguasaan yang tinggi (Jawa: widagdo waskitho ing samudayanipun). Atas jasanya, Sunan Geseng dianugerahi sebidang tanah jabatan (siti lenggah) dengan nama Kiai Ageng Jolosutro.
Kini makam Sunan Geseng di Kabupaten Bantul, Yogyakarta dikenal Makam Jolosutro dan dikeramatkan orang untuk diziarahi terutama pada Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon.
Perkawinan Sunan Geseng melahirkan anak perempuan bernama Nyai Tumenggung Kertisara yang pada saat dewasa bersuamikan Bupati Jenar. Bupati Kertisara memiliki anak bernama Wiratantana yang memiliki anak perempuan bernama Raden Rara Sragu. Dari hasil perkawinannya, Raden Rara Sragu memiliki dua orang putera, yakni Kertamanggolo (kemudian bergelar Adipati Nilasrobo I atau Cokrojoyo II) dan Raden Bumi.
Dikisahkan Kertamanggolo memiliki perawakan yang agak aneh sehingga sering disebut Joko Bedug. Karena itu ayahnya memerintahkan untuk tapa brata secara ”gentur”, mengurangi tidur serta makan, dengan tekad agar segera diampuni oleh Yang Maha Kuasa. Setelah beberapa waktu, dikisahkan ia mendapat ampun dari Tuhan YME dan kembalilah wujudnya seperti sediakala, yaitu sebagai manusia.
Konon ”genturnya” Joko Bedug didengar Sang Raja Mataram. Karena itu ia diangkat menjadi Bupati di Bedug dengan nama, Raden Adipati Nilosrobo I. Setelah wafat ia dimakamkan dekat dengan Petilasan Nyai Ageng Bagelen.
Raden Adipati Nilosrobo I mempunyai putra, Raden Cokrojoyo III (Tumenggung Rogowongso atau Raden Adipati Danurejo). Setelah ditinggal wafat ayahnya, Raden Cokrojoyo III diperkenan oleh Sinuwun di Mataram untuk menggantikan kedudukan ayahanda sebagai Bupati di Bedug.
Semasa hidupnya, Raden Cokrojoyo III mengalami berbagai peristiwa huru-hara. Tidak jelas berapa lama perang itu berlangsung, tetapi yang jelas ketika Sinuwun Pakubuwono I mangkat dan kemudian digantikan oleh putranya (bergelar Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung), Kia Patih Cokrojoyo III masih di Surabaya.
Pengabdian Kiai Patih Cokrojoyo III di segala bidang sangat luar biasa. Akibatnya Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung menganugerahkan pangkat Adipati. Dengan gelar Adipati Danurejo, beliau meneruskan pengabdiannya sebagai Patih Kerajaan. Pengabdian itu berlangsung setelah Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung mangkat dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sinuwun Paku Buwono II.
Saat pergantian tampuk pimpinan kepada Raja yang masih muda itu, Kyai Patih diberhentikan dari jabatannya, dan bahkan dikisahkan dibuang ke Jakarta. Sesungguhnya Kyai Patih sudah mengabdi pada tiga Raja, yaitu Sinuwun Paku Buwono I, Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung dan Paku Buwono II. Kalau dihitung, jumlah pengabdiannya semasa jaman Pangeran Puger sudah berlangsung selama 45 tahun.
Cerita kembalinya Adipati Danurejo ke Bagelen memang masih misteri. Namun setelah ia dan istrinya wafat, jasadnya dimakamkan di pegunungan Gemulung di desa Bagelen, tidak jauh dari petilasan Nyai Ageng Bagelen.
Saat ini, makam Kiai Cokrojoyo III atau Tumenggung Rogowongso atau Raden Adipati Danurejo sudah dicungkup dengan dinding tembok. Makam itu dikenal nama Makam Rogowangsan, terletak di desa Bagelen Kabupaten Purworejo Jawa Tengah.
Kembali pada kisah Raden Adipati Danurejo, ia beristrikan adik dari Sinuwun Paku Buwono II yang merupakan keturunan dari Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung. Istrinya bernama Bandoro Raden Ayu Tungle yang sehari-harinya disebut (Jawa: apeparab) Kleting Dadu.
Sebelum menikahi Raden Adipati Danurejo, BRA. Tungle sudah kawin dengan Raden Nosuto yang disebut juga Wirosuto. Raden Nosuto masih bersaudara sepupu dari Raden Adipati Danurejo, yaitu putra dari Joko Bumi, kakak laki-laki (Jawa:roko) dari Joko Bedug alias Raden Nilosrobo I.
Perkawinan BRA. Tungle dengan Raden Nosuto menurunkan tiga orang anak laki-laki, yakni:
1. Raden Tumenggung Cokrojoyo I yang dikenal dengan nama Cokrojoyo Mbalik. Selama perang Giyanti ia menjadi pendamping Tumenggung Arung Binang;
2. Raden Kertoyudo;
3. Raden Hudosoro atau Yudosoro;
Perkawinan dengan Raden Adipati Danurejo, BRA. Tungle mempunyai 6 orang anak;
1. Raden Ayu Lebe (kemudian menikah dengan Syeh Baulowi);
2. Raden Ayu Notoyudo III (yakni istri Raden Tumenggung Notoyudo III, Bupati Kedu);
3. Raden Nilosrobo (tidak memiliki keturunan);
4. Raden Tumenggung Kartomenggolo (dimakamkan di Bedug);
5. Raden Rogoyudo (dimakamkan di Bagelen);
6. Raden Ayu Nosingo (menjadi istri Kiai Nosingo di Bragolan);
Perkawinan Raden Ayu Nosingo (Wonosingo) dengan Kiai Nosingo (Wonosingo) melahirkan keturunan dua anak laki-laki, yakni:
1. Raden Mas Singowijoyo;
2. Raden Mas Singogati
Setelah menikah, Raden Mas Singowijoyo (Raden Bei Singawijaya) memiliki tiga orang putera yang salah satunya kemudian menjadi Bupati pertama Purworejo):
1. Raden Rekso Diwiryo (RAA Cokronagoro I, Bupati Purworejo);
2. Raden Nganten Citrowikromo;
3. Raden Prawironagoro (Raden Tumenggung Prawironagoro, Wedana Bragolan);
Dari Raden Adipati Aryo Cokronagoro I lahir bupati-bupati Purworejo penerusnya sampai Raden Mas Tumenggung Cokronagoro IV. Adik bungsu RAA Cokronagoro I, yakni Raden Tumenggung Prawironagoro mempunyai anak bernama Raden Ayu Cokroatmojo yang menjadi istri Raden Adipati Cokroatmojo, Bupati Temanggung. Raden Adipati Cokroatmojo sendiri adalah putra Raden Gagak Handoko dari Loano.
Sementara Raden Mas Singogati di Jenar mempunyai putra Raden Singodrio dari Bakungan, cucu dari Raden Singowijoyo di Bragolan atau cicit Raden Singodiwongso (Kiai Singodiwongso) dan terus mengalir sampai kini.
Sunan Gribig
Syekh Wasibagno
Kyai Ageng Gribig Jatinom
Asal keturunan kyai-kyai Jawa memilki akar yang sama, yakni para wali sunan pembawa islam ke tanah jawa dari jalur Arab, mereka memiliki padepokan pesantren dengan asimilasi kuat budaya setempat. Nama terkenal di era kini adalah Wali Songo terutama Sunan Malik Ibrahim yang berpengaruh besar melahirkan Kerajaan Demak Bintara. Di masa peletakan dasar Mataram Islam ini terdapat nama Ki Ageng Gribig (KAG) yang dikenal sebagai “Syekh Wasibagno”, kata wasi berakar dari akar kata wasiat yakni bahwa beliau pemegang wasiat dakwah islam wilayah tengah tanah Jawa di Jatinom Klaten.
Silsilahnya menurut Indarjo seorang Wedana Jatinom pada rapat panitia Yaqawiyyu tanggal 11 Sapar 1884 / 30 Oktober 1952 dalam buku Riwayat Kyai Ageng Gribig Jatinom Klaten, mengarah langsung kepada Raja Brawijaya Majapahit. Menurut sumber ini, keturunan langsung beliau adalah:
1. Kyai Gambiran
2. Kyai Gribig II
3. Den Mas Sahid (ibu dari Pajang)
4. Kyai Tafsir Imam
5. Ki Bagus Kentolingalas
Sumber lain mengatakan bahwa putra putri beliau juga Nyai Ageng Penganten dan Kyai Ageng Lebak yang memiliki putera Kyai Ageng Abdul. Nama KAG juga menurunkan pendiri Muhammadiyah, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan. Data selengkapnya bisa kita baca berikut ini:
Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana Ainul Jaqina,
Maulana Mohammad Fadlu’llah (Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom),
Demang Djurang Djuru Sapisan, Demang Djurang Djuru Kapindo, Kijai Iljas, Kijai Murtadla,
K. Hadji Mohammad Sulaiman, K.H. Abubakar, K.H. Achmad Dachlan (Mohammad Darwis).
(Sumber :
MUHAMMADIJAH SETENGAH ABAD 1912-1962
Diterbitkan oleh Departemen Penerangan RI Djakarta, 23 Djanuari 1963).
Di dalam kompleks makam KAG di Jatinom Klaten tersembunyi kekayaan sejarah tak terhingga yang dapat membuka fakta terlupakan, bahwa tanggung jawab Muhammadiyah tidak terhenti sepeninggal pendirinya, seperti soal simbol-simbol kejawen di dalam makam dan hal-hal menyangkut amal ibadah terkait. Generasi muda islam perlu membaca makam sebagai candi dengan menggunakan semiotika (semiologi), seperti di dalam kompleks Makam KAG terbaca jelas lambang Majapahit, sebagaimana bahwa lambang Muhammadiyah adalah hastabrata yang juga banyak terdapat di komplek Makam Trowulan. (Perkempalan Tjap Orang Jadzab, TOJ, Jogjakarta, 2008).
Menelusuri Islam di Era Majapahit:
Dari acara Waosan TOJ saat Hantlusuri Tapak Tilas Yasan Kyai Ageng Gribig Jatinom, 11 Desember 2008 terungkap bahwa sesungguhnya KAG saat awal 1501M-1600an) adalah figur yang amat berpengaruh menyiapkan kekuatan Kstatria Mataram termasuk seorang figur guru utama dari Sultan Agung Hanyakrakusuma (SA) mulai 1613 – 1646 dan penyiapan pasukan Mataram ke Batavia. KAG seperti tersebut di atas dan terbukti kemudian amat berpengaruh dalam diri SA beserta kebesaran nama beliau dalam sejarah islam Jawa.
Berdiri Beteng Kotagede 1506, tanda berdiri kraton di alas Mentaok dekat Kotagede sekarang. Ramanda beliau Pangeran Senopati (PS) jumeneng 1582 berjarak masa 80 tahun dari era berdirinya Beteng Kotagede Mataram. Sultan Agung jumeneng di Kraton Kotagede 1617 saat beliau masih berusia 15 tahunan yang waktu kecil bergelar Raden Bagus Jatmika dan dalam berguru agama islam beliau dikirim oleh PS kepada KAG Jatinom, saat itu berusia 5 tahun-an telah menghafal al-Qur’an al-Karim. Dalam mendidik, oleh KAG Jatmika kecil diberi Cincin Merah Delima lalu dibacakan kitab-kitab agar Jatmika menyimak bacaan serta diiringi suara Kodok Ngorek, istilah bahasa Arab yang artinya Qadha Qari, bahwa KAG sebagai pembaca tugas-tugas tanggung jawab keislaman pada Jatmika kecil. Kelak saat dewasa bahkan diakui keislaman Jatmika ini dalam jejak sejarah islam dunia.
Sultan Agung lalu pindah ke Kerta, namun tetap beliau amat menghormati KAG yang dibuktikan dengan berdirinya Masjid Alit Jatinom Klaten, dibangun oleh SA dengan cara “melanting” bahan-bahan material masjid kesemuanya dari Kraton Kotagede, bisa dibayangkan berapa KM jarak dan berapa panjang manusia melanting material bangunan saat itu. Bukti lain beliau sangat dihormati oleh Sultan adalah ketika Raden Jatmika telah dianggap cukup ilmunya, dipanggillah dia ke Sunan Tembayat Samarang, disana sebetulnya Tembayat telah tiada, hanya menemui pusaranya untuk bekti dan berguru. Keberadaan KAG juga terngiang saat Sultan berada di Wotgaleh Ngayogyakarta, SA tetap berkait pada gurunya. Wiritnya saja Ya Qawiyu Ya Aziz adalah senjata perang Sabilillah 1628 dan1629 ke Batavia, dari wirit ini kini dikenal tiap bulan Sapar Kalender Jawa ada Upara Yaqawiyyu di Jatinom, fakta bahwa betul-betul KAG amat penting posisinya dalam sejarah Mataram Islam.
Era ke belakang yakni sebelum Mataram ada Pajang, Demak, lalu ada nama Bre Kertabumi (Brawijaya v) raja Majapahit. Pelajaran Sejarah mengajarkan bahwa kerajaan ini merupakan Kerjaan Hindu, padahal data makam di Tralaya Trowulan Mojokerto terdapat kompleks Trah Ulama Majapahit, seperti makam Pusponegoro, Sayyid Jumadil Kubro, kturunan ke-8 Nabi Muhammad SAW, disana terdapat 3000an makam dan janazah tidak diaben (dibakar) seperti layaknya penganut Hindu Bali misalnya. Bukti lambang hastabrata Surya Majapahit banyak kita temui di komp[leks tersebut, termasuk inskripsi kalimat tauhid, tanda hilal bulan sabit, tulisan qullu syain haaliqum illa wajhahu, akasara jawa banyak pula tertera disamping tulisan wa allah a’lam dan warna warni kalimatullah disamping simbul kala (mangsa, era, zaman), naga, yoni atau aneka ukiran jawa islam lain.
Suryo Majapahit dapat dilihat pula di buku sejarawan barat seperti Denys Lombart pada edisi Nusa Jawa jilid 1 sengaja memuat hastabrata Surya Majapahit itu secara terbalik, serta lambang ini juga terlihat sama persis dengan lambang yang dipergunakan oleh Perserikatan Muhammdiyah. Surya Majapahit dan hilal juga bermakna kayun-darain dari kalimat Hayyun fid daarain hidup dalam dua alam yaitu dhahir dan ghaibiyah, sebagai kesadaran keimanan telah terbentuk di era Majapahit yang digolongkan Hindu itu. Tersebut juga pada Serat Sabdopalon Nayagenggong dan babad tanah Jawi lain bahwa Raja Brawijaya V telah memeluk islam. Jika Islam hanya mementing persoalan formal (dhahiriyah) saja, maka lahirlah 500-an tahun dari masa babad tersebut era dakwah islam akan kembali kepada budi pekerti, pada hal-hal bathiniyah. Menurut penjaga makam mataram di Ngayogyakarta Hadiningrat bernama Mbah Sopiyan, 107thn, orang yang sangat mengenal makam-makam tua di seluruh Jawa Tengah bahwa KAG memang keturunan Brawijaya V.
Bukti lain di dalam kompleks makam Demak Bintara juga terdapat Surya Majapahit dan lambang laut, artinya bhw Raden Patah yang bergelar Syah Alam Akbar ke-1 selaku Panglima Angkatan Perang Majapahit. Sunan Adipati Unus ke-2 telah syahid dalam peperangan mengusir Portugis di Selat Malaka, ke-3 Sunan Trenggono dan kepemimpinan beliau dilannjut oleh Sunan Prawoto Syah Alam Akbar ke-4 dan seterusnya dalam mengusir penjajah. Nama KAG sejak masa Demak telah beperan sangat besar menyiapkan energi para ksatria dan bintara, istilah wali juga melekat pada KAG, bermakna pengemban tugas kewalian sebagaimana para aulia’, KAG adalah seorang kyai yang dengan caranya diatas telah menegakkan dakwah islam di tanah jawa. Maka melupakan akar kesejarahan dengan simbol-simbol keagamaan di sejumlah makam kyai juga persoalan besar yang kini melanda banyak pegiat syiar agama terutama Islam di tanah Jawa
Kyai Ageng Gribig Jatinom
Asal keturunan kyai-kyai Jawa memilki akar yang sama, yakni para wali sunan pembawa islam ke tanah jawa dari jalur Arab, mereka memiliki padepokan pesantren dengan asimilasi kuat budaya setempat. Nama terkenal di era kini adalah Wali Songo terutama Sunan Malik Ibrahim yang berpengaruh besar melahirkan Kerajaan Demak Bintara. Di masa peletakan dasar Mataram Islam ini terdapat nama Ki Ageng Gribig (KAG) yang dikenal sebagai “Syekh Wasibagno”, kata wasi berakar dari akar kata wasiat yakni bahwa beliau pemegang wasiat dakwah islam wilayah tengah tanah Jawa di Jatinom Klaten.
Silsilahnya menurut Indarjo seorang Wedana Jatinom pada rapat panitia Yaqawiyyu tanggal 11 Sapar 1884 / 30 Oktober 1952 dalam buku Riwayat Kyai Ageng Gribig Jatinom Klaten, mengarah langsung kepada Raja Brawijaya Majapahit. Menurut sumber ini, keturunan langsung beliau adalah:
1. Kyai Gambiran
2. Kyai Gribig II
3. Den Mas Sahid (ibu dari Pajang)
4. Kyai Tafsir Imam
5. Ki Bagus Kentolingalas
Sumber lain mengatakan bahwa putra putri beliau juga Nyai Ageng Penganten dan Kyai Ageng Lebak yang memiliki putera Kyai Ageng Abdul. Nama KAG juga menurunkan pendiri Muhammadiyah, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan. Data selengkapnya bisa kita baca berikut ini:
Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana Ainul Jaqina,
Maulana Mohammad Fadlu’llah (Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom),
Demang Djurang Djuru Sapisan, Demang Djurang Djuru Kapindo, Kijai Iljas, Kijai Murtadla,
K. Hadji Mohammad Sulaiman, K.H. Abubakar, K.H. Achmad Dachlan (Mohammad Darwis).
(Sumber :
MUHAMMADIJAH SETENGAH ABAD 1912-1962
Diterbitkan oleh Departemen Penerangan RI Djakarta, 23 Djanuari 1963).
Di dalam kompleks makam KAG di Jatinom Klaten tersembunyi kekayaan sejarah tak terhingga yang dapat membuka fakta terlupakan, bahwa tanggung jawab Muhammadiyah tidak terhenti sepeninggal pendirinya, seperti soal simbol-simbol kejawen di dalam makam dan hal-hal menyangkut amal ibadah terkait. Generasi muda islam perlu membaca makam sebagai candi dengan menggunakan semiotika (semiologi), seperti di dalam kompleks Makam KAG terbaca jelas lambang Majapahit, sebagaimana bahwa lambang Muhammadiyah adalah hastabrata yang juga banyak terdapat di komplek Makam Trowulan. (Perkempalan Tjap Orang Jadzab, TOJ, Jogjakarta, 2008).
Menelusuri Islam di Era Majapahit:
Dari acara Waosan TOJ saat Hantlusuri Tapak Tilas Yasan Kyai Ageng Gribig Jatinom, 11 Desember 2008 terungkap bahwa sesungguhnya KAG saat awal 1501M-1600an) adalah figur yang amat berpengaruh menyiapkan kekuatan Kstatria Mataram termasuk seorang figur guru utama dari Sultan Agung Hanyakrakusuma (SA) mulai 1613 – 1646 dan penyiapan pasukan Mataram ke Batavia. KAG seperti tersebut di atas dan terbukti kemudian amat berpengaruh dalam diri SA beserta kebesaran nama beliau dalam sejarah islam Jawa.
Berdiri Beteng Kotagede 1506, tanda berdiri kraton di alas Mentaok dekat Kotagede sekarang. Ramanda beliau Pangeran Senopati (PS) jumeneng 1582 berjarak masa 80 tahun dari era berdirinya Beteng Kotagede Mataram. Sultan Agung jumeneng di Kraton Kotagede 1617 saat beliau masih berusia 15 tahunan yang waktu kecil bergelar Raden Bagus Jatmika dan dalam berguru agama islam beliau dikirim oleh PS kepada KAG Jatinom, saat itu berusia 5 tahun-an telah menghafal al-Qur’an al-Karim. Dalam mendidik, oleh KAG Jatmika kecil diberi Cincin Merah Delima lalu dibacakan kitab-kitab agar Jatmika menyimak bacaan serta diiringi suara Kodok Ngorek, istilah bahasa Arab yang artinya Qadha Qari, bahwa KAG sebagai pembaca tugas-tugas tanggung jawab keislaman pada Jatmika kecil. Kelak saat dewasa bahkan diakui keislaman Jatmika ini dalam jejak sejarah islam dunia.
Sultan Agung lalu pindah ke Kerta, namun tetap beliau amat menghormati KAG yang dibuktikan dengan berdirinya Masjid Alit Jatinom Klaten, dibangun oleh SA dengan cara “melanting” bahan-bahan material masjid kesemuanya dari Kraton Kotagede, bisa dibayangkan berapa KM jarak dan berapa panjang manusia melanting material bangunan saat itu. Bukti lain beliau sangat dihormati oleh Sultan adalah ketika Raden Jatmika telah dianggap cukup ilmunya, dipanggillah dia ke Sunan Tembayat Samarang, disana sebetulnya Tembayat telah tiada, hanya menemui pusaranya untuk bekti dan berguru. Keberadaan KAG juga terngiang saat Sultan berada di Wotgaleh Ngayogyakarta, SA tetap berkait pada gurunya. Wiritnya saja Ya Qawiyu Ya Aziz adalah senjata perang Sabilillah 1628 dan1629 ke Batavia, dari wirit ini kini dikenal tiap bulan Sapar Kalender Jawa ada Upara Yaqawiyyu di Jatinom, fakta bahwa betul-betul KAG amat penting posisinya dalam sejarah Mataram Islam.
Era ke belakang yakni sebelum Mataram ada Pajang, Demak, lalu ada nama Bre Kertabumi (Brawijaya v) raja Majapahit. Pelajaran Sejarah mengajarkan bahwa kerajaan ini merupakan Kerjaan Hindu, padahal data makam di Tralaya Trowulan Mojokerto terdapat kompleks Trah Ulama Majapahit, seperti makam Pusponegoro, Sayyid Jumadil Kubro, kturunan ke-8 Nabi Muhammad SAW, disana terdapat 3000an makam dan janazah tidak diaben (dibakar) seperti layaknya penganut Hindu Bali misalnya. Bukti lambang hastabrata Surya Majapahit banyak kita temui di komp[leks tersebut, termasuk inskripsi kalimat tauhid, tanda hilal bulan sabit, tulisan qullu syain haaliqum illa wajhahu, akasara jawa banyak pula tertera disamping tulisan wa allah a’lam dan warna warni kalimatullah disamping simbul kala (mangsa, era, zaman), naga, yoni atau aneka ukiran jawa islam lain.
Suryo Majapahit dapat dilihat pula di buku sejarawan barat seperti Denys Lombart pada edisi Nusa Jawa jilid 1 sengaja memuat hastabrata Surya Majapahit itu secara terbalik, serta lambang ini juga terlihat sama persis dengan lambang yang dipergunakan oleh Perserikatan Muhammdiyah. Surya Majapahit dan hilal juga bermakna kayun-darain dari kalimat Hayyun fid daarain hidup dalam dua alam yaitu dhahir dan ghaibiyah, sebagai kesadaran keimanan telah terbentuk di era Majapahit yang digolongkan Hindu itu. Tersebut juga pada Serat Sabdopalon Nayagenggong dan babad tanah Jawi lain bahwa Raja Brawijaya V telah memeluk islam. Jika Islam hanya mementing persoalan formal (dhahiriyah) saja, maka lahirlah 500-an tahun dari masa babad tersebut era dakwah islam akan kembali kepada budi pekerti, pada hal-hal bathiniyah. Menurut penjaga makam mataram di Ngayogyakarta Hadiningrat bernama Mbah Sopiyan, 107thn, orang yang sangat mengenal makam-makam tua di seluruh Jawa Tengah bahwa KAG memang keturunan Brawijaya V.
Bukti lain di dalam kompleks makam Demak Bintara juga terdapat Surya Majapahit dan lambang laut, artinya bhw Raden Patah yang bergelar Syah Alam Akbar ke-1 selaku Panglima Angkatan Perang Majapahit. Sunan Adipati Unus ke-2 telah syahid dalam peperangan mengusir Portugis di Selat Malaka, ke-3 Sunan Trenggono dan kepemimpinan beliau dilannjut oleh Sunan Prawoto Syah Alam Akbar ke-4 dan seterusnya dalam mengusir penjajah. Nama KAG sejak masa Demak telah beperan sangat besar menyiapkan energi para ksatria dan bintara, istilah wali juga melekat pada KAG, bermakna pengemban tugas kewalian sebagaimana para aulia’, KAG adalah seorang kyai yang dengan caranya diatas telah menegakkan dakwah islam di tanah jawa. Maka melupakan akar kesejarahan dengan simbol-simbol keagamaan di sejumlah makam kyai juga persoalan besar yang kini melanda banyak pegiat syiar agama terutama Islam di tanah Jawa
Sunan Geseng
Bismillahirrohmaanirrohiim
“ Asyhadu allaa ilaaha illallooh wa asyhadu anna muhammadar rosuululloh. ”
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan anugerah-nya kepada kita semua, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita, hamba-Nya yang terkasih Rosuululloh Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya serta semua pengikut beliau hingga akhir zaman, amin.
Barang siapa mencintai Nabi Rosul Allah beserta Wali – Nya, berarti ia juga termasuk dalam mahabah kehadirot Allah SWT. Dengan kondisi yang seperti itu makanya kami ingin sedikit mengingat sejarah para Wali Allah di Tanah Jawa yang mengembangkan Agama Islam sebagai rohmatan lil ‘alamin.
Telah menjadi sunatullah pada masa zaman Majapahit bergulirlah suatu perjalanan permasalahan aqidah dari Hindu – Budha menjadi Islam yang di awali dengan berdirinya Kerajaan Demak Bintoro yang dirajai oleh beliau Raden Patah. Berdirinya Kerajaan Islam di Demak Bintoro Insya Allah pada tahun 1403, yang di sponsori oleh Majelis Wali Songo yang mansyur dengan metode dakwahnya dan kearifan juga keramatnya. Dengan partisipasinya wali songo ini, Allah telah menentukan kehendaknya Kerajaan Islam Demak Bintoro menjadi Kerajaan Besar dan berpengaruh di bumi tanah jawa dan sekitarnya. Dari awal ini kami ingin mengutarakan mahabah kami terhadap wali Allah yang bernama Ki Cokrojoyo yang akhirnya terkenal dengan Sunan Geseng. Pada zaman wali songo terkenallah seorang wali dari jawa yang bernama Raden Said yang terkenal dengan Sunan Kalijogo.
Pada saat itu Sunan Kalijogo syiar agama Islam di suatu daerah, beliau bertemu dengan seorang hamba Allah yang bernama Ki Cokrojoyo, istrinya bernama Rubiyah dan memiliki seorang putra bernama Joko Bedug, pekerjaan Ki Cokrojoyo menyadap gula kelapa, walau hanya dengan kehidupan yang sederhana keluarganya tentram dan bahagia, karena Ki Cokrojoyo dan keluarganya “ nrimo ing pandum ” dengan ketentramannya itu Ki Cokrojoyo senang bersenandung ( uro-uro ), dalam perjalanan syiarnya Kanjeng Sunan Kalijogo bertemu dengan Ki Cokrojoyo, yang akhirnya diajarkan Kalimat Dzikir yang dilantunkan dengan pujian.
Hari – hari Ki Cokrojoyo selalu pujian dengan kalimat yang diajarkan oleh Wali Allah Sunan Kalijogo, dan suatu saat keajaiban terjadi dengan amalan itu saat Ki Cokrojoyo mengambil hasil panennya yang dibuat gula kelapa tiba-tiba berobahlah gula kelapa itu menjadi emas, namun Ki Cokrojoyo tidak menjadi bangga malah beliau langsung bersiku dan berpamitan pada istri dan anaknya untuk mencari Kanjeng Sunan Kalijogo.
Setelah ketemu Kanjeng Sunan Kalijogo menerima Ki Cokrojoyo di terima sebagai murid dan disuruhnya bertapa, yang insya allah dilakukan satu tahun. Setelah satu tahun Kanjeng Sunan Kalijogo teringat akan kondisi muridnya yang bertapa lalu dicarinya dalam pencarian tempat yang digunakan bertapa telah menjadi hutan alang-alang yang akhirnya dibakar oleh Kanjeng Sunan Kalijogo, setelah habis alang-alangnya barulah tampak Ki Cokrojoyo masih dalam kondisi bertapa dan gosong, karena terbakarnya dengan ilalang dan pada saat itu dibangunkannya Ki Cokrojoyo dengan ucapan salam Kanjeng Sunan Kalijogo yang akhirnya terbangun dan langsung sungkem ( sujud ) terhadap Gurunya, setelah itu Kanjeng Sunan Kalijogo memerintahkan untuk mandi dan menyuruh pulang menemui keluarganya, setelah ketemu keluarga diceritakannya segala kejadian pada istrinya dan anaknya. Istri dan anak ikut bersyukur kehadirat Allah atas diselamatkannya Ki Cokrojoyo atas bimbingan Kanjeng Sunan Kalijogo.
Dari perjalanan itu diangkatlah derajat Ki Cokrojoyo di hadapan Allah menjadi Wali Allah, maka Ki Cokrojoyo di beri nama oleh Kanjeng Sunan Kalijogo menjadi Sunan Geseng untuk mengingat laku dan ketawadukannya terhadap Guru sehingga bisa mencapai derajat mulia. Dan setelah itu di tugaskannya Sunan Geseng oleh Sunan Kalijogo untuk syiar Islam, khususnya mengajak masyarakat untuk bertauqid membaca dua kalimat syahadat yang terkenal ajakan Sunan Geseng yaitu masalah ( sasahidan ) membaca dua kalimah syahadat dan menjalankan ajaran Rosul Muhammad SAW.
Selain Sunan Geseng ada murid-murid Sunan Kalijogo yang terkenal lagi yaitu Sunan Bayat (Klaten), Syekh Jangkung (Pati) dan Ki Ageng Selo (Demak). Dari riwayat itulah maka kami jama’ah Dzikrurrohmah sedikit mengingat sejarah beliau karena beliau termasuk Wali Allah yang juga berjasa dalam pengembangan Islam di Tanah Jawa.
METODE DAKWAH ” SUNAN GESENG ”
Sunan Geseng berdakwah dengan sangat santun dan arief, yaitu melakukan pendekatan budaya dengan masyarakat jawa. Seperti yang di lakukan Gurunya Kanjeng Sunan Kalijogo, Berda’wah dengan menggunakan wayang kulit, melakukan selamatan yang tujuannya untuk bersedekah dan muji syukur kehadirat Allah, serta memuliakan tamu-tamu santri, umat, masyarakat, pejabat yang diajak berdzikir dan puji-pujian. Dengan cara itulah masyarakat jawa yang tadinya hindu, budha diajak menyeberang ke Islam.
Begitulah bijaknya Sunan Geseng Wali Allah tidak mematikan budaya-budaya yang baik dan luhur. Yang dilakukan dengan tidak melanggar aqidah dan syariat, tapi sangat ampuh untuk menyatukan, umat masyarakat. Dengan kondisi seperti itu, maka jama’ah Dzikrurrohmah Sunan Geseng di Kediri, melajutkan cara yang bijak tersebut dengan mengadakan kegiatan pada Bulan Muharom ( suro ), melakukan barokahan amaliyah Dzikrurrohmah dan membaca Sholawat Nabi 1000 kali, secara berjama’ah selama 40 malam yang dilakukan di Aula Sunan Geseng, Kediri. Setelah mencapai hari ke – 40 diadakan khataman dengan bersedekah 40 tumpeng komplit yang pada acara itu untuk memuliakan para tamu, santri, dan kalangan pejabat, ulama, kyai dan masyarakat luas dengan makan bersama, yang juga dihibur dengan musik jemblung dengan lantunan puji-pujian sholawat Nabi, serta diadakan pengajian, untuk menambah khasanah tentang agama Islam, sebagai agama Rohmatan Lil’alamin.
Kondisi yang dijalankan jama’ah Dzikrurrohmah seperti itu, bertujuan memperkuat ukhuwah, menyambung silaturohmi mengajak bersedekah. Dan berdzikir bersama sesuai anjuran Kanjeng Rosul Muhammad SAW. Dan masih ada kegiatan ibadah yang dilakukan jama’ah yaitu amaliyah di Bulan Maulud dan Bulan Romadhon, serta Haul Kanjeng Sunan Geseng. Alhamdulillah telah mendapat dukungan dari umat masyarakat, kyai dan para pejabat Pemerintah Kota Kediri.
Semoga dari sedikit penjelasan ini kita bisa melanjutkan perjuangan beliau Sunan Geseng dan Wali-Wali Allah semua sebagai generasi penerus Nabi Rosul Muhammad SAW. Kami kira hanya ini yang sanggup kami aturkan sekelumit sejarah dari Wali Allah Sunan Geseng, kami yang banyak kurang dan khilaf mohon maaf, astaghfirullohal’ adzim dan sebagai seorang hamba kami hanya bisa bertawaduk atas perintah Allah – Nabinya dan Wali-nya yang telah mendapat kemuliaan di sisi – Nya. Semoga menjadi manfaat, amin.
“ Asyhadu allaa ilaaha illallooh wa asyhadu anna muhammadar rosuululloh. ”
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan anugerah-nya kepada kita semua, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita, hamba-Nya yang terkasih Rosuululloh Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya serta semua pengikut beliau hingga akhir zaman, amin.
Barang siapa mencintai Nabi Rosul Allah beserta Wali – Nya, berarti ia juga termasuk dalam mahabah kehadirot Allah SWT. Dengan kondisi yang seperti itu makanya kami ingin sedikit mengingat sejarah para Wali Allah di Tanah Jawa yang mengembangkan Agama Islam sebagai rohmatan lil ‘alamin.
Telah menjadi sunatullah pada masa zaman Majapahit bergulirlah suatu perjalanan permasalahan aqidah dari Hindu – Budha menjadi Islam yang di awali dengan berdirinya Kerajaan Demak Bintoro yang dirajai oleh beliau Raden Patah. Berdirinya Kerajaan Islam di Demak Bintoro Insya Allah pada tahun 1403, yang di sponsori oleh Majelis Wali Songo yang mansyur dengan metode dakwahnya dan kearifan juga keramatnya. Dengan partisipasinya wali songo ini, Allah telah menentukan kehendaknya Kerajaan Islam Demak Bintoro menjadi Kerajaan Besar dan berpengaruh di bumi tanah jawa dan sekitarnya. Dari awal ini kami ingin mengutarakan mahabah kami terhadap wali Allah yang bernama Ki Cokrojoyo yang akhirnya terkenal dengan Sunan Geseng. Pada zaman wali songo terkenallah seorang wali dari jawa yang bernama Raden Said yang terkenal dengan Sunan Kalijogo.
Pada saat itu Sunan Kalijogo syiar agama Islam di suatu daerah, beliau bertemu dengan seorang hamba Allah yang bernama Ki Cokrojoyo, istrinya bernama Rubiyah dan memiliki seorang putra bernama Joko Bedug, pekerjaan Ki Cokrojoyo menyadap gula kelapa, walau hanya dengan kehidupan yang sederhana keluarganya tentram dan bahagia, karena Ki Cokrojoyo dan keluarganya “ nrimo ing pandum ” dengan ketentramannya itu Ki Cokrojoyo senang bersenandung ( uro-uro ), dalam perjalanan syiarnya Kanjeng Sunan Kalijogo bertemu dengan Ki Cokrojoyo, yang akhirnya diajarkan Kalimat Dzikir yang dilantunkan dengan pujian.
Hari – hari Ki Cokrojoyo selalu pujian dengan kalimat yang diajarkan oleh Wali Allah Sunan Kalijogo, dan suatu saat keajaiban terjadi dengan amalan itu saat Ki Cokrojoyo mengambil hasil panennya yang dibuat gula kelapa tiba-tiba berobahlah gula kelapa itu menjadi emas, namun Ki Cokrojoyo tidak menjadi bangga malah beliau langsung bersiku dan berpamitan pada istri dan anaknya untuk mencari Kanjeng Sunan Kalijogo.
Setelah ketemu Kanjeng Sunan Kalijogo menerima Ki Cokrojoyo di terima sebagai murid dan disuruhnya bertapa, yang insya allah dilakukan satu tahun. Setelah satu tahun Kanjeng Sunan Kalijogo teringat akan kondisi muridnya yang bertapa lalu dicarinya dalam pencarian tempat yang digunakan bertapa telah menjadi hutan alang-alang yang akhirnya dibakar oleh Kanjeng Sunan Kalijogo, setelah habis alang-alangnya barulah tampak Ki Cokrojoyo masih dalam kondisi bertapa dan gosong, karena terbakarnya dengan ilalang dan pada saat itu dibangunkannya Ki Cokrojoyo dengan ucapan salam Kanjeng Sunan Kalijogo yang akhirnya terbangun dan langsung sungkem ( sujud ) terhadap Gurunya, setelah itu Kanjeng Sunan Kalijogo memerintahkan untuk mandi dan menyuruh pulang menemui keluarganya, setelah ketemu keluarga diceritakannya segala kejadian pada istrinya dan anaknya. Istri dan anak ikut bersyukur kehadirat Allah atas diselamatkannya Ki Cokrojoyo atas bimbingan Kanjeng Sunan Kalijogo.
Dari perjalanan itu diangkatlah derajat Ki Cokrojoyo di hadapan Allah menjadi Wali Allah, maka Ki Cokrojoyo di beri nama oleh Kanjeng Sunan Kalijogo menjadi Sunan Geseng untuk mengingat laku dan ketawadukannya terhadap Guru sehingga bisa mencapai derajat mulia. Dan setelah itu di tugaskannya Sunan Geseng oleh Sunan Kalijogo untuk syiar Islam, khususnya mengajak masyarakat untuk bertauqid membaca dua kalimat syahadat yang terkenal ajakan Sunan Geseng yaitu masalah ( sasahidan ) membaca dua kalimah syahadat dan menjalankan ajaran Rosul Muhammad SAW.
Selain Sunan Geseng ada murid-murid Sunan Kalijogo yang terkenal lagi yaitu Sunan Bayat (Klaten), Syekh Jangkung (Pati) dan Ki Ageng Selo (Demak). Dari riwayat itulah maka kami jama’ah Dzikrurrohmah sedikit mengingat sejarah beliau karena beliau termasuk Wali Allah yang juga berjasa dalam pengembangan Islam di Tanah Jawa.
METODE DAKWAH ” SUNAN GESENG ”
Sunan Geseng berdakwah dengan sangat santun dan arief, yaitu melakukan pendekatan budaya dengan masyarakat jawa. Seperti yang di lakukan Gurunya Kanjeng Sunan Kalijogo, Berda’wah dengan menggunakan wayang kulit, melakukan selamatan yang tujuannya untuk bersedekah dan muji syukur kehadirat Allah, serta memuliakan tamu-tamu santri, umat, masyarakat, pejabat yang diajak berdzikir dan puji-pujian. Dengan cara itulah masyarakat jawa yang tadinya hindu, budha diajak menyeberang ke Islam.
Begitulah bijaknya Sunan Geseng Wali Allah tidak mematikan budaya-budaya yang baik dan luhur. Yang dilakukan dengan tidak melanggar aqidah dan syariat, tapi sangat ampuh untuk menyatukan, umat masyarakat. Dengan kondisi seperti itu, maka jama’ah Dzikrurrohmah Sunan Geseng di Kediri, melajutkan cara yang bijak tersebut dengan mengadakan kegiatan pada Bulan Muharom ( suro ), melakukan barokahan amaliyah Dzikrurrohmah dan membaca Sholawat Nabi 1000 kali, secara berjama’ah selama 40 malam yang dilakukan di Aula Sunan Geseng, Kediri. Setelah mencapai hari ke – 40 diadakan khataman dengan bersedekah 40 tumpeng komplit yang pada acara itu untuk memuliakan para tamu, santri, dan kalangan pejabat, ulama, kyai dan masyarakat luas dengan makan bersama, yang juga dihibur dengan musik jemblung dengan lantunan puji-pujian sholawat Nabi, serta diadakan pengajian, untuk menambah khasanah tentang agama Islam, sebagai agama Rohmatan Lil’alamin.
Kondisi yang dijalankan jama’ah Dzikrurrohmah seperti itu, bertujuan memperkuat ukhuwah, menyambung silaturohmi mengajak bersedekah. Dan berdzikir bersama sesuai anjuran Kanjeng Rosul Muhammad SAW. Dan masih ada kegiatan ibadah yang dilakukan jama’ah yaitu amaliyah di Bulan Maulud dan Bulan Romadhon, serta Haul Kanjeng Sunan Geseng. Alhamdulillah telah mendapat dukungan dari umat masyarakat, kyai dan para pejabat Pemerintah Kota Kediri.
Semoga dari sedikit penjelasan ini kita bisa melanjutkan perjuangan beliau Sunan Geseng dan Wali-Wali Allah semua sebagai generasi penerus Nabi Rosul Muhammad SAW. Kami kira hanya ini yang sanggup kami aturkan sekelumit sejarah dari Wali Allah Sunan Geseng, kami yang banyak kurang dan khilaf mohon maaf, astaghfirullohal’ adzim dan sebagai seorang hamba kami hanya bisa bertawaduk atas perintah Allah – Nabinya dan Wali-nya yang telah mendapat kemuliaan di sisi – Nya. Semoga menjadi manfaat, amin.
Nama-Nama Kasepuhan Sunda & Tempat Keramat
I. Garut.
1. Sunan Pancer / Cipancar / Prabu Wijaya Kusumah ( Limbangan )
2. Eyang Rangga Megat sari ( Pasir astana Limbangan )
3. Rd.Lenggang Ningrat ( Pasir astana Limbangan )
4. Rd.Lenggang sari ( Pasir astana Limbangan )
5. Rd.Lenggang Kencana ( Pasir astana Limbangan )
6. Rd.Rangga megat sari ( Pasir astana Limbangan )
7. Rd.Wangsa dita 1 ( Pasir astana Limbangan )
8. Rd.Wangsa dita 2 ( Pasir astana Limbangan )
9. Rd.Lenggang kencana ( Pasir astana Limbangan )
10. Eyang Geusan Ulun ( Pasir astana Limbangan )
11. Eyang seren sumeren / paku bumi ( Pasir astana Limbangan )
12. Sunan Rumenggong ( Poronggol Limbangan )
13. Eyang Sepuh ( Gunung Ageung Pangeureunan Limbangan )
14. Eyang Bangkerong ( Pangeureunan Limbangan )
15. Eyang Batara Kusumah ( Pangeureunan Limbangan )
16. Eyang Dipati Ukur ( Gunung Tanjung Limbangan )
17. Eyang Geureudog panto ( Gunung Tanjung Limbangan )
18. Eyang Jagat Nata ( Gunung Batara Guru Limbangan )
19. Eyang Taji Malela ( Kaki Gunung Batara Guru Limbangan )
20. Eyang Prabu Adnan Wisesa ( Cihanjuang Limbangan )
21. Nyimas ratu ratna Ningrum ( Cihanjuang Limbangan )
22. Eyang Simpay ( Cihanjuang Limbangan )
23. Dalem Emas ( Cikiluwut Limbangan )
24. Dalem Santri ( Cikiluwut Limbangan )
25. Dalem Petinggi ( Cikiluwut Limbangan )
26. Dalem Saba dora ( Cikiluwut Limbangan )
27. Dalem Paraji ( Cikiluwut Limbangan )
28. Dalem Dukun ( Cikiluwut Limbangan )
29. Eyang Tongka Kusumah ( Sempil Limbangan )
30. Eyang Giwang kawangan ( Sempil Limbangan )
31. Eyang Gagak lumayung ( Sempil Limbangan )
32. Eyang Surya kanta kancana ( Rema / Sempil Limbangan )
33. Eyang Rd.Indra triwilis / Jaga riksa ( Pasir paranje Limbangan )
34. Embah Khotib ( Leuwi karet pasir astana Limbangan )
35. Dalem Demang ( Leuwi karet pasir astana Limbangan )
36. Embah Ronggeng ( Leuwi karet pasir astana Limbangan )
37. Embah Tanjung ( batu rompe astana Limbangan )
38. Dalem Santri ( Simpen Limbangan )
39. Eyang Tongeret,Eyang Rongkah, Eyang Santri ( Simpen )
40. Uyut Asep ( Cisalam Simpen Limbangan )
41. Ebah Mulud,Eyang Raksa, Eyang Agus ASAR Pugeuran (Simpen)
42. Eyang Garada ( Simpen Limbangan )
43. Eyang Bentang ( Cijolang Limbangan )
44. Eyang Slamara ( Slamara Limbangan )
45. Mama Kindam ( Cijolang Limbangan )
46. Eyang Anwar ( Cibalampu Limbangan )
47. Eyang Salinggih ( Cicadas Limbangan )
48. Dalem Rangga prana / Kiara lawang ( Kiara lawang Limbangan )
49. Eyang Bustamil ( Astana balong Limbangan )
50. Syeh Yusuf ( Astana balong Limbangan )
51. Dalem Kaum / Wangsa reja ( Kaum Limbangan )
52. Eyang Balung tunggal ( Monggor Limbangan )
53. Dalem Kasep / Wijaya Kusumah ( Batu karut Limbangan )
54. Eyang Pasir rakit ( Saapan Limbangan )
55. Eyang Nuriyyah ( Leuwi bolang Limbangan )
56. Eyang Siti bagdad ( Cikeuleupu Limbangan )
57. Eyang Wira bangsa ( Cikeuleupu Limbangan )
58. Dalem Pakemitan ( Cimanjah Limbangan )
59. Dalem Sayita ( Leuwi bagong Limbangan )
60. Eyang Carios ( Pasir waru Limbangan )
61. Uyut Asep ( Ranca panjang Limbangan )
62. Eyang Nangka baya ( Cipicung Cigagade Limbangan )
63. Eyang Jaksa ( Baduyut Cipeujeuh Limbangan )
64. Dalem Cibingbin ( Cibingbin Selaawi )
65. Embah Yadi ( Garela Selaawi )
66. Dalem Camat ( Nagrog Selaawi )
67. Eyang Abdul mutholib ( Kp. Situ gede Putra jawa Selaawi )
68. Eyang Jawa / Aria Jaya Kusumah ( Putra jawa Selaawi )
69. Eyang Reuntas Kikis ( Kp. dadap Putra jawa Selaawi )
70. Eyang Suta Bangsa, Jaga Satru, Jaga Bela ( Putra jawa selaawi )
71. Maqom Kiaya / Nur A’sim ( Cikuya Selaawi )
72. Maqom Sempur,Maqom Dapa,Maqom Dalem cikuya ( Cikuya )
73. Eyang Kesrek Pangangonan ( Gunung Pabeasan Selaawi )
74. Eyang Munding wangi ( Cisorok Gunung Pabeasan Selaawi )
75. Bangun Rebang,Mangun Dipa ( cihaseum
76. Bangsuwita / Antiyeum ( Gunung Pabeasan
77. Nyimas Mayang Sari ( Gunung Palasari Selaawi )
78. Prabu Kartadikusumah ( Leumah Putih Selaawi )
79. Prabu Surya kencana, ( Depok Selaawi )
80. Eyang mangkudjampana (G. Tjakrabuana, Malangbong Garut)
81. Eyang Dahian bin Saerah (Gunung ringgeung, garut)
82. Embah Mansur Wiranatakusumah (Sanding,malangbong Garut)
83. Embah Sulton Malikul Akbar (Gunung Ringgeung Garut)
84. Embah Gurangkentjana (Tjikawedukan, G. Ringgeung malangbong Garut)
85. Eyang Istri (Susunan Gunung Ringgeung Malangbong)
86. Embah Hadji Sagara Mukti (Susunan Gunung Ringgeung)
87. Eyang Yaman (Tjikawedukan, Gunung Ringgeung Garut)
88. Eyang Pangtjalikan (Gunung Ringgeung malangbong Garut)
89. Raden Ula-ula Djaya (Gunung Ringgeung malangbong Garut)
90. Eyang Andjana Suryaningrat (Gunung Puntang Garut )
91. Eyang Mandrakuaumah (Gunung Gelap Pameungpeuk, Garut)
92. Raden Rangga Aliamuta (Kamayangan, Lewo-Garut)
93. Eayang Wali Kiai Hadji Djafar Sidik (Tjibiuk Limbangan, Garut)
94. Eyang Prabu Mulih / Syeh Abdul jabar (Tjibiuk Limbangan)
95. Eyang A’syim (Tjibiuk Limbangan, Garut)
96. Eyang Siti Fatimah (Tjibiuk Limbangan, Garut)
97. Eyang Imam Sulaeman (Gunung Gede, Tarogong Garut)
98. Embah Djaksa (Tadjursela, Wanaraja Garut )
99. Mamah Kiai hadji Yusuf Todjiri (Wanaradja Garut)
100. Syekh Sukri (Pamukiran, Lewo Garut)
101. Embah Ranggawangsa (Sukamerang, bandrek, Garut)
102. Embah Djaya Sumanding (Sanding Garut)
103. Eyang Dewi Pangreyep (Gunung Pusaka Padang Garut)
104. Ibu Mayang Sari (Nangerang Bandrek, kersamanah Garut)
105. Eyang Prabu Widjayakusumah (Susunan Payung Bandrek cibatu garut)
106. Embah Wali Hasan (Tjikarang Bandrek, kersamanah Garut)
107. Prabu Naga Percona (Gunung Wangun Malangbong Garut)
108. Raden Karta Singa (Bungarungkup Gn Singkup Garut)
109. Embah Braja Sakti (Cimuncang, Lewo malangbong Garut)
110. Prabu Sada Keling (Cibatu Garut)
111. Embah Liud (Bunarungkup, Cibatu Garut)
112. Prabu Kian Santang (Godog Suci, garut)
113. Embah Braja Mukti (Cimuncang, Lewo Garut)
114. Eyang mangkudjampana (Gunung Tjakrabuana, Malangbong)
115. Eyang Adnan Wisesa (Gunung Tjakrabuana, Malangbong Garut)
116. Eyang Mandrakuaumah (Gunung Gelap Pameungpeuk, Garut)
117. Raden Rangga Aliamuta (Kamayangan, Lewo-Garut)
118. Aki Mandjana (Samodja, Kamayangan Lewo-Garut)
119. Eyang Raksa Baya (Samodja, Kamayangan Lewo-malangbong-Garut)
120. Syekh Sukri (Pamukiran, Lewo malangbong Garut)
121. Embah Djaya Sumanding (Sanding)
122. Embah Mansur Wiranatakusumah (Sanding)
123. Eyang Sakti barang / Embah wali Jaenulloh ( Sanding )
124. Eyang Prabu Widjayakusumah (Susunan Payung Bandrek kersamanah )
125. Eyang Jaya Kelana (Sada keeling Sukaweuning Garut)
126. Eyang Siti Sakti (Sada keeling Sukaweuning Garut)
127. Eyang Jaya Perkosa ( Gunung Sadakeling Sukaweuning )
128. Syeh Abdul Jalil ( Kp.Dukuh Cikelet )
129. Eyang Nur Yayi ( Suci )
130. Eyang Wangsa Muhamad / Eyang Papak ( Cinunun Wanaraja)
131. Eyang Arif Muhamad ( Situ Cangkuang Leles )
132. Eyang Jaya Karantenan (timanganten)
II. Tasikmalaya.
1. Embah Purbawisesa (Tjigorowong, Tasikmalaya)
2. Embah Kalidjaga Tedjakalana (Tjigorowong, Tasikmalaya)
3. Aki Wibawa (Tjisepan, Tasikmalaya)
4. Prabu Nagara Seah (Mesjid Agung Tasikmalaya)
5. Ki Adjar Santjang Padjadjaran (Gunung Bentang, Galunggung)
6. Nyi Mas Layangsari (Gunung Galunggung)
7. Aki manggala (Gunung Bentang, Galunggung )
8. Mamah Sepuh (Pesantrean Suralaya )
9. Eyang Hemarulloh (Situ Lengkong Pandjalu)
10. Embah Dalem Jayasri (Calingcing Tasikmalaya)
11. Embah Wali Abdullah (Tjibalong Tasikmalaya)
12. Mamah Abu (Pamidjahan Tasikmalaya)
13 Eyang Parana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
14. Prabu Sampak Wadja (Gunung Galunggung Tasikmalaya)
15. Eyang Entjim (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
16. Eyang Santon (Kulur Tjipatujah, tasikmalaya)
17. Eyang Singa Watjana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya
18. Kanjeng Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan Tasikmalaya)
19. Eyang Dalem Darpa Nangga Asta (Tasikmalaya)
20. Eyang Dalem Yuda Negara (Pamijahan Tasikmalaya)
21. Prabu Langlang Buana (Padjagalan, Gunung Galunggung )
22. Prabu Tjanar (Gunung Galunggung)
23. Embah Haji Puntjak (Gunung Galunggung)
24. Aki Wibawa (Tjisepan, Tasikmalaya)
25. Prabu Nagara Seah (Mesjid Agung Tasikmalaya)
26. Dalem Sawidak ( Sukapura )
27. Eyang Padakembang ( Padakembang )
28. Eyang Tubagus Anggariji ( Puspahiyang )
III. Ciamis.
1. Eyang Adipati Hariang kuning (Situ Lengkong, Panjalu Ciamis)
2. Eyang Boros Ngora (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
3. Kiai Layang Sari (Rantjaelat Kawali Ciamis)
4. Uyut demang (Tjikoneng Ciamis)
5. Eyang Rengganis (Pangandaran Ciamis)
6. Sri Wulan (Batu Hiu, Pangandaran Ciamis)
7. Eyang Adipati Wastukentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
8. Ratu Ayu Sangmenapa (Galuh)
9. Eyang Nila Kentjana (Situ Pandjalu, Ciamis)
10. Eyang Hariangkentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
11. Ibu Siti Hadji Djubaedah (Gunung Tjupu Banjar Ciamis)
12. Embah Sangkan Hurip (Ciamis)
13. Embah Djaga Lautan (Pangandaran)
14. Eyang Giwangkara (Djaga Baya Ciamis)
15. Eyang Dempul Walang (Djaga Baya Ciamis)
16. Eyang Dempul Wulung (Djaga Baya Ciamis)
17. Eyang Tjakra Dewa (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
18. Eyang Hariang Kuning (Situ Lengkong Pandjalu Ciamis)
19. Dewi Tumetep (Gunung Pusaka Padang , Ciamis)
20. Ki Ajar Sukaresi Permana Dikusumah (G. Padang , Ciamis)
21. Eyang Naga Wiru (Gunung Pusaka Padang , Ciamis)
22. Eyang Anggakusumahdilaga (Gunung Pusaka Padang Ciamis)
23. Eyang Puspa Ligar (Situ Lengkong, Panjalu Ciamis)
IV. Sumedang.
1. Embah wali Mansyur (Tomo, Sumedang)
2. Embah Raden Singakarta (Nangtung, Sumedang)
3. Embah Dalem (Wewengkon, Tjibubut Sumedang
4. Embah Bugis (Kontrak, Tjibubut Sumedang)
5. Ratu Siawu-awu (Gunung Gelap, pameungpeuk Sumedang )
6. Embah Gabug (Marongge)
7. Embah Setayu (Marongge)
8. Embah Naidah(Marongge)
9. Embah Naibah (Marongge)
10. Embah Aji putih jaga riksa (Marongge)
11. Embah Nur alim ( Parung gaul )
12. Embah Raden panganten ( Parung gaul )
13. Eyang Geusan ulun ( Dayeuh luhur )
14. Eyang Jaya perkosa ( Dayeuh luhur )
15. Embah Nanganan ( Dayeuh luhur )
16. Embah Terong peot ( Dayeuh luhur )
17. Nyimas ratu Harisbaya ( Dayeuh luhur )
18. Eyang Taji malela ( Gunung Lingga )
19. Embah Durdjana (Sumedang)
20. Embah Panungtung Haji Putih Tunggang Larang Curug Emas (Tjadas Ngampar )
21. Raden AstuManggala (Djemah Sumedang)
22. Eyang Pandita (Nyalindung Sumedang)
23. Raden Balung Tunggal (Sangkan Djaya, Sumedang)
24. Eyang Hadji Tjampaka (Tjikandang, Tjadas Ngampar )
25. Eyang Mundinglaya Dikusumah (sangkan Djaya, Sumedang)
26. Eyang Rangga Wiranata (Sumedang)
27. Dalem Surya Atmaja (Sumedang)
28. Embah Raden Widjaya Kusumah (Tjiawi Sumedang)
29. Embah Raden Singakarta (Nangtung, Sumedang)
V. Bandung.
1. Eyang Angkasa (Gunung Kendang, Pangalengan)
2. Embah Kusumah (Gunung Kendang, Pangalengan)
3. Embah Djaga Alam (Tjileunyi)
4. Sembah Dalaem Pangudaran (Tjikantjung Majalaya,Bandung
5. Embah Landros (Tjibiru Bandung))
6. Eyang latif (Tjibiru Bandung)
7. Eyang Penghulu (Tjibiru Bandung)
8. Nyi Mas Entang Bandung (Tjibiru Bandung)
9. Eyang Kilat (Tjibiru Bandung)
10. Mamah Hadji Umar (Tjibiru Bandung)
11. Mamah Hadji Soleh (Tjibiru Bandung)
12. Mamah Hadji Ibrahim (Tjibiru Bandung)
13. Uyut Sawi (Tjibiru Bandung)
14. Darya binSalmasih (Tjibiru Bandung)
15. Mmah Hadji Sapei (Tjibiru Bandung)
16. Mamah Sepuh ((Gunung Halu Tjililin Bandung)
17. Sembah Dalem Pangudaran (Tjikantjung Cicalengka)
VI. Banten.
1. Embah Hadji Muhammad Pakis (Banten)
2. Uyut Manang Sanghiang (Banten)
3. Embah Santiung (ujung Kulon Banten)
4. SYEH MUHAMMAD SHOLEH GUNUNG SANTRI CILEGON
5. SYEH MUHAMMAD SHIHIB TAGAL PAPA MENGGER
6. SYEH ABDUL RO’UF PARAJAGATI CINGENGE
7. SYEH ABDUL GHANI MENES
8. SYEH MAHDI CARINGIN LABUAN
9. SYEH ABDURROHMAN ASNAWI CARINGIN LABUAN
10. SYEH WALI DAWUD CINGINDANG LABUAN
11. SYEH MACHDUM ABDUL DJALIL KALIMAH BARRONI G. RAMA SUKOWATI LABUAN
12. SYEH CINDRAWULUNG GUNUNG SINDUR TANGERANG
13. SYEH HAJI KAISAN
14. SYEH HAJI SILAIMAN GUNUNG SINDUR
15. SYEH KANJENG KYAI DALEM MUSTOFA GUNUNG SINDUR
16. SYEH KYAI BAGUS ATIK SULAIMAN QHOLIQ SERPONG
17. NYAIMAS RATU PEMBAYUN DIPANG UTARA BLORA
18. NYAIMAS RATU SARANENGAH JAMBI
19. NYAIMAS RATU KAMUDARAGI PALEMBANG
20. PANGERAN JUPRIE RATU JEPARA
21. PANGERAN PRINGGALAYA RATU BETAWI
22. PANGERAN PEJAJARAN RATU BOGOR
23. PANEMBAHAN PEKALONGAN MAULANA YUSUF RATU BANTEN
24. SULTHON MUCHAMMAD SABAKINGKING RATU BANTEN
25. SULTHON ABUL MUFAQIR ‘ABDUL QODIR KENARI
26. SULTHON ABUL MA’ANALI ACHMAD KENARI
27. SULTHON AGUNG ABUL FATEHI ABDUL FATTAH TIRTAYASA
28. SULTHON ABUNNASRI MAULANA MANSUR ABD QOHHAR CIKADUEUN
29. SULTHON ABUL FADLOLI
30. SULTHON ABUL MAHASIN MA’SUM
31. SULTHON ABDUL FATTAH MUHAMMAD SYIFA ZAINUL ‘ARIFIN
32. SULTHON SYARIFUDDIN RATU WAKIL MUHAMMAD WASI’
33. SULTHON ZAINUL ‘ASIKIN
34. SULTHON ABDUL MAFAQIR MUHAMMAD ALIYUDIN AWWAL
35. SULTHON ABDUL FATTAH MUHAMMAD MUHYIDIN ZAINUL SOLIHIN
36. SULTHON MUHAMMAD ISHAQ ZAINUL MUTTAQIN
37. SULTHON WAKIL PANGERAN NATAWIJAYA
38. SULTHON MUHAMMAD AKILLUDI TSANI
39. SULTHON WAKIL PANGERAN SURAMENGGALA
40. SULTHON MUHAMMAD SHOFIYUDIN
41. SULTHON MUHAMMAD ROFI-UDDA (DIASINGKAN DISURABAYA)
42. PARABU DEWARATU PULO PANAITAN
43. PRABU LANGLANG BUANA GUNUNG LOR PULA SARI
44. PRABU MUDING KALANGON PUNCAK MANIK GUNUNG LOR PULASARI
45. PRABU SEDASAKTI TAJO POJOK
46. PRABU MANDITI GUNUNG KARANG
47. PRABU BANGKALENG CANGKANG
48. NYAIMAS RATU WIDARA PUTIH SERAM TENGAH LAUTAN
49. NYAIMAS DJONG
50. KYAI AGU DJU
51. INDRA KUMALA GUNUNG KARANG PEPITU PAKUAN
52. MANIK KUMALA SUNGAI CIUJUNG
53. Raden mbah jangkung kp. cilumayan – sisi cibereno , bayah – banten
54. Syekh maulana Yusuf (Banten)
55. Syekh hasanudin (Banten)
56. Syekh Mansyur (Banten)
57. Syekh Abdul Rojak Sahuna (Ujung Kulon Banten)
58. Embah Buyut Hasyim (Tjibeo Suku Rawayan, Banten)
59. Embah Kusumah (Gunung Kendang, Pangalengan)
VII. Cirebon.
1. Sunan Gunung Jati
2. Eyang Kasepuhan (Talaga Sanghiang, Gunung Ciremai)
3. Embah Mangkunegara (Cirebon)
4. Eyang Ranggalawe (Talaga Cirebon)
5. Syeh Lemah abang
6. Nyimas Gandasari ( Arjawinangun )
7. Eyang Kuwu sangkan
VII. Bogor.
1. Embah Dipamanggakusumah (Munjul, Cibubur)
2. Embah Kihiang Bogor (Babakan Nyampai, Bogor)
3. Embah Dalem Warukut (Mundjul, Cibubur)
4. Eyang Prabu Kencana (Gunung Gede, Bogor )
5. Aki dan Nini Kair (Gang Karet Bogor)
VIII. Subang.
1. Eyang Nulinggih (Karamat Tjibesi, Subang)
IX. Cianjur.
2. Embah Dalem Tjikundul (Mande Cianjur)
3. Embah Dalem Suryakentjana (PantjanitiCianjur)
X. Sukabumi.
1. Embah Keureu (Kutamaneuh Sukabumi)
2. Pangeran qudratulloh di gunung cabe / g. sunda pelabuhan ratu
3. Embah Wijaya Kusumah (G. Tumpeng Pelabuhan Ratu)
XI. Karawang.
1. Eyang Singa Perbangsa (Karawang)
XII. Kadipaten.
2. Embah Buyut Pelet (Djati Tudjuh Kadipaten)
XIII. Indramayu.
3. Sigit Brodjojo (Pantai Indramayu)
XIV. Kuningan.
1. Eyang kuwu sakti ( Gunung halu )
Langganan:
Entri (Atom)
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل