Sabtu, 28 Desember 2013
- Beranda
- Belajar Islam dengan Benar
- Waris
- 25 Nabi & Rasul
- Alquran Terjemah &Hadist
- AQIQOH
- BELAJAR BAHASA ARAB
- BERITA INDONESIA
- Bid’ah
- Filsafat
- fiqih
- Hadist Qudsi
- Haji
- HARUN YAHYA
- HUkum Memberi Nama
- Ilmu Kalam
- Islam
- Islam dan Kejawen
- Jin
- JUM’AT
- KAHLIL GIBRAN
- KHULAFAUR RASYIDIN
- Koleksi Video Admin
- KUMPULAN DOA
- Logika
- Mistery
- PageRank & Backlink
- PENULIS
- Pidato
- Puasa
- SASTRA
- SEJARAH ISLAM
- Shalat
- Sihir
- Situs Web
- TASAWUF
- TOKOH ISLAM
- Tukar Link
- TUTORIAL
- UKM
- USHUL FIQIH
- Wali songo
- SEJARAH NABI MUHAMAD
- SERBA SERBI ISLAM
- daftar isi
Sunan Kalijaga
Hutan Jatiwangi, pada suatu masa. Di
rindang lebat pepohonan jati di kawasan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, itu
dua lelaki berbeda umur tegak berhadapan. Yang satu pemuda berpakaian
serba hitam. Di depannya seorang pria lebih tua, dibalut busana serba
putih. Sebatang tongkat menyangga tubuhnya.
Pemuda berbaju hitam itu bernama
Lokajaya, berandal yang gemar membegal pejalan yang melewati hutan
Jatiwangi. Ia silau oleh kemilau kuning keemasan gagang tongkat yang
dibawa pria berjubah putih. Siapa pun orang berjubah putih itu, layaklah
ia menjadi mangsa Lokajaya. Dan ketika tongkat itu direbut, orang tua
tadi sama sekali tak berlawan.
Ia tersungkur di tanah, kehilangan
keseimbangan. Tongkat berkepala emas itu berpindah tangan. Bangkit dari
jatuhnya, orang tua itu memberi nasihat, dengan tutur kata lembut.
Nasihat inilah yang mengubah jalan hidup Lokajaya. Ia menjadi murid
orang tua itu –yang tiada lain daripada Sunan Bonang. Lokajaya sendiri
kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Begitulah legenda Sunan Kalijaga
mengalir, dalam berbagai versi. Jalan hidup sunan yang satu ini
tercantum dalam berbagai naskah kuno, babad, serat, hikayat, atau hanya
cerita tutur turun-temurun. Mudah dipahami kalau muatannya berbeda-beda.
Begitu pula halnya dengan asal-usul Sunan Kalijaga.
Menurut Babad Tanah Jawi, Sunan Kalijaga
adalah putra Wilwatikta, Adipati Tuban. Nama aslinya Raden Said, atau
Raden Sahid. Menurut babad dan serat, Sunan Kalijaga juga disebut Syekh
Malaya, Raden Abdurrahman, dan Pangeran Tuban. Gelar ”Kalijaga” sendiri
punya banyak tafsir.
Ada yang menyatakan, asalnya dari kata
jaga (menjaga) dan kali (sungai). Versi ini didasarkan pada penantian
Lokajaya akan kedatangan Sunan Bonang selama tiga tahun, di tepi sungai.
Ada juga yang menulis, kata itu berasal dari nama sebuah desa di
Cirebon, tempat Sunan Kalijaga pernah berdakwah.
Kelahiran Sunan Kalijaga pun menyimpan
misteri. Ia diperkirakan lahir pada 1430-an, dihitung dari tahun
pernikahan Kalijaga dengan putri Sunan Ampel. Ketika itu Sunan Kalijaga
diperkirakan berusia 20-an tahun. Sunan Ampel, yang diyakini lahir pada
1401, ketika menikahkan putrinya dengan Sunan Kalijaga, berusia 50-an
tahun.
Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam
empat era pemerintahan. Yakni masa Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan
Demak (1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan
Mataram (1580-an). Begitulah yang dinukilkan Babad Tanah Jawi, yang
memerikan kedatangan Sunan Kalijaga ke kediaman Panembahan Senopati di
Mataram.
Tak lama setelah itu, Sunan Kalijaga
wafat. Jika kisah itu benar, Sunan Kalijaga hidup selama sekitar 150-an
tahun! Tapi, lepas dari berbagai versi itu, kisah Sunan Kalijaga memang
tak pernah padam di kalangan masyarakat pesisir utara Jawa Tengah,
hingga Cirebon. Terutama caranya berdakwah, yang dianggap berbeda dengan
metode para wali yang lain.
Ia memadukan dakwah dengan seni budaya
yang mengakar di masyarakat. Misalnya lewat wayang, gamelan, tembang,
ukir, dan batik, yang sangat populer pada masa itu. Babad dan serat
mencatat Sunan Kalijaga sebagai penggubah beberapa tembang, di antaranya
Dandanggula Semarangan –paduan melodi Arab dan Jawa.
Tembang lainnya adalah Ilir-Ilir, meski
ada yang menyebutnya karya Sunan Bonang. Lariknya punya tafsir yang
sarat dengan dakwah. Misalnya tak ijo royo-royo dak sengguh penganten
anyar. Ungkapan ijo royo-royo bermakna hijau, lambang Islam. Sedangkan
Islam, sebagai agama baru, diamsalkan penganten anyar, alias pengantin
baru.
Peninggalan Sunan Kalijaga lainnya adalah
gamelan, yang diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai
Guntur Madu. Gamelan itu kini disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton
Surakarta, seiring dengan berpindahnya kekuasan Islam ke Mataram.
Pasangan gamelan itu kini dikenal sebagai gamelan Sekaten.
Karya Sunan Kalijaga yang juga menonjol
adalah wayang kulit. Ahli sejarah mencatat, wayang yang digemari
masyarakat sebelum kehadiran Sunan Kalijaga adalah wayang beber. Wayang
jenis ini sebatas kertas yang bergambar kisah pewayangan. Sunan Kalijaga
diyakini sebagai penggubah wayang kulit.
Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan
disungging di atas kulit lembu. Bentuknya berkembang dan disempurnakan
pada era kejayaan Kerajaan Demak, 1480-an. Cerita dari mulut ke mulut
menyebut, Kalijaga juga piawai mendalang. Di wilayah Pajajaran, Sunan
Kalijaga lebih dikenal sebagai Ki Dalang Sida Brangti.
Bila sedang mendalang di kawasan Tegal,
Sunan Kalijaga bersalin nama menjadi Ki Dalang Bengkok. Ketika mendalang
itulah Sunan Kalijaga menyisipkan dakwahnya. Lakon yang dimainkan tak
lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Sunan Kalijaga
mengangkat kisah-kisah carangan.
Beberapa di antara yang terkenal adalah
lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu. Dewa Ruci
ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak
lain perlambang dari kalimat syahadat. Bahkan kebiasan kenduri pun jadi
sarana syiarnya.
Sunan Kalijaga mengganti puja-puji dalam
sesaji itu dengan doa dan bacaan dari kitab suci Al-Quran. Di awal
syiarnya, Kalijaga selalu berkeliling ke pelosok desa. Menurut catatan
Prof. Husein Jayadiningrat, Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang,
Sumatera Selatan, setelah dibaiat sebagai murid Sunan Bonang.
Di Palembang, ia sempat berguru pada
Syekh Sutabaris. Cuma, keberadaan Sunan Kalijaga di ”bumi Sriwijaya” itu
tidak meninggalkan catatan tertulis. Hanya disebut dalam Babad Cerbon,
Sunan Kalijaga tiba di kawasan Cirebon setelah berdakwah dari Palembang.
Konon, Kalijaga ingin menyusul Sunan Bonang, yang pergi ke Mekkah.
Tapi, oleh Syekh Maulana Magribi,
Kalijaga diperintahkan balik ke Jawa. Babad Cerbon menulis, Sunan
Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon, persisnya di Desa Kalijaga,
sekitar 2,5 kilometer arah selatan kota. Pada awal kedatangannya,
Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai pembersih masjid Keraton
Kasepuhan.
Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan
Sunan Gunung Jati. Kisah pertemuannya rada-rada aneh. Sunan Gunung Jati
sengaja menguji Kalijaga dengan sebongkah emas. Emas itu ditaruh di
padasan, tempat orang mengambil wudu. Kalijaga sendiri tak kaget
mengingat ajaran Sunan Ampel, ”ojo gumunan lan kagetan” (jangan mudah
heran dan terkejut).
Ia ”menyulap” emas menjadi batu bata, dan
menjadikannya tempat menaruh bakiak bagi orang yang berwudu. Giliran
Sunan Gunung Jati yang takjub. Ia pun ”menganugerahkan” adiknya, Siti
Zaenah, untuk diperistri Sunan Kalijaga. Hanya beberapa tahun Sunan
Kalijaga dikisahkan menetap di Cirebon.
Dakwahnya berlanjut ke arah timur, lewat
pesisir utara sampai ke Kadilangu, Demak. Di sinilah diyakini Sunan
Kalijaga menetap lama hingga akhir hayatnya. Kadilangu merupakan tempat
Sunan Kalijaga membina kehidupan rumah tangga. Istri yang disebut-sebut
hanyalah Dewi Sarah, putri Maulana Ishak.
Pernikahan dengan Dewi Sarah itu
membuahkan tiga anak, satu di antaranya Raden Umar Said, yang kelak
bergelar Sunan Muria. Sunan Muria dan Sunan Kudus tergolong satu aliran
dalam berdakwah dengan Sunan Kalijaga. Metode dakwah aliran Kalijaga itu
amat keras ditentang Sunan Ampel, mertuanya, dan Sunan Drajat, kakak
iparnya.
Hingga kini para pengikut ajaran Sunan
Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Kudus dikenal dengan sebutan kelompok
”Islam abangan”. Julukan ini hingga kini melekat pada masyarakat di
sepanjang pesisir utara, dari Demak, Semarang, Tegal, hingga Cirebon.
Selain dakwah dengan kontak budaya, kisah spektakuler lainnya adalah
pendirian Masjid Agung Demak.
Babad Demak menyebutkan, masjid itu
berdiri pada 1477, berdasarkan candrasengkala ”Lawang Trus Gunaning
Janma” –bermakna angka 1399 tahun Saka. Kisah pendirian Masjid Agung
Demak sendiri banyak bercampur dengan dongeng. Masih belum jelas,
benarkah
Wali Songo
Sunan Gresik
Matahari
baru saja tenggelam di Desa Tanggulangin, Gresik, Jawa Timur. Rembulan
dan bintang giliran menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk desa
tampak ceria menyambut cuaca malam itu. Sebagian mereka berbincang
santai di beranda, duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar suara
gemuruh. Makin lama makin riuh. Baca tulisan ini lebih lanjut
Disimpan dalam WALISONGO
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati
Di Kompleks pemakaman Gunung Sembung,
sering terlihat penziarah –perorangan atau rombongan– dari kalangan
etnis Cina. Sama dengan para saudaranya dari kalangan Islam, umat Buddha
dan Konghucu itu bertujuan menyekar pemakaman yang terletak di Desa
Astana, sekitar tiga kilometer di barat kota Cirebon, Jawa Barat, itu. Baca tulisan ini lebih lanjut
Disimpan dalam WALISONGO
Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim
Senja hampir bergulir di Desa Gapuro,
Gresik, Jawa Timur, menjelang bulan Ramadhan itu. Tak ada angin. Awan
seperti berhenti berarak. Batu pualam berukir kaligrafi indah itu
terpacak bagaikan saksi sejarah. Itulah nisan makam almarhum Syekh
Maulana Malik Ibrahim, yang wafat pada 12 Rabiul Awal 822 Hijriah, atau 8
April 1419. Baca tulisan ini lebih lanjut
Disimpan dalam WALISONGO
Sunan Kudus
Sunan Kudus
Meski namanya Sunan Kudus, ia bukanlah
asli Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang mengatakan
disebelah utara Blora), berjarak 25 kilometer ke arah barat kota Kudus,
Jawa Tengah. Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja’far Shodiq. Ia
adalah anak dari hasil perkawinan Sunan Undung atau Sunan Ngudung
(Raden Usman Haji) dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa jayanya,
Sultan Undung terkenal sebagai panglima perang yang tangguh. Baca tulisan ini lebih lanjut
Disimpan dalam WALISONGO
Sunan Drajat
Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat
yang punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal sebagai Raden
Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di
berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan
Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran
Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat. Baca tulisan ini lebih lanjut
Disimpan dalam WALISONGO
Sunan Bonang
Tamba ati iku lima sak warnane
Maca Qur’an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe Baca tulisan ini lebih lanjut
Maca Qur’an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe Baca tulisan ini lebih lanjut
Disimpan dalam WALISONGO
Sunan Muria
Sunan Muria
Raden Umar Said sedang asyik berceramah
di padepokannya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus, ketika seorang
pemuda datang berkunjung. Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden
Bambang Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra Raden Umar. Raden Umar
terkejut mendengarnya. Ia segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang. Baca tulisan ini lebih lanjut
Disimpan dalam WALISONGO
Sunan Ampel
Sunan Ampel
Prabu Sri Kertawijaya tak kuasa memendam gundah. Raja Majapahit itu risau memikirkan pekerti warganya yang bubrah
tanpa arah. Sepeninggal Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada,
kejayaan Majapahit tinggal cerita pahit. Perang saudara berkecamuk di
mana-mana. Panggung judi, main perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi
”kesibukan” harian kaum bangsawan –pun rakyat kebanyakan. Baca tulisan ini lebih lanjut
Disimpan dalam WALISONGO
Sunan Giri
Selama
40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta
petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam,
pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, kembali terngiang: ”Kelak, bila tiba
masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.” Pesan yang tak terlalu sulit,
sebetulnya. Baca tulisan ini lebih lanjut
Langganan:
Postingan (Atom)